Cinta Pertama

4796 Kata
"Kamu ini bodoh atau naif? Ini semua supaya dia cepat ketemu." Ahmad memarahinya. "Kalau dia adalah keluargaku, atau keluarga orang lain yang butuh bantuanku untuk dicarikan, aku udah bikin poster dia yang besar di tengah kota ini berapapun biayanya. Tapi dia bukan keduanya." Itulah pembelaan Tarzia. Ahmadpun terdiam, mengambil foto Jojo kembali dari wanita itu. "Maaf ya Mbak." Mereka keluar dari studio itu. Mereka masuk ke lift. "Dia pergi dari kamu dan kamu ingin dia kembali kan?" Tebak Ahmad. "Ayah gak setuju dengan hubungan kami, dia memecat Ayahnya dan membuat keluarga yang miskin kelaparan sampai mereka terpaksa pergi dari desa ke kota ini. Sekarang Ayah sakit keras dan dia mau minta maaf." Tarzia menceritakan yang terjadi pada Ahmad. Pintu lift terbuka, mereka sudah sampai di lantai satu. "Aku akan bantu kamu." Ucap Ahmad. "Makasih, tapi aku gak mau merepotkan siapapun." Kata Tarzia. "Daripada aku menganggur dan bingung cara menghabiskan harta orang tuaku aja." Ahmad menggaruk kepalanya, sedikit merasa malu pada Tarzia. Saat Tarzia tersenyum melihatnya salah tingkah, dia melihat Jojo bersama pacarnya itu berada di lantai dua mall. "Jojo?!" Spontan Tarzia berteriak memanggil namanya. Beberapa pengunjung mall sampai melihat ke arahku. "Jojo, tunggu!" Tarzia berlari menuju eskalator meninggalkan Ahmad sendirian. "Hei, mau kemana?" Ahmad ikut menyusul. Jojo bergandengan tangan dengan begitu mesranya dengan pacarnya, mereka berjalan menaiki eskalator menuju ke lantai 3. Sepertinya Jojo tak bisa mendengar suara Tarzia karena suara musik dari lantai 3. Tarzia terus berlari mengejar mereka sampai-sampai menabrak seorang pelayan restoran yang akan mengantarkan makanan ke pelanggan sampai makanan itu tumpah serta piring dan gelasnya pecah. "Aduh... Hati-hati dong, saya bisa kena marah Boss nih." Pria feminim itu mengomeliku. "Saya minta maaf, saya buru-buru harus mengejar teman saya." Tarzia mencoba menjelaskan situasinya yang rumit sementara itu Jojo sudah pergi bersama pacarnya dan dia kehilangan jejak mereka. "Saya akan ganti semuanya." Untung saja Ahmad datang dan dia segera memberikan sejumlah uang pada pelayan itu. "Ayo pergi." Ahmad menarik lengan Tarzia pergi dari tempat itu. Jojo bergandengan tangan dengan begitu mesranya dengan pacarnya, mereka berjalan menaiki eskalator menuju ke lantai 3. Sepertinya Jojo tak bisa mendengar suara Tarzia karena suara musik dari lantai 3. Tarzia terus berlari mengejar mereka sampai-sampai menabrak seorang pelayan restoran yang akan mengantarkan makanan ke pelanggan sampai makanan itu tumpah serta piring dan gelasnya pecah. "Aduh... Hati-hati dong, saya bisa kena marah Boss nih." Pria feminim itu mengomeliku. "Saya minta maaf, saya buru-buru harus mengejar teman saya." Tarzia mencoba menjelaskan situasinya yang rumit sementara itu Jojo sudah pergi bersama pacarnya dan dia kehilangan jejak mereka. "Saya akan ganti semuanya." Untung saja Ahmad datang dan dia segera memberikan sejumlah uang pada pelayan itu. "Ayo pergi." Ahmad menarik lengan Tarzia pergi dari tempat itu. Mereka duduk di taman kota, Ahmad membawakan es krim cokelat. "Kata penjualnya es krim cokelat ini bisa mencairkan hati cewek yang lagi sedih." Ahmad mencoba menghibur Tarzia. "Emangnya aku anak kecil." Tarzia jadi makin cemberut. Tapi perutnya cukup lapar untuk menolak es krim lezat itu. "Daripada mubazir." Ahmad tertawa melihat kerakusan gadis cantik itu. Setelah menikmati kebersamaan dengan dua potong es krim cokelat di taman. Ahmad mengantarkan Tarzia kembali ke kost'an. Kali ini benar-benar sampai ke depan rumah kost. Meskipun dia menjadi pusat perhatian dengan penampilannya yang elegant aura orang kaya dan wajah tampan, sama sekali tak ada kerisihan darinya melewati g**g sempit itu. "Aku nge-kost di sini, khusus putri. Maaf aku gak bisa ajak kamu masuk." Mereka berbicara di depan rumah kost. Ahmad mengangguk. "Kalau mau aku bisa cari kontrakan lain supaya bisa memperluas pencarian mencari dia." Usulnya kemudian. Sebenarnya Tarzia ingin sekali menerima tawaran itu, tapi lagi-lagi gengsi mengalahkan semuanya. "Gak papa, aku udah bayar kost ini untuk 1 minggu, setelah itu, ketemu atau tidaknya, aku akan pulang kampung lagi." Terlihat raut kekecewaan di wajah Ahmad, mungkin dia ingin bersama Tarzia lebih lama lagi. Tarzia mengira Ahmad sudah tidak percaya pada wanita lagi sejak ditipu mantan pacarnya. Di hari berikutnya, saat Tarzia keluar dari kost'an, dia terkejut melihat Ahmad yang datang dengan sepeda motor. "Ayo kita mulai pencarian hari ini." Ternyata itu semua demi menemaninya mencari Jojo. "Cie... Tukang ojegnya ganteng dan keren banget sih Zia." Goda penghuni kost yang lain. Tarzia jadi salah tingkah di depan mereka. "Aku pergi dulu ya." Tarzia berpamitan pada mereka. "Dah..." Mereka masih terus membicarakannya dan Ahmad. "Mereka cocok juga ya. Zia cantik, dia ganteng." "Mobil kamu mana?" Tanya Tarzia. "Aku tinggal saja di rumah, dia gak bisa masuk g**g dan lorong kecil seperti di Turki dulu." Gumam Ahmad. "Oya, cowok itu siapa namanya?" Tanyanya kemudian. "Joshua." Jawab Tarzia. "Tolong ceritakan tentang dia supaya aku bisa bantu cari dia di tempat yang berhubungan dengan dia." Pinta Ahmad. Usulannya ada benarnya juga, maka Tarzia menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan Jojo. "Dia orang yang sederhana, bersahaja, polos dan apa adanya. Dia humoris, selalu aja bisa bikin aku ketawa." Sejenak Tarzia tersenyum mengenang kebersamaan mereka dulu. "Mungkin sekarang dia lagi ikutan audisi pelawak." Kini justru kalimat Ahmad yang membuatnya tertawa. Sambil mengendarai sepeda motor, Ahmad merasa senang mendengar tawa Tarzia. Tak pernah terbayangkan Jojo yang culun muncul di televisi sebagai pelawak. Pasti Jojo akan menjadi juara ibaratnya Dodhit Mulyanto sekarang. Tapi Jojo bukan seseorang seperti itu. "Oya, dia pandai berpuisi, di sering ngegombalin aku dengan kata-kata manisnya itu." Lanjut Tarzia. "Mungkin sekarang dia udah punya pacar baru." Kali ini kalimat Ahmad tak menyenangkan hati. Ahmad merasa menyesal telah mengatakannya. "Maaf." Ucapnya dengan tulus. Tarzia hanya bisa diam mengingat pemuda yang dilihatnya di mall mirip dengan Jojo sedang berjalan dengan wanita lain. Mungkin apa yang dikatakan Ahmad ada benarnya juga. "Oya, satu lagi, dia senang musik, dia pandai bermain suling, gitar, gendang, keyboard. Dia selalu jadi perwakilan sekolah kami di lomba seni tingkat Kabupaten." Tarzia mencaikan suasana canggung itu dengan melanjutkan cerita Jojo yang belum usai pada Ahmad. "Aku tau dia akan kemana." Dengan bersemangat Ahmadpun mengebut. Tarzia memeluk pinggang Ahmad dengan erat karena ketakutan, sedangkan Ahmad malah merasa senang. Dia membawanya ke sebuah tempat nge-jam anak muda di sana yang memiliki band. "Ini tempat apa?" Tanya Tarzia. "Ini namanya studio musik. Kita mau karoke ada roomnya, mau ngeband juga ada roomnya." Jelas Ahmad. "Kamu sering ke sini ya?" Tebak Tarzia. "Gak sering, tapi aku taulah tempat begini." Jawab Ahmad sambil meletakkan helmnya di spion motor. Mereka masuk ke sana dan menemui penjaga tempat itu. "Mau nge-jam atau karoeke?" Tanya wanita dengan pakaian yang terbuka itu sambil mengisap rokok. "Kami mau nge-jam, tapi kami kurang personel bandnya. Di sini ada yang bisa main alat musik gak?" Tanya Ahmad. "Dulu ada 1 orang yang bisa main semua alat musik. Tapi sekarang dia udah gak kerja di sini lagi, sudah 2 tahun lalu lah." Tutur wanita itu. "Dia orangnya?" Kemudian Ahmad menujukkan foto Jojo pada wanita itu. Wanita itu terkejut, dia membuang puntung rokoknya. "Kamu kenal Joshua?" Tanyanya. "Iya,Tante tau dimana dia sekarang?" Tarzia begitu antusias saat mendengar nama Jojo disebut sampai keceplosan menyebut wanita itu dengan panggilan Tante. Wajar saja wanita itu kesal. "Maafin temen saya ini ya, maklum dia dari kampung." Ahmad harus membujuk wanita itu kembali. "Kami harus bertemu dengan Joshua sekarang. Ini menyangkut hidup seorang Ayah." Kelihatannya rayuan maut Ahmad akan berhasil kali ini. "Susah juga, karena sudah lama. Tapi terakhir yang saya tau, dia itu dapat beasiswa dari Universitas Negeri dan tinggal di dekat kampus." Gumam wanita itu. "Makasih ya." Ahmad meraih tangan wanita itu untuk menyalaminya bahkan mencium tangan wanita itu. "Permisi Tante." Tarzia berpamitan pada wanita ketus itu. "Ternyata selama ini Jojo ada di sekitar aku." Tak sabar rasanya Tarzia ingin tiba di sana. Ahmad kembali mengebut agar kami cepat tiba di sana. Ada beberapa kontrakan dan tempat kost di sana. "Kita harus mulai darimana?" Tanya Ahmad. "Kontrakan, karena Jojo pergi sama keluarganya, dia gak mungkin tinggal di kost-kost'an." Itulah pendapat Tarzia. Ahmad memandangnya dengan penuh kagum. "Ternyata dia gak senaif yang aku duga." Pikirnya saat itu. Lalu mereka menemui pemilik kost yang ternyata orang Batak asli. "Oh... Si Joshua? Sudah lama dia tak mengontrak di sini lagi. 2 tahun lebih. Ada urusan apa kalian sama dia, hutang juga ya? Tak dibayarnya kontrakanku 3 bulan. Untung ada pacarnya yang kaya raya. Dia bayar lalu diajaknya pula si Joshua dan keluarganya pindah ke apartmen." "Pacar?" Tarzia terkejut sekaligus sedih mendengar kata itu. Ahmad memegang pundak Tarzia. Dia merasa iba pada kondisinya saat itu. "Dia ada hutang sama kami, lebih dari hutang uang. Tolong bantu kami." Kembali Ahmad mencoba meluluhkan hati wanita itu. Wanita itu melihat Ahmad dari ujung rambut sampai ujung kaki. Penampilan Ahmad memang selalu stylish bak selebritis membuat wanita itu terpesona. "Ganteng juga anak muda ini, tapi kenapa dia mau sama perempuan sedekil ini." Pikir wanita itu. "Apartmen di sini cuma ada satu tempat, coba kalian cari kesana. Barangkali dia masih disana, sekalian titipkan salam dari Butet ya." Ujar wanita itu. "Makasih Tante." Ahmad memeluk wanita itu sebagai tanda terimakasih. "Oh Tuhan... Mimpi apa aku semalam sampai dipeluk oleh malaikat." Hati wanita itu pasti sangat bahagia. Tarzia hanya bisa menahan tawa saat itu sampai perjalanan kembali melanjutkan perjalanan. Dia cekikikan sendiri dan Ahmad menjadi penasaran. "Kenapa?" "Ternyata kamu punya bakat menaklukkan hati wanita ya?" Jawab Tarzia sambil tertawa terbahak-bahak. "Gak juga... Masih ada 1 gadis yang belum kutaklukkan." Jawaban Ahmad penuh teka-teki. "Itu karena dia seorang gadis, kamu kan specialist wanita senior." Ejek Tarzia.  Lelucon itu membuat Ahmad ikut tertawa. "Dasar anak kecil." Balasnya. "Aku udah 20 tahun, bukan anak kecil lagi." Tarzia balik menimpalinya. "Aku sudah 30 tahun, jadi aku tau kamu masih kayak anak kecil." Kini Tarzia jadi tau umur Ahmad. "Iya Om." Dia kembali mengganggunya. Ahmad menggelengkan kepalanya sambil tertawa. "Anak kecil." Gumamnya. Perjalanan menyenangkan bersama orang yang baru dikenal beberapa hari. Meskipun sebelumnya mereka pernah bertemu untuk beberapa jam di Turki, tapi mereka tak saling mengobrol seakrab ini satu sama lain. Satu-satunya apartmen yang dimaksud adalah apartment 10 lantai yang berada di lokasi cukup strategis. Mereka segera menemui pengelola apartmen dan bertanya tentang Jojo. "Dia dan keluarganya sempat tinggal di sini,di apartmennya keluarga Pak Bahar, pejabat di wilayah sini saat itu. Mereka cuma tinggal di sini 6 bulan lalu pindah. Saya gak tau mereka pergi kemana." Keterangan dari pengelola apartment membuat Tarzia hampir putus asa. Jejak Joshua menghilang begitu saja. "Mas tau dimana alamat Pak Bahar? Kami harus ketemu Joshua secepatnya sebelum terlambat." Kali ini Ahmad akan mencoba meluluhkan hati pengelola apartment tersebut. "Rumahnya di komplek mewah, kebetulan saya punya kartu namanya, Mas bisa hubungin saja langsung." Syukurlah pemuda itu berbaik hati pada mereka. Ahmad mengambil ponselnya dan menghubungi nomor tersebut. Cukup canggih saat itu jika ada orang yang sudah memeliki ponsel pribadi yang dapat dibawa kemana-kemana. Ahmad menekan tombol speaker di ponselnya saat Pak bahar menerima panggilan itu. "Selamat siang Pak, saya Ahmad dari apartment Bapak. Boleh saya minta waktunya sebentar?" "Ada apa? Saya tidak ada urusan dengan apartment itu lagi, semua dikelola oleh Sania, anak saya." Jawab Pak Bahar dengan sombong. "Kami mau membeli apartment itu Pak. Bisa kami biara dengan Mbak Sania?" Ahmad harus berbohong demi memancing pak Bahar. "Urusan jual beli bisa diwakilkan pada anak saya, saya akan suruh Sania menemui kalian dan melihat interior apartmen kami." Ternyata Pak Bahar sangat tertarik jika soal uang. "Baik Pak, terimakasih, kami akan menunggu di apartmen." Kata Ahmad. Tarzia sempat bingung dengan rencana Ahmad. "Kenapa kamu gak nanya tentang Jojo?" "Kamu akan tau nanti setelah Sania datang. Karena Sania pasti gadis yang sudah melunasi hutang sewa kontrakan Joshua." Jawab Ahmad dengan penuh percaya diri. Mereka menunggu di lobi apartmen yang berada di lantai 5. Tarzia berdiri di balkon lalu melihat pemandangan dari atas sana. "Dari sini kita bisa ngelihat pusat kota, pantai dan lapangan tempat biasanya penghuni apartmen di sini olahraga." Ahmad menunjukkan lokasi tersebut satu persatu pada Tarzia. "Kalau di kampungku ada gedung setinggi ini, pemandangannya pasti jauh lebih indah. Aku bisa ngelihat persawahan, orang membajak sawah, menamanam dan memanen padi. Aku bisa lihat padang rumput tempat biasanya orang mebawa sapi, kambing, kerbau dan domba mereka ke sana. Aku bisa ngelihat sungai dan orang yang sedang memancing ikan. Anak-anak yang sedang mandi sambil main sama temen-temennya." Tarzia merindukan desanya. "Mau telpon Ibuk kamu?" Ahmad menyerahkan ponselnya. Tarzia agak ragu untuk merimanya, tetapi Ahmad memaksa. "Aku gak tau cara pakainya." Terpaksa dia jujur pada Ahmad meski begitu merasa malu. Ahmad tak meledek sama sekali. Dia justru sabar mengajari Tarzia tentang fitur lainnya yang ada di ponsel itu. "Aku bisa." Dengan polosnya Tarzia tertawa riang bahkan sedikit melompat kegirangan saat bisa menelpon Ibuk. Ahmad turut senang melihatnya. "Teruslah tersenyum seperti ini Zia." Gumam hati Ahmad. "Buk, ini Zia. Gimana kondisi Ayah?" Tarzia lalu mengobrol bersama Ibuk sedangkan Ahmad memilih pergi agar Tarzia bisa leluasa bicara pada Ibunya. Saat itu Ahmad bertemu dengan Sania, anak Pak Bahar (pemilik apartment) tersebut. "Mas Ahmad?" Tebak Sania. Ahmad mengulurkan tangan dan Sania menyambutnya dengan ramah. "Ayo masuk Mas." Sania hendak membuka pintu apartmen tapi Ahmad mencegahnya. "Kamu lihat cewek lugu yang ada di sana?" Ahmad menunjuk ke arah Tarzia yang sedang bicara lewat telepon seluler dengan begitu polosnya dan tak melihat ke arah mereka. Sania melihat dan merasa heran. "Dia pembantu?" Tanyanya pada Ahmad. "Bukan, dia gadis dari kampung yang sedang butuh pertolongan kamu untuk bertemu dengan Joshua." Tutur Ahmad. Mendengar nama Joshua disebut, perempuan itu nampak tak senang, dia mengepalkan kedua telapak tangannya. "Kalau itu tujuan Mas, Mas salah orang!" Sania bergegas akan pergi dari tempat itu. "Ini menyangkut nyawa seseorang!" Dan Ahmadpun membuat langkah Sania terhenti. "Saya gak tau apa yang telah dia lakukan ke kamu sampai kamu sangat membenci dia, tapi ada seorang Ayah yang nyawanya di ujung tanduk sedang menunggu kedatangan Joshua." Saat itu Tarzia sudah selesai mengobrol dengan Ibuk. Dia langsung menghampiri mereka. "Mbak Sania?" Sapanya saat melihat perempuan yang usianya terpaut 5 tahun lebih tua darinya itu. Ahmad dan Sania saling melihat satu sama lain, seperti ada rahasia yang mereka sembunyikan. "Kamu pasti tau dimana Joshua kan?" Tanya Ahmad. "Kita bicara di dalam." Sania lalu mengajak mereka masuk ke apartmentnya. "Aku kenal dia waktu aku dan temen-temenku sering karoeke di tempat dia kerja. Dulu Joshua begitu polos dan lugu, kami senang mengganggu, tapi dia gak pernah marah. Malah dia menolong aku." Sania mulai bercerita tentang Jojo selama di kota. Malam itu Sania dan teman-teman karoeke di tempat Jojo bekerja dari pukul 19.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB. Teman-teman Sania meminta Joshua membelikan minuman keras untuk mereka malam itu dengan memberikan sejumlah uang yang banyak. "Saya ndak berani Mbak. Ini haram hukumnya." Jojo malah mengembalikan uang tersebut. "Eh Babu, bukan eloe yang minum, tapi kami. Loe tinggal beli, antar kemari, dapat duit. Beres!" Teman Sania menghina Jojo yang hidup miskin. "Uang bukan segalanya untuk saya. Permisi." Jojo segera keluar dari ruangan itu. Sejak itu Sania mulai mengagumi Jojo. Sania mulai mencari tau kehidupan Jojo secara diam-diam. Jojo tinggal di kolong jembatan bersama keluarganya yang setia menunggu Jojo pulang setiap malam membawakan makanan. Mereka hanya makan 1 kali sehari. Lalu Sania menyamar sebagai dermawan baik hati yang sering membagikan makanan pada orang-orang yang tinggal di kolong jembatan. "Makasih ya Kak, Kakak baik banget." Adik-adik Joshua merasa gembira setiap kali Sania datang. Sania bahkan tak lagi bergaul dengan teman-temannya itu. "Gue ngerti kalau loe gak mau temenan lagi sama kami, tapi loe gak berhak larang kami ke tempat itu dong." Temannya sampai protes. "Kalian tau siapa bokap gue kan? Dia pejabat di wilayah sini, jangan sampai karena kekuasaannya kalian justru gak bisa tinggal di sini lagi." Sania mengancam kedua temannya itu. Setelah lama tak terlihat di studio musik, Jojo justru bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Lalu Jojo melihat Sania berada di sisi jalan raya dan mobilnya mogok. "Mobilnya kenapa Mbak?" Jojo menyapanya dengan ramah. Sania malu saat bertatapan dengan Jojo. Dia merasa bersalah atas perlakuannya selama ini. "Gak tau nih, mogok kenapa." Jawab Sania kemudian. "Waduh... Saya juga nggak ngerti mesin Mbak, saya taunya kerbau dan sapi." Jojo menggaruk kepalanya. Saniapun tertawa dengan kepolosan Joshua. Malam itu mereka mengobrol di depan mobil Sania sambil menikmati nasi goreng yang dijual oleh pedagang keliling, menunggu sampai mobil Sania selesai diperbaiki oleh montir. "Makasih ya udah nyariin montir." Ucap Sania. "Sama-sama Mbak, makasih nasi gorengnya." Balas Jojo. "Panggil Sania aja." Ujar Sania. "Oh... Iya Mbak. Eh, Sania maksudnya." Jojopun tersenyum. Sejak itu mereka mulai berteman. "Jangan tinggal di kolong jembatan lagi Joe, carilah tempat yang layak untuk keluarga kamu. Kasihan adik-adik kamu." Tutur Sania. "Iya San, kebetulan aku udah dapat kontrakan yang murah dan dekat dari kampus." Kata Jojo. "Kampus? Maksudnya?" Saniapun penasaran. "Alhamdulillah aku dapat beasiswa San." Gumam Jojo. Sania turut senang mendengarnya, spontan dia memeluk Jojo. "Selamat ya." Ucapnya. Jojo menjadi tersipu malu karena dipeluk oleh Sania. Sania menjemput Jojo dan keluarganya dengan mobil, mereka akan pindah ke kontrakan Butet hari itu. "Kakak ini kan yang sering ngasih makanan untuk kita." Rupanya salah satu adik Jojo mengenali Sania meskipun sedang tidak dalam penyamaran. Jojo lalu memandangi Sania dengan rasa kagum. "Ternyata dia baik juga." Puji hatinya. Setelah tinggal di kontrakan, Sania juga sering membantu keluarga Jojo, membelikan mereka perabotan rumah tangga dan pakaian. "Makasih ya nak Sania." Ucap Ibunda Jojo. "Sama-sama Tante." Sania begitu tulus atas pertolongannya saat itu. Dia juga membelikan Jojo laptop untuk keperluan kuliahnya. "Ini pasti mahal banget, aku gak sanggup ganti." Perlahan gaya bicara Jojo mulai berubah, tak lagi terdengar aksen Jawanya yang khas. "Emangnya aku minta ganti?" Sanipun tersenyum. Perlahan Jojo mendekatkan wajahnya ke arah Sania, jantung Saia berdegup kencang. Dia mengira mereka akan berciuman hari itu, tapi rupanya Joshua hanya mengecup kening Sania sebagai tanda terimakasih. “Makasih.”  Cerita Sania harus membuat telinga Tarzia rasanya panas. Ahmad menggenggang tangan Tarzia dengan erat seakan mengisyaratkan. "Tenang dulu, ini demi Jojo." Atas permintaan hati Ahmad itulah Tarzia bersabar dan kembali mendengarkan cerita Sania. "Aku jatuh cinta padanya." Tetap saja kalimat Sania membuat hatinya cemburu. Singkat cerita Sania dan Jojo semakin akrab saja. Jojo diberi pekerjaan baru yang lebih baik yaitu sebagai supirnya Sania. Lucunya Sania harus lebih dulu mengajarkan Jojo menyetir. Setelah bisa menyetir mobil, Sania juga mengurus SIM untuk Jojo. "Cepat banget San" Jojo takjub melihat SIM itu ada di tangannya. "Rugi dong kalau harus lama-lama sementara anak Pak Baharuddin harus mengantri." Sania masih saja bersikap sombong dan mengandalkan kekuasaan Ayahnya. Jojo tersenyum lepas dan memeluk Sania. "Makasih ya." Ucap Jojo dengan tulus. Diam-diam Saniapun jatuh cinta pada Joshua. Sanialah orang yang telah merubah Joshua yang culun menjadi Joe yang keren. Sania menghadiahi sepeda motor terbaru untuk orang yang dicintainya. "Selamat ulang tahun ya." Ucap Sania. "Makasih." Ucap Jojo. "Happy birthday Joe." Beberapa teman Jojo turut mengucapkan selamat. Hingga suatu hari Sania tak terima melihat keakraban Jojo dan Patricia di kampus. Patricia selalu menemani Jojo dan teman-temannya latihan band. Joe mulai populer di kampus sejak dirinya dan teman-teman satu grup bandnya memenangkan festival musik. "Selamat ya Joe." Patricia memeluk dan mencium pipi kanan dan pipi kiri Jojo di depan semua orang. Sania mulai muak dengan semua itu, dia pergi ke apartment lalu menangis dan berteriak sekeras mungkin dari atas balkon. "Aku cinta sama kamu Joe, kenapa kamu gak sadar juga." Dia menjadi frustasi. "Aku putuskan untuk menjauh dari Joe, aku mau lihat apa dia bisa hidup tanpa aku." Sania berjalan menuju balkon tempat dimana dia pernah sakit hati. Ternyata Jojo tak bisa bertahan tanpa Sania, dia bahkan tak sanggup membayar uang sewa rumah dan hampir saja diusir. Saat itu Sania muncul sebagai pahlawan. "Saya akan bayar hutang dan uang sewa rumahnya." Butet, pemilik kontrakan terheran-heran melihatnya datang membawa mobil pick up. "Siapa kau?" Tanyanya. "Saya pacarnya, ini uangnya." Jawaban Sania membuat Jojo kaget, tapi tidak dengan kedua orang tuanya, mereka malah senang. Butet mengambil uang itu lalu menghitungnya dengan cepat. "Jumlahnya lebih. Aku tak terima uang riba." Butet hendak mengembalikan sejumlah uang tersebut pada Sania, tetapi Sania menolaknya dengan alasan. "Anggap saja tanda terimakasih kami sudah mau memberi tenggang waktu lebih lama." "Ah, kalau rejeki tak boleh ditolak kan." Butet kembali memasukkan uang itu ke dalam dompetnya. "Ayo Om, Tante, adik-adik kita ke apartment aku." Sania mengajak mereka pergi dari tempat itu. Barang-barang dan perlengkapan rumah tangga milik keluarga Jojo dibawa dengan mobil pick up yang telah disewa oleh Sania. Sementara Jojo dan keluarganya diantar dengan mobil Sania. Dan keluarga Jojo begitu takjub melihat gedung bertingkat itu. Mereka ketakutan saat menaiki lift. Sania tersenyum melihat tingkah polos orang tua Jojo. "San, makasih banyak ya, aku gak tau lagi gimana balas semua kebaikan kamu." Ucap Jojo. "Aku jatuh cinta sama kamu Joe." Sania nekad menyatakan cinta lebih dulu. Jojo tercengang, tak memberi jawaban apapun waktu itu. "Barang-barang kita mana Kak?" Tanya adik Jojo yang paling besar. "Semua sudah lengkap di sini, kita gak perlu barang lama lagi." Sania memperlihat isi apartmennya yang lengkap. "Di sini ada 3 kamar tidur dan 2 kamar mandi." "Kamu tinggal di sini juga?" Tanya Ayah Jojo. Sania lalu melirik Jojo. "Itu tergantung Joe kalau dia mau Sania jadi istrinya, Sania akan tinggal di sini sebagai menantu kalian." Jojopun menjadi salah tingkah. "Tentu aja Jojo mau dong." Ayah Jojo menyetujuinya. Tapi tetap saja Jojo tak memberikan jawabannya saat itu. Malam itu Sania bertemu dengan Jojo di lobi apartment. Sania berdiri dibalkon dan mengancam akan melompat jika Jojo tidak menerima cintanya. Security apartmen melihat tayangan itu di komputer ruang pengawas karena terekam CCTV. "Lebih baik aku mati kalau gak bisa sama kamu Joe." "Jangan gila San, kamu bisa mati." Jojopun panik. "Aku memang gila Joe, tergila-gila karena kamu. Aku cinta mati sama kamu!" Sania menaiki pembatas balkon. "Oke, aku terima kamu. Kita jadian." Dengan terpaksa Jojo menerima cinta Sania. Sania tersenyum lepas. "Beneran Joe? Kita pacaran kan?" Sania lalu menghampiri Jojo dan memeluknya dengan erat. "Mungkin sekarang Joe sedang lupa diri karena merasa sudah menjadi selebritis, anak band yang terkenal. Dia sudah punya penghasilan sendiri dan tempat tinggal sendiri, dia sudah gak butuh aku lagi." Sania mengakhiri kisah cintanya yang menyedihkan itu. "Jojo bukan orang yang jahat Mbak, nasib yang sudah memaksanya seperti itu. Saya minta maaf atas segala kesalahannya." Tarzia meraih tangan Sania, memandang kedua bola matanya yang penuh kepedihan. "Tolong kasih tau dimana dia sekarang Mbak." Bujuknya. "Aku gak tau dimana dia dan keluarganya tinggal sekarang. Aku juga udah gak mau tau lagi tentang dia. Tapi kalau kalian mau cari tau, kalian bisa ke kampusnya aja." Itulah jawaban dari Sania. Mendengar cerita Sania tentang Jojo, Tarzia dapat menebak kalau Jojo telah banyak berubah dalam sikap dan penampilan. Tapi bagaimana dengan perasaannya pada Tarzia. Apakah gadis kota bernama Patricia itu telah mampu mencuri hati Jojo sehingga tak ada lagi tersisa tempat untuk Tarzia. Tarzia terlalu banyak berpikir tanpa peduli bagaimana perasaan Ahmad yang sejak tadi setia menemaninya mencari Jojo. "Sudah hampir pukul 2 siang, apa gak sebaiknya kita makan siang dulu?" Usul Ahmad. "Aku mau pulang aja." Tarzia tampak tak bersemangat. Ahmad mengantarkannya kembali ke kost'san. "Kalau kamu mau, kita bisa cari Jojo nanti sore." Dia mencoba menghiburnya. Sayangnya perasaan Tarzia masih galau. "Aku masuk dulu." Rasanya Tarzia ingin menangis sendirian sampai puas di dalam kamar kost. Sebagai seorang pria dewasa, Ahmad dapat memaklumi suasana hatinya saat itu. Dia sama sekali tak kesal apalagi marah pada sikapnya itu. Ahmad pulang ke rumahnya dengan lesu. Dia memelih bermain tinju bersama pelatihnya di rumah. Sekarang Ahmad terlihat bugar dengan tubuh atletisnya itu, ternyata dia telah merubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat. Ahmad dan Tarzia sangat jauh berbeda, dia pribadi yang optimis sedangkan Tarzia begitu pesimis. Tarzia mudah menyerah hanya karena mendengar cerita dari Sania tentang Jojo. Dia mengemasi pakaiannya di kamar kost lalu berpamitan pada Rana dan Sita. "Rana, Sita, makasih banyak ya atas kebaikan kalian selama aku ngekost di sini beberapa hari. Semoga kalian bisa meraih cita-cita kalian di kota ini. Aku mau pamit pulang kampung." Rana terlihat sedih sedangkan Sita sudah langsung menangis. "Semoga kamu juga bisa meraih impian kamu ya." Mereka berpelukan dengan erat. "Semoga kamu dan si ganteng itu bersama selamanya." Ucap Rana. Tak ada yang perlu diklarifikasi tentang kebenaran hubungannya dengan Ahmad, biarlah Rana dan Sita berpikir yang mereka anggap senang. Tarzia berjalan kaki menuju ke halte bis. "Ahmad?" Tiba-tiba dia teringat padanya. "Aku harus pamitan sama dia. Tapi aku gak tau alamat rumahnya." Lalu dia mengambil buku agenda kecil yang ada di dalam tas. Ada nomor telepon Ahmad di sana. Tarzia celingukan mencari wartel (warung telekomunikasi) atau telepon umum yang ada di sekitar halte bis. Lega rasanya melihat telepon umum ada tak jauh dari halte bis. Segera dia melangkahkan ke sana. Tarzia memasukkan beberapa koin ke dalam telepon lalu memutar nomor yang tertera di buku agendanya. Nomor itu terhubung dan Ahmad sendiri yang menerima panggilan dariku. "Halo." "Halo. Ahmad, ini aku, Zia. Si anak kecil." Gara-gara kegirangan, bicaranya jadi terlalu keras dan menjadi pusat perhatian orang-orang. "Mau kemana bawa tas segala." Tanya Ahmad. Tarzia bingung. "Kok kamu tau aku mau pergi?" "Kelihatan tau." Ternyata Ahmad sudah tiba di halte bis. Tarzia menjadi semakin tercengang. "Kok kamu bisa ada di sini?" Dengan gaya yang sombong Ahmad mengibaskan jacket hitam panjangnya lalu memakai kacamata hitam dan topi hitam persis seorang detektiv. "Jangan memulai perang kalau untuk menyerah pad lawan. Jangan kalah sebelum bertanding. Menang atau mati!" Ahmad memegang kedua pundak Tarzia dan memberi semangat. "Masih ada 3 hari lagi kan? Kita harus membawa Jojo pulang apapun caranya!" TarIa merasa terharu atas ketulusan hati Ahmad. Tak ada alasan untuk menolak. Dia menganggukkan kepala tanda setuju. Lalu menuju ke Kampus dimana Jojo kuliah. Terlwbih dahulu mereka pergi ke pusat informasi untuk mencari Jojo. "Kami gak bisa ngasih info pribadi mahasiswa pada orang asing. Kalian siapanya Joshua?" Petugas di ruangan tersebut adalah orang yang bertanggung jawab penuh pada pekerjaanya, pasti tidak akan mudah mendapatkan informasi tentang Jojo darinya. "Kami keluarganya dari kampung. Ayahnya, maksudnya Ayah dia." Ahmad menunjuk ke arah Tarzia. "Ayah dia sedang sakit keras dan ingin bertemu dengan Joshua segera." Terang Ahmad. "Kalian saudara?" Tanya pria berkacamata itu. "Mereka sepupu." Saat Ahmad hendak berbohong, aku putuskan berkata jujur. "Dulu kami sempat pacaran tapi Ayah saya tidak setuju karena status sosial kami berbeda, kesalahan Ayah di masa lalu terhadap Joshua sudah terbalaskan, sekarang hidupnya penuh penyesalan dan ingin minta maaf pada Joshua." Ahmad terkejut melihat aksi nekad Tarzia. "Tolong bantu Ayah saya di saat terakhirnya ini Pak..." Tak sadar air mata Tarzia menetes saat menyatukan kedua telapak tangannya dan memelas pada petugas pusat informasi mahasiswa tersebut. Ahmad merangkul lalu memeluk Tarzia. Sehingga Tarzia dapat merasakan detak jantungnya yang juga begitu gelisah. "Jojo adalah orang paling beruntung bisa dicintai kamu Zia." Bisik hati Ahmad. Kenyataannya justru kejujuran itu mampu meluluhkan hati Bapak petugas. "Biasanya dia ada di ruang seni yang ada di dekat kantor senat. Pergilah ke sana." Mendengar kata-kata itu seakan Tarzia dan Ahmad tak percaya. "Makasih Pak." Ucap Ahmad. "Doakan kami Pak." Tarzia menghapus air matanya. Tanpa menunggu lagi, mereka keluar dari ruangan tersebut menuju ke ruang seni dengan berlari. Ahmad memegang tangan Tarzia dengan erat, menjaganya agar tak terjatuh. Tarzia merasakan ada getaran yang lain di hatinya. "Mungkinkah kini aku jatuh cinta padanya?" Tapi Tarzia sudah sampai di depan ruang seni. Di hadapannya adalah Jojo, dia sedang bicara dengan anggota bandnya, seperti sebuah rapat kecil. "Kita aransemen ulang aja lagunya." Jojo memberi usulan yang kemudian disetujui oleh teman-temannya. Jojo belum menyadari kehadiran Tarzia di sana. Tarzia melihat ke arah Ahmad yang tersenyum lega dan memberi isyarat. "Panggil dia Zia." Tarzia menjadi dilema antara kekasih yang pernah paling dia cintai sejak 3 tahun yang lalu atau teman yang begitu baik dan terus membantunya selama 3 hari yang lalu. Tarzia memejamkan mata dan mencoba memasrahkan semuanya pada Tuhan. "Ya Allah, berilah hamba petunjukMu." Tarzia berharap Jojo akan menyadari kehadirannya bahkan sebelum dia tiba di sana. "Apa kamu tau aku ada di pintu ruangan ini? Aku ada di belakang kamu Jojo." Karena cinta seharusnya begitu, seperti saat Tarzia merasakan kehadirannya bahkan setelah sekian lama mereka tak berjumpa. Hari dimana dia begitu jelas mendengar suara seruling di tengah keramaian lalu lintas jalan raya di Kota, ternyata saat itu Jojo memang di sana, bukan memainkan suling akan tetapi menjemput Patricia yang baru selesai membeli buku di sebuah toko yang ada di sudut jalan. "Ketemu novelnya?" Tanya Jojo. Patricia terlihat girang. "Ada!" Dia menunjukkan novel di tangannya. Ahmad bingung melihat Tarzia terpaku di sana dengan memejamkan mata dan tak bicara apapun. Dia lalu kembali dan berdiri tepat di hadapan Tarzia untuk memeriksa apakah gadis itu baik-baik saja. Tubuh Ahmad yang tinggi membuat Tarzia terhalang dari pandangan Jojo. Jojo hanya dapat melihat seorang pria yang seolah bicara pada seseorang. "Aku pikir tadi itu..." Jojopun melanjutkan pembicaraannya dengan teman-teman. Saat Tarzia membuka mata yang dilihat adalah Ahmad. "Kamu gak papa?" Tanya Ahmad. Tarzia menatap kedua bola mata Ahmad dan dia yakin pada hatinya kalau Ahmad adalah orang yang tepat untuknya. "Aku gak baik-baik aja, aku baru sadar 1 hal kalau aku memang anak kecil, aku bodoh dan gak sadar kalau selama ini aku hanya mengejar angin." Kini Ahmad semakin bingung dengan kalimat puitis itu. "Maksudnya?" Dia mengernyitkan alis. "Aku jatuh cinta." Tutur Tarzia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN