1
Cindy' Pov
"Cindy?"
"Iya mas?" Aku menjawabnya sambil menggeol-geolkan pinggul, telapak tangan kiriku memegang jerami, telapak tangan kananku maju mundur mengendalikan sebilah besi, mengais sisa padi yang masih menempel di jerami yang di lemparkan oleh mas-mas, yang sedang memanen padi itu.
Diriku memang suka di goda oleh mereka. Aku pun merasa sangat senang.
"Hebat banget sih, goyangannya kamu? Mau dong, di goyangin?" Ucapnya kembali sambil memukul jerami itu di kayu.
"Boleh mas. Nanti malam ya? Kita ketemuan?" Ucapku tetap menggoyangkan pinggul sambil mengais sisa padi ini.
"Hahaha, enggak koq. Saya hanya bercanda saja. Seru ada kamu. Sangat menghibur." Ucapnya.
Begitu pun dengan para ibu-ibu yang sedang mengais padi sepertiku. Mereka semua tersenyum melihat diriku yang sedang mengais sisa padi ini sambil bergoyang-goyang.
Saat ini usiaku 17 tahun.
Nama panggilan cantikku Cindy, sesuai dengan mereka-mereka memanggilku barusan. Sementara jika sedang berada di dalam rumah, aku suka di panggil Candra oleh ayahku.
Siapa sih yang tidak tahu aku?
Semua orang pun tahu, khususnya orang-orang yang ada di kampung halamanku ini tahu, kalau aku ini seorang yang memiliki hati lembut, fisik mulus, cantik, langsing dan seksi.
Diriku sendiri merasa, kalau diriku ini adalah seorang wanita yang seutuhnya.
Meskipun aku terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Bahkan aku hanya di besarkan oleh seorang Bapak saja, namun aku sangat suka merawat tubuhku ini, dari hasil jerih payahku sendiri. Yaitu dengan cara mengais sisa padi ini.
Dari segi fisikku ini, sudahlah terlihat lumayan sempurna. Hanya rambut dan buah dadaku saja, yang masih belum diurus. Aku masihlah merasa takut dengan Bapakku. Jadi, untuk sementara ini rambutku masih terlihat pendek dan terlihat ikal. Kedua buah dadaku masih terlihat mengempes.
Namun berbeda ceritanya, ketika hari berada di malam hari. Hampir di setiap malam, aku suka menginap di salah satu temanku yang bernama Aryani. Dia adalah teman sekaligus senior yang sama sepertiku. Wajahnya Aryani sangat cantik, bodynya mulus, langsing dan seksi. Baik buah d**a maupun rambutnya, sudahlah terurus.
Setiap kali aku di salonnya Aryani itu, aku suka berdandan cantik. Aku di dandani oleh Aryani sangat cantik, memakai wig, dan juga memakai BH, dengan dress cantik dan sepatu wedges yang di berikan olehnya kepadaku.
Hasil polesan Aryani, sangatlah memuaskan. Dapat merubah wajah mulusku ini, menjadi benar-benar sangat mulus dan cantik, membuat diriku sendiri menjadi panggling di buatnya.
Sebenarnya, ayahku pun mengetahuinya, kalau anaknya ini, memiliki hati dan sifat yang benar-benar sangat lembut. Namun Ayahku belum bisa untuk menerimanya. Terpaksa, aku harus secara diam-diam berdandan cantik darinya.
Selain mengais sisa padi di sawah, aku juga memiliki pekerjaan sehari-hari yang lain.
Keseharianku jika sedang berada di rumah, yaitu mencuci pakaian ayahku, memasak makanan, mencuci piring, menyapu, mengepel dan juga membersihkan halaman rumah sederhanaku.
Semua pekerjaan rumah, aku yang mengerjakannya. Dapat di katakan, aku ini adalah satu-satunya orang, yang di jadikan sebagai orang yang menjadi andalan ayahku di rumah. Dan dapat di katakan juga, aku ini adalah orang yang akan menjadi tulang punggung keluargaku ini. Tentunya, aku pun sangat ikhlas dan sangat senang melakukan semua itu.
Sementara adikku, masihlah sekolah di kelas satu SMP. Pekerjaan adikku, hanyalah belajar tekun, bermain, makan, tidur dan meminta uang saja.
Aku pun berfikir, kalau bukan aku yang melakukan pekerjaan rumah itu, lalu siapa?
Selepas dari perceraian Bapak dengan ibuku, Bapakku tidaklah menikah kembali.
Mereka berdua bercerai, ketika diriku menduduki bangku di sekolah dasar.
Setelah bercerai tersebut, Ibuku menikah kembali bersama dengan pria pilihannya. Ibuku menikah bersama dengan pria tampan dan kaya raya. Ibuku pun akhirnya ikut bersama dengan suami barunya, dan tinggal di rumah suami barunya.
__
Sekitar jam enam sore, aku sudahlah wangi. Dengan segera aku melangkah keluar dari kamar.
"Mau kemana mas?" Tanya adikku yang melihatku ingin membuka pintu rumah ini.
Aku tidak jadi membuka pintu rumah. Aku melangkah mendekati adikku yang sedang duduk diatas kursi, menonton televisi.
"Mas-mas? Panggil mba saja? Jangan mas?" Aku berkata dengan nada berbisik sambil menungging, menempelkan jari telunjukku ke wajahnya adikku.
Adikku langsung menjauhkan wajahnya ke belakang, menjauhi jari telunjukku yang sedang menunjuknya.
"Tapi kan, kata Bapak, kayak gitu. Aku di suruh manggil kamu, dengan panggilan mas?" Ucap adikku.
Aku bangkit berdiri. Aku mengibas rambut pendekku ini ke belakang dengan telapak tangan kanan. Meskipun pendek, aku merasanya rambutku ini panjang, seolah sedang memakai wig.
"Kamu hanya boleh memanggilku mas? Kalau sedang ada Bapak saja? Kalau sedang tidak ada, panggil saja mba? Kalau tidak, nanti mba nggak bakalan kasih kamu uang lagi!" Ancamku kepada adikku dengan nada berbisik dan menunjuk wajahnya.
Adikku pun menjauhkan wajahnya dari jari telunjukku.
"Mau kamu? Tidak punya uang jajan lagi dari mba?" Ancamku kembali.
"Tidak mau lah. Memangnya kamu tega, kepada adikmu ini?" Ucap adikku. Air matanya langsung menetes jatuh ke pipi.
"Makanya? Panggil mba saja? Kalau sedang ada Bapak, baru kamu memanggilku mas?" Ucapku.
"Baik mba." Ucap adikku sambil mengusap air matanya.
Telapak tangan kananku merogoh ke saku belakang celana pendekku ini. Aku mengambil uang.
"Nih, hadiah buat kamu? Jangan nagis lagi, ok? Dan inget, apa kata-kata dari mba?" Ucapku sambil menodongkan uang lima ribu di depan wajahnya adikku.
Telapak tangan kanannya adikku langsung bergerak, ingin mengambil uang ini dari tanganku.
"Ssst?" Desisku sembari memutarkan uang. Aku tidak langsung memberikan uang ini kepadanya.
"Inget tidak, dengan perkataan mba yang tadi?" Ucapku.
"Inget koq mba. Dan akan selalu aku inget." Ucap adikku.
"Ya sudah. Nih, kamu simpen?" Telapak tangan kananku mendaratkan uang di telapak tangan kanan adikku.
"Terima kasih mba." Ucap adikku sembari memasukkan uang itu ke saku celananya.
"Oh iya mba?" Ucap adikku.
"Apa lagi?" Ucapku.
"Mba, mau pergi kemana?" Ucap adikku.
"Mba mau pergi ke tempatnya mba Aryani. Kalau nanti Bapak pulang, dan bertanya mba? Bilang saja, mba ada di dalam kamar?" Ucapku.
"Tapi mba?" Ucap adikku.
"Tapi apa lagi sih?" Ucapku.
"Kalau nanti Bapak membuka pintu kamarnya mba, bagaimana?" Tanya adikku.
"Sudah, kamu katakan saja, apa yang barusan katakan mba, kepada kamu? Masalah pintu kamar, kamu tidak usah ambil pusing." Ucapku.
"Baik mba."Ucap adikku.
"Ya sudah, mba pergi." Ucapku.
"Iya mba. Hati-hati." So ramahnya adikku ini, karena sudah menerima uang dariku.
"Iya. Kamu juga hati-hati. Jaga rumah?" Ucapku.
"Iya mba." Ucap adikku.
Aku melangkah santai. Aku membuka pintu rumah lalu menutupnya kembali.
Aku membuka jendela kamarku. Aku melangkah masuk ke dalam kamar melalui jendela. Aku mengunci pintu kamar. Aku melangkah keluar dari rumah melalui jendela kamar.
Aku melangkah menuju ke Salon miliknya Aryani.