Aku Berharga

1450 Kata
“Hansika, tunggu... Bisa kita bicara sebentar saja?” Langkah Hansika yang sudah hendak naik mobil berhenti, lalu dia berbalik dan tertegun dengan jemari yang mengerat pada tas ditangannya. Tatapan matanya tertuju pada perempuan yang menghentikan. Sontak Satya juga ikut menatapnya. Nayla ternyata mengejarnya hingga ke parkiran mobil, Hansika pikir Nayla sudah kembali ke rumah sakit bersama Nando. “Ada hal penting?” tanya Hansika balik yang tidak langsung menyetujui. Nayla memberi anggukan, perempuan cantik berambut panjang itu terlihat sebaik yang selama ini Hansika kenal. Tidak ada yang mencurigakan, pakaiannya juga terbilang lebih banyak kasual sama sepertinya terutama sedang bekerja sebagai dokter. Berbeda dengan Hansika yang setahun lalu menyelesaikan pendidikan dokter spesialisnya, Nayla masih melanjutkan. Jadi di sana statusnya masih dokter umum. Dari yang tampak sekarang, Nayla jelas tak terlihat seperti perempuan binal yang suka menggoda kekasih sahabatnya. “Iya, ada... Sebentar saja.” Hansika belum mengiyakan, Nayla sudah lebih dulu menarik Hansika. Satya tetap berdiri di sana memberi privasi, namun sambil mengamati. Hansika bersedekap di hadapan Nayla, angin menghembus tetapi rasanya membawa angin panas, mengenai wajahnya. “Aku ingin kejelasan dari kalimatmu tadi, kenapa pas debat sama Nando, kamu sebut namaku juga? Kamu terdengar seperti enggak senang sama keberadaanku ikut makan siang hari ini.” Jadi ini alasan Nayla mengejarnya? Pikir Hansika. “Enggak ada yang perlu kuluruskan dari kalimatku tadi, karena memang enggak ada maksud ke sana. Aku menyebut namamu karena Nando menyinggung jika ia hanya mau makan berdua, nyatanya kita tidak berdua sekali pun tidak ada Satya di sana.” Nayla tampak memandangi, ragu. Hansika memberi ekspresi tenang walau tidak ada yang tahu ia sedang menahan sesuatu yang terlalu sakit, muncul kembali didadanya. “Sungguh? Syukurlah jika memang bukan karena cemburu atau berpikir yang enggak-enggak mengenai aku dan Nando.” “Memang apa yang mungkin terjadi, antara kamu dan Nando?” Nayla terdiam, kaku lalu terkekeh... Dia bergerak menyentuh lengan Hansika, “ayolah, ya enggak ada selain teman!” Hansika memilih diam. “Aku yang paling gencar dan dukung kalian bersama, lagian Nando bukan tipeku dan Nando juga cintanya sama kamu. Sudah ya, jangan pernah cemburu apalagi berpikir buruk mengenai kami. Lain kali, kalau memang kamu dan Nando mau berduaan hanya perlu bilang... aku enggak setiap kalian pergi, ikut dan tadi kupikir enggak apa-apa seperti biasanya.” Alasan lain Hansika masih coba menyangkal sesuatu yang terasa jelas di ingatannya, karena memang Nayla dan ia sangat dekat sejak mereka sekolah menengah atas, dan Nayla juga yang gencar mendukung serta mendekatkan Nayla dengan Nando. Dia selama ini suka ikut pergi, dan Hansika biasa saja... tidak menemukan keanehan, malah rasanya makin menyenangkan jika pergi dengan Nayla dan teman-teman dekat lainnya juga. Kebetulan ia dan Nando satu lingkup pertemanan sejak sekolah hingga sekarang. Hansika menatap Nayla lagi, kemudian ia melanjutkan, “ya sudah... cuman itu saja sih, aku enggak tenang kalau belum dengar dari kamu.” Hansika hanya memberi anggukan kecil, tapi saat ia akan melangkah Nayla kembali mencekal lengannya dan berkata... “Hansika, aku bukan mau ikut campur... tapi yang Nando katakan benar, wajar jika dia masih kesal pada keberadaan bodyguard pribadimu.” Satu kalimat lain yang menarik atensi Hansika padanya. Dengan tatapan terlihat yakin, Nayla melanjutkan... “Kalian sudah bertunangan, tanggal pernikahan sudah dibicarakan dan ditetapkan, Nando calon suamimu. Masa Papimu masih belum bisa percaya juga? Nando sudah menahan banget sama rules keluargamu. Tapi, sampai kapan? Enggak nyaman kali, dia tiap jalan dan bersama kamu, tapi ada Satya yang terus menatap kalian dari dekat. Sama sekali enggak ada privasi.” “Nando yang minta kamu untuk bicara ini juga padaku?” tembak Hansika. Nayla mengerjap pelan, kemudian cepat memberi gerakan kepala, “enggak ada, dia bahkan enggak tahu aku menyusul kamu dulu.” Hansika pilih tidak menanggapi yang Nayla sampaikan. Sebelumnya ia juga berpikir tidak pernah nyaman, dan diberi ruang privasi dengan keberadaan Satya selalu dekatnya. Selain ia tahu bicara dan negosiasi dengan Papi hanya akan berakhir percuma, Hansika merasa jika keinginannya sendiri untuk tetap terjaga dalam pengawasan Satya sampai ia menemukan rasa nyaman dan aman dengan Nando lagi. Hansika dan Nayla berpisah, Nayla masih ada pekerjaan jadi harus kembali ke rumah sakit. Awalnya langkah Hansika sudah ingin kembali ke Satya, tapi saat menemukan Satya tampak bicara dengan seseorang yang mungkin menanyakan sesuatu dan sedang tidak menatap ke arahnya, Hansika berbalik. Bukan untuk lari darinya, tapi keinginan kuat lain pergi ke sana—mengikuti Nayla, yang ada beberapa langkah darinya. Hansika perlahan, seperti menguntit dan yang ia pikir Nayla akan pulang sendiri, Nando sudah duluan kembari... nyatanya tidak. “Nando menungguinya?” gumam Hansika, ia merapat pada tiang untuk bersembunyi. Matanya menatap lurus pada Nayla yang masuk ke mobil kekasihnya. Menempati tempat yang tadi diduduki Hansika. Kursi sebelahnya. Hansika mengepalkan tangan, menatap kepergian mobil itu... tiba-tiba belakang kepalanya sakit dan kilas nyata yang terlalu sulit hanya untuk dinamai bayangan atau mimpi muncul. Bayangan bagaimana tubuh keduanya yang telanjang saling menyatu begitu intim, posisi Nayla mengambil kendali, bergerak di atas tubuh Nando yang tengah mengerang nikmat... saling mendesahkan nama dan bahkan membandingkan Hansika... "Bahkan Hansika tidak akan bisa menyenangkanmu sepertiku, kan?" Suara Nayla dengan nada manja, merasa dia lebih baik dari dirinya terdengar mendengung ditelinganya. Hansika mulai mendapatkan dampak dari sesak yang memenuhi dadanya, tubuhnya kembali gemetar hingga kakinya lemas. Lalu terdengar kembali suara pria itu, yang menyayat hatinya. Nando terkekeh, "tentu sayang. Jangan membahasnya, dia terlalu penurut dengan papinya itu. Ditambah, sial aku benci bodyguard-nya yang selalu bersamanya itu! Dia membuatku tidak bebas!" Bahkan dalam posisi paling menjijikkan, dengan menyebut namanya... artinya mereka sadar yang dilakukan. Pengkhianatan yang disengaja adalah keburukan paling jahat. Hansika bersandar di sana, memejamkan mata. Tubuhnya makin gemetar hingga tas di genggamannya jatuh dan tangan Hansika menyentuh belakang kepalanya yang seperti ada trauma sakit walau ia sudah pastikan tidak ada luka baik di luar maupun dalam. Hansika berjongkok, tubuhnya gemetar dan tiba-tiba dia menggeleng pelan. Menutupi telinganya, “enggak-enggak, mereka mengkhianatiku...” gumamnya Tanpa peduli beberapa orang mulai menatapnya, lalu mendekat. Ikut berjongkok untuk menarik kesadarannya walau Hansika seperti terperangkap. Lalu suara langkah terdengar mendekat, “permisi, saya bersamanya.” Orang yang semula khawatir mundur, dan digantikan dengan seseorang yang berhenti terlalu dekat dengannya. Hansika membuka mata, dan menemukan sepasang sepatu yang buatnya mendongak. Satya segera menunduk, “Nona, apa yang terjadi?” tanyanya yang tadi segera mencari, sampai berlari menyusul Hansika yang tiba-tiba menghilang dari pandangannya. Padahal hanya hitungan detik ia berpaling. Satya menemukan beberapa orang seperti memerhatikan satu titik, meski tidak yakin... dia mendapati Hansika di sana seperti orang ketakutan, linglung dan gemetar seluruh tubuh. Satya belum pernah melihat Nona-nya seperti itu. “Saya-saya...” suaranya benar-benar tergagap, seperti ketakutan. Hansika tidak mengenali dirinya sendiri yang seperti ini. “Kita kembali ke mobil.” Kata Satya, kemudian ia mengambil tas Hansika. Dan kembali berjongkok, memberi punggungnya. “Saya bisa jalan, enggak perlu punggung kamu" tolaknya. “Naik saja,” pinta Satya. Hansika menghela napas dalam, ia bergerak menempatkan diri dipunggung Satya. Tangan pria itu juga memegangi tas Hansika yang terjatuh dekat kaki wanita itu. Tanpa diminta Hansika mengeratkan pegangan, membiarkan tubuhnya yang memang seperti terkuras energinya, dibawa Satya. Rasa aman kembali memadamkan ketakutannya yang muncul barusan. Satya baru menurunkan setelah dekat mobil, memintanya naik. Hansika terdiam, menunduk. Lalu Satya mengambilkan air mineral, membukakan tutupnya... “Minum dulu, Nona.” Hansika sesaat tertegun, kemudian menatap wajah datar yang kini ada kekhawatiran padanya. Hansika menarik napas dalam, menerimanya dan segera minum. “Kita ke rumah sakit—“ “I’m fine, Satya... tadi sepertinya karena cuaca sedang panas, saya agak pusing.” Ia segera memberitahu, mencegah Satya membuat kehebohan bila ia kembali ke rumah sakit dan diperiksa. Mami akan tahu, lalu Papi dan seluruh keluarga. Satya terdiam, Hansika memberi tatapan serius karena tahu pengawalnya tak langsung percaya terhadap ucapannya... “Saya tahu kapan tubuh saya dalam keadaan kurang sehat atau masih baik-baik saja.” Bahkan sebenarnya, aku sendiri tidak memahami yang terjadi pada diriku. Bukan hanya dampak pada tubuhku seperti tadi. Lanjutnya dalam hati. Satya mengangguk singkat, Hansika pilih menatap ke luar jendela. Satya mengambil ponsel, tampak sibuk sebentar barulah ia mengemudikan mobil menuju rumah orang tua Hansika. Seperti biasa jika hanya antara ia dan Satya lebih ada suasana yang terlalu hening kecuali Hansika sedang mengomel, bicara sarkasme untuk buat Satya tahu betapa menyebalkan menghadapi pria super patuh pada Papi ini. Begitu mereka tiba di rumah, Satya langsung turun dam membukakan pintu. Hansika menolak dipegangi, "saya udah enggak apa-apa, dan kalau kamu pegangi apalagi gendong seperti tadi, hanya akan buat mereka berpikir saya sakit atau kenapa-kenapa." Satya akhirnya hanya memegangi tas dan jas dokter milik Hansika, mengikuti berjalan di belakangnya sampai Hansika tiba-tiba berhenti. "Jangan lapor Papi juga!" Ucap Hansika, kemudian dia menyipit curiga. Meski Satya diam, ia yakin Satya sudah lebih dulu melapor Papi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN