Dua

1801 Kata
“Aku mengerti, maafkan ayahmu ini Putriku, aku hanya berharap putra mahkota tidak menganggap mu penyihir,” ayah menarik nafasnya dengan berat.                 Kakak kedua ku Casius mendekatiku dan berkata “Kau berbeda, tapi perbedaan itu bahkan tampak cocok dengan di dirimu,” senyumnya selalu menenangkan ku. Casius kakakku paling tampan diantara yang lainnya, yang paling lembut dan penyanyang. Aku membalas senyumnya.                 “Kenapa Kau tidak mau diasingkan?” cibir Nash. Dia kakak ketigaku                 “Nash! Kau keterlaluan!” balas Nero saudara kembarnya, yah otomatis dia kakak ke empatku. “Lista.. aku mendukungmu. Kau tidak boleh disembunyikan lagi, ini saatnya Athanoxia melihat dirimu,” lanjutnya lalu membelai lembut kepalaku.                 Aku tersenyum tulus. Nash dan Nero dua tahun diatas ku, mereka kembar identik. Rambut coklat, tinggi 177 cm. Yang membedakan mereka berdua adalah suara, Nash punya suara berat dan agak serak. Dia yang paling suka menjahiliku ku, dia yang paling aku benci dari keempat kakakku. Yah kebencian sebagai saudara bukan benar -benar benci yang seperti itu.                 Nero memiliki suara lembut bagai malaikat, dan dia kidal. Namun dari semua anggota keluarga dia yang memiliki tulisan tangan paling bagus. Dia sangat lembut. Nero paling dekat denganku, malah mereka berkata aku lebih cocock jadi saudara kembarnya dibandingkan Nash.                 Casius, aku selalu menggapnya adalah malaikat pelindungku. Dia selalu membelaku, banyak mengajariku berbagai hal. Dia paling pendek diantara yang lain tingginya hanya 170 cm, tapi wajahnya yang sangat tampan dan badannya yang agak sedikit kurus disbanding yang lainnya membuatnya tampak begitu sempurna.                 Grant dan Casius sudah menikah, Grant menikah dengan anak pertama putri mentri pertahanan, Lusy. Dan Casius menikah dengan anak selir Raja, Elliza dan dia sedang mengandung. Lusy orang yang lembut, rasanya tepat bila Grant memilikinya. Mereka saling melengkapi. Dan Elliza pandai memasak, aku selalu menemaninya memasak sambil belajar banyak hal tentang masakan darinya.                 Kami memiliki pelayan, tapi urusan masakan selalu dipimpin oleh Elliza, dia tau makanan yang terbaik untuk kami sekeluarga. Aku senang Casius memilih Elliza sebagai istrinya. Tadinya tentu aku sangat cemburu, kakakku yang paling tampan akan menikah, tapi sekarang aku tidak menyesal. Aku malah sangat menyayaginya.                Lusy lebih seperti ibuku sendiri, dia lembut namun agak sedikit cerewet, apalagi bila aku sudah mulai bertingkah seperti anak laki-laki. Tapi aku tahu dia juga menyayangiku.                 Ayah tidak menikah lagi setelah ibu pergi.                 Aku  mengerti, mungkin tidak ada orang lain yang bisa menggantikan ibu di hatinya. Aku yakin itu, dan aku juga akan mencari pria seperti ayah, mencintai ku seumur hidup. Dan dimana aku bisa menemukan pria seperti itu, sedangkan hidupku terasing seperti ini.                 “Apa yang Kau fikirkan Orang Aneh?” Nash membuyarkan lamunanku, aku cemberut sebagai tanda dia mengusikku.                 “Aku bukan orang aneh Nash!!!” teriakku, dia cekikikan, aku lari mencoba memukulnya tapi dia melarikan diri dan kabur. Aku benar-benar membenci Nash.                 Malam harinya aku mengendap-ngendap keluar kamarku untuk bertemu Aiden lagi, dia berjanji akan mengajariku menggunakan pedang. Aku sungguh tidak sabar menantikan itu dari pagi hari tadi. Melewati para penjaga saat jam pergantian mereka, lalu aku menyelinap lewat taman belakang, ada tembok besar yang tertutup tumbuhan merayap tebal desana. Dan aku menemukan pintu kayu yang sudah sangat tua dan tidak terpakai. Dari situ aku bisa keluar dari rumahku. Rumah besar di bagian selatan kerajaan Atanoxia. Tidak bayak orang yang datang kesini karena rumah kami jauh dari kota dan dekat dengan hutan terlarang.                 Hutan terlarang benar-benar berada percis di belakang rumahku. Hutan ini disebut sebagai hutan terlarang karena banyak sekali hal menakutkan di dalamnya. Rumor mengatakan hutan ini dikutuk dan  banyak sekali orang yang hilang disana. Tapi toh tidak pernah terjadi kepadaku.                 “Aiden,” panggilku saat menemukannya. Dia sedang duduk diatas pohon tua yang sangat besar. Lalu melompat dengan anggunnya dan mendarat dengan sangat mulus dan ringan. Seperti daun-daun yang jatuh dari pohon. Padahal tinggi cabang pohon yang didudukinya tadi kurang lebih enam meter.                 Dia tersenyum lalu mengelus kepalaku sebentar.                 “Kau sudah berjanji,” kataku kemudian sambil menatapnya masih terkagum-kagum dengan ketampanannya. Bola matanya yang berwarna ungu, Khas warna peri. Dia bilang warna ungu matanya berasal dari angrek liar di hutan sana. Karna dia terlahir dari angrek itu maka matanya berwarna ungu. Warna mata para peri berasal dari bunga lahirnya.                 “Aku tahu.”                 “Lalu ajari aku bertarung.”                 “Tidak… aku tidak akan mengajarimu bertarung,” katanya dengan wajah serius “..aku akan mengajarimu menari,” lanjutnya lalu mengambil ranting kering dari tanah dan memberikannya padaku.                 “Aku tidak suka menari.”                 “Tarian hutan,” dia tersenyum penuh arti.                 Tarian hutan adalah ilmu pedang para peri hutan. Mereka tidak suka kekerasan, maka dari sebuah kelembutan dan ketulusan diciptakan tarian hutan, ilmu pedang yang sangat lembut dan anggun seperti menari.                 Minggu – minggu awal Aiden mengajariku melangkah selembut angin dan melompat seringan kapas. Mencoba mengeluarkan inti dari kelembutan dan kasih sayang. Merasakan angin berhembus menyapa wajah seiring dengan gerakan tangan memengang pedang.                 “Lembut, dan jangan terlalu keras menggengam pedang. Rasakan dia seperti anggota tubuhmu. Menyatulah dengannya maka Kau akan lebih mudah menggunakannya,” kata Aiden saat mengajariku tarian hutan                 Aku sudah semakin lancar, tapi aku tidak pernah bisa menandinginya.                 Aku tidur dipangkuannya saat kelelahan seperti ini. Dan dia selalu membelaiku lembut sambil bergumam nyanyian lembut yang selalu aku dengar dari mulutnya, perasaan ku damai bila didekatnya. Aku tidak mau jauh darinya. Aiden ku.                 “Ini sudah hampir pagi, apa Kau tidak mau pulang?” tanya Aiden tembut di telingaku.                 “Aku akan pulang sebentar lagi, kau sangat nyaman Aden,” kataku sambil memeluk pinggangnya. Dia mengusap kepalaku lembut.                 “Aku tidak mau mereka khawatir sayang” Aku bangkit berdiri dan tersenyum “Baiklah, sampai jumpa besok” Aku merasakan tubuhku yang mulai mengurus. Mungkin karena kelelahan terus berlatih tarian hutan itu. Tapi aku sangat menikmatinya. Apalagi saat Aiden menunjukan langkah demi langkah, dia sangat mempesona.                 Pagi hari pun tiba dan aku mendapati diriku yang sangat mengantuk. Badanku terasa lemas. Tapi aku tetap mencoba bangkit dari tempat tidur yang nyaman. Di rumahku yang mirip kastil kecil di atas gunung ini, semua anggota keluarga wajib berkumpul saat sarapan dan makan malam.                 Katanya untuk mempererat kekeluargaan.                 “Pagi pemalas,” Nash memukul pelan kepalaku, aku hanya mencibir, malas meladeninya. Dan sepertinya dia tidak senang bila aku tidak teriak-teriak dan balas menjahilinya. “Kau seperti campuran hobit dan goblin bersamaan, kurus dan pendek,” ejeknya. “Aku sedang malas meladenimu Nash,” kataku tenang. Dan sepertinya ini berhasil menutup mulutnya.                 Setelah membersikan diri aku langsung ke ruang makan yang sudah lengkap kecuali aku tentu saja. “Kau terlambat,” ayah menatapku. “Maaf,” kataku sambil tersenyum untuk meluluhkan hati ayahku. Kemudian dia kembali menatap makanannya. “Aku dengar Putra mahkota sudah mulai mengunjungi beberapa keluarga,” Elliza membuka percakapan kami di meja makan. Aku langsung melihat ke anggota keluarga yang lainnya, dan menyadari Grant, Casius dan ayah menegang. “Siapa?” tanyaku penasaran. “Keluarga Zion, Markus dan Excala,” jawab Elliza. “Yang aku dengar Putra Mahkota hanya mengunjungi keluarga yang memiliki putri antara umur delapan belas dan Sembilan belas tahun” “Berapa umurnya?” tanyaku lagi “Dua puluh dua tahun,” jawab Elliza datar. Casius menatapku, karena aku hanya mengaduk-ngaduk sup kentangku tanpa memakannya sesendokpun “Kau harus memakannya bukan hanya melihatnya,” tegur Casius. “Ia, kau tampak semakin kurus Lista,” ayah memandangku dengan tatapan sedihnya lagi. Tanpa berkata apapun aku akhirnya memakan makananku. Dan obrolan selanjutnya hanya berputar-putar sekitar, apakah Putra mahkota akan memilih salah satu dari tiga keluarga yang sudah didatanginya? Ataukah dia masih mengunjungi keluarga yang lainnya untuk mencari calon ratunya. Dan yang baru aku sadari adalah nama Putra Mahkota itu, Alexander Athanoxia. Dari kecil dia sudah menyandang gelar Putra Mahkota, dia pandai dan rasa penasarannya tergolong sangat besar, di usia tiga tahun dia sudah bisa membaca dan belajar pedang, memanah dan lain sebagainya. Di akademi kerajaan dia selalu mendapat nilai tertinggi, tidak ada yang bisa menandinginya, termasuk kakaknya. Aku langsung berfikir, ternyata dia bukan anak tunggal, ataupun putra pertama raja Xion. Tapi kenapa dia yang dipilih menjadi putra mahkota, ini agak sedikit membinggungkan untuk ku.                 “Apakah dia tahu Ayah mempunyai seorang putri beusia delapan belas tahun?” tanyaku.                 “Tentu saja dia tahu Bodoh, dia kan bisa melihat data kelahiran,” Nash menjawab pertanyaanku dengan santai.                 “Jadi Ayah mendaftarkan kelahiranku? Aku kira aku benar-benar hidup terasing” aku benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ini. Dimana selama ini aku disembunyikan, tapi aku tercatat sebagai anak ayah di catatan kerajaan.                 “Bukan ayah tapi Raja Xion,” seketika itu juga tatapan terkejut menghujani Grant “Bahkan dia yang memberimu nama itu,” katanya. Saat dia akan meneruskan kata-katanya dia terdiam ketika merasa ditatap oleh seluruh anggota keluarga dengan tatapan tutup-mulutmu itu!                 “Apa hubungan ku dengan Raja Xion, kenapa aku bisa didaftarkan olehnya, bukan.. bukan itu, kenapa dia bisa mengenal aku?”                 “Kita tidak membahas ini sekarang Lista, nanti pada saatnya aku akan menjelaskannya kepadamu,” Ayahku berkata dengan suara yang berat.                 “Tapi..”                 “Lista.. tidak sekarang!!” bentak ayahku. Seketika membuatku terkejut dan mataku mulai memanas, Ayah tidak pernah membentak ku seperti tadi, tapi aku bisa merasakan rasa sakit yang amat sangat dari wajahnya. Bulir-bulir air mata tidak bisa kutahan lagi, dan mulai meleleh ke pipiku.                 Sepanjang sisa waktu sarapan itu hanya keheningan yang ada di antara kami. Aku tidak berani bertanya lagi, walaupun sebenarnya rasa penasaran itu amat sangat mengganggu ku. Jalan satu-satunya adalah aku harus mencari tahu sendiri siapa aku.                 Dimana aku harus memulainya, aku berfikir keras. Kemudian ide yang sangat-sangat membahayakan muncul di fikiranku, aku akan mencari jawabannya langsung lewat Raja Xion.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN