Ara menghempaskan tubuhnya ke atas kasur miliknya setelah ia mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian rumah. Ia telah pulang kemarin malam dari liburan dadakan yang diadakan Ayah si Alien. Tadinya ia ingin meminta jemput oleh sang papa, tapi si Alien Sinting itu keukeuh ingin mengantarnya pulang. Ara pun mendengus saat mengingatnya. Apalagi saat mereka belanja untuk oleh-oleh. Dengan tidak tau malunya si Alien norak itu membeli semua barang couple dan memaksa ia untuk memakainya. Jadilah Ara pulang dengan tambahan koper untuk barang-barang yang Vando beli untuknya.
Ara menghembuskan napas lelah. Ia baru saja pulang sekolah saat hari menjelang sore. Tadi pagi ia bangun kesiangan karena kecapekan. Papanya pun tak sempat membangunkannya karena ada rapat dadakan pagi tadi. Ia pun berhasil di buat kelabakan pagi-pagi. Baru kali ini ia bersyukur si Alien menjemputnya dengan membawa sepeda motor.
Tubuh Ara bukan hanya lelah karena kemarin, tapi juga karena hari ini begitu banyak tugas yang harus ia selesaikan. Harusnya ia mengerjakan tugasnya sewaktu libur sekolah, tapi kalian tahu sendirikan waktu libur kemarin apa yang terjadi? Teman-temannya pun menuntutnya menceritakan apa saja yang terjadi di Lombok kemarin dan membuat ia semakin lama mengerjakan tugasnya. Dengan terpaksa dan sedikit gerutuan, ia pun menceritakannya walau hanya sebagian. Kalau tidak, ia yakin teman-temannya akan menerornya dengan pertanyaan yang sama terus menerus.
Bahkan tadi saat istirahat ia menolak ajakan si Alien untuk ke kantin dan menunjukan kertas-kertas dan buku yang berserakan di atas mejanya. Tanpa kata si Alien pun keluar dari kelasnya entah ke mana, ia tak peduli. Ia hanya merutuki teman-temannya yang malah lebih memilih meninggalkannya ke kantin dari pada menemaninya di kelas. Tak lama kemudian si Alien datang kembali dengan sebungkus roti dan sebotol air mineral. Ia kembali mendengus mengingat perkataan si Alien tadi.
"Makan dulu, Nona, lo juga butuh tenaga buat ngerjain tugas-tugas itu!"
Ara bahkan tadi tak membantah. Ia tak punya cukup waktu dan tenaga untuk berdebat dengan Vando. Ia pun memakan roti yang di belikan si Alien. Ia sadar perutnya meminta untuk diisi karena tadi pagi ia tak sempat sarapan. Tak banyak perdebatan yang terjadi tadi di sekolah antara ia dengan si Alien karena ia terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya.
Ara pun mengingat apa yang paling membuatnya lelah hari ini yaitu, saat jam pelajaran olahraga tadi siang. Ia dan murid-murid dari kelasnya disuruh berlari dua kali putaran mengitari lapangan sepak bola yang termasuk lapangan paling luas di sekolahnya. Tak hanya itu, jam pulang sekolah pun tadi ia masih ada rapat dengan pengurus OSIS. Untungnya si Alien berbaik hati menunggunya hingga ia selesai rapat. Kesibukannya hari ini benar-benar mengurangi frekuensinya bertengkar dengan si Alien. Mendadak ia menjadi kangen berdebat dengan si Alien Sinting itu.
Sekarang di sinilah ia. Terlentang di atas kasurnya yang terasa sangat nyaman baginya. Ia meringis saat merasakan nyeri di perutnya. Mendadak tubuhnya seperti remuk karena capek. Rasanya ia ingin menangis bila tubuhnya sudah seperti ini. Ia pun mencoba memejamkan matanya untuk mengistirahatkan otot dan juga otaknya. Hingga akhirnya ia pun tertidur tanpa sadar.
Hari telah menjelang malam dan Agra baru saja sampai di rumah. Dilihatnya rumah yang tampak sepi. Ia pun langsung masuk dan tak mendapati siapapun di ruang keluarga. Biasanya putrinya selalu menunggunya sambil menonton TV dan akhirnya terlelap. Ia pun bergegas menuju kamar putrinya. Dengan perlahan dibukanya pintu kamar putrinya yang tidak terkunci. Ternyata putrinya sudah tidur. Ia pun menutup kembali pintu kamar putrinya lalu pergi menuju kamarnya.
***
"Nak, bangun, Sayang!" Agra menguncang tubuh putrinya yang tak kunjung bangun juga. "Bangun, Sayang! Nanti kamu kesiangan!"
Merasa terusik, Ara pun berusaha membuka matanya.
"Mandi gih! Terus siap-siap lalu sarapan. Papa tunggu di meja makan," kata Agra lalu keluar dari kamar putrinya.
Ara pun bangun dan mengucek matanya. Ia terdiam sebentar untuk menyatukan kembali nyawanya. Ia melirik jam di sampingnya. Matanya sukses melotot lalu bergegas bangkit untuk mandi.
Setelah siap dan rapi, ia langsung melangkah menuju meja makan. Kepalanya terasa berat saat ia melangkah.
"Pagi, Pah," sapa Ara lalu mencium pipi Papa sebelum duduk.
"Wajah kamu keliatan pucat, Sayang," kata Agra saat melihat wajah putrinya. "Kamu oke?"
Ara mengangguk, tapi malah membuat kepalanya semakin pening. Ia berusaha terlihat biasanya saja karena tak mau membuat Papa khawatir. "Aku oke Pah."
Ara melirik sarapannya tanpa minat. Mau tak mau ia harus makan walau perutnya terasa penuh dan mual. Mungkin ini gara-gara ia lupa makan kemarin. Ia mempunyai penyakit maag akut yang membuatnya tak boleh terlambat makan. Dengan terpaksa ia pun menyuap roti tawar yang telah diolesi selai kesukaannya oleh Papa. Rasa mual kini menyerangnya. Ia segera meminum susunya sebelum roti yang berada di tenggorokannya keluar kembali. Tak mau membuat Papa curiga, ia pun langsung pamit saat mendengar ketukan dari luar. Papanya bisa menjadi sangat lebay bila sudah menyangkut kesehatannya.
"Pagi, Nona," sapa Vando riang.
Ara tak menjawab. Ia menatap Vando malas lalu melangkah keluar dan mendahului Vando. Namun, langkahnya terhenti. Ia melongo lalu memijit pelipisnya. Kalau saja dia tidak dalam keadaan tidak enak badan mungkin ia sudah berteriak sekarang. Apa-apaan si Alien itu! Lagian dari mana si Alien sinting itu mendapatkan becak untuk menjemputnya? Oh, tidak lupa dengan hiasan Hello Kitty yang membuat Ara berdecak tak terima. Ia pun menghela napasnya lalu kembali melangkah menuju becak yang telah terparkir di halaman rumahnya.
Vando mengerjap lalu menatap Ara heran. Tak biasanya gadisnya menjadi pendiam seperti ini. Rasanya aneh saat melihat Ara diam tak bersuara.
"Sampai kapan lo mau bengong di situ, Alien? Keburu telat nanti!" seru Ara saat melihat Vando tak bergerak di tempatnya sambil menatap kearahnya.
Vando pun tersadar. Ia langsung berlari menghampiri Ara yang sudah duduk cantik di becak yang ia bawa. Jangan ditanya bagaimana ia bisa mendapatkan becak itu! Nanti bisa panjang ceritanya. "Lo gak demam kan, Nona?" Vando menempelkan telapak tanganya ke kening Ara.
""Anget!" seru Vando kencang membuat Ara mengelus dadanya mencoba sabar. "Badan lo anget, Nona, lo mau pakai Bye-Bye Fever gak? Gue bawa loh!"
Oke cukup! Ara sudah tidak tahan lagi. Tadi apa kata si Alien? Bye-Bye Fever? Memangnya umur dia berapa hah? Pakai membawa pengompres demam untuk bayi itu! Ara meradang. Ia pun menjitak kepala Vando karena tak punya cukup tenaga untuk memukulnya. "Kalau badan gue dingin, berarti gue udah bukan jadi manusia, Alien Bodoh!"
"Oh, iya yah." Vando menepuk dahinya sambil menampilkan cengiran konyolnya.
"Buruan Alien! Gue ada tugas jaga hari ini!"
"Siap, Nona!" sahut Vando sambil memberi Ara hormat lalu menjalankan becaknya, sementara Ara mendengus melihat tingkah si Alien.
Sepanjang jalan mereka menjadi tontonan pengguna jalan lainnya. Bayangkan saja, seorang siswa tampan dengan senyum lebar mengendarai becak dengan semangatnya yang berpenumpangkan seorang siswi berwajah masam, bahkan siswa tampan itu tak segan untuk bersenandung riang dan menyapa pengguna jalan lainnya.
Ara menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia malu! Kalau saja tubuhnya dalam keadaan fit, mungkin ia sudah loncat dari becak si Alien yang menyebalkan itu. Ia lebih memilih menggunakan angkot menuju sekolahnya kalau tau begini jadinya.
Setelah sampai Ara langsung stand by di depan gerbang sekolahnya. Ara melirik jam di pergelangan tanganya. Sudah pukul 06.30 WIB. Pantas saja sekolahnya sudah tampak ramai. Masih ada setengah jam lagi sebelum bel berbunyi.
Vando yang tadinya hanya memperhatikan Ara pun langsung berjalan menghampiri gadisnya lalu berdiri di samping gadisnya. Ada yang berbeda dengan pagi ini. Jam sudah menunjukan pukul 06.50 WIB. Sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi, tapi Ara tak berteriak-teriak seperti biasanya. Ara hanya menegur murid-murid yang tidak rapih lalu membiarkan mereka masuk. Tak jarang Vando melihat Ara memijit pelipisnya.
"Lo oke, Nona?"
"Hemm," gumam Ara. Tanpa ia menoleh pun ia tahu siapa yang bertanya.
"Ini udah hampir bel loh, Nona," kata Vando.
"Iya gue tau, terus kenapa?" Ara menengok lalu menatap Vando bingung.
"Astagaaaa!" seru Vando histeris membuat beberapa murid menatapnya. "Lo gak kurang sesajen kan, Nona? Apa lo lupa bakar menyan? Kok setannya gak keluar?"
Kepala Ara semakin berkedut mendengar ocehan si Alien. Ia menutup matanya sejenak untuk menghilangkan rasa pening di kepalanya lalu membukanya kembali. "Maksud lo apa sih?"
Vando memegang bahu Ara membuat gadisnya mau tak mau menatapnya. "Lo siapa?" tanya Vando tajam.
Astaga! Drama apa lagi yang dimainkan si Alien! Ara benar-benar lelah. "Gue, Ara."
Vando menggeleng kencang. "Ara gue gak kaya gini! Lo bukan Ara! Ayo kembalikan Ara gue!"
"Eh Alien! Gue tau lo sinting, tapi jangan gini-gini juga kali!" seru Ara kesal. Kalau saja membunuh itu tidak dosa dan tidak masuk penjara, mungkin ia sudah bunuh makhluk di depannya ini dengan cara menguburnya hidup-hidup.
Vando menghela napas lega. Ia langsung memeluk Ara erat. "Akhirnya lo masih bisa ngomel juga, Nona."
Ara melepas pelukan Vando. Ia melotot tak percaya. Jadi, gara-gara ia tidak mengomel dari tadi, Vando bersikap menyebalkan seperti itu? Demi apapun, rasanya ia ingin sekali menjedotkan kepala si Alien sinting itu. "Dari pada lo berisik, mending lo gantiin gue teriak-teriak, Alien! Lima menit lagi mau masuk nih!"
Vando mengangguk semangat. Dan yang terjadi selanjutnya membuat Ara mengangga. Ia bergidik melihat sisi lain biang rusuh itu.
"BURUAN JALANNYA! DASAR LELET! LO JALAN APA NGESOT SIH?! LARI! PAKAI DASINYA! ITU SERAGAMNYA YANG RAPI JANGAN KAYA GEMBEL! ITU KENAPA KAUS KAKINYA PANJANG SEBELAH? MAKANYA PAKAI KARET BIAR GAK MELOROT! LO GAK PUNYA GESPER? PAKAI TALI TAMBANG AJA! SEKALIAN LO TALIIN TUH LEHER TERUS NGENGANTUNG DI POHON! LARI WOY!!"
Vando berteriak garang dan mendamprat siapa pun yang datang terlambat. Ia seolah-olah mendalami perannya sebagai anggota komite kedisiplinan.
Murid-murid hanya bisa mengusap dadanya saat melihat pemandangan berbeda di depan gerbang sekolah mereka. Ini lebih mengerikan. Mulut Vando benar-benar pedas dari pada Ara! Mereka cuma bisa berdo'a agar itu tak berlangsung lama.
***
Selama jam pelajaran tadi Ara benar-benar tak fokus. Bahkan tadi ia tidak ikut ke kantin dengan teman-temannya karena perutnya terasa sangat sakit. Kepalanya pun semakin berat.
Sekarang ia sudah berada di depan rumahnya. Tadi waktu bel pulang berbunyi, ia meminta si Alien untuk langsung mengantarnya pulang. Ara menatap si Alien yang sudah berada di depannya. Kenapa si Alien menjadi banyak seperti ini? Ara pun turun dari becak si Alien lalu berdiri. Namun....
Vando panik! Ara tiba-tiba pingsan. Untung mereka sudah berada di depan rumah Ara. Dengan cekatan ia mengendong Ara masuk lalu membaringkannya di kasur Ara. Vando memegang dagunya sambil berjalan mondar-mandir. Demi kerang ajaib, ia bingung! Tak lama kemudian ia tersenyum saat salah satu ide menghampiri otaknya. Ia langsung mengambil handphone gadisnya lalu mencari kontak Papa gadisnya.
Telepon tersambung.
"Halo, Sayang, ada apa?"
"Ini Vando, Pah, Ara-nya pingsan."
Sambungan telepon langsung terputus. Vando cengo saat Papa Ara langsung mematikan teleponnya.
Vando kembali menghampiri gadisnya yang tak juga membuka matanya. Digenggamnya erat jemari tangan gadisnya. Air matanya kini sudah menggenang di pelupuk matanya dan akhirnya jatuh menetes.
"Bangun, Nona." Vando terisak. Ia bingung harus berbuat apa karena tak pernah ada dalam situasi seperti ini.
"Kok kamu nangis?" Agra menatap Vando tak percaya. Tadi sewaktu ia mendapat kabar anaknya pingsan, ia langsung memutuskan pulang. Bahkan ia tadi dengan gila-gilaan mengendarai mobilnya.
"Aku takut, Pah." Vando masih terisak. Diciumnya punggung tangan Ara berulang kali. "Kok Nona belum bangun juga yah, Pah?"
"Ara cuma pingsan, Nak, nanti juga bangun. Kamu gak perlu takut." Agra coba menenangkan remaja pria itu yang seperti anak kecil takut ditinggalkan lalu menatap putrinya curiga. "Mending kamu pulang dulu, Nak! Nanti orang tua kamu khawatir, lagian Papa-kan sekarang sudah ada di sini. Nanti kalau Ara sudah sadar Papa bakal kabarin kamu."
Vando menghela napasnya. Ia tak membantah walau sebenarnya ia masih ingin menemani gadisnya sampai sadar. "Jangan nyiksa gue kaya gini, Nona. Rasanya sakit. Apalagi pas lo tiba-tiba pingsan tadi, rasanya nyawa gue seperti dicabut paksa, Nona. Gue lebih suka lo ngomel-ngomel, Nona,"racau Vando. "Gue sayang sama lo, Nona, lebih dari diri gue, tapi gak lebih dari Bunda gue."
Vando pun pamit. Namun, sebelum pergi ia mencium kening gadisnya. Sementara Agra menggeleng, ia mengulum senyumnya saat mengingat ungkapan anak itu tadi.
Ara membuka matanya saat ia mendengar pintu tertutup. Ia sudah sadar dari tadi saat si Alien itu berteriak frustasi. Perasaan aneh itu kembali menyusup hatinya. Ciuman si Alien di keningnya pun masih membekas. Begitu lembut dan dalam.
"Setelah buat anak orang nangis, kamu malah senyum-senyum gitu," cibir Agra saat kembali ke kamar putrinya dan mendapati putrinya yang ternyata sudah sadar. "Papa gak nyangka pacar kamu lebay-nya kelewatan gitu."
"Si Alien emang kelewatan lebay, Pah."
"Tapi kamu suka kan?" goda Agra.
Ara mendengus lalu memeluk gulingnya mengabaikan Papanya yang sudah terbahak geli.