Malam yang dipenuhi siraru
Cianjur, 22 Mei 2012
Pergantian musim hujan ke musim kemarau membuat suhu tidak stabil dan memberikan rasa tidak nyaman pada tubuh. Tapi, itu semua tidak menghalangi aku dan keenam teman perempuanku untuk bermain loncat tali di lapangan dekat persawahan.
“Hanna, sekarang giliran kamu yang main." ucap imas, teman se-SD ku.
“Iya!” aku sebenarnya tidak terlalu jago bermain loncat tali. Tapi jika teman-teman ku mengajak bermain, mana mungkin aku menolaknya. Hari sudah semakin senja, tapi aku tetap bersemangat bermain loncat tali, sampai ayahku datang menjemputku pulang. Dia berkata, “Hanna, ayo pulang! Nanti keburu hujan!” dengan muka gelisah. “Iya, yah.” Jawabku.
Saat di perjalanan pulang, ayah berjanji padaku akan membeli sepeda besok karena hari ini adalah hari ulang tahun ku. Tapi, karena ayah juga baru pulang kerja jadi ia tidak sempat membeli sepeda.
“Tapi, yah ... Hanna kan gak bisa pake sepeda.” Ucap ku.
“Ya, karena itulah ayah beliin kamu sepeda. Biar kamu ke sekolah bisa pake sepeda, gak usah naik angkot. Terus sekalian juga biar kamu bisa pamer sama temen-temen kamu yang lain.” Canda ayah yang membuat ku tersenyum puas.
“Nanti ayah ajarin Hanna sampe bisa pake sepeda dengan kedua tangan lepas, kayak di tv-tv gitu ya!” pintaku sambil memelas.
“Siap tuan putri!” ucap ayah sambil hormat seperti mendapat perintah khusus dari presiden.
Sesampainya di rumah, aku langsung memanggil ibu. Padahal tidak ada yang ingin aku katakan, hanya saja rasanya mulutku dioperasikan untuk memanggil ibu setiap pulang bermain ataupun setiap bangun tidur, atau mungkin setiap waktu.
“Ibuuuuuuu!” teriakan ku memenuhi seisi rumah.
“Hadir!” jawab ibu yang berada di dapur. Ibu terlihat sibuk dengan ikan dan pisau ditangannya. Dengan rambutnya yang setengah terurai karena tidak terikat dengan benar, dan tangan lihai ibu yang sedang memotong ikan membuatnya terlihat keren saat dislow motion.
Sementara ayah sedang menulis sesuatu di sebuah kertas kecil. Kertas itu berwarna merah muda dan ada stiker BT21 disamping maupun didalamnya. Ternyata judul dari kertas itu adalah Selamat ulang tahun Hanna yang ke sepuluh tahun. Ayah kemudian memasukkannya ke kantong celana.
Saat malam tiba, sekelompok siraru datang memenuhi teras rumah kami yang memang agak dekat dengan sawah. Ibu datang ke ruang makan dengan membawa berbagai makanan yang tadi sore ia masak, salah satu makanan yang menyita perhatianku adalah ikan mas yang dilumuri dengan berbagai bumbu rempah dan aromanya sangat menyengat.
“Waaahhh, banyak sekali makanannya! Untuk pertama tama, Hanna akan memakan ikan mas balado ini dulu lalu baru yang lainnya!” ucap ku yang sangat bersemangat untuk menghabiskan semua makanan yang ada di meja malam ini juga.
“Makannya pelan-pelan saja Hanna, tidak akan ada yang mencuri ikan itu darimu.” Ucap ibu.
“Mungkin ibu tidak akan mengambil ikan ini dariku, tapi ayah mungkin akan mengambilnya.” Ujar ku dengan mulut penuh nasi dan daging ikan.
“Umm ... baiklah, ayah akan mengalah malam ini karena kau sedang ulang tahun. Tapi, besok pagi ... siap-siap ikan itu sudah ada di perut ayah, HAHAHAHA!” canda ayah yang membuat ku semakin mempercepat makan agar besok tidak akan ada ikan yang bisa dimakan ayah.
Aku dan ayah memang mempunyai banyak persamaan, dimulai dari sifat, selera humor atau bahkan selera makanan. Sementara dengan ibu, aku hanya mewarisi kecantikan serta stylenya. Ditengah tengah asiknya aku menikmati makanan, tiba-tiba ayah memberikan sebuah amplop berwarna merah muda dan di tengahnya terdapat stiker BT21, saat kubuka ternyata isinya adalah kartu ucapan selamat ulang tahun disertai dengan sejumlah uang. Aku menahan senyumku lalu berkata, “Ehem, sepertinya uang yang ayah berikan terlalu sedikit.” diam-diam aku memasukkan amplop itu ke rok merah yang tengah aku kenakan.
“Kalau begitu kembalikan uang tadi beserta amplop nya lengkap!” ujar ayah.
“karena amplop ini sudah berada di sakuku maka sudah tidak bisa dikeluarkan!” ucapku.
“Kau memang benar anak ayah!” ucapnya.
Setelah selesai makan, aku dan ayah pergi ke teras untuk melihat langit gelap dengan siraru beterbangan dimana mana.
“Ayah, kalo dikartun upin ipin yang aku tonton, siraru itu tanda kalo bakal ada petir atau badai ya.” Ucap ku ragu-ragu.
“Ohh ya?” tanya ayah sembari melihat beberapa siraru yang berkumpul pada satu cahaya, yaitu lampu. Beberapa menit kemudian, suara telpon rumah berdering. Ibu kemudian menjawab panggilan itu dan terlihat terus mengangguk saat seseorang ditelpon berbicara. Ibu lalu datang ke teras tempat aku dan ayah sedang menikmati indahnya malam penuh serangga. Ayah yang melihat ibu datang menemuinya dengan raut muka gelisah, langsung tau apa yang ia maksud. Ayah bergegas pergi ke kamar dan mengganti bajunya.
“Ayah mau nolong orang lagi ya?” tanya ku.
“Iya,” ucap ayah yang sedang merapikan pakaiannya sambil bercermin. “Ayah berangkat ya!”
Aku hanya mengangguk dan ayahpun mulai pergi. Saat ayah menginjakkan kakinya keluar, perasaanku sudah tidak enak. Begitupula dengan ibu yang sedari tadi memegangi kalung berbentuk daun kecil pemberian dari ayah. Biasanya ibu akan memegang kalung itu jika sedang gelisah. Untuk mengalihkan rasa gelisah di hatiku, akupun pergi ke kamar dan menggambar sesuatu di kanvas kemudian mewarnainya.
Sementara itu, di sebuah perumahan elit terdapat banyak orang serta banyak sirine mobil polisi dan ambulans. Mereka semua berkerumun di depan rumah besar yang terbakar. Ayah Hanna yang seorang pemadam kebakaran memerintahkan orang-orang agar menjauh dari lokasi kebakaran. Suara teriakan minta tolong dari seorang perempuan terdengar begitu jelas oleh ayah Hanna dan rekan-rekan pemadam kebakaran serta orang-orang disekitarnya. Hal itu menggerakkan hati ayah Hanna untuk masuk kedalam rumah yang penuh dengan api tersebut.
“Pak! Jangan masuk pak, bahaya!” ucap salah satu tim pemadam kebakaran.
“Iya pak, kayaknya rumahnya juga bakal meledak!” timpal yang lainnya.
“Itukan sudah tugas kita jadi seorang pemadam kebakaran untuk menyelamatkan orang-orang dari kebakaran!” ujar ayah Hanna.
Ayah Hanna kemudian berlari ke rumah yang terbakar tersebut, sementara orang-orang meneriakinya untuk berhenti namun, ia tetap berlari. Saat sampai didalam ternyata semua sudut rumah sudah dimakan oleh api, kecuali salah satu ruangan yang pintunya terbuka. Ayah Hanna mendekati ruangan tersebut dan mulai terdengar suara tangisan. Dan didapatinya seorang anak laki-laki seumuran dengan Hanna tengah menangis dengan tangannya yang memegangi tangan seorang wanita. Wanita tersebut terbaring di dekat anak itu dengan tubuh yang sedang dimakan api. Ayah Hanna yang melihat itu terkejut dan segera masuk untuk membawa anak itu keluar.
“Ayo nak, tidak apa-apa!” ucap ayah sambil mengulurkan tangannya “Aku akan membawa mu keluar, kemudian kembali lagi kesini untuk membawa ibu dan ayahmu juga!”
Mendengar perkataan ayah Hanna tadi membuat anak tersebut mau menerima uluran tangannya dan berhasil membawanya keluar dengan menggendongnya. Melihat ayah Hanna dan anak dari pemilik rumah itu keluar dengan selamat, membuat orang-orang yang berada diluar histeris sekaligus kagum. Ayah Hanna memberikan anak itu kepada tim medis untuk dicek apakah ia terluka atau mengalami trauma.
“Nak, aku akan kembali kedalam untuk memenuhi janjiku padamu. Jadi kau tidak perlu khawatir dan beristirahat saja disini. Kau mengerti!” ucap ayah penuh keyakinan.
Anak itu kemudian menghapus air matanya dan mengangguk. Ayah Hanna kemudian tersenyum lega dan mengusap rambut anak itu, lalu kembali berlari menuju rumah.
“Pak! Jangan kesana!” teriak salah satu petugas pemadam kebakaran. Namun ayah Hanna tetap masuk kedalam rumah tanpa menghiraukan teriakan rekannya tadi. Beberapa menit setelah ayah Hanna masuk kedalam rumah, tiba-tiba rumah itu meledak. Ledakan itu sangat keras sampai-sampai orang-orang disekitar rumah ikut terkena ledakan tersebut.
Hanna masih menggambar di kamarnya meski ini sudah pukul 23:55 malam. Terlihat banyak sekali gambar yang ia buat, bahkan catnya pun sudah hampir habis, ini menandakan bahwa Hanna sangat gelisah. Ibu Hanna membuka pintu kamar sangat keras sampai membuat gambar yang sedang Hanna lukis jadi tidak sesuai garis.
“Hanna, ayo kita pergi!” ucap ibu Hanna sambil memegangi tangan Hanna sangat kencang.
“Ibu kita mau kemana?” tanya ku dengan suara agak kesakitan karena ibu mencengkeram tanganku terlalu keras. Ibu sama sekali tidak mendengarkan perkataanku dan terus saja menarikku sampai naik taksi. Itu untuk pertama kalinya aku melihat ibu bisa semenakutkan itu.
“Pak! Cepat bawa kami ke rumah sakit!” teriak ibu.
“Baik bu!” jawab supir taksi.
Dengan wajah pucatnya, ibu meninggalkan taksi yang baru saja sampai di rumah sakit tanpa menungguku turun dulu.
“Buu! ... ibu!” panggilku, namun ibu tetap tidak mau berhenti sejenak dan menoleh kebelakang. Aku terpaksa mengikuti langkah kaki ibu yang sangat cepat dengan nafas terengah engah.
“Buu ... ibu!” panggilku lagi, namun ibu tetap tidak menghiraukan panggilanku. Langkah ibu semakin cepat membuatku semakin kewalahan untuk mengikuti langkahnya lagi. Tiba-tiba ibu berhenti disebuah lorong. Ia kemudian masuk ke ruangan tersebut, diatasnya terdapat nama KAMAR JENAZAH. Aku sedikit ragu untuk masuk ke kamar jenazah, tapi ...
“Aaaaaaaaaaaaaaaaa!”
Setelah mendengar teriakan dari ibu, aku langsung berlari ke kamar jenazah tersebut dan mendapati ibu yang sedang menangis histeris di samping jenazah, yang tertutupi oleh kain putih. Aku juga melihat beberapa orang yang memakai seragam pemadam kebakaran seperti ayah, mereka terlihat sedih namun wajah sedih itu tertutupi dengan abu hitam. Teriakan histeris dari ibu semakin menjadi-jadi, hal itu membuatku semakin takut.
“Ibu, kenapa? Tanyaku dengan nada pelan. Namun ibu tidak menjawabnya dan masih terus menangis. Orang-orang yang memakai seragam pemadam kebakaran pun hanya bisa diam dengan menahan tangisan nya. Aku berinisiatif untuk membuka penutup kain putih itu, tapi tanganku bergemetar sangat hebat ada apa ini, kenapa aku tidak bisa mengendalikan tanganku?.
Saat kubuka penutupnya, aku sangat tercengang karena ternyata jenazah yang ditangisi oleh ibuku dan para tim pemadam kebakaran adalah jasad ayah. Aku sangat terkejut sampai-sampai, aku tak bisa berkata-kata, bahkan untuk berkedip pun sangat susah. Malam ini adalah malam yang sangat indah, karena malam ini serangga berkerumun untuk mempercantik langit yang tak berwarna. Ucapan ayah saat di teras, terus terngiang ngiang di telingaku. Ditengah tangisan ibu yang menggema diseluruh ruangan, aku tiba-tiba merasa kesepian dan tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali. Seketika, aku melihat ayah berdiri di samping ku. Meski jasad ayah yang aku lihat tadi sangat pucat, tapi ayah yang ada disamping ku sama sekali tidak pucat, ayah bahkan bercahaya dan tersenyum padaku. Aku menatap mata ayah dengan penuh kesedihan dan ketidakyakinan. Aku kemudian bergumam di dalam hati ayah, katanya ini adalah malam yang sangat indah, tapi kenapa semua orang malah menangis? Dan kenapa kau juga pergi? Ayah janji akan mengajariku bermain sepeda sampai mahir! Dan kenapa? Kenapa aku tidak menangis saat melihat ayah benar-benar pergi dan bahkan dirimu yang lain ada di sini bersamaku? Kenapa, apakah aku tidak sehat? Begitu banyak pertanyaan yang kuajukan pada ayah, tapi ia hanya diam. Saat aku mengedipkan mataku sebentar ayah sudah tak ada di sini. Dia benar-benar pergi sekarang!
Jasad ayahpun dibawa ke rumah kami menggunakan ambulans. Sirine ambulans di jalanan membuat pengendara bermotor menepi untuk memberi jalan pada ambulans. Suara tangisan ibu yang kian menjadi jadi saat sampai di rumah. Para tetangga berbondong bondong ke rumah kami untuk melayat. Bapak-bapak langsung ngaji yasin, dan ibu-ibunya menghampiri ibuku untuk menenangi. Sementara aku, diam terduduk lesu di samping jasad ayah yang tertutupi oleh kain. Dengan pandangan mata kosong, aku melihat sekeliling sambil berharap agar aku bisa menangis seperti orang lain. Kenapa air mataku tidak kunjung keluar gumamku didalam hati.
Jasad ayah dikuburkan di pemakaman umum di daerah rumahku. Saat jasad ayahku ditutupi tanahpun, air mata ini masih tidak keluar, padahal mataku sudah sangat sakit. Rasanya ada yang mengganjal dihati ini. Ibuku yang dari malam terus menangis kini air matanya sudah berhenti, namun tatapan kosong menyelimuti mata ibu. Aku ingin memegang tangannya, tapi aku terlalu takut dengan tatapan kosongnya. Semua tetangga yang mengantarkan kami pulang ke rumah setelah dari pemakaman ayah pergi dengan perasaan kasihan dan tidak percaya atas berpulangnya ayah secepat ini. Ayah memang dikenal sangat ramah dan baik pada semua orang, karena itulah banyak sekali yang datang melayat selama 3 hari berturut turut. Selama 3 hari berturut turut itu juga, aku tidak ke sekolah. Ibuku juga tidak menyuruhku sekolah, seharian ia hanya melamun tanpa berbicara padaku walaupun hanya sekedar menegur. Dia seperti bukan ibuku. Aku merenung di kamarku, dengan menatap kartu selamat ulang tahun dari ayah 3 hari yang lalu. Aku membaca kartu itu di dalam hati,
Selamat ulang tahun Hanna!
Kamu sekarang sudah berusia 11 tahun, jadi selalu sehat dan tetap semangat ya!
Jangan lupa untuk belajar yang giat, agar kamu bisa ketemu dengan 7 idolamu itu!
Ucapan selamat ulang tahun dari ayah membuat air mataku agak sedikit keluar, meski sakit matanya masih belum hilang. Karena aku sangat frustasi jadi aku membeli banyak makanan pedas agar rasa pusingku teralihkan oleh rasa pedas dari makanan, sampai akhirnya aku tertidur di kamar dengan makanan ditanganku.
Jam menunjukkan pukul 23:30 malam, aku terbangun dari tidurku karena mendengar suara dari dapur. Suara itu semakin kencang saat aku berjalan menuju dapur. Ini suara ... gumamku. Dan ternyata suara itu adalah suara ibu yang sedang menumis sesuatu diwajan. Ibu terlihat tersenyum lebar saat memasak. Aku yang melihat itu, agak sedikit lega karena ibu akhirnya bisa tersenyum, meski perasaan aneh menyelimuti ku karena ibu memasak pada tengah malam seperti ini.
“Ibu?” tanyaku.
“Iya, Hanna.” Jawab ibu sembari melirik ku sebentar kemudian melanjutkan memasaknya lagi.
“Ibu masak apa, tengah malam begini?” tanyaku dengan hati-hati.
“Ibu lagi numis kangkung buat dimakan nanti sama ayah kamu kalo udah pulang kerja.” Jawab ibu dengan penuh kepercayaan diri.
Aku tercengang dengan jawaban ibu tersebut. Dia berpikir bahwa ayah masih hidup. Aku kemudian memberanikan diri untuk bertanya padanya, “Ibu kenapa masak buat ayah? Kan ayah udah meninggal!” sontak ibu berhenti meng-oseng oseng kangkung setelah mendengar perkataan dariku. Ibu kemudian ingat bahwa 3 hari yang lalu ayah sudah meninggal akibat kebakaran. Ibu tiba-tiba menangis histeris. Tangisan ibu sama seperti tangisan saat di rumah sakit.
“Ibu!” teriak ku untuk menyadari ibu agar berhenti menangis. Namun ibu tetap menangis dan tangisannya malah semakin kencang, yang membuat para tetangga sekitar khawatir dan akhirnya datang ke rumah untuk menenangi ibu. Sedangkan tetangga yang lainnya malah bergosip disela-sela tangisan ibu yang tak karuan.
“Ihk kok bu Lastri setelah ditinggal suaminya jadi begitu ya!?” ucap bu Rika tetangga kami.
“Iya, tiap hari nangiiiisss terus!” timpal tetangga kami yang lain.
Yang lebih parahnya lagi, mereka mengatakan itu semua didepanku tanpa rasa bersalah ataupun tak enak hati. Dulu tetangga kami terutama ibu-ibunya sangat ramah pada ibuku, tapi kini mereka malah menggosipkan ibuku yang tengah kehilangan sosok paling berarti didalam hidupnya. Aku benar-benar tidak menyangka atas sikap mereka.
10 hari setelah kepergian ayah, aku akhirnya memutuskan untuk ke sekolah. Aku sengaja berangkat pagi sekali agar ibu tidak terganggu tidurnya oleh suaraku. Karena sudah 10 hari aku tidak keluar dari rumah, rasanya jalanan menuju sekolah yang sedang aku lewati saat ini terasa sangat indah dan segar. Awalnya aku berniat untuk mengajak teman ku yang lainnya berangkat ke sekolah juga, tapi karena ini masih sangat pagi jadi aku pikir mungkin mereka masih makan atau mungkin juga baru mandi. Saat sampai di gerbang sekolah, satpam menyapaku dengan senyuman ramahnya, “Dek, Hanna!” aku membalas senyuman pak satpam dan melanjutkan jalan menuju kelas. Saat sampai di kelas, aku langsung bersih-bersih karena hari ini adalah jadwal piketku. Setelah beberapa menit bersih-bersih kelas, matahari sudah mulai memancarkan sinar paginya yang hangat dan sebagian muridpun sudah mulai berdatangan. Aku menyapa mereka semua, tapi reaksi mereka malah cenderung menghindar dan tak menghiraukan sapaanku. Bahkan keenam teman perempuanku yaitu Imas, Yanti, Nabila, Nadya, Siti, dan Sinta tidak membalas senyumanku. Mereka bahkan tidak mengajakku ke kantin bersama. Ada apa dengan mereka? Apakah aku melakukan kesalahan? Gumam hatiku.
“Imas!” panggilku. Imas hanya menoleh sebentar lalu melanjutkan jalan bersama yang lainnya. Perasaanku semakin tidak enak, ingin bertanya tapi aku takut mereka tidak akan menanggapi. Saat pelajaran dimulai pun mereka tidak bertanya padaku, karena biasanya mereka selalu bertanya saat jam pelajaran mulai. Apalagi sekarang pelajaran matematika, pelajaran yang paling mereka tidak sukai. Saat pelajaran pertama selesai, aku menghampiri mereka dengan niat untuk bertanya kenapa mereka menjauhiku tanpa sebab.
“Imas, Yanti, Nabila, Nadya, Siti, Sinta! Kenapa kalian gak ajak aku ke kantin tadi?” tidak ada yang menjawab pertanyaanku, mereka semua diam membisu dan saling menatap satu sama lain. Mereka seperti ingin berbicara padaku namun takut akan sesuatu. “Kalian kenapa diam saja?” tanyaku lagi, dan mereka masih tetap diam. Aku sangat kesal melihat sikap mereka yang hanya diam saja saat kutanya. Padahal aku ke sekolah untuk melupakan kepergian ayah dan depresinya ibu yang kian menjadi jadi, tapi yang ku dapat malah rasa kecewa dan kesal, gumam hatiku.
Setelah beberapa saat, Imas datang menghampiri mejaku dengan coklat ditangannya. Aku berpura pura tidak memperhatikannya dan mengalihkan pandangan ku kearah jendela.
“Hanna.” Panggil Imas. Aku sengaja tidak menoleh agar Imas tau bahwa aku sangat kesal. “Imas sama yang lainnya, gak bisa sahabatan sama kamu lagi Han.” Lanjutnya.
Aku heran kenapa mereka tidak bisa bersahabat denganku lagi jadi aku berkata, “Loh, kenapa? Apa aku punya salah sama kalian?
“Kamu gak salah, tapi orang tua aku dan yang lainnya nyuruh kita gak sahabatan sama kamu lagi.” Imas memberikan coklat yang sedari tadi ia pegang. “Maafin kita ya Han!”
Aku menghembuskan nafas berat saat menerima coklat itu. Imaspun kembali ke tempat duduknya. Aku berusaha memaklumi mereka, tapi aku tidak bisa memaklumi sikap dari orang tua mereka, pasalnya orang tuaku dan orang tua mereka sangat dekat, tapi sekarang mereka bahkan jarang menengok ibu dan bahkan meminta anak-anaknya untuk berhenti berteman dengan ku. Aku memandangi terus coklat itu kemudian aku mematahkannya dan membuangnya melalui jendela kelas. Kelas ku berada di atas, jadi coklat itu jatuh sampai remuk seperti halnya dengan hatiku.
Bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung bergegas pulang tanpa melirik Imas dan yang lainnya terlebih dahulu, sehingga mereka terlihat merasa bersalah namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Selama perjalanan pulang, aku memutar lagu agar tidak merasa sendirian. Hari ini, aku hanya akan mendengarkan laguku saja! Gumamku dalam hati. Lagu yang aku dengarkan bergenre hip hop sehingga telingaku penuh dengan suara bising dan ritme yang cepat. Saking fokusnya aku dengan lagu yang sedang kudengarkan, sampai aku tidak menyadari bahwa ada mobil pribadi yang melintas di depanku. Mobil itu mengklakson beberapa kali, tapi aku tetap tidak mendengarkan nya. Sampai beberapa siswa siswi lainnya meneriaki ku dan aku tetap tidak menghiraukan nya.
“Dek, hati-hati dong kalo jalan!” teriak pemilik mobil pribadi tersebut. Aku meminta maaf dengan menundukkan kepalaku. Aku melanjutkan perjalanan ku dan akhirnya sampai di rumah.
“Ibu!” seperti biasa aku selalu memanggil ibu meski tidak ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.
“Ibu!” panggil ku sambil minum air putih di dapur. Namun masih tidak ada jawaban dari ibu, jadi aku berkeliling ke semua ruangan. Semua ruangan kosong, kecuali satu ruangan yang lampunya mati dan hordengnya ditutup.
“Ibu!” panggil ku lagi. Aku melihat ibu tengah menonton tv namun tatapannya kosong seakan akan raganya ada disini tapi jiwanya ntah kemana. Ibu kemudian tertawa dan menoleh ke arahku dengan tatapan kosongnya, itu sangat menakutkan! Gumamku dalam hati.