"Van, aku merindukanmu," ucap Moza sambil memeluk punggung suaminya. Dia baru saja pulang kerja dan merindukan suaminya setelah seminggu terakhir, mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Setiap pulang kerja, Moza selalu mendapati Vano yang sudah bersiap untuk pergi dan setiap dia akan pergi, Vano sudah tertidur lelap di ranjangnya. Selalu seperti itu. Oleh karenanya, hari ini Moza berupaya pulang lebih cepat agar bisa bertemu dengan Vano sebelum laki-laki itu berangkat.
Tentu saja, Moza sangat ingin menikmati waktunya lebih banyak bersama Vano. Dia ingin merasakan pelukan hangat laki-laki itu dan elusan lembutnya. Lalu mereka akan membayangkan tentang anak. Akan tetapi, setelah perusahaan Vano bangkrut, laki-laki itu tidak pernah lagi menyentuh apalagi bermanja seperti dulu.
Moza tidak menampik kalau suaminya sedikit berubah, apalagi setelah perdebatannya pada beberapa malam yang lalu. Apakah ada sesuatu yang terjadi pada suaminya? Moza tidak tahu karena dia jarang bersama dengan Vano akhir-akhir ini.
"Jangan sekarang, aku bisa terlambat," ucap Vano sembari melepaskan tangan Moza yang sudah mulai meraba-raba tubuhnya.
"Vano, kamu berubah dingin. Apa kita tidak bisa melakukannya sekali saja? Aku benar-benar merindukanmu," ujar Moza sembari memelas. Masih ada waktu untuk mereka bersama. Moza butuh untuk bisa bicara dengan Vano.
"Tidak bisa Moza, aku harus pergi sekarang."
Vano dengan perlahan melepaskan pelukan Moza dan merapikan kembali pakaiannya agar tidak kusut. Melirik sekilas pakaian kumal yang melekat di tubuh istrinya, bau keringat yang bahkan belum kering. Wajar, semua itu karena Moza baru pulang, tapi tidak untuk Vano yang seketika itu menjauh.
"Mandilah, tubuhmu bau."
Moza sedikit terhenyak mendengar penuturan suaminya. Menatap pakaian yang melekat di tubuhnya dengan perasaan sedih. Tubuhnya memang bau dan dia belum sempat mandi, tapi harusnya Vano tidak mengatakan itu. "Apa ini perasaanku saja, atau kamu memang sudah berubah? Kamu bahkan seperti tidak mau menghabiskan waktu bersamaku."
Perkataan Moza langsung membuat kedua alis Vano hampir menyatu. "Bicara apa kamu ini, aku harus kerja."
"Akhir-akhir ini, kita tidak punya waktu untuk bersama. Haruskah aku tidak bekerja? Aku ingin kita seperti dulu." Pandangan Moza meredup. Dia jelas merasakan ada perbedaan melintang antara Vano yang dulu dengan yang sekarang. Mereka juga seperti orang asing.
"Tidak, kau tahu, kita butuh banyak uang. Aku tidak bisa hidup seperti ini. Jadi, menurutlah. Kita harus bekerja lebih giat lagi." Vano menatap Moza dan menepuk pundak istrinya, lalu berjalan buru-buru keluar kamar, seperti memang enggan berlama-lama di sana.
Moza hanya bisa menatapnya suaminya dengan perasaan sedih, namun dia berusaha untuk mengabaikannya. Mungkin Vano memang benar, dia terlalu paranoid tentang laki-laki itu. Hingga pemikiran tersebut, membuat Moza menyerah untuk sesaat dan berusaha memahami kondisi Vano yang mungkin masih belum terbiasa hidup seperti ini, akan tetapi, di saat dia baru saja akan beranjak untuk membersihkan diri, Moza mendengar suara dering ponsel dari arah ranjang.
Itu jelas bukan ponselnya, melainkan ponsel Vano yang sepertinya tertinggal.
Tanpa berpikir dua kali, Moza langsung mendekat dan mengambil ponsel suaminya. Dia menatap lekat sebuah nama bertuliskan 'Bos'. Untuk sesaat, Moza seperti ragu mengangkatnya, tapi pada akhirnya, dia langsung mengangkat panggilan itu. Sayangnya, saat Moza baru saja akan menjawab, panggilan itu tiba-tiba terputus. Tak lama setelahnya, disusul oleh sebuah pesan singkat yang masuk.
'Cepat datang, para tamu sudah menunggu.'
Satu kalimat berisi perintah itu, sedikit membuat Moza bingung. Apalagi mendengar kata 'para tamu'. Mungkinkah suaminya bekerja untuk tamu khusus? Moza memang tidak tahu apa-apa soal dunia malam, meski sebelum menikah, Vano sempat mengajaknya untuk pelepasan masa lajang. Setelah itu, mereka tidak pernah lagi datang ke sana. Dia tidak suka tempat bising dan minuman beralkohol. Moza lemah dengan minuman itu.
"Sepertinya, Vano belum jauh."
***
Moza sama sekali tidak tahu, apa yang membawanya ke club malam yang bahkan tidak ingin dia kunjungi. Niatnya untuk mengembalikan ponsel milik Vano malah berujung pada rasa penasarannya tentang pekerjaan laki-laki itu. Meski sebelum pergi, Hellen sempat menanyainya ini itu. Melarang dia untuk ke mana-mana, tapi karena Moza mengatakan akan membeli makan, mertuanya mengizinkan asal Moza mau membelikan apa yang dia suruh. Tentu saja, Moza hanya pura-pura mengiyakan.
Pandangan Moza langsung berkelakar ke segala penjuru club begitu dia masuk. Mencari-cari keberadaan suaminya di antara kerumunan orang. Namun entah mengapa, kehadiran Moza di sana sempat membuat beberapa orang memerhatikannya. Dress motif bunga-bunga dengan lengan pendek dan rok selutut, menjadi bahan tertawaan beberapa wanita. Pakaian yang dikenakan Moza terlalu tertutup dan aneh jika dipakai untuk pergi ke club malam. Tidak ada kesan seksi sama sekali, justru malah terlihat manis.
Sayangnya, Moza tak menghiraukan tatapan-tatapan itu. Dia dengan acuhnya terus berjalan, mencari suaminya ke arah meja bartender. Moza tersenyum melihatnya. Ada seorang bartender yang tengah melayani pelanggan. Mencampur beberapa minuman untuk selanjutnya diberikan pada seorang wanita, tapi, kenapa Moza tidak melihat keberadaan Vano?
Moza kebingungan. Dia mengedarkan pandangannya kembali ke arah lain. Tidak mungkin, 'kan kalau Moza salah masuk club? Alamatnya sama dengan alamat yang tertera di dalam pesan singkat itu. Sampai bartender yang tadi dilihatnya, menepuk pundak Moza.
"Maaf, apa Anda mencari seseorang?"
"Ah, iya, saya mencari suami saya. Dia bilang, dia bekerja sebagai bartender di sini, tapi ...."
Laki-laki berwajah manis—yang usianya tampak beberapa tahun di atas Moza— menyuruh Moza untuk duduk terlebih dahulu. Menyodorkan sebuah gelas berisi minuman, yang pastinya beralkohol. "Maaf, tapi saya tidak minum," tolak Moza dengan halus.
"Tenang saja, ini hanya juice biasa. Anda tidak akan mabuk."
Moza menatap wajah laki-laki itu dan minuman di hadapannya bergantian. Tak ada hal yang mencurigakan sedikit pun, hingga akhirnya Moza memutuskan untuk meminumnya sedikit. Desah lega, langsung luar dari bibirnya saat minuman itu berhasil membuat rasa hausnya hilang begitu saja. Benar-benar hebat, padahal biasanya tidak seperti ini.
"Tadi, Anda bilang mencari suami Anda? Kalau boleh tahu, siapa namanya? Saya sudah lama di sini, mungkin saja saya kenal."
Mata cokelat Moza berbinar, tanpa basa-basi, dia segera memperlihatkan foto Vano pada laki-laki itu lewat ponselnya. Seketika itu dia yakin, kalau sang bartender adalah orang baik. "Ah maaf, saya belum memperkenalkan diri, saya Moza dan suami saya bernama Vano. Sebenarnya, dia meninggalkan ponsel saat berangkat dan saya berniat memberikannya sekaligus ingin melihat suami saya bekerja, tapi saya tidak melihatnya. Saya pikir, saya salah masuk," jelas Moza dengan polosnya. Dia sama sekali tidak menyadari raut wajah sang bartender yang berubah.
"Anda tidak salah masuk. Saya pernah melihat orang ini, tapi sebaiknya Anda pulang saja," ucapnya tiba-tiba sembari mengembalikan ponsel milik Moza.
"Apa? Kenapa?"
Saat akan membalas perkataan Moza, tiba-tiba pelanggan lain muncul dan mengalihkan perhatian sang bartender. Moza yang melihat itu hanya menunduk lesu. Dia tak bisa mengganggu pekerjaan orang lain. Hingga Moza memutuskan untuk bangkit dan kembali mencari keberadaan Vano. Meski masih merasa aneh dengan jawaban laki-laki itu. Kenapa dia harus pulang?
Moza mengangkat bahunya acuh. Mungkin dia harus bertemu Vano untuk bisa mengerti apa maksud ucapan bartender tadi. Matanya terus mencari keberadaan Vano sampai Moza berhenti di satu titik. Memfokuskan matanya pada seseorang yang mirip sekali dengan Vano. Pakaiannya pun sama dengan pakaian yang tadi Vano pakai saat pergi. Hanya saja, laki-laki itu tengah membelakanginya dan berjalan ke sebuah tempat bersama tiga orang wanita.
Moza ragu untuk mendekat, tapi kakinya justru mengikuti ke mana laki-laki itu berjalan. Hingga Moza tanpa sadar di bawa ke sebuah lorong tempat untuk menyewa kamar tidur dan melihat Vano yang masuk bersama wanita-wanita itu ke sebuah ruangan.
Jantung Moza berdegup kencang, tubuhnya sedikit gemetar. Itu Vano. Dia bisa melihat wajah suaminya dari arah samping dengan sangat jelas, tapi kenapa Vano masuk ke ruangan bersama wanita lain? Moza tidak ingin berpikir negatif, namun hal itu tidak bisa dia sangkal saat kakinya semakin mendekat, telinganya sayup-sayup mendengar suara desahan dari kamar tempat Vano masuk.
Kakinya semakin lemas, suara itu semakin terdengar jelas saat di depan pintu. Tubuh Moza gemetar bukan main. Tangannya hendak menyentuh kenop pintu dan membukanya, namun hal itu tertahan. Hingga matanya tertuju pada sebuah lubang kecil untuk memasukkan kunci. Bodohnya, Moza malah menurunkan tubuhnya untuk melihat apa yang terjadi di dalam ruangan itu.
Keputusan paling bodoh yang pernah Moza lakukan, karena dia harus menyaksikan sendiri suaminya tengah berbagi ranjang bersama wanita lain.