Berhari-hari bahkan berminggu-minggu, Moza melihat Vano yang luntang-lantung tak jelas. Suaminya tak kunjung mendapat pekerjaan. Vano selalu ditolak oleh setiap perusahaan yang dilamarnya. Tentu saja, semua itu karena kasus yang terjadi pada perusahaan mereka, berdampak buruk juga bagi karier suaminya.
Tak hanya itu, mama mertua juga terus merongrong mereka berdua untuk bekerja. Bahkan menyuruh Moza ikut membantu mencari pekerjaan. Tentu saja dia bersedia jika Vano mengizinkan. Dia juga tidak tega melihat Vano yang terus menerus ditolak. Uang mereka pun semakin hari semakin menipis. Alhasil, setelah percakapannya semalam, Moza meminta izin pada Vano untuk ikut membantu mencari uang.
Beruntungnya, Vano mengizinkan. Moza tentu sangat senang dan dia memilih melamar di sebuah kafe, toko kue dan apa pun itu untuk mencari uang tambahan. Dia yang memang belum memiliki pengalaman kerja, hanya bisa mencari pekerjaan paruh waktu yang tak begitu mengutamakan pengalaman. Moza bekerja menggantikan pegawai yang tidak hadir. Tentu saja, dia tidak bisa bergantung pada satu pekerjaan saja. Moza membutuhkan uang untuk membantu Vano mencari kerja.
"Mana uangnya? Berapa yang kamu hasilkan?" tanya Hellen begitu Moza datang dengan wajah lesu. Hari sudah cukup malam, dan dia baru saja selesai bekerja di kafe, namun pertanyaan seperti itulah yang harus Moza dapatkan.
Di sana, di ruang tengah, hanya ada mamanya yang menonton TV. Menunggunya hanya untuk meminta hasil keringat tanpa menawarinya air atau makanan. Moza bahkan belum makan sama sekali sejak tadi pagi. Suaminya juga tidak ada.
"Moza sudah tabungkan uangnya."
"APA? Dasar tidak tahu diri! Kenapa kamu tidak berikan ke Mama!"
"Ma, uang sehari-hari sudah Moza berikan, dan Moza hanya mengambil sisa untuk menabung. Harusnya, kita masih memiliki uang untuk makan seminggu ke depan," ucap Moza dengan hati-hati, namun jawaban dari mertuanya justru diluar dugaan.
"Tidak ada, uangnya sudah Mama habiskan. Uang segitu mana cukup buat makan! Kamu harusnya kerja yang bener, biar bisa dapat banyak uang! Dasar menantu tidak berguna!"
Tampak kemarahan terlibat jelas di wajah Hellen. Dia marah saat mendengar menantunya malah menabungkan uang hasil jerih payahnya. Padahal dia sudah menunggu-nunggu sejak tadi sore, menanti hari gajian menantunya. Berharap Moza akan memberikannya uang. Hellen butuh uang untuk bisa makan makanan yang enak seperti dulu, tapi kenapa yang dia dapat malah seperti ini?
Dalam keadaan marah luar biasa, Hellen mematikan televisi dan beranjak dari duduknya. Pergi meninggalkan Moza yang diam tanpa mendapat makanan. Melihat itu, Moza hanya bisa menghela napas dan terus berusaha untuk sabar. Hingga dia kemudian memilih berjalan menuju kamar dan tidur bersama suaminya.
Dibukanya pintu kamar dengan perlahan, berusaha untuk tidak membangunkan suaminya yang mungkin tengah tertidur lelap, namun begitu terbuka, Moza mendapati Vano yang tampak berdiri dengan pakaian serba rapi. Laki-laki itu seperti akan pergi keluar.
“Sayang, kamu mau ke mana?"
Ditelitinya sang suami dari atas hingga bawah. Bau harum parfum juga terendus oleh hidungnya. Sangat jarang Vano berdandan rapi seperti ini, ditambah pada malam hari. Tentu hal itu menambah keanehan bagi Moza yang melihatnya. Apalagi dia baru pulang kerja dan Vano malah akan pergi.
"Aku akan bekerja, temanku bilang ada lowongan," jawab Vano dengan santai, tidak terlalu memedulikan Moza dan sibuk merapikan pakaian juga rambutnya.
"Syukurlah, tapi, kerja di mana?"
"Di klub malam. Sepertinya aku tidak bisa lama, aku harus pergi."
Setelah mengucapkan itu, Vano buru-buru hendak meninggalkan Moza, namun lengannya sempat ditahan oleh wanita itu. Moza masih ingin mengatakan sesuatu. "Jangan pergi, kamu sudah berjanji tidak akan pergi ke sana lagi."
"Kita butuh uang. Aku tidak bisa membiarkanmu bekerja sendiri. Sudahlah, jangan bicarakan ini, aku sudah telat."
"Tapi Van—"
Perkataan Moza harus terpotong saat Vano memilih mengabaikannya dan berlalu begitu saja tanpa mendengar penjelasannya sama sekali. Moza jelas tidak setuju kalau suaminya akan bekerja di sana. Sebagai apa dan apa yang akan Vano lakukan?
***
"Hei! Moza, apa kau mendengarku?" tegur salah seorang wanita yang merupakan rekan kerjanya. Menepuk pundak Moza hingga wanita itu tersadar dan berbalik menatapnya. "Kau baik-baik saja?"
"I-ya, ada apa?" Moza sedikit gelagapan. Dia sadar kalau dia baru saja melamun. Pembicaraan tadi malam, membuatnya sama sekali tidak fokus bekerja. Moza memikirkan perdebatannya tadi pagi bersama sang suami dan mertuanya. Tentang Vano yang ternyata memilih bekerja sebagai bartender di sebuah klub malam dan pulang saat Moza akan berangkat kerja.
Suaminya itu menghiraukan nasihatnya demi uang. Vano bilang, uang yang ditawarkan cukup banyak, ditambah laki-laki itu memang cukup memiliki kemampuan dalam hal tersebut, tapi itu jauh sebelum Vano mengenal dan menikah dengan Moza. Padahal laki-laki itu sudah berjanji untuk menghindari dunia malamnya dan hidup seperti orang-orang pada umumnya. Sayangnya, Vano malah mengingkari ucapannya sendiri.
Moza kecewa. Dia lebih kecewa saat mertuanya juga malah ikut mendukung Vano. Menganggap dia sebagai istri yang tidak berbakti karena tidak setuju dengan keputusan suami dan karena perdebatan semalam pula, sikap Vano menjadi dingin padanya. Laki-laki itu mengacuhkannya. Moza benar-benar pusing dengan tingkah Vano. Dia hanya bisa berharap, kalau suaminya akan berubah.
"Hei, kau melamun lagi."
"Ah, maaf. Aku minta maaf. Apa kamu mengatakan sesuatu?" Moza meringis malu dan menatap wanita yang menegurnya.
"Aku mau minta tolong sesuatu. Apa kau bisa mengantarkan pesanan ini ke sebuah alamat? Aku tidak bisa mengantarkannya karena perutku tiba-tiba sakit. Pesanan ini harus cepat diantarkan, kalau tidak, Bos akan marah," ucap wanita itu dengan wajah pucat. Satu tangannya memegang perut dan satu lagi memegang pesanan.
"Tapi--"
"Aku mohon, kau pakailah motorku dulu. Aku tidak tahan, lagi. Aku serahkan tugas ini padamu, ya?"
Tanpa menunggu jawaban dari Moza yang setuju atau tidaknya, wanita itu memberikan kunci motor dan pesanan ke tangan Moza. Berlari terbirit-b***t ke arah toilet. Padahal saat itu, Moza sedang mengerjakan tugas lain di dapur dan tentu ini bukan bagiannya. Namun karena Moza tidak tega, akhirnya dia memutuskan untuk pergi saja. Meminta tolong pada salah satu rekannya yang lain untuk mengatakan kalau dia pergi sebentar mengantar makanan jika bos bertanya.
Moza cukup beruntung, semua rekan kerjanya menyambut baik kehadirannya. Mereka cepat akrab dan sering membantunya. Mungkin, ini saatnya dia juga membantu mereka. Sambil menenteng pesanan, Moza berjalan ke arah motor temannya yang terparkir dan langsung berlalu menuju ke alamat yang telah diselipkan.
Darren. Nama itu tertulis di sana.
Tak butuh waktu lama, hanya cukup seperempat jam lebih, Moza sudah sampai di alamat rumah yang dimaksud. Matanya langsung menatap bangunan kokoh dan besar dengan pagar-pagar besi yang menjulang tinggi. Di sana, ada juga beberapa orang yang berjaga dekat gerbang masuk.
Seketika, perasaan ragu merayap dalam hatinya. Benarkah ini rumah yang dimaksud? Moza tak percaya karena rumah ini sangat besar, nyaris seperti istana, tapi malah membeli makanan di restoran kecil tempatnya bekerja? Siapa juga orang yang tinggal di sini?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, terus berkelebat dalam benaknya sampai salah satu penjaga yang ada di depan gerbang, langsung mendekat dan menanyai maksudnya. "Apa benar ini rumah Tuan Darren? Saya mengantar pesanan untuknya."
Tanpa pikir panjang, Moza langsung menyodorkan kertas berisi alamat pada laki-laki berperawakan kekar di depannya. Jujur, dia sedikit gugup saat mendapat tatapan penuh selidik. Berpikir apakah dia melakukan kesalahan? Tapi, hal tersebut langsung ditepis saat orang itu mengangguk dan mengambil pesanan di tangan Moza tanpa basa-basi, lalu memeriksanya.
"Iya, dia Tuan kami, Anda bisa pergi sekarang."
Pernyataan itu, membuat alis Moza mengernyit. Dia tertahan di tempat dan menatap laki-laki itu cukup lama. "Pergi? Tapi pesanan ini harus diberikan--"
"Kami akan mengantarnya. Tenang saja, Anda bisa kembali," potongnya.
Moza tak bisa membantah lagi. Dia hanya terdiam saat laki-laki yang terlihat seperti pengawal itu kembali ke area gerbang. Mereka mengusirnya begitu saja, tanpa dia sempat memberikannya pada sang pemesan. Apakah tidak apa-apa? Harusnya Moza memberikannya.
Tak mau ambil pusing, Moza berusaha tak menghiraukannya, yang penting, dia sudah memberikannya. Dia juga tak memiliki banyak waktu untuk berlama-lama di sana, tapi sebelum benar-benar menaiki motornya dan pergi, Moza sempat merasa ada seseorang yang memerhatikannya dari jauh. Bukan orang-orang yang ada di gerbang, melainkan seseorang yang entah di mana.
Benar saja, tanpa Moza ketahui sama sekali, dari lantai atas tepatnya melalui jendela kamar, seseorang tengah memerhatikan Moza yang beranjak pergi dengan sorot mata tanpa ekspresi.