Part 2

1353 Kata
"Kamu tahukan rasaku tidak main-main, jadi tolong jangan bersikap dingin dan menganggap seolah aku tak penting." (ZafinAdam) **** Zafina tengah menunggu kedatangan Adam di ruang tengah dengan gelisah. Ini sudah jam tujuh lewat, tetapi pria itu belum juga menampakkan batang hidungnya. Zafina sudah menelpon dan mengirimkan pesan, tetapi tak ada satupun yang mendapat jawaban. Zafina khawatir kalau terjadi sesuatu dengan Adam. Mata bening Zafina kembali menatap ke arah jam dinding yang terus saja berputar, melewati setiap detiknya. Makan malam telah dia persiapkan, masih dalam keadaan utuh--belum tersentuh oleh siapapun. Zafina tidak akan makan duluan, sebelum Adam datang. Deru mobil terdengar dari luar, segera Zafina beranjak dari tempat duduknya--melangkah lebar ke pintu utama untuk menyambut kedatangan Adam. "Assalamu'alaikum, Mas," ucap Zafina mencium punggung dan telapak tangan Adam, kemudian mengambil alih tas kerja yang ada dalam gengangan Adam. Adam kembali terkesiap beberapa saat mendapati perlakuan Zafina untuk yang kedua kalinya--mencium punggung dan telapak tangannya. Pertama, ketika tadi pagi sebelum dia bekerja. "Wa'alaikumsalam," balas Adam ketika sadar ada lamunannya beberapa detik yang lalu. "Mas Adam mau langsung mandi?" tanya Zafina yang melangkah mengiringi Adam menuju kamar mereka. "Saya keringkan keringat dulu." Zafina mengangguk. "Air untuk Mas Adam sudah aku siapin. Makan malam juga sudah siap, setelah ini kita makan malam bersama, ya, Mas?" Senyuman manis itu kembali tercetak dari bibirnya. Binar matanya menunjukkan bahwa sang empunya sedang senang sekarang. Adam mengangkat kepala, menatap Zafina. "Kamu makan malam sendiri saja, saya sudah makan malam di luar tadi." Deg! Makan malam di luar? Sorot mata Zafina meredup dalam sekejap. "Ya ... sudah, Mas." Dengan amat berat Zafina menganggukkan kepala. "Mas Adam sudah sholat isya?" Zafina mencoba membuat obrolan lain. "Sudah." "Alhamdulillah." Zafina mengangguk sambil menyunggingkan senyum. "Gimana kerjaannya hari ini, Mas?" "Lancar," jawab Adam singkat, jelas, dan padat. Zafina merasa sedih mendengar jawaban singkat tersebut. Adam beranjak menuju kamar mandi tanpa mengucap sepatah kata. Dia hanya melirik sekilas, melihat bagaimana ekspresi Zafina. Adam merasa senang jika wanita itu nampak bersedih. Usai menyiapkan baju santai untuk Adam malam ini, Zafina melangkah menuju dapur. Helaan napas terdengar dari wanita itu. Dia menatap beberapa saat makanan yang sudah dia masak dan tata serapi mungkin di atas meja makan--untuk menyenangkan sang suami. Rasa laparnya tiba-tiba menguap entah ke mana. Dengan perasaan yang sulit Zafina jelaskan, dia segera memasukkan beberapa makanan tersebut ke dalam kantong plastik. Zafina berniat memberikan makanan tersebut kepada satpam, atau beberapa tukang bersih sampah di daerah perumahannya tersebut. Mubazir kalau sampai tidak termakan. **** Ketika pagi tiba, Zafina kembali menerima kenyataan yang menyesakkan dadanya. Pertama, tadi malam Adam kembali tidur di ruang kerjanya. Kedua, Adam kembali bekerja hari ini, kata pria itu tidak ada cuti setelah menikah. Adam mengatakan jadwal bekerjanya benar-benar padat hingga tak mungkin mengajak Zafina berlibur. Ketiga, karena sudah terlambat, Adam tidak sempat memakan makanan yang telah Zafina siapkan untuk sarapan mereka berdua. Dengan perasaan kembali bergerimis untuk kesekian kalinya, Zafina terpaksa sarapan seorang diri. Usai sarapan, Zafina memutuskan kembali kerutinitasnya--dia akan kembali bekerja, daripada harus berdiam seorang diri di rumah. Terdengar sangat membosankan! Sebelum berangkat, Zafina menelpon Adam untuk meminta izin. Karena teleponnya tidak diangkat oleh Adam, Zafina mencoba cara lain--mengirimkan pesan. Beberapa menit kemudian, pesannya mendapat balasan. Hanya satu kata, tiga huruf 'iya'. Zafina menghela napasnya berat, Adam seperti tak ingin berbicara dengannya--maka dari itu tidak ada satupun panggilan darinya yang diterima. Kenapa setelah menikah sikap Adam berbeda sekali kepadanya? Lebih dingin dan tak tersentuh--pikir Zafina pilu. **** Saat sedang disibukkan dengan pengaturan jadwal kerja para karyawan dan perencanaan beberapa menu baru yang akan disajikan, tiba-tiba ada yang datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu--orang tersebut berhasil mengejutkan Zafina. "Bang Ayash?" pekik Zafina dan langsung berhambur ke pelukan pria yang dipanggilnya Ayash tersebut. "Abang kapan kembali? Ana kangen banget!" katanya dengan nada manja--khas seorang Zafina yang jarang diketahui orang banyak. Ayash, lebih tepatnya Ilyash. Pria tersebut adalah teman semasa kecil yang sudah Zafina anggap seperti abangnya sendiri. Pria itulah yang dahulu pernah menjaga dan menyayangi Zafina bersama nenek dan kakeknya. Ilyash sering sekali mengajak Zafina kecil bermain, jalan-jalan, dan membelikan mainan apapun yang dia sukai. Pokoknya apapun yang membuat gadis kecil itu bahagia, Ilyash lakukan. "Baru saja. Abang dari Bandara langsung ke sini. Siapa lagi yang akan Abang temui selain kamu?" Ilyash mencubit gemas ujung hidung Zafina. "Maaf, ya, Abang telat datangnya. Keburu acara nikahan kamu selesai," kekehnya. Zafina berpura-pura merajuk dengan memajukan bibirnya dan melihat kedua tangannya di depan d**a. Tentu saja Ilyash tidak akan membiarkan rajukan itu bertahan lama. Pria tersebut mengeluarkan buket bunga besar yang sudah dia persiapkan untuk Zafina. "Dimaafin, ya?" goda Ilyash. Mata Zafina melebar sempurna. "Beneran buat Ana, Bang?" Ilyash mengangguk. "Ah ... Ana seneng banget. Makasih, ya, Bang. Abang Ayash paling jago buat Ana senang. Dari dulu sampai sekarang, gak pernah mengecewakan Ana." Ilyash mengangguk, lantas mengacak-acak gemas rambut Zafina. "Sudah, jangan pernah merajuk lagi. Nanti lucunya kelewatan!" kekehnya kemudian. Zafina menggembungkan pipinya seperti anak kecil. "Gimana seneng gak akhirnya nikah sama pria yang kamu cintai? Berarti cinta kamu gak bertepuk sebelah tangan dong, ya ...," goda Ilyash pada Zafina. "Setelah ini gak ada lagi yang merengek sama Abang karna takut sendirian, gak ada temen bercerita, atau gak ada temen berantem gara-gara berebut cemilan." Zafina berdecak kesal sekaligus malu. "Abang jangan gitu dong! Ana kan tambah malu," balasnya dengan pipi yang sudah merona. Jadi ingat, beberapa bulan terakhir--sebelum dia akhirnya menikah dengan Adam--Zafina selalu menceritakan perihal dirinya yang telah jatuh hati pada sosok seorang pria. "Lucu, ya, Bang ... Ana gak pernah suka sama pria, eh sekalinya suka malah kebaperan sendiri," kekehnya kemudian. "Jangan lupa, semenjak jatuh cinta kamu juga lebih cerewet. Takut inilah, itulah, Abang sampai pusing dengernya!" Ilyash berkata jahat. Kemudian terkekeh. "Oh iya ... kamu sudah makan siang?" Zafina menggeleng. Ilyash langsung menjewer pelan telinga wanita itu. "Kebiasaan! Makan itu jangan suka ditunda-tunda, nanti kalau sakit gimana? Ayo makan bareng Abang." Zafina menggaruk pelipisnya yang tidak gatal sama sekali. Tidak Ilyash maupun Adela, kedua orang penting dalam hidupnya tersebut selalu memperhatikan jadwal makannya. "Ya sudah, kita pesen makanan biar makannya di sini aja." **** "Bang Ayash beneran gak mau menginap di rumah Ana aja?" tawar Zafina sekali lagi. Setelah makan siang dan mengobrol, Zafina mengantarkan Ayash ke apartemennya. "Lain kali aja. Abang mau ngurus beberapa kerjaan. Biasalah orang tampan jadwalnya selalu padat," ucap Ilyash dengan percaya diri sekali. Zafina berdecak kesal mendengarnya, membuat Ilyash tertawa. "Terimakasih tumpangannya, adik manis ...," godanya kemudian sebelum keluar dari mobil Zafina. Ada perasaan sedikit lega ketika Ilyash menolak ajakannya untuk menginap. Zafina takut kalau kondisi hubungannya dengan Adam saat ini diketahui oleh pria itu. Ilyash pasti tidak akan diam saja melihat sikap dingin suaminya tersebut. Setelah melambaikan tangan, Zafina melajukan mobilnya menuju rumah. Kebetulan ini sudah jam lima sore, dia harus segera memasak untuk makan malam nanti. Sesampainya di rumah, Zafina mengerutkan dahi. Mobil hitam yang amat dia kenali sudah terparkir rapih di halaman rumah. "Tumben sekali," pikir Zafina. "Assalamu'alaikum ...," salam Zafina ketika masuk ke dalam rumah. Namun, tidak ada sahutan. Dia melangkahkan kaki menuju ruang tengah. "Assalamu'alaikum, Mas," ucap Zafina pada Adam, kemudian mencium punggung dan telapak tangan sang suami tersebut seperti biasanya. "Wa'alaikumsalam." "Maaf ya, Mas, aku pulangnya telat. Tadi nganterin bang Ayash dulu ke apartemennya," kata Zafina jujur. Adam yang sedari tadi hanya fokus pada layar televisi yang menampilkan berita harian langsung mengalihkan pandangannya pada Zafina. "Siapa Ayash?" tanya Adam tanpa basa-basi, terdengar dingin dan datar. "Bang Ayash, hem ... Ilyash. Dia anak angkat nenek dan kakek. Kami dibesarkan bersama sejak kecil." "Seumuran kamu?" "Enggak, Mas. Bang Ayash lebih tua lima tahun dari aku." Ekspresi Adam tetap sama--datar--kemudian dia mengangguk kecil, lantas mengalihkan pandanganya kembali. Sedangkan Zafina menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak gatal--bingung harus bagaimana. "Hem ... Mas Adam mau makan apa malam ini?" tanyanya sebelum memutuskan beranjak ke kamar. "Apa saja, terserah kamu." Zafina mengangguk kecil. "Aku ke kamar dulu, Mas Adam mau dibuatkan teh?" Adam diam beberapa saat, nampak memikirkannya. "Boleh. Tapi jangan terlalu manis." "Baik, Mas." Ada perasaan hangat menjalar tiba-tiba dalam hatinya. Meski ekspresi datar dan sikap dingin itu masih melekat pada Adam, setidaknya pria itu masih mau menyahut ucapannya. **** TERIMAKASIH SUDAH MENUNGGU DAN MEMBACA CERITA ADAM DAN ZAFINA:)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN