Part 1

1734 Kata
Mencintaimu bukanlah kesalahan. Semua hanya perlu proses ... begitupun hatimu terhadapku. **** Zafina merebahkan diri di atas tempat tidur seraya menghela napasnya panjang, serangkaian acara telah selesai--sekarang tinggallah penat yang menyerang dirinya. Pernikahan yang selama ini menjadi impiannya telah terlaksana dengan hikmat dan Alhamdulillah ... berjalan lancar sampai ke penghujung acara--tidak terjadi kendala apapun. Dia menutup matanya beberapa saat--kembali mengingat proses ijab qobul yang mendebarkan dan serangkaian acara pernikahannya yang begitu membahagiakan tadi. Dia benar-benar terlihat seperti seorang Princess sungguhan hari ini. Wanita itu merasa amat senang! Selama acara berlangsung, senyum lebar--pertanda dirinya amat bahagia--tak berhenti menghiasi wajah cantiknya. Suara knop pintu membuyarkan lamunan Zafina, dia segera membuka mata dan bangun dari posisi nyamannya--lalu menghela napas beberapa saat. Lantas kembali menyunggingkan senyum, yang hanya dibalas senyuman tipis oleh sang suami. "Mas Adam ... mau langsung mandi?" tanya Zafina memecah keheningan dan kecanggungan di antara mereka. Sedari tadi Zafina nampak bingung, dia menunggu sang suami memulai obrolan, namun tak kunjung bermula. Mungkin saja Adam merasa begitu sungkan dan belum terbiasa dengan status mereka saat ini--pikir Zafina. Ketika menerima anggukan kecil dari sang suami, Zafina tersenyum. "Biar aku siapin dulu airnya, sekalian aku mau ganti baju." Lantas beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Sepeninggal Zafina, Adam menghela napasnya berat. Dia mendudukkan diri di ujung tempat tidur, kemudian memijat pelipisnya--kepalanya terasa berat sedari tadi. Acara hari ini benar-benar lama dan melelahkan--menurut pria itu. Dia nampak bosan dan jengah dengan semua orang yang terpaksa membuatnya harus terlihat baik-baik saja dan terus menunjukkan senyuman palsu--agar dia juga terlihat begitu bahagia dengan pernikahannya--padahal tidak sama sekali. Pria itu hanya bersandiwara seharian ini. Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Zafina yang sudah mengganti gaun pengantinnya--mengenakan jubah mandi. "Airnya sudah siap. Mas Adam mandi duluan saja, aku mau hapus make-up dulu." Hey! Apakah wanita itu menyangka dia akan mengajaknya mandi bersama? pekik Adam dalam hati--begitu jengkel. Dengan sedikit menunjukkan sikap baik dan biasa-biasa saja, Adam membalas senyuman Zafina dengan anggukan kecil. Kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi. Zafina menatap punggung Adam yang menghilang, lantas menyentuh permukaan dadanya. Kenapa perasaannya tiba-tiba tidak enak seperti ini? Seperti yang dia lihat, pria itu nampak begitu berbeda dari hari-hari kemarin--sebelum mereka menikah. Senyum itu, tidak seperti biasanya. Ah, mungkin hanya perasannya saja! **** Zafina berdiri tegak di depan cermin besar kamar mandi--menelisik seluruh permukaan tubuhnya. Helaan napas terdengar, kemudian tangan kanannya meraih tas kecil berisi beberapa peralatan yang wanita butuhkan. Lantas mengambil posisi duduk untuk membersihkan bulu kaki dan tangannya--dia ingin terlihat bersih di hadapan sang suami di malam yang spesial ini. Dirasa sudah bersih permukaan kaki dan tangannya, Zafina kembali membersihkan dan mengharumkan diri dengan berlulur. Tiga puluh menit berlalu, Zafina kembali berdiri di depan cermin--menggosok gigi dan membasuh wajahnya hingga bersih. Usai mandi dan mengenakan kemeja tidurnya, Zafina keluar dari kamar mandi--tentu saja dengan senyum yang begitu lebar, pertanda kebahagiaan itu masih dia rasakan. Namun, perlahan namun pasti senyum itu memudar dalam setiap detiknya ketika melihat ke sekeliling kamar--Zafina tidak menemukan seseorang yang tengah dia cari. Dengan langkah lebar dan tergesa-gesa, Zafina melangkah menuju pintu keluar--berniat mencari keberadaan seseorang itu. Belum sempat meraih knop pintu, orang dari luar sana lebih dulu membuka pintunya. "Ah ... Mas Adam?" kaget Zafina dengan d**a yang langsung berdebar tak karuan. "Habis dari mana, Mas?" tanyanya kemudian seraya menetralkan detak jantungnya. "Nyari angin," balas Adam singkat. Lantas melangkah masuk lebih dulu--meninggalkan Zafina. "Kamu kalau ngantuk, tidur aja duluan. Saya mau nyelesein beberapa kerjaan kantor dulu," lanjutnya kemudian. Deg! Tidur? Bukankah ini malam pertama mereka? "Ah ... aku belum ngantuk kok, Mas." Adam mengangkat kepalanya, menatap Zafina tanpa ekspresi. "Saya tahu kamu capek, kamu istirahat saja." Ekspresi itu, membuat nyali Zafina menciut. Sorot mata Zafina meredup, tetapi tetap menunjukkan sikap bahw dirinya sedang baik-baik saja. "Baiklah. Aku tidur duluan, Mas Adam jangan tidur terlalu malam, ya ... kalau sudah selesai kerjaannya langsung istirahat juga." Tak lupa menyunggingkan senyum sebelum dia beranjak meninggalkan Adam yang nampaknya tengah sibuk dengan laptopnya yang menyala. Adam hanya menatap datar kepergian Zafina, tidak terlalu memperdulikan bagimana reaksi wanita itu ketika dirinya menolak untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang suami di malam yang spesial ini. Tidak ada malam pengantin baginya. Semua malam sama saja, pikirnya. **** Seperti biasanya sebelum adzan subuh berkumandang, Zafina sudah bangun--untuk mandi dan bersiap-siap melakukan sholat wajib. Pagi ini Zafina kembali merasa sedih, sebab ketika dia bangun tidak menemukan sang suami berada di sebelahnya. Kasur bagian sebelah kanan Zafina masih rapi seperti tadi malam--pria itu lebih memilih tidur di sofa. Usai sholat, Zafina menyiapkan sarapan--seraya menunggu kedatangan sang suami dari masjid. "Memberikan yang terbaik untuk suami adalah ladang pahala bagi istri. Ini adalah salah satu hal yang umum dalam islam dan tentunya menjadi amalan baik bagi para istri." Seperti itulah kiranya yang Zafina ketahui mengenai sebuah keharusan baginya untuk menyenangkan sang suami. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, akan menjadi tugasnya sebelum maupun sesudah menikah. Lagi pula, Zafina sudah terbiasa dengan segala macam pekerjaan rumah tangga tersebut. "Mas Adam ...," sapa Zafina dari arah dapur. Adam hanya mengangguk, kemudian mengisi gelas kosong dengan air miniral, dan meminumnya hingga tandas. "Mau sarapan sekarang, Mas?" tanyanya kemudian. "Iya, tapi sebelum itu kamu siapkan pakaian saya dulu. Hari ini saya akan masuk bekerja, ada rapat penting yang harus saya pimpin." Zafina sedikit terkejut. Bukankah baru kemarin mereka menikah? Kenapa hari ini malah kembali bekerja? Tidakkah sang suami menginginkan menghabiskan waktu bersama dengannya seharian ini? Dalam keadaan hati bergerimis, Zafina tetap menyunggingkan senyum dan mengangguk mengiyakan. Wanita itu segera melangkah menuju kamar--menyiapkan pakaian kerja untuk sang suami. "Hem ... perlu aku bantu buat masangin dasinya, Mas?" tanya Zafina yang sedaritadi mengamati setiap gerakan Adam. "Iya, boleh," jawab Adam tanpa pikir panjang. Dia mendekati Zafina, kemudian memberikan dasinya pada wanita itu. Senyum Zafina langsung mengembang, ini adalah salah satu tugas wajibnya sebagai seorang istri. Dada wanita itu berdebar lebih cepat, semoga saja Adam tidak mendengarnya. Zafina pasti akan malu sekali. "Selesai!" Adam mengangguk. "Makasih," ucapnya singkat. Tidak ada senyum sama sekali--tetap datar seperti sebelumnya. Zafina mengangguk sambil tersenyum malu-malu. Dadanya kembali berdebar kian cepat. Walaupun ekspresi Adam tidak mendukung, namun ucapan terimakasih tersebut sudah cukup membuatnya senang. "Kamu duluan saja ke bawah, sebentar lagi saya menyusul." Zafina kembali mengangguk, lantas beranjak meninggalkan kamarnya menuju dapur. **** Sekitar jam sepuluh pagi, Zafina kedatangan tamu yang sama sekali tak diundangnya. Siapa lagi kalau bukan sahabat terbaiknya sepanjang masa? Iya ... terbaik! "Adela yang cantik datang ...," ucapnya dengan percaya diri sekali. Lantas melangkah masuk, seperti rumahnya sendiri. Wanita itu menyingkap kain hitam yang sudah beberapa bulan ini menjadi penutup wajahnya--ke atas kepala. Kemudian menghela napasnya panjang. "Gimana, Za, lancar malam pertamanya? Enak gak? Sakit gak?" cercanya tanpa dosa. Zafina melebarkan matanya dengan sempurna. Tidak sadar, tangannya mendarat memukul lengan sahabatnya tersebut. "Apa, sih, pertanyaan lo gak disaring amat!" sewot Zafina merasa tidak enak dengan pertanyaan prontal Adela. Dia kembali teringat sikap dingin Adam tadi malam padanya. Mereka tidak melakukan apapun tadi malam, bahkan untuk saling bersentuhan. Tidak ada malam pertama, ataupun malam pengantin. Lagi-lagi hal tersebut membuat hatinya bergerimis. Ingat Zafina, apapun yang terjadi antara suami-istri tidak boleh diketahui oleh orang lain. Seperti yang dijelaskan dalam [QS. Al-A’raf (7): 26], pakaian berfungsi sebagai penutup aurat. Maksud dari ayat tersebut adalah pasangan kita--suami dan istri--alangkah baiknya harus saling menutupi aib, cacat, dan segala kekurangan masing-masing. Sehebat apapun seseorang, ketika sudah berumah tangga maka kekurangan dan kelemahannya akan sangat diketahui oleh pasangannya. Maka, di sinilah seorang suami yang harus menutupi aib istrinya dan seorang istri juga harus menutupi aib suaminya. Bukan malah sebaliknya, justru suami atau istri malah menjadi corong informasi yang menyebabkan aib istri atau suami diketahui oleh tetangganya, teman kerjanya, teman arisannya atau rekan bisnisnya. Begitu pula problematika rumah tangga, tidak perlu dibeberkan kepada orang lain--kecuali manakala tidak mampu menyelesaikannya--maka boleh meminta bantuan pihak ketiga yang terpercaya--tidak akan membeberkan. "Sok-sokan lo, dulu waktu pertama kali gue digempur sama Mas Rayhan pertanyaan lo juga kayak gitu!" Adela melipat kedua tangannya di depan d**a--merasa kesal juga. "Sekarang gantianlah, giliran gue yang nanya. Gimana ... enak?" lanjutnya sambil mengulum senyum. "Eh, tunggu dulu ... kok gak ada tanda merah-merah, sih, di leher lo?" Sekarang, wanita itu menatap Zafina dengan memicing. Zafina berkali-kali ber-istighfar dalam hati. "Bacot lo!" kesal Zafina. "Ya ... gue suruh di tempat yang tertutuplah bikinnya! Udah, ih, pertanyaan lo gitu amat! Gue kan malu ...," protesnya lagi. Zafina sedang tidak ingin membahas mengenai malam pertama yang sama sekali tidak terjadi padanya itu. Adela tertawa puas mendengar jawaban kesal Zafina. "Akhirnya temen gue dah buka segel juga!" Wanita itu menghela napasnya panjang, nampak bahagia sekali. "Oh iya, ngomong-ngomong ... kok rumah lo sepi, Mas Adamnya ke mana?" "Ngantor." Mata Adela melebar, kaget. "Sumpah demi apa? Ngantor?" Zafina mengangguk. "Gila ... harusnya kan hari ini kalian mesra-mesraan dalam kamar seharian!" Adela menggeleng-gelengkan kepalanya--heran. "Gila, gila! Ngomong lo dilembutin sedikit, malu sama kain yang sudah nutup wajah lo itu. Astaghfirullah ...!" Zafina mengelus d**a. "Banyakin nyebut, Del, inget mati ...!" "Ah ... iya, Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah! Ampuni hamba ya Allah, ampuni hamba ...," ucap Adela merasa amat bersalah. "Tapi kok suami lo aneh, sih! Masa iya dia lebih milih kerjaannya daripada elo? Sebenarnya yang istrinya itu elu apa kertas-kertasnya?" Nada bicara Adela nampak tak terima dengan sikap Adam pada sahabatnya. Dari awal, Adela memang tidak terlalu senang dengan pria itu. Tetapi, tetap saja Zafina menerima Adam untuk menjadi suaminya. Dadakan pula! "Rapat hari ini penting, Del, mungkin besok baru dia ngambil cuti." Adela hanya manggut-manggut saja. "Makanan ada, Za? Laper nih!" Zafina menaikkan sebelah alisnya. "Yakin banget lo mampir ke sini buat numpang makan doang?" Adela terkikik. "Lumayan sebagai pengiritan." "Ingat sama badan, udah nambah berapa kilo berat lo?" "Jangan nyindir-nyindir berat badan dong, gue gak suka nih!" desis dan decak Adela kesal. Kini, giliran Zafina yang tertawa. "Udah halangan lo bulan ini?" tanyanya kemudian. Adela yang sedari tadi mengunyah cemilan tiba-tiba menghentikan kunyahannya, dan tersedak. "Belum," balas Adela sambil mengingat-ingat kembali jadwal menstruasinya. "Eh ... beneran, Za, gue udah telat lama banget kayaknya!" girang Adela kemudian. Senyum wanita itu mengembang, serta mata yang sudah berembun--haru. Adela dan Rayhan benar-benar menginginkan malaikat kecil yang Allah titipkan untuk mereka segera hadir. Tangan kiri Adela mengusap permukaan perutnya. "Mas Rayhan pasti senang banget, Za. Ntar deh sampai rumah gue cek dulu pakai testpack." Zafina mengangguk tak kalah semangat. "Gue ikut senang. Gue doakan semoga buah cinta kalian segera hadir." "Dan gue juga segera menyusul!" lanjut Zafina dalam hati. "Aamiin." **** TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA CERITA ADAM DAN ZAFINA:)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN