Prolog
"Selamat ulang tahun, Berlian."
Pemuda itu memberikan buket bunga yang langsung diterima Berlian dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya.
"Makasih, Damar." Hidung Berlian menyentuh buket bunga, mencium aromanya. "Kadonya cuma ini?"
Damar mengangguk, menatap Berlian lekat. "Ber,"
"Aku kira kamu mau kasih kejutan kayak orang-orang kalau pacarnya lagi ulang tahun. Nyewa kafe, pake kue ulang tahun, ada balon juga."
Damar tak menghiraukan ucapan Berlian. "Ber,"
"Apa?"
Beberapa detik keduanya terdiam. Damar menatap Berlian yang asyik menghirup aroma bunga. "Gue mau kita putus."
Bagaikan disambar petir di siang bolong. Waktu seolah terhenti untuk mereka berdua. Gadis itu membulatkan matanya. Tidak usah ditanya bagaimana perasaannya sekarang. Jelas, sulit bagi Berlian mencerna semua perkataan kekasihnya barusan.
"Damar, maksud kamu apaan sih?" Berlian sudah berdiri, hatinya sakit begitu mendengar kalimat perpisahan yang keluar dengan mudahnya dari mulut Damar.
"Kita putus, Berlian." Berlian geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki di hadapannya ini.
"Nggak usah diperjelas!" bentaknya kesal, ia tak peduli kini meja mereka sudah menjadi pusat perhatian seisi kafe. "Salah aku apa?"
"Gue udah nggak suka sama lo, Ber. Kita nggak cocok."
"Damar!" suara Berlian sedikit berteriak membuat Damar menghela napasnya dan terpaksa menarik gadis itu keluar kafe. Enggan menjadi pusat perhatian. Bahkan Berlian melupakan buket bunga pemberian Damar yang ia simpan di atas meja.
"Udah, ya. Kita putus, Berlian." Baru saja Damar melangkahkan kakinya untuk pergi, tapi dengan cepat Berlian menarik lengannya.
"Setelah enam bulan pacaran lo baru bilang kita nggak cocok? Kenapa nggak dari awal?!"
"Sori, Ber. Gue udah nggak suka sama lo."
Berlian tersenyum miring, ia benar-benar kesal dengan Damar. "Oke, kita putus!" tantang Berlian. "Gue anggap ini kado terburuk yang pernah ada dalam hidup gue."
Berlian mengira hari ini adalah hari terbaiknya. Mendapatkan banyak ucapan dan doa-doa mulia dari teman-teman dan orang terdekatnya. Namun, seperti mimpi buruk yang tak pernah Berlian harapkan mendengar kalimat perpisahan dari kekasihnya. Ralat, mantan kekasihnya. Damar pergi begitu saja meninggalkan Berlian yang tengah menahan kesal. Mati-matian Berlian menahan diri untuk tidak menangis. Berlian tidak boleh menangis karena itu hanya akan membuat dirinya terlihat lemah. Tepat di hari ulang tahunnya, Damar memberikan kado patah hati yang tak pernah Berlian harapkan. Damar berhasil memberikan luka di hati Berlian. Damar telah mengecewakannya. Berlian berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia harus membuat Damar menyesal karena telah memutuskannya begitu saja.
"Lo nggak bakal bisa move on, Damar!"
***