1

1514 Kata
‘Dari Kita, Oleh Kita, Untuk Kita’ Itulah tema yang akhirnya terpilih di antara sekian banyak usulan dari beberapa panitia, setelah melalui rundingan yang cukup alot. Hampir seluruh anak-anak SMA Cendrawasih telah berkumpul meramaikan aula utama yang merupakan area terselenggaranya Pensi 2019. Hampir seluruh, terkecuali Kejora dan satu sahabatnya. Gadis berponi dengan gaun hitam selutut itu tidak ada sedikit pun niat untuk memasuki area tersebut walau hanya sekedar menonton satu penampilan. Kejora lebih memilih duduk di pinggir lapangan outdoor memerhatikan langit. “Ra, masuk, yuk! Acaranya udah mau mulai tahu.” Naomi, teman sebangku Kejora yang juga merupakan sahabat Kejora sejak SMP, menyungut kesal setelah cukup lama menemani Kejora duduk di luar. “Nggak mau, ah,” tolak Kejora, mentah-mentah. “Lagian lo ngapain sih maksa gue dateng ke acara ini? Kenapa nggak dateng sendiri aja?” “Ogah. Kalau dateng sendiri nanti gue ketahuan banget dong jomblonya. Ih,” Naomi bergidik ngeri, seakan berstatus jomblo adalah sebuah kutukan baginya.  “Udah, deh, nggak usah nolak lagi. Daripada Kak Merlin yang nyeret lo buat masuk, mending gue aja.” Naomi yang tidak bisa sabar lagi lantaran waktu mulai pensi tinggal sekitar sepuluh menit lagi, tanpa izin main langsung menarik tangan Kejora sampai Kejora bangkit dari duduknya dan mau tidak mau mengikuti langkah Naomi. Kak Merlin―begitu para adik kelas menyebutnya, termasuk Kejora dan Naomi―Ketua OSIS SMA Cendrawasih yang sekarang bertugas menjadi Ketua Pelaksana Pensi. Bukan cuma galak dan tegas, suaranya yang ngebas seperti laki-laki membuat siapapun takut padanya. Alhasil, daripada malu sendiri nantinya kalau sampai diseret betul-betul oleh Merlin, Kejora memutuskan untuk mengikuti Naomi saja. “Nih, minum dulu. Biar rileks.” Naomi memberikan segelas minuman bersoda pada Kejora. Kejora mengambilnya, namun tetap mencibir, “Tumben.” “Iyalah. Gue kan baik sama temen,” timpal Naomi dengan berbangga diri. Akan tetapi tak lama fokus Naomi teralihkan akan keberadaan piano besar berwarna putih di tengah panggung yang tidak begitu jauh dari posisi mereka berdiri. “Eh, itu siapa yang mau main piano?” Dengan cepat Kejora memutar tubuhnya. Entah kenapa, Kejora selalu merasa tertarik akan segala hal yang berkaitan dengan alat musik piano. Tapi bukan berarti Kejora bisa memainkannya. Tidak, Kejora sama sekali tidak bisa. Prok prok prok Pertanyaan Naomi terjawab ketika seorang laki-laki berjas memunculkan diri dari balik tirai yang disambut dengan tepukan tangan. “Bintang, anjir!” Kejora melirik. “Lo kenal?” “Kenal-lah! Anak baru dia. Satu angkatan sama kita!” seru Naomi, antusias. Meskipun tidak kenal, Kejora tetap memanggutkan kepalanya dengan mulut membentuk huruf O. “Gue baru tahu dia bisa main piano.” “Ssstt,” desis Kejora lantaran Kejora lihat cowok itu hendak mulai memainkan piano di hadapannya. “dengerin aja. Jangan berisik.” Naomi yang sudah paham betul sifat Kejora yang memang tidak pernah suka ada suara lain kalau sudah mendengar instrumental piano, seketika langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Bintang Andromaeda, seorang yang sedang menjadi pusat perhatian itu mulai mendekatkan ujung jari-jarinya dengan beberapa tuts piano. Hingga detik selanjutnya sebuah alunan merdu yang menenangkan telinga mulai terdengar. Tunggu, sepertinya Kejora tidak asing dengan instrument yang dimainkan cowok itu. Dalam sesaat ingatan Kejora seakan ditarik jauh ke belakang. “Kejora, sini duduk di samping Ibu.” Lily, wanita paruh baya yang menyebut dirinya Ibu pada Kejora menepuk celah kosong di sebelahnya. “Untuk apa, Bu?” tanya Kejora yang masih belum rela meninggalkan barbi-barbienya.  “Kejora nggak bisa main piano kayak Ibu.” “Suatu saat pasti bisa. Sini, dengarkan dulu, Ibu akan mainkan alunan kesukaan Ibu khusus untuk kamu.” Melihat senyuman sang Ibu yang cukup memikat, Kejora akhirnya mengabaikan sejenak mainannya di atas lantai. Kaki-kaki mungil Kejora bergerak mengambil langkah menghampiri ibunya. Setelah putri kecilnya duduk tepat di sebelahnya, Lily mulai menekan tuts-tuts pada piano secara beraturan. Menciptakan sebuah alunan yang tak pernah terlupakan oleh Kejora. Untuk pertama kalinya, Kejora yang saat itu masih baru menginjak kursi taman kanak-kanak,mulai menyukai segala instrumental yang dihasilkan oleh piano. Tetapi tetap saja, instrumental yang ibunya mainkanlah yang paling Kejora sukai. “Instrumental itu,” gumam Kejora di ambang kesadarannya yang sesungguhnya tidak mempercayai apa yang sedang ia dengar. Kejora sudah mendengar banyak orang memainkan instrumental tersebut, akan tetapi setelah sekian tahun lamanya, Kejora belum pernah menemukan seorang pun―selain Bintang―yang dapat memainkan alunan tersebut benar-benar sama persis seperti yang ibunya mainkan untuknya. Dan baru kali ini Kejora mendengarnya lagi. *** Bintang mengendurkan ikatan dasi yang agak mencekik di lehernya. Membuka satu kancing teratas kemeja dalamnya. Namun tak lama dahi Bintang mengernyit. Ketika tidak sengaja ia mendapati selembar note kecil yang tertempel tidak begitu merekat di ranselnya. Gue suka permainan piano lo. Sejenak Bintang menyapu area sekelilingnya. Tidak ada siapa-siapa di sana. Hingga selang beberapa saat seorang gadis menghampirinya. Membuat Bintang bertanya, “Ini kamu yang tulis, Ras?” “Sejak kapan aku suka puji-puji kamu? Sori, ya. Itu bukan aku banget.” Rasi Ananta. Sahabat kecil Bintang yang malam ini datang khusus hanya untuk menonton pertunjukan Bintang bermain piano. Karena sebetulnya Rasi memang bukan bagian dari murid SMA Cendrawasih. “Ah iya, aku lupa. Kamu kan udah aku nobatkan sebagai sahabat kecil terjahat,” tutur Bintang seraya meremas note itu, lalu melemparnya ke tempat sampah. Membuat Kejora, seseorang yang diam-diam memerhatikannya dari balik dinding, kecewa karenanya. Mungkin bagi Bintang note itu tidak ada artinya, tapi bagi Kejora, pujiannya tentang permainan piano Bintang yang ia tulis di note itu sangatlah berarti. Kenapa? Karena itu adalah satu-satunya bentuk apresiasi yang bisa Kejora berikan, namun tidak dapat Kejora katakan secara langsung pada Bintang. Dan yang membuatnya kecewa, Bintang sama sekali tidak menghargai apresiasinya itu. “Kalau aku jahat, nggak mungkin, dong, aku bela-belain dateng ke sini cuma buat nontonin kamu.” “Iya, deh, iya,” sahut Bintang yang akhirnya menyerah. Berdebat dengan Rasi memang bukan hobi Bintang. Bintang akan lebih memilih untuk mengalah, daripada nantinya ia harus dijauhi Rasi, ketika gadis itu kalah argumen dengannya. Drt drt Rasi mengecek ponselnya yang baru saja bergetar. Tak lama ia berucap, “Aku pulang duluan, ya, Bi. Biru udah nunggu di luar.” Seketika Bintang terdiam. Entah kenapa, mendengar namanya saja Bintang sudah jengah. Raut wajah Bintang kini menunjukkan jelas, kalau ia tidak suka ketika lagi-lagi, Rasi dekat dengan cowok bernama Biru itu. Bukan apa-apa, pasalnya, belum lama kemarin Bintang baru saja mendapati Rasi menangis menemuinya. Dan tangisan Rasi saat itu, tidak lain-tidak bukan disebabkan oleh Biru. Seseorang yang terus mendekati Rasi, namun tidak pernah memberi kejelasan pada gadis itu. Bintang kesal kenapa bisa-bisanya Rasi menyukai cowok semacam Biru. Cowok pendiam yang perlakuannya dapat berubah tiap hari, jam, bahkan menitnya pada Rasi. Biru bisa tiba-tiba berlaku baik. Tapi juga bisa tiba-tiba berlaku tak acuh. Saat Biru tak acuh-lah, biasanya Rasi akan menangis dan mengadu pada Bintang. Namun demikian, Rasi tidak pernah memperbolehkan Bintang untuk ikut campur dalam urusannya dengan Biru. Rasi hanya ingin Bintang cukuplah menjadi pendengar yang baik untuk dirinya. “Kalau dia nyakitin kamu lagi, jangan ngadu ke aku. Jangan nangis di depan aku.” “Kamu tenang aja, deh. Biru itu sebenarnya orang baik. Aku yakin, aku nggak pernah salah menjatuhkan cinta.” Biru sebenarnya orang yang baik. Itulah yang Rasi yakini selama ini. Yang menjadi alasan utama, kenapa ia selalu memaafkan Biru. Di samping itu, mungkin juga karena Rasi sudah terlanjur menjatuhkan hatinya begitu dalam pada Biru. Alhasil, mau sedalam apapun Biru menyakitinya, sesering apapun Biru membuatnya menangis, kata-kata dalam benak Rasi itu tidak pernah berubah sampai sekarang. Ditambah, Biru yang cenderung tertutup pada siapapun, termasuk padanya, membuat Rasi juga percaya, ada banyak hal yang belum ia ketahui tentang Biru. Yang membuat orang-orang pasti memiliki pemikiran yang sama seperti Bintang. Akan tetapi Rasi tidak mau seperti Bintang dan orang-orang itu. “Kalau dia orang baik, nggak mungkin dia tega bikin kamu nangis berkali-kali, Rasi.” “Kamu begitu karena kamu belum mengenal Biru, Bintang.” “Oh, gitu?” tanya Bintang dengan nada sedikit lebih tinggi. “Emangnya seberapa dalam kamu mengenal dia?” “Kamu mau berdebat sama aku?” Sesaat Bintang membuang napas kasar. Tidak bisa menyahut apa-apa lagi. Membuat Rasi memaparkan senyum kemenangannya. *** “Kejora!” Kejora menoleh lalu mendapati Naomi di belakangnya. “Lo ngapain di sini?” “Ada juga gue yang nanya. Lo ngapain di di sini?” “Eh?” Mendadak Kejora bertingkah layaknya orang linglung. “Gue nggak ngapa-ngapain. Cuma iseng aja gitu,” dalihnya. Isi kepala Kejora terlalu kosong untuk memikirkan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Naomi. Kontan Naomi bingung mendengarnya. “Aneh lo.” Di saat Kejora sedang berbicara dengan Naomi, tiba-tiba Kejora menangkap sosok seorang gadis yang ia lihat di dalam bersama dengan Bintang melewatinya. Selang sekian detik, Bintang juga keluar dari ruangan itu. Langkah Bintang sempat terhenti lantaran heran, ketika tatapannya tak sengaja bertemu dengan sepasang mata Kejora, seseorang yang asing bagi Bintang, memerhatikannya begitu lekat. Sampai-sampai Bintang tidak mampu mengerti apa maksud tatapan itu. Setelah Bintang berlalu, dan memastikan bahwa sudah tidak ada siapa-siapa lagi di dalam ruangan itu, Kejora buru-buru mengambil langkah masuk ke dalamnya. “Ra, lo mau ngapain?” tanya Naomi seraya menyusul langkah Kejora.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN