2

1242 Kata
Tiiinnn tiiinnn Bintang menekan klakson motornya kuat-kuat. Membuat Rasi yang mendengarnya di dalam rumah, sontak sesegera mungkin menghabiskan sarapannya dengan terburu-buru. Bahkan setelahnya gadis itu sudah beranjak berdiri dari kursi meja makan, dengan tangan yang bergerak cepat meraih tasnya, di saat pipinya masih mengembung dikarenakan setengah potongan roti, yang dipaksa masuk itu, memenuhi rongga mulutnya. “Ma, aku berangkat dulu, ya...” pamit Rasi dengan kalimat yang terdengar tidak jelas, kemudian berlari menuju pintu utama. Dilihatnya Bintang yang sudah stand by menunggangi Cinta―ninja merah kesayangan Bintang―menunggunya di depan gerbang rumahnya yang terbuka. Meskipun Rasi dan Bintang tidak bersekolah di satu sekolahan yang sama, mengantar-jemput Rasi tiap hari memang sudah menjadi tugas rutin sekaligus kewajiban bagi Bintang. Kecuali, ketika Biru kadang kala menjemputnya lantaran ingin sekalian jalan sepulang sekolah. Barulah di hari-hari tertentu itu Bintang libur menjadi tukang ojek Rasi. “Kamu telat!” tandas Bintang. “Bukan aku yang telat, tapi kamunya yang kepagian tau!” Rasi membalas, tidak mau kalah. Bintang berdecak. “Ya udah, naik cepet.” Selain menyebalkan, Rasi memang tidak pernah terima jika dirinya disalahkan. Walau kenyataannya dia memang salah. *** Belum ada satu menit bel masuk berdering, Pak Handoko, guru Bahasa Indonesia yang menjadi mata pelajaran pertama kelas Bintang hari itu, berjalan memasuki ruang kelas. “Hari ini kita belajar untuk bersyair, ya,” tutur beliau tiba-tiba. Membuat anak-anak didiknya sontak memikir yang melenceng lantaran tidak menangkap maksudnya. “Kita belajar nyanyi gitu, Pak?” Pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut Oskar, salah satu murid di kelas itu sekaligus teman sebangku Bintang. Bukan cuma Oskar, sebenarnya anak-anak yang lain pun berpikiran seperti itu ketika Pak Handoko menyebutkan kata syair. Ya, tapi tetap saja sebodoh-bodohnya mereka, mereka tidak mengentarakan kebodohan mereka dengan menyuarakannya seperti Oskar tadi. Sambil berdecak, Pak Handoko hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bersyair yang Bapak maksud itu kalau sekarang bisa dibilang berpuisi. Oskar-Oskar, bagaimana, sih, kamu ini.” “Tau lo, Kar!” omel Bintang. “Kalau g****k jangan keliatan banget, dong. Kan gue jadi ikut malu.” “Sudah-sudah. Cepat keluarkan kertas selembar, lalu Bapak akan berikan kalian waktu selama lima belas menit untuk membuat karangan puisi dengan tema bebas.” “Tentang cinta boleh, Pak?” Kini Nino yang bertanya dengan percaya diri. Yang sebetulnya, pertanyaan itu juga sempat terlintas di kepala Bintang sebelumnya. “Hm...” Pak Handoko nampak berpikir sejenak. “Boleh, lah, boleh. Yang terpenting hal itu bisa membuat tulisan kalian menjadi hidup.” “Nggak bisa dong, Pak. Emangnya puisi kita dikasih nyawa bisa hidup begitu. Ada-ada aja Bapak, nih.” Untuk yang kedua kalinya dalam waktu kurang dari lima menit ini, Oskar mengatakan hal yang membuat Pak Handoko lagi-lagi menggelengkan kepala, tidak habis pikir. Bintang membuka resleting tasnya. Mengeluarkan buku tulis Bahasa Indonesianya, namun tak lama sesuatu yang lain di dalam tasnya berhasil memancing perhatiannya. Yakni selembar note berwarna kuning terang, yang seingatnya telah ia buang kemarin. Terbukti dengan tulisannya yang sama dengan yang ia baca kemarin, juga kondisinya yang jelas-jelas masih membekaskan remasan tangannya. Tapi kalau memang benar note itu adalah note yang sama dengan yang ia buang kemarin, bagaimana bisa sekarang note itu ada dalam tasnya? Dan setelah Bintang mengeceknya lebih detil, ternyata ada lembaran note yang lain, yang masih halus tertempel di belakang note yang sudah lecak itu. Jangan dibuang lagi, ya. Ini bentuk apresiasi dan ungkapan terimakasih gue ke lo, karena lo udah memainkan instrumental yang Ibu gue selalu mainkan waktu gue kecil gue dulu. “Apaan, sih, itu?” Sontak Bintang tersentak, ketika tahu-tahu suara ngebas Oskar memekak di telinganya. Buru-buru Bintang meremas kedua note itu, lalu melemparnya ke ujung laci mejanya. Lalu menjawab, “Bukan apa-apa, cuma sampah.” *** “Itu tas siapa, sih, yang lo masukin kertas kemarin? Jangan bilang lo iseng, cuma mau nyampah di tas orang?” tuding Naomi ketika ia mengingat hal bodoh yang Kejora lakukan di malam pensi Sabtu kemarin. “Bukan sampah, enak aja!” “Kalau bukan sampah, terus apa?” “Note buat Bintang.” “Hah?” Naomi ternganga, tidak percaya mendengarnya. “Note, maksudnya?” Setelah Bintang berlalu, dan memastikan bahwa sudah tidak ada siapa-siapa lagi di dalam ruangan itu, Kejora buru-buru mengambil langkah masuk ke dalamnya. “Ra, lo mau ngapain?” tanya Naomi seraya menyusul langkah Kejora. Di saat Kejora sibuk mengorek-ngorek tempat sampah di ruang serba guna, Naomi sibuk bertanya sambil memerhatikan. “Ra, lo ngapain, ih? Jawab, kek. Nyari apaan sampai rela ngorek-ngorek tempat sampah begitu?” “Yaelah, ini tempat sampah juga isinya kertas-kertas doang, lebai amat lo.” “Tapi kan tetep aja, yang namanya sampah, ya, sampah. Kotor, tau nggak. Menjijiwkan.” “Yes, ketemu!” seru Kejora, riang, sembari melebarkan kembali selembar note di tangannya, yang sudah lecak membentuk bulatan kecil. Telinganya seolah tertutup, tidak mendengar ocehan Naomi sepatah kata pun. “Itu kertas apa, deh, Ra? Sepenting itukah, sampai lo ngorek tempat sampah kayak tadi?” Naomi yang masih heran, akhirnya bertanya lagi. Meskipun lagi-lagi, Kejora mengabaikannya. Kejora terlalu sibuk dengan pulpen dan lembar notenya yang baru ia sobek lagi. Menuliskan apa yang ingin ia katakan pada Bintang, mengenai tanggapannya akan note yang ia berikan sebelumnya, yang Bintang buang secara acuh tak acuh itu. Kemudian memasukkannya ke dalam sebuah ransel hitam, yang Kejora pastikan ransel itu milik Bintang. Karena dapat Kejora tandai ketika tadi ia melihat Bintang memasukkan sebuah ponsel ke dalamnya. “Lo suka sama dia?” Kejora mengangguk. Namun Naomi malah tak lepas menatapnya aneh. “Lo kok ngeliatin guenya gitu, sih?” tanya Kejora yang tidak suka dengan reaksi Naomi. “Sumpah, ya, Ra, tujuh belas tahun gue hidup, baru kali ini gue ngeliat orang yang terang-terangan banget ngakuin perasaannya.” “Ya, kan gue ngakunya cuma ke lo doang. Gimana, sih.” “Tapi tetep aja lo baru kenal sama Bintang, Ra.” “Gue suka dia karena dia satu-satunya orang yang bisa memainkan instrument yang sama persis kayak yang ibu gue mainkan buat gue waktu kecil,” sahut Kejora dengan jawaban yang sama persis seperti yang ia tuliskan dalam note untuk Bintang. *** Rasi Aquilla: Kamu nggak usah jemput aku, ya, hari ini. Aku pulang sama Biru. Tiada kata bosan, Bintang membaca isi chat terakhir dari Rasi berulang-kali. Termasuk ketika malam ini ia sedang berdiri di depan rumahnya, menunggu Rasi yang belum pulang juga di saat waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. “Ngapain aja, sih, mereka sampai jam segini belum pulang-pulang juga. Kebiasaan banget!” keluh Bintang, emosi. Pasalnya, karena mereka kembali terlalu lama, Bintang jadi harus menunggu lama pula untuk bertemu Rasi, di saat dirinya tidak sabar ingin cepat-cepat memberikan puisi karangannya sendiri secara langsung pada Rasi, yang ia buat untuk tugas Pak Handoko tadi pagi dengan nilai A+. Karena Bintang memang sengaja mendedikasikan puisi itu untuk Rasi. Bahkan selama menulis pun, Bintang tidak henti-hentinya memikirkan Rasi. Membayangkan wajah Rasi, senyum Rasi, tawa Rasi, dan segalanya yang berkaitan dengan Rasi. Akan tetapi di saat Bintang inginnya bertemu Rasi, entah bagaimana bisa kepalanya malah dipenuhi oleh kata-kata yang tertulis dalam dua notes yang ada di tasnya tidak tahu dari kapan itu. Yang pengirimnya masih belum bisa ia terka-terka sampai saat ini. Meskipun sejujurnya ada sedikit rasa penasaran yang menelusup dalam benak Bintang, akan keingintahuannya tentang siapa penulis notes itu. Karena setelah sekian lama, baru kali ini ada seseorang yang menyanjung permainan pianonya, ketika orang-orang di sekitarnya justru melarangnya untuk menyentuh alat musik itu. “Siapapun lo, terima kasih,” gumam Bintang. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN