3

2348 Kata
  Di atas sebuah bukit, Rasi berjalan menapaki jejak ke mana pun Biru melangkah. Menemani Biru yang asyik dengan kameranya, membidik pesona apapun yang menurut cowok itu indah. Tidak sedetik pun tarikan senyum Rasi memudar selama ia memerhatika Biru memotret. “Kalau lo mau pulang, pulang aja,” tutur Biru sembari melihat hasil jepretannya. “Gue masih lama di sini.” “Aku nggak mau pulang kalau nggak sama kamu.” Mengikuti Biru sampai di sini, meski Biru jarang sekali mengajaknya bicara memanglah kemauan Rasi sendiri. Biru tidak pernah mengajaknya. Biru cuma bilang, kalau ia ingin ke bukit untuk menunggu senja. Memenuhi hobi fotografinya, yang entah mengapa saat ini, ia sedang ingin sekali memotret merahnya langit senja. “Biru.” Dengan ada keraguan Rasi memanggil. “Hm?” “Cita-cita kamu jadi fotografer, ya?” “Bukan,” sahut Biru singkat. “Kalau cita-cita kamu bukan fotografer, kenapa kamu suka mengambil gambar kayak sekarang?” “Bagi gue semua hal baru akan terasa abadi, ketika kita dapat melihatnya berulang-ulang kapanpun kita mau,” urai Biru tanpa menoleh pada Rasi yang mengajaknya bicara. Sepasang matanya serius menilik langit yang menjadi objek utamanya saat ini, dari berbagai sisi. “Kamu bisa suka sama fotografi, walaupun kamu nggak bercita-cita menjadi seorang fotografer. Tapi kenapa kamu nggak bisa kasih kejelasan sama aku, walaupun kamu sadar kalau aku mengharapkan kejelasan itu sejak lama.” Tidak ada sahutan. Suasana hening sore menjelang malam itu hanya terisi oleh hembusan semilir angin. Hingga Rasi yang sebelumnya berdiri membelakangi Biru, lantas berbalik lantaran penasaran akan hal apalagi yang membuat Biru tidak merespon ucapannya barusan. Setelah sebelum-sebelumnya, setiap kali ia mengatakan hal yang sama, selalu ada saja hal yang mengalihkan perhatian Biru sampai tidak fokus akan apa yang ia ucapkan. “Senjanya bagus,” gumam Biru tak lama, sembari memasang posisi kameranya tepat di depan mata. Bersiap untuk bidikan selanjutnya. Di pihak lain, Rasi yang sudah biasa terabaikan oleh Biru, tidak lagi merasa terabaikan. Gadis itu malah ikut memerhatikan langit senja seperti Biru, namun bedanya ia dengan mata t*******g. Tidak ada lensa apapun yang membantu penglihatannya. Rasi tidak tahu apa yang membuatnya sedalam ini menaruh harap pada Biru, di saat Biru tidak pernah memberi kejelasan padanya. Tapi yang jelas Rasi tahu pasti saat ini adalah, dirinya selalu merasa nyaman berada di dekat Biru. Biru yang jarang bicara selalu berhasil menciptakan ketenangan dalam diri Rasi. Yang membuatnya tidak pernah memiliki keinginan lain dalam hidupnya, selain ingin terus berada di sisi Biru. *** Rasi Bintang Dua kata itu memang terdengar indah bila disandingkan. Aku tidak pernah tahu kenapa nama orangtua kita memberi kita nama yang senada. Apa karena mereka dekat, dan jarak lahir kita yang hanya berselang hari? Jadi mereka telah merencanakannya? Atau karena Tuhan memang menciptakan kita untuk hidup senada dan berdampingan? Aku tidak paham betul soal itu. Tapi yang baru aku coba pahami tadi pagi, kata rasi dan bintang ada, digunakan untuk menghubungkan tiap titik bintang. Dari bintang satu ke bintang yang lain, hingga membentuk suatu rasi yang kita tahu makna di balik kemunculannya malam itu. Terakhir dari puisi ini, aku cuma ingin bilang bahwa, sejatinya bintang di langit akan tetap ada walau tanpa rasi di antaranya. Namun sayangnya, rasi di langit tidak akan pernah tercipta jika tidak ada bintang di antaranya.   Untuk Rasi, dari Bintang, Ditulis dengan pulpen pinjaman Oskar. “Dasar nggak modal!” umpat Rasi, seraya tertawa membacanya. Seusai membaca habis puisi yang ditulis Bintang di sobekan tengah buku, yang diberikan saat ia baru tiba di depan rumah tadi, Rasi melipatnya menjadi empat bagian lipatan. Kemudian menyimpannya di dalam laci meja belajarnya. Tanpa Rasi sadari, bahwa di balik jendela kamar yang terbuka, di seberang rumahnya sana, Bintang―si penulis puisi―memerhatikannya dari kejauhan. Dengan menggunakan teropongnya, Bintang berusaha untuk mengeker, ingin tahu bagaimana raut wajah, ekspresi, sekaligus reaksi Rasi, ketika membaca puisi pertamanya, yang ditulis dalam rangka menuntaskan tugas Pak Handoko. Bintang jelas kecewa ketika nyatanya, Rasi tidak menunjukkan raut wajah, ekspresi, bahkan reaksi yang ia harap-harapkan dari tadi. Rasi nampak biasa saja. Malah menurut penilaian Bintang, gadis itu lebih cenderung terlihat agak kesal ketika selesai membacanya. Seperti ada penyesalan karena telah membaca sampai kata terakhir. Dalam hati Bintang hanya bertanya sambil berpikir, bagaimana caranya untuk mendapat cinta seseorang semacam Rasi, yang cintanya masih terlampau jauh untuk orang lain? *** Naomi menatap aneh kedatangan Kejora dari ujung kepala sampai ujung kaki, yang penampilannya nyentrik dengan segala pernak-pernik berbau serba bintang. Dari mulai bandana, tas, sepatu, sampai cardigannya. Semua dihiasi dengan motif bintang-bintang. “Sejak kapan lo suka pake bintang-bintang begini?” “Sejak gue suka Bintang,” jawab Kejora cuek, seraya menaruh tasnya di atas meja, yang kemudian ia duduk di kursinya, tepat di sebelah Naomi. Naomi yang salah menangkap, tiba-tiba berdecak. “Maksud gue lo suka bintangnya sejak kapan?” “Sejak gue suka Bintang, Naomi. Bintang yang tampil main piano pas acara pensi waktu itu, masa lo lupa, sih?” “Sebegitunya lo suka sama cowok itu?” Kejora hanya menggedikkan kedua bahunya sebagai jawaban atas pertanyaan Naomi. Lalu memasang earphone-nya untuk menyumpal kedua lubang telinganya. Mendengarkan segala jenis instrumental piano yang tersimpan di daftar lagunya. Biarlah Naomi ingin mengartikan maksud gedikan itu apa. Terserah. Karena Kejora sendiri pun sebenarnya agak membingungkan perasaannya yang dapat berubah dalam waktu singkat, cuma karena instrumental musik yang Bintang mainkan. Cinta kadang memang seajaib itu. *** Siang itu, tepatnya selepas bel istirahat berdering sejak satu jam yang lalu, di tengah lapangan, kaki Bintang meliuk-liuk dengan lincah, menendang sekaligus menggiring sebuah bola, yang kemudian ia oper pada salah satu teman di timnya, yang sudah menunggu di dekat gawang lawan. Namun belum sampai tuntas Bintang mengoper, tiba-tiba seseorang dari tim lawan bergerak cepat mengambil alih bola tersebut. “Yah!” Kejora yang duduk sendirian di tribun belakang sontak mendesah pelan, kecewa. Sementara di sisi lain, Bintang yang tidak akan tinggal diam dalam permainan, segera mengejar seseorang yang telah berhasil mengecohnya itu. Memulai untuk menggunakan taktik andalannya. Bintang sengaja mengunci tatapan lawannya lebih dahulu, hingga saat fokus lawannya menghilang, barulah kakinya bergerak dengan cekatan mengambil alih kembali benda bundar tersebut. Dan menggiringnya balik ke gawang lawan. Saat posisinya sudah lebih dekat, Bintang langsung menendangnya. Bola tersebut melambung tinggi. Seluruh pasang mata yang berada di dalam area lapangan indor saat itu kini terpusat pada satu titik. Mengikuti ke mana mengarahnya bola tersebut. Penjaga gawang yang menjadi incaran tim Bintang berjaga-jaga dengan kedua tangan membentang lebar, bersiap menangkap bola yang Bintang lambungkan. Detik demi detik berlalu agak lambat. Sampai tak lama kemudian, bola itu benar-benar mendarat tepat di dalam gawang. Benda karet itu berhasil meloloskan diri dari tangkapan sang penjaga gawang. “Pritt!” Wasit meniupkan pluitnya. Pertanda latihan harus diakhiri. Tanpa memanfaatkan durasi yang tinggal tersisa kurang dari lima detik. “Yeay! Tim Bintang menang!” seru Kejora pada Naomi. Suaranya sengaja tidak terlalu keras, agar tidak terdengar oleh Bintang. Bukan hanya Kejora, saat itu juga suasana tegang di area lapangan indor meluruh dengan cepat. Berganti dengan keramaian yang diciptakan oleh para penonton dari kubu pendukung tim Bintang, yang berisi teman-temannya sendiri, yang salah satunya adalah Oskar. Mereka bersorak-sorai begitu semangat, bangga akan para pemain yang didukungnya. “Bintang, semangat, ya!” Detik selanjutnya, Kejora segera membekap mulutnya sendiri. Dirinya yang terlalu semangat ketika menyemangati Bintang membuat volume suaranya sampai tak terkontrol seperti ini. *** Setelah bertos-tos ria dengan teman-teman basketnya yang sempat menjadi tim lawannya pada latihan hari ini, Bintang yang semula hendak langsung menuju ruang loker, tiba-tiba derap kakinya terhenti spontan. Ketika samar-samar ia mendengar seperti ada suara teriakan seseorang yang menyerukan namanya. Pandangan Bintang berkeliling, menyapu area sekitar lapangan. Mencari dari mana sumber suara itu berasal. Sampai tak sengaja ia menangkap sosok seorang gadis dengan wajah yang tidak begitu asing baginya. Sosok Kejora yang hanya sekali muncul di hadapan Bintang, dan Bintang pun melihatnya kurang dari satu menit, membuat Bintang lupa dan tidak mengingatnya. Tapi berhubung Kejora yang terlalu percaya diri, gadis itu sudah ketakutan duluan kalau sampai Bintang mengenalinya. Dan tentunya ia panik bukan main sekarang. “Nom, gimana, nih, dia ngeliatin gue!” Buru-buru Kejora menyembunyikan wajahnya, di balik kedua telapak tangannya yang dirapatkan. “Kita keluar aja, yuk!” Dengan gusar, Kejora main langsung tarik tangan Naomi yang kelamaan merespon itu. Ya, memang tidak heran juga, kalau selama pertandingan latihan berlangsung, kepala Naomi terus menunduk, memainkan ponselnya, tanpa memerhatikan Bintang atau pemain siapa pun di lapangan sana. Tidak seperti Kejora yang tidak lengah sedetik pun untuk tidak memerhatikan Bintang berlaga. Karena sebetulnya keberadaan Naomi saat ini cuma sebatas menemani Kejora saja. Tidak lebih. Melihat gadis yang berwajah familiar itu tiba-tiba pergi, sambil mengelap keringat, Bintang mencoba-mengingat-ingat. Apakah ia pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya? Keheningan menyesap di kepala Bintang. Hingga akhirnya ia putuskan untuk menyerah. Ah, entahlah. Bintang lupa. Dengan tak acuh, Bintang tidak mau ambil pusing. Lebih baik ia sekarang segera ganti baju agar tidak telat menjemput Rasi. *** “Woi, bagi air dong air air air! Gila, gue haus banget, nih.” Belum-belum Bintang sampai di ruang loker, suara Yogi yang teriak-teriakan persis seperti kenek angkot sudah terdengar memekak telinganya. Tak lama disusul oleh pekikan Oskar. “Sama, gue juga. Hampir mati, nih, saking hausnya. Air mana, sih? Masa nggak ada yang punya air sama sekali di sini?” Kebiasaan anak-anak futsal. Selesai latihan pasti berisik kehausan. Meributkan air, karena tiap latihan kebanyakan dari mereka memang tidak pernah sedia air. Paling hanya satu atau dua orang yang selalu siap sedia air mineral sebelum latihan dimulai. Dan salah satunya Oskar. Tapi sayang sekali, giliran latihan kali ini Oskar lupa menyisakan uang jajannya untuk membeli air. “Waduh, jangan hampir mati gitu lo, Kar.” Bintang yang baru datang langsung ikut menyeruak. “Nih, minum air ludah gue aja, nih. Lumayan nyegerin, kok. Lebih seger dari es teh botol Bang Erwin malahan.” “Idih, najis! Najis mugoladoh! Mending mati kehausan gue, daripada harus minum air ludah lo, asli!” sumpah serapah Oskar sambil membanting handuk kecilnya. Membuat anak-anak yang lain tertawa mendengarnya. “Lagian, tumbenan lo teriak-teriak haus, Kar? Kalau si Yogi, sih, udah nggak heran,” Untuk mengeringkan badan dari keringat, Bintang duduk sejenak nimbrung dengan anak-anak yang lain. “Biasanya kan justru lo yang suka bawa minum?” “Iya, Kar.” Tahu-tahu Gino menceletuk. “Gue mau minta dong!” “Apaan lo minta-minta!” sentak Oskar. “Duit jajan gue aja habis. Lupa nyisain buat beli air, tadi. Ada juga lo beli. Gantian. Uang jajan lo kan ngalahin uang jajan anak presiden.” “Beli, gih, beli. Jangan kayak rakyat sampah lo pada.” Gino membalas, menggampangi. Tidak mau ambil pusing. “Cukup muka aja yang kayak sampah.” Seketika Yogi bangkit berdiri. “Mana uangnya sini, biar gue sama Astro yang beli.” “Apa-apaan lo bawa-bawa nama gue?!” Astro, seseorang yang tidak suka namanya disebut-sebut oleh Yogi tanpa seizinnya seketika menyentak. “Nggak mau gue. Bang Erwin tutup, kalau mau beli minum mesti ke minimarket depan. Ngapain amat, jauh.” Yogi berdecih. “Awas aja lo, kalau airnya udah ada terus minta! Lo kan biasanya gitu. Kalau belum ada wujudnya sok jual mahal. Giliran udah ada langsung mau,” kesalnya. “Lo tenang aja, orang gue nggak haus-haus banget,” tak acuhnya. “Oh, ya udah, Kar, kalau Bang Erwin nggak buka, kita beli es soda yang seger-seger di minimarket depan. Es Bang Erwin doang mah nggak bakal terasa. Cuma geli-geli di kerongkongan,” seru Yogi, dengan suara yang sengaja di besar-besarkan. Agar Astro yang baru saja bergegas menuju toilet ganti mendengarnya. “Uangnya ambil di kantong baju gue di loker,” titah Gino sembari mengelap keringatnya. *** Persis seperti anak burung yang dahaga setelah terbang mengelilingi nusantara, begitu Oskar dan Yogi datang dengan beberapa kaleng minuman soda dingin di tangan mereka, semua langsung mengerubungi. Berebut karena takut tidak kebagian. Hanya Bintang yang memilih untuk menonton, seakan pasrah saja. Kalau kebagian, ya syukur alhamdulillah. Kalau tidak pun tidak masalah. Sedangkan sebaliknya, Astro yang semula bersikap sok jual mahal dan tidak haus, justru yang paling pertama merampas satu kaleng minuman segar dari tangan Oskar. Sampai-sampai bukan hanya Oskar, yang lainnya pun agak tidak ikhlas melihatnya. Terutama Yogi. Kalau saja minuman itu tidak dibeli dengan uang Gino, alias dibeli dengan uangnya, mungkin ia tidak akan segan-segan merampas balik minuman kaleng yang menyegarkan itu dari Astro. Omong-omong soal Astro, menyadari Astro yang sedang belagak memainkan ponselnya sesaat mengingatkan Oskar akan ponselnya sendiri. “Eh iya, Bi, tadi ponsel gue dititipin ke lo kan?” “Ada tuh di loker gue,” sahut Bintang. “Ambil aja.” Setelah meneguk habis minumannya, barulah Oskar berjalan menuju loker Bintang untuk mengambil benda miliknya. Perhatian Oskar terkecoh, ketika ia melihat ponselnya di saat yang sama ia juga melihat sesuatu yang lain. “Wah, s**l si Bintang!” omelnya, tiba-tiba. Membuat Bintang sedikit bingung. “Kenapa?” tanya Bintang. “Parah lo nggak bilang-bilang kalau ada minum. Padahal gue haus banget, tadi. Mana Bang Erwin nggak buka. Gue sama Yogi sampai bela-belain beli di minimarket depan saking hausnya,” cerca Oskar. Sebagai teman terdekat Bintang, di tim futsal maupun di kelas, tentunya ia merasa telah dikhianati oleh Bintang. “Pantes aja lo nggak kebagian juga diem-diem aja, nggak ribut.” “Minum?” Bintang bertanya balik. “Minum dari mana? Nggak ada minum gue, beneran. Tenggorokan gue aja masih kering, nih.” “Boong melulu lo, upil! Kalau lo nggak ada minum, terus ini air apaan? Air keran?! Masa iya air keran ditaruh di dalem botol bersegel gini!” Melihat sebotol air mineral yang Oskar tunjukkan padanya, seketika membuat Bintang terpelongo heran. Segera ia beranjak dari posisi duduknya, lalu mendekat pada Oskar yang masih berdiri di hadapan pintu lokernya yang terbuka. “Itu minum siapa?” tanya Bintang lagi, setelah ia memastikan bahwa minuman itu nyata adanya. “Pake nanya lagi lo.” Oskar berdecak. “Buat gue, ah. Gue masih haus.” Tanpa memikirkan tenggorokannya yang sebenarnya juga merasa dahaga belum tersentuh air, Bintang membiarkan Oskar meminum minumannya yang ia sendiri tidak tahu-menahu bagaimana bisa minuman itu ada di lokernya. Hingga sesaat matanya menangkap sebuah note yang tergeletak, juga di dalam lokernya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN