Usai menepikan motornya bersamaan dengan suara deru mesin yang berhenti, Bintang mengeluarkan ponselnya yang kemudian ia gunakan untuk memanggil nomor ponsel Rasi.
“Ha―”
“Ras, aku udah di depan sekolah kamu, nih. Kamu di mana?” Belum habis Rasi berucap satu kata, Bintang langsung menyambarnya. “Jangan bilang udah balik duluan sama Biru?”
“Apa, sih, Biru-Biru mulu! Aku masih di kelas, tau!” omel Rasi seakan tidak suka kalau sahabat kecilnya itu seringkali menyalahkan Biru bahkan untuk hal yang bahkan Biru sendiri tidak tahu. Contohnya seperti sekarang ini. Biru mana tahu, kalau dirinya ada kelas tambahan dari Bu Tuti, guru matematikanya, yang seolah merasa 9 jam di sekolah tidaklah cukup untuk anak-anak didiknya. Sehingga beliau tidak jarang memberi kelas tambahan yang jelas tidak ada di jadwal. “Udah, sekarang kamu tunggu aja, ya. Sebentar lagi selesai, kok. Kalau bosen, jalan-jalan aja di area sekolahku. Sekolahku luas, kok. Nggak kayak sekolah kamu. Oke?”
“Harus banget ya kamu banding-bandingin sekolah kamu sama sekolah aku di keadaan kayak gini?”
Rasi terkekeh. Gadis itu memang suka sekali menggoda Bintang yang emosian. Saking sukanya ia sampai hampir lupa kalau dirinya sedang dalam situasi tidak aman sekarang. Karena diam-diam menerima panggilan dari Bintang, di saat kelas tambahan Bu Tuti masih berlangsung.
“Bi, aku matiin, ya. Daripada ponselku disita gara-gara kamu. Bye-bye...”
Tuuuttt tuutt
Sambungan terputus. Dan mau tidak mau, suka tidak suka, Bintang harus menunggu sampai kelas tambahan Rasi berakhir. Walaupun sebetulnya, Bintang paling tidak suka menunggu. Tapi tidak perlu heran, segala sesuatu yang berkaitan dengan Rasi ini memang selalu menjadi pengecualian bagi Bintang.
***
Naomi membanting diri di atas ranjang Kejora hingga tubuhnya sedikit memantul. “Gimana, sih, lo, Ra? Awalnya aja lo ngeliatin dia mulu. Terus tadi giliran diliatin balik, langsung keok begitu. Ah, payah!”
“Suka dalam diam itu nggak mudah, Nom. Serba salah,” sungut Kejora disertai dengan helaan napas yang mengembus agak berat, seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi meja belajarnya. Mata bundarnya memandang salah satu bintang yang terdapat pada wallpaper kamarnya. “Nggak ketahuan, bikin sakit diri sendiri. Tapi kalau sampai ketahuan, pasti akan ada kejadian yang nggak terduga setelahnya. Apalagi kalau ternyata dia nggak memiliki perasaan yang sama seperti yang kita rasain.”
Seakan memikirkan kembali perkataan Kejora, Naomi sampai menggaruk kepalanya yang mendadak gatal tanpa sebab itu. “Rumit juga, ya,” ujarnya. “Eh, iya, Ra, alasan lo suka sama Bintang apa, sih? Selain karena permainan pianonya yang mirip sama permainan nyokap lo.”
“Nggak ada.” Kejora menggeleng kecil. Tak lama sorot mata gadis itu menatap jauh, menghanyutkan dirinya sendiri.
“Ibu suka banget, ya, sama piano?”
“Piano itu separuh jiwa Ibu.”
“Kenapa cuma separuh, Bu?”
“Karena separuhnya lagi ada di kamu, Kejora,” tutur Lily dengan suaranya yang selalu bernada lembut, menenangkan telinga. “Seluruh jiwa Ibu memang sempat Ibu berikan sepenuhnya pada musik. Pada piano. Tapi itu dulu, sebelum Ibu memiliki Kejora.” Sambil tersenyum, salah satu tangannya terangkat mengusap puncak kepala Kejora.
“Oiya, Bu, mainkan instrumen yang kemarin untuk Kejora lagi dong, Bu. Kejora suka, deh. Alunannya selalu bikin Kejora tenang. Sama seperti suara Ibu, hihi,” kekeh Kejora.
Tanpa berkata apapun lagi, tak lama jari-jemari Lily bergerak lentik ke kanan dan ke kiri. Menekan tuts-tuts di hadapannya sehingga memunculkan irama yang merdu. Irama yang mampu membuat Kejora selalu hanyut ke dalam alunannya.
“Na... Nananana... Nanana...” Gadis kecil itu bernyanyi mengikuti tuntunan melodi yang diciptakan oleh permainan piano ibunya.
“Gue suka sama Bintang, karena cuma dia satu-satunya orang, yang bisa memainkan instrumen itu, sama persis dengan yang ibu gue mainkan buat gue waktu kecil.”
“Jadi, kalau semisal waktu itu lo nggak mendengar permainan piano Bintang di pensi, artinya lo nggak akan suka sama dia?”
Dengan kedua bahu bergedik Kejora menjawab, “Mungkin.”
Berawal dari jatuh cinta akan permainan musiknya, kini tidak bisa Kejora pungkiri lagi, kalau ia sudah jatuh cinta pada kedua-duanya. Pemainnya, dan permainan musiknya.
“Tapi, Ra,” Tiba-tiba Naomi menyela. Hingga secara tak langsung ia berhasil memancing Kejora untuk melirik ke arahnya. “hm... Kalau nggak tahunya Bintang udah punya pacar gimana?”
***
Ketika Bintang sedang memerhatikan apa saja yang terliat di depan matanya, termasuk orang-orang yang berlalu-lalang melewatinya sore itu di depan sekolah Rasi, tiba-tiba ia teringat kembali akan sesuatu yang ia temukan di dalam lokernya tadi. Bukan, bukan minumannya. Melainkan isi tulisan dari note-nya.
Kalau gue suka sama lo, boleh ‘kan?
Tanpa bosan Bintang membaca tulisan pada kertas yang dipegangnya itu berulang-ulang. Bagaimana bisa ia memperbolehkan atau tidak, sedangkan ia sendiri tidak tahu siapa yang menulisnya. Kalau perempuan, sih, boleh-boleh saja. Tapi kalau laki-laki? Jelas, ia tidak akan memperbolehkan.
Karena terus sibuk dengan pikirannya, Bintang sampai tidak menyadari, bahwa seseorang yang ia tunggu-tunggu sejak tadi sudah keluar dari kelasnya. Dan sedang mendekat ke arahnya. Mengetahui Bintang yang tidak menyadari kedatangannya, lantas sebuah ide usil melintas di kepala Rasi.
Sambil menghitung dalam hati, gadis itu berjalan mengendap-ngendap. Tangannya seolah bersiap untuk menerkam Bintang.
Satu, dua...
“Dor!!!”
Dari belakang Rasi mengagetkan Bintang sampai Bintang benar-benar tersentak bukan main.
“Apaan, sih, lo!” bentak Bintang refleks. Bahkan sampai keceplosan menggunakan kata ‘lo’.
Dengan cepat ia segera mengantungi kembali note entah dari siapa itu, sebelum sahabat kecilnya yang usil binti menyebalkan itu melihatnya.
“Dih, marah-marah?” Rasi tertawa, puas. “Kaget, ya?”
“Nggak. Siapa yang marah?”
“Itu kamu tadi? Pasti gara-gara kaget kan?” goda Rasi sambil mengenakan pelindung kepalanya.
Demi mengalihkan topik agar Rasi berhenti meledeknya, akhirnya Bintang terpaksa membicarakan apa yang sebetulnya tidak ingin ia bicarakan. Terutama pada Rasi. “Ras, kamu tahu nggak, di sekolah kan aku punya penggemar rahasia.”
“Adu-adu, setelah sekian lama, akhirnya sahabat aku yang satu ini ada yang sukain juga. Ciyeee...” Rasi yang tidak habis akal, topik baru yang Bintang buat ini justru malah memancingnya untuk kian gencar menggoda Bintang.
“Iyalah, emangnya kamu. Di php-in mulu sama orang!” balas Bintang.
Sembari memasang posisi duduk di belakang Bintang, Rasi menimpali, “Enak aja! Biru nggak php-in aku, tau.”
“Kan... kan. Padahal aku nggak sebut nama Biru. Nggak ngomongin dia juga. Tapi kamunya udah ngerasa duluan.” Kedua bahu Bintang terangkat tak acuh. Sampai kemudian deru mesin motor lebih mendominasi sahutan-sahutan mereka di tengah perjalanan.
***
Tok tok tok
Obrolan Kejora dan Naomi terputus karena tiba-tiba suara ketukan pintu kamar menyeruak di antaranya.
“Kejora,” panggil seseorang dari luar sana, yang Kejora kenali pemilik suara keibuan itu adalah tantenya, Milka.
“Iya, Tante, sebentar―”
“Jangan dibuka, kunci aja.” Sergahan Tante Milka kontan membuat uluran tangan Kejora yang hendak membuka pintu, terhenti seketika. “Pokoknya kamu jangan keluar kamar sampai Tante perbolehkan kamu keluar, ya, Kejora?”
“Lho? Memangnya ada apa, Tante?”
“Milka, mana Kejora?! Mana anak saya?! Saya ingin bertemu dengannya!”
Tanda tanya di kepala Kejora lenyap, saat sentakan demi sentakan akan suara berat milik ayahnya memekak sekaligus mengagetkan dirinya. Bukan hanya keget, bahkan seluruh sendi dalam tubuh Kejora bisa mendadak lumpuh sesaat tiap kali ia mendengar sentakan ayahnya. Seperti saat ini, tiba-tiba saja Kejora mengambil posisi jongkok merengkut erat kedua lututnya yang tertekuk, tanpa bergerak satu senti pun dari pijakannya.
“Ra, lo kenapa?” Segera Naomi beranjak mendekati Kejora, lalu kemudian ikut mengambil posisi yang sama di hadapan Kejora.
Kejora menggeleng. Matanya hanya menatap koson ke bawah.
“Kejora?”
“Gue takut, Nom....” lirih Kejora, pelan.
“Takut apa? Emangnya ada apa?” tanya Naomi, terheran-heran.
Kejora tidak menjawab. Namun Naomi tidak begitu mempermasalahkan, meskipun dalam benaknya ia masih mengharap penjelasan dari Kejora. Karena sekian lama ia berteman dengan Kejora, baru sekarang ia mendapati Kejora seperti ini, sementara dirinya tidak tahu apa-apa tentang penyebabnya.
Hingga akhirnya Naomi hanya bisa memeluk Kejora seraya berkata, “Apapun yang lo takutin, gue janji bakal selalu ada di samping lo sebagai sahabat lo, Ra. Jadi lo tenang aja, ya.”
***
Sementara di luar kamar Kejora, Milka sedang berupaya keras untuk menghalangi Ayah Kejora yang mencoba menerobos masuk kamar Kejora, setelah sebelumnya ia berhasil menerobos masuk ke dalam rumah Milka.
Dengan tatapan nyalang yang menyorot lurus sepasang mata seorang pria paruh baya di hadapannya, Milka menyentak berkali-kali. “Dengar, Surya, selama saya masih hidup, sampai selama itu juga kamu tidak akan bisa bertemu dengan Kejora. Karena sampai kapan pun, saya tidak akan membiarkan kamu untuk menyakiti Kejora lagi, sama seperti kamu menyakiti Kak Lily dulu!”
“Hey! Kamu itu bukan siapa-siapanya Kejora. Kamu hanya adik tiri Lily. Kamu tidak memiliki hubungan darah apapun dengan Kejora.” Jari telunjuk Surya menunjuk tegas ke arah wajah Milka, seolah meremehkan posisi wanita itu yang memang bukan merupakan bagian dari keluarga kandung mendiang istrinya. “Berbeda dengan saya. Saya ayahnya, dan Kejora adalah darah daging saya.
“Saya tidak peduli. Yang terpenting saya menyayangi Kejora lebih daripada kamu menyayangi dia! Saya tau, kamu pasti mencari-cari Kejora karena kamu membutuhkan dia untuk mendapatkan harta warisan Ibu!” tandas Milka tanpa ada sedikitpun rasa takut.
“Kalau sekalipun niat saya seperti itu, apa hubungannya dengan kamu? Apa saya akan merugikan kamu?” Belum sempat Milka menjawab, Surya menyambar lagi, “Oh, saya paham. Jangan-jangan justru kamu yang ingin memanfaatkan Kejora untuk mendapatkan harta warisan Ibu?”
Plak
Tidak segan-segan Milka mendaratkan tamparan keras pada permukaan pipi Surya.
“Sembarangan kamu bicara! Jangan pernah kamu samakan saya dengan dirimu!” Milka membalas sentakan tidak terima. “Sekarang saya minta kamu pergi dari rumah saya, dan berhenti mengganggu Kejora lagi!”
Milka mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong Surya sampai benar-benar keluar dari rumahnya. Kemudian cepat-cepat ia menutup kembali pintu rumahnya dengan sekali gebrak. Disusul dengan suara kunci yang berputar.
***
Sambil memerhatikan sederet soal yang tercetak pada sebuah buku yang terbuka di hadapannya, Bintang menggaruk kepala belakangnya yang terasa gatal karena frustrasi. Dalam diam Bintang sedang memaksakan otaknya untuk berpikir keras mencari jawaban dari soal-soal tersebut. Sementara di seberang meja sana, ada Rasi yang sibuk mengerjakan tugasnya tanpa rasa sulit.
“Lima, dua puluh. Jadi hasilnya tiga puluh lima.” Bintang tersenyum lega ketika akhirnya ia mendapat hasil dari hitungannya. Namun hanya sesaat, senyum Bintang pudar sesaat setelah ia mengecek pilihan jawaban yang tersedia. “Ras, kok, hasil yang aku hitung nggak ada di pilihan gandanya, sih? Apa jangan-jangan bukunya salah ketik, kali!” protes Bintang yang seketika berhasil mengalihkan perhatian Rasi.
“Salah ketik gimana? Mana coba sini aku cek.” Rasi mengambil buku tugas Bintang yang terjangkau oleh tangannya. Kemudian mengecek cara menghitung yang dipakai oleh Bintang. “Hm, pantes aja jawaban kamu nggak ada di pilihan. Kamu salah, Bintang. Nggak begini caranya. Gimana, sih?! Daritadi udah aku ajarin berkali-kali masih aja nggak ngerti!”
“Salah gimana? Bukannya tadi kamu bilang kalau udah dikali semua, tinggal dijumlah hasil ketiga-tiganya?” tanya Bintang dengan kernyitan di dahi sembari memerhatikan kembali cara menghitungnya dalam mencari jawaban.
“Iya, tapi sebelum dikali, kamu cari dulu persamaannya, Bintang.” Rasi berusaha mengatur nada bicarannya agar tidak terdengar emosi. “Capek aku, tuh, ngajarin kamu, tahu. Susah ngertinya. Sampai mulut aku berbusa juga kayaknya kamu nggak bakal ngerti-ngerti, deh, caranya.”
Bintang memang jago soal teknik-teknik memainkan piano. Jago soal teknik-teknik bermain futsal. Tapi kalau soal pelajaran? Jangan ditanya. Kemampuan isi kepala Bintang dalam bidang akademik NOL BESAR! Kalau tidak ada bantuan Rasi yang rela mengajarinya berulang kali tiap kali Bintang memiliki tugas, mungkin Bintang sudah tinggal kelas sejak SD.
Tidak ingin mengakui kemampuan otaknya yang minim, Bintang mengelak, “Aku nggak ngerti bukan karena akunya. Tapi karena cara yang kamu ajarin aja ribet. Jadinya malah bikin aku bingung.”
“Oh, gitu? Jadi menurut kamu cara yang aku ajarin ke kamu ribet?” tantang Rasi seraya melipat kedua tangannya di d**a. Sepasang matanya menyorot Bintang kesal. Kalau Bintang sudah meremehkan seperti ini, Rasi tidak bisa mengatur emosinya lagi.
“Iya. Emang cara kamu ribet.”
Rasi mendengus. “Yaudah kalau gitu. Jangan pernah minta ajarin aku lagi kalau ada tugas. Awas aja!”
“Eh, jangan dong!” Mendengar keputusan Rasi, seketika Bintang menyeru spontan. “Ini tugas aku belum selesai. Bantu aku selesaiin dulu, baru kamu boleh marah.”
“Nggak! Aku nggak akan mau ngajarin kamu lagi. Kamu pakai aja sana cara kamu yang nggak ribet itu. Kamu bilang kan cara aku ribet.”
“Yaelah, gitu doang ngambek. Aku kan nggak serius. Aku cuma bercanda,” sahut Bintang, berusaha membujuk Rasi.
“Nggak. Aku bilang nggak, ya, nggak. Mau kamu bujuk kayak gimana juga nggak bakal mempan!” sungut Rasi sambil membereskan buku-bukunya. Memasukkannya ke dalam tas. “Sana, deh, mending kamu pulang. Aku udah selesai belajarnya. Mau tidur!”
“Yaudah, aku balik. Aku bisa nyontek sama Oskar di sekolah besok pagi.”
“Yaudah, sana. Buat seterusnya juga, kalau ada tugas nyontek aja sama Oskar. Dasar Bintang jelek!” Rasi menandas, kemudian menjulurkan lidahnya pada Bintang. Sebelum akhirnya ia bergegas menaiki anak tangga menuju kamarnya. Meninggalkan Bintang di ruang tamu rumahnya sendirian dengan rasa kesal yang sama.
“Dasar Rasi nyebelin!” pekik Bintang tidak mau kalah.
***