Kala membuka mata, Mawar menemui langit-langit berwarna putih yang di sisi-sisi cekung kotak bagian tengah terdapat lampu strip berwarna kuning yang mengelilingi.
Sesaat, Mawar mengerang, asik menangis semalam membuat tenggorokannya terasa kering dan perih. Melirik ke samping, Mawar mendapati sebuah guling yang tersimpan di sisi tubuh.
Siapa yang memindahkannya ke kamar semalam?
Pintu yang berderit terbuka membuat Mawar mendapati sesosok laki-laki yang masuk ke dalam ruangan sembari membawa nampan berisi semangkuk bubur, buah yang telah dikupas dan gelas jangkung dengan air putih.
"Kamu udah bangun ternyata," kata Dimas tenang.
Sedang Mawar langsung kembali memutar ingatan semalam yang sempat tenggelam di ruang pikirannya. Saat bagaimana laki-laki itu menyakiti dan melecehkan Mawar dengan kejam.
"Jangan deket-deket!"
Dimas tak mendengarkan, lelaki itu duduk di sisi pembaringan tak jauh dari posisi Mawar. "Makan."
"Enggak!"
"Makan!"
"Enggak mau!"
"Makan atau saya harus memperlakukan kamu sekasar semalam?"
Dimas adalah monster berdarah dingin yang akan membuat Mawar semakin tersiksa. Mencengkram namun tidak membunuh. Membiarkan Mawar mati pelan-pelan.
"Kamu tega Mas?! Aku benci banget sama kamu, Mas! Aku benci!" Dimas memejamkan mata kala kedua tangan terkepal Mawar menghantam tubuh terutama bagian dadanya berkali-kali, tangis wanita itu semakin menjadi dan histeris. Lama kelamaan, pukulan itu mulai melemah dan Dimas memanfaatkannya untuk mendekatkan sendok ke bibir Mawar.
"Marah, bersedih dan menangis juga butuh tenaga, makan sekarang."
Tapi Mawar menepis sendok itu sampai jatuh ke lantai, bubur pun berhamburan dimana-mana.
"Jangan sok peduli! Aku udah muak sama kamu, sama semua ini!"
"Apa mau kamu, Mawar?"
"Ceraikan aku dan biarkan aku pergi."
"Mas enggak akan ceraikan kamu."
"Apa tujuan kamu Mas? Aku selalu bertanya-tanya, kenapa kamu mau-mauan jadi pengantin pengganti dan jadi suami yang enggak diinginkan begini? Apa tujuan kamu?!"
"Kamu gak perlu tahu tujuan Mas." Dimas menunduk mengambil sendok yang tergeletak di lantai. "Yang jelas, Mas akan tetap menjalani pernikahan ini."
"Kamu bikin aku gila tahu enggak sih Mas? Semua ini udah terlalu lelah untuk aku hadapi. Dan kamu, malah menambah-nambah. Apakah di dunia ini, enggak ada, satu orang pun, satu orang aja yang mengasihani aku? Kenapa kalian berlomba-lomba ngasih aku beban kayak gini?" Mawar melempar semua hal yang bisa dirinya lempar ke segala penjuru. Salah satu bantal bahkan mengenai vas bunga dan membuatnya terjatuh di lantai. "Aku mau mati, aku mau mati."
Sedang di sisi lain, Dimas masih berdiam diri, hanya membiarkan Mawar menumpahkan semua amarah dan emosinya. Lelaki itu tak bereaksi sama sekali meski kamar sudah seperti kapal pecah karena tingkah tersebut.
Saat Mawar akhirnya berdiri dari atas pembaringan dan buru-buru melangkah mengambil pecahan vas yang cukup besar, Dimas pun meloloskan napas dari celah bibir. Kedua tangannya di masukan ke dalam saku celana, ia mengikuti langkah Mawar.
"Kamu yakin, Mawar?"
"Untuk apa aku hidup lagi? Semuanya udah hancur! Enggak ada yang bisa diperbaiki." Mawar takut, tapi ia tetap mengarahkan pecahan kaca itu ke pergelangan tangan kiri, mengincar nadi yang ada di sana. "Enggak ada yang bener-bener sayang sama aku. Enggak ada yang bisa mengasihani aku."
"Mas akan mengasihani kamu, lepaskan dan buang itu."
Mawar mana mau percaya akan perkataan Dimas. "Enggak, enggak mungkin. Mana bisa begitu. Mana bisa aku percaya sama orang yang amat aku benci."
"Kalau begitu, hilangkan orang yang kamu benci, bukan dirimu." Secepat cahaya, tangan besar Dimas mencengkram tangan Mawar, menahannya. "Tusuk saya di sini, sebagai penebusan dosa semalam. Meskipun Mas masih merasa jika, hal tersebut bukan salah Mas sama sekali."
"Enggak mau! Lepas!"
"Untuk apa kamu menyakiti dirimu sendiri, Mawar? Untuk apa kamu kepayahan begitu? Kamu yang akan merasakannya, bukan orang lain. Kamu hanya menambah-nambah bebanmu. Kalau kamu mau, sakiti Mas, demi kepuasanmu."
Mata Mawar kontan membesar kala dengan sengaja, Dimas mengarahkan pecahan kaca yang tajam itu keperutnya, menggores tanpa ragu di sana. Merobek kemeja putih yang dikenakan. Melukai dan membelah kulut. Cairan merah maroon nun kental merembes, sedikit demi sedikit sebelum kemudian, menderas.
Panjang luka di sana bisa Mawar perkirakan, hampir tujuh centi, kedalamannya juga tidak main-main.
Tangan Mawar gemetar. "Ma-Mas Dimas."
"Mau lagi?"
Dimas menggores tubuhnya di tempat lain menggunakan tangan Mawar. Darah semakin banyak, beberapa titik berulang-ulang terus berjatuhan di ubin yang dingin dan kemudian menggenang.
"Mas, lepas, ka-kamu berdarah, jangan lakuin ini. Enggak mau!"
"Jangan menyakiti dirimu yang sudah terluka, Mawar." Dimas berkata dengan ekspresi tak berarti. Tidak ada raut sakit di sana padahal tubuhnya telah tersayat. "Mas sudah tahu rasanya bagaimana. Dan itu sama sekali tidak menyembuhkan. Jadi lebih baik kamu lukai seseorang yang telah melukaimu, membalasnya."
"Tubuh kamu berdarah."
"Jangan bergerak, tetap diam di sana dan lepaskan kaca dari tangan kamu."
Gemetar, Mawar melepaskan pecahan kaca dari tangannya. Wanita itu masih menatap pada luka di tubuh sang suami. Ia tak menyangka jika Dimas akan dengan tenang melukai diri seperti ini.
"Ikut saya, hati-hati menginjak pecahan kaca, kita harus ke rumah sakit." Dengan tenang, Dimas menuntun Mawar. "Kamu harus diobati."
Dan Mawar masih diam, seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, dia mengikuti langkah Dimas. Sembari berpikir jika dibanding dirinya, Dimas yang lebih membutuhkan pengobatan.