Bermesraan

1148 Kata
    Di sebuah kamar rumah sakit, seorang pasien yang mengenakan kupluk putih dan piyama biru, terlihat sedang pundung. Ia sibuk memeluk—lebih tepatnya meremas—guling kecil dengan sarung tokoh animasi Nemo si ikan badut.     Ia baru saja memberi sebuah ancaman pada pemuda berseragam perawat di hadapannya. Bibirnya cemberut maksimal, membuat wajahnya jadi mirip si Nemo.     Meski sudah diancam, perawat di hadapannya tak menyerah untuk membujuk yang bersangkutan. “Ayolah, Dev. Kamu haru minum obat!”     “Pokoknya nggak, Mas. Mas Laurent harus izinin aku ikut. Setelah itu aku akan minum obatnya!”     “Tapi, Dev, kamu nggak boleh keluar dari rumah sakit. Udara di luar nggak baik buat kesehatan kamu.”     “Mas Laurent emang sejahat itu ternyata. Katanya Mas Laurent sayang sama aku. Tapi Mas kenapa Mas malah ngurung aku di sini terus?” Devon membuang muka ke arah lain. Tak ingin Laurent melihat matanya yang berkaca-kaca.     Laurent terhenyak mendengar kata-kata Devon. Ia tahu Devon sedang menangis sekarang. Sudah dua tahun lamanya ia hidup di rumah sakit ini tanpa bersosialisasi dengan dunia luar sekalipun. Jadi wajar kalau ia benar-benar merindukan suasana di luar sana.     Devon menghapus airmatanya dengan cepat. Kadang ia benci menjadi cengeng. Untuk ukuran laki-laki, Devon mengakui bahwa ia terlampau mudah menangis dalam hal apa pun.     Terharu sedikit, ia menangis. Tersinggung sedikit, ia menangis. Sakit sedikit, ia pun menangis. Apalagi saat ini sakitnya sama sekali tak sedikit.     Jujur Devon iri dengan Keanu, si mantan teman sekamarnya. Meski hanya dua hari mereka satu kamar, tapi sudah cukup untuk membuat Devon merasa tak sendiri.     Ia merasa punya teman. Tak peduli dengan fakta bahwa Keanu sama sekali tak menyapanya. Mereka hanya berinteraksi saat anak itu memutuskan untuk kabur.     Melihat Keanu kabur seperti itu, Devon jadi ingin melakukannya juga. Devon pikir, mereka sama-sama penderita kanker, bukan? Keanu saja bisa berkeliaran di luar dengan bebas. Dan ia tidak mati.     Lalu kenapa ia terus menerus dikekang, sementara penyakitnya pun tak kunjung sembuh? Namun niat kaburnya itu pasti akan sulit. Karena kakak kandungnya—Laurent—bekerja sebagai perawat di rumah sakit ini.     "Dev, dengarin Mas!” Laurent berusaha membuat Devon kembali menatapnya. “Mas mohon jangan kayak gini! Mas sayang sama kamu, Dev.”     “Nggak. Mas Laurent jahat!”     "Dev, Mas mohon. Tolong kamu minum obat dulu. Ini udah hampir siang. Kamu nggak boleh telat minum obat. Setelah kamu minum obatnya, kamu boleh marah sama Mas sepuasnya.”     Devon menatap Laurent tak percaya. Bulir-bulir itu kembali menetes jatuh. Kenapa Laurent seperti ini? Ia merasa dipermainkan. Ia bukan anak kecil lagi yang bisa Laurent perlakukan seperti ini. “Mas bener-bener nggak ngerti.”     “Mas ngerti, Dev.”     “Nggak.” Devon bersikeras. “Mas nggak mungkin ngerti karena Mas nggak pernah ngerasain jadi orang penyakitan kayak aku.”     Jantung Laurent berdetak tidak karuan. Ia merasa sangat takut sekarang. Devon selalu menjadi pribadi yang positif sejauh ini. Tapi kenapa tiba-tiba ia memiliki pikiran seperti itu? Apa … apa Devon sudah menyerah?     “Dev, dengerin Mas. Kamu pikir untuk siapa Mas lakuin ini semua? Mas ingin kamu tinggal di sini, agar Mas bisa selalu ngawasin kamu.” Laurent mengucapkannya sepelan mungkin, tak ingin Devon salah paham.     “Mas pengin kamu dirawat secara intensif, supaya  kamu cepet sembuh. Mas juga pengin lihat kamu seperti remaja lain. Bersenang-senang, main, sekolah. Setelah kamu sembuh nanti, kamu bisa lakuin itu semua, Dev. Kamu bisa lakuin apa pun yang kamu pengin. Mas nggak akan larang-larang kamu lagi nanti. Jadi Mas mohon, tolong jangan kayak gini. Tolong.”     Airmata Laurent akhirnya menetes. Di usianya yang baru akan menginjak 21 tahun, ia sudah harus menanggung banyak sekali rekasa di pundaknya. Tiga tahun lalu, orangtuanya meninggal mendadak karena kecelakaan pesawat. Jungkir balik kehidupannya dimulai.     Dari yang apa-apa tinggal minta, kemudian tiba-tiba harus banting tulang untuk menghidupi dirinya sendiri dan juga Devon. Awalnya ia kerja serabutan sembari kuliah. Yang penting ia dan Devon bisa makan tiap hari, ia sudah sangat bersyukur. Dan juga … mereka bisa tetap lanjut mengenyam pendidikan.     Derita Laurent tak cukup sampai di situ. Setahun setelah ayah dan ibu berpulang, Devon mulai sering sakit. Mengingat Laurent kuliah di akademi keperawatan, ia paham tentang gejala apa yang dialami Devon.     Yang Laurent takutkan ternyata benar. Fakta itu terungkap setelah hasil lab pemeriksaan Devon keluar. Devon positif mengidap Leukemia.     Kala kuliah keperawatannya menginjak semester lima, Laurent berusaha keras agar diterima menjadi perawat tetap di rumah sakit ini. Selain karena gajinya yang tetap—meski tidak banyak—juga agar ia bisa selalu mengawasi perkembangan pengobatan Devon.     Syukurlah pemilik rumah sakit ini adalah teman dekat dari almarhum Ayah. Laurent diterima menjadi perawat di ini, meski statusnya belum lulus kuliah alias masih mahasiswa. Akhirnya dari sekian banyak nasib buruk yang ia alami secara bertubi, Tuhan memberinya secercah asa.     Segala hal berjalan dengan baik. Mengalir bergitu saja hingga sudah dua tahun lamanya. Keadaan Devon belum bisa dikatakan baik. Tapi ia bangga pada adiknya itu karena sudah berhasil bertahan sejauh ini. Mengingat biasanya para pasien Leukemia jeni akut seperti Devon, biasanya hanya mampu bertahan sekitar enam bulan saja.     “Mas … maaf,” ucap Devon akhirnya. Sungguh ia menyesal telah membuat kakak sematawayangnya menangis. Laurent biasanya selalu kuat. Ia tak pernah sampai menangis terang-terangan di depan Devon seperti ini.     Laurent tidak sanggup menjawab permintaan maaf adiknya. Ia hanya menunduk, berusaha keras menghentikan tangisnya, namun tak berhasil.     “Aku cuman capek, Mas. Aku pengin semua cepet berakhir. Tapi kenapa sampai selama ini? Aku … aku udah bosen sama semua rangkaian pengobatan itu.”     Laurent mendekati Devon. Perlahan ia duduk di tepian ranjang. Disentuhnya kedua pipi tirus adiknya. “Mas juga mau semua segera berakhir. Maka dari itu, kamu nggak boleh nyerah. Mas sayang banget sama kamu. Kamu harus tetap semangat untuk sembuh. Oke?”     Devon mengangguk cepat. Laurent segera memeluk adik satu-satunya itu dengan erat. Tubuh Devon begitu kurus, membuat Laurent merasa semakin miris.     “Tapi, Mas …. Mas Laurent beneran mau ke rumah Keanu, kan?”     Tersirat kejengangan pada raut Laurent. Devon mulai lagi! “Iya, tapi kamu tetep nggak boleh ikut.”     “Mas, aku mohon. Kali iniiii aja. Aku bakal pakek masker kok.”     Laurent menggeleng.     “Beneran aku bakal pakek masker. Pakek jaket juga. Kalau perlu, aku bawa tabung oksigen!”     Laurent masih terlihat enggan. Tapi ia mulai berpikir.     “Mas … sekali iniiiiii aja!” Devon memelas.     Aduh … Laurent tak pernah tahan jika Devon sudah melakukan jurus melasnya.     “Oke lah.”     Hening.     Sedetik kemudian mata Devon berbinar cerah. “Mas bilang apa tadi?” Devon mengguncangkan bahu Laurent saking senangnya.     “Iya, kamu boleh ikut. Tapi kali ini aja. Lagian Mas nggak bakal lama kok di sana.”     “Kyaaaa~ Mas Laurent emang yang terbaik. I love you sooo soooo sooo soooooo much.” Devon kembali memeluk Laurent. Kali ini dengan sangat erat sampai Laurent sulit bernapas.     “Astaga … kamu, nih, cuman kelihatannya aja kurus. Tapi tenaganya kayak gajah!”     “Iya, dong. Aku kan emang Devon yang kuat.”     Acara kemesraan kedua kakak beradik itu berlanjut. Seorang perawat bernama Haiyan—sahabat Laurent—yang tadinya akan mengantar makan siang untuk Devon, secara otomatis berbalik arah.     Ia tak mau menggangguk Devon dan Laurent. Ia akan memberikan jatah makan siang itu pada pasien sebelah dulu. Kedua kakak beradik itu memang susah dilerai saat bermesraan seperti ini. Membuatnya selalu merasa iri. Sekaligus senang.   *** TBC  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN