prolog
City of London School (CLS)
Queenhithe, London
Pertengahan Juni, 2000
apakah kau berlayar melintasi matahari?
apakah kau sampai di penghujung bima
sakti?
hanya untuk menemukan cahaya yang
memudar
bahwa surga rupanya tak seindah yang
didengar
..
Ravindra mencuci tangan di wastafel. la
masih mengenakan toga lengkap dengan
topinya. la melirik ke kaca, lalu menghela
napas lelah. Mirza tersenyum di
belakangnya.
"Hahhh... kalau kita tidak bisa
menemukannya...." Mirza merengut.
"...Kalau. Aku bilang kan kalau," lanjut Ravindra
mulai kesal. la membalikkan tubuhnya.
beralih memunggungi kaca. Tangannya
bersedekap, menatap jengah pada hantu di
hadapannya.
"Pasti ketemu, vin. Berusahalah!" seru
Mirza riang sambil mengepalkan tangan
kanannya.
"Berusaha, kepalamu!" sungut ravindra kesal.
"Kita sudah mencarinya hampir sebulan.
tahu. Sudahlah lupakan saja! Memangnya
pendant itu mau kau apakan sih? Mau kau
bawa ke neraka?"
"Ish, Vin! Kasar sekali kau. Pokoknya harus
ketemu, kalau tidak, akan kuhantui kau
seumur hidup!" Mirza mengancam. la
melayang meninggalkan Ravindra, keluar
menembus pintu toilet.
Ravindra mengacak rambutnya frustrasi.
Sebetulnya, ini hari kelulusan Ravindra dari
CLS. la melipir dari sesi foto di auditorium
dan berlari menuju toilet karena Mirza
tidak berhenti mengganggunya. Mirza
bukan hantu pertama yang pernah
menampakkan diri di hadapan Ravindra.
Biasanya mereka meminta bantuan
menyampaikan pesan dan menghilang
begitu saja setelah keinginan mereka
terkabul. Tapi, hantu dengan wajah
setengah hancur yang kelewat riang
ini meminta Ravindra mencari sebuah
kalung dengan pendant berbentuk peluit
yang terbuat dari perak. Ia mengaku
menyimpannya di loker.
Masalahnya, Ravindra meninggal delapan
belas tahun lalu dan CLS sudah mengalami
renovasi berkali-kali. Entah di mana loker
yang ia maksud itu. Bahkan, kalaupun
mereka berhasil menemukan lokernya.
Ravindra hampir yakin kalung itu sudah tidak
ada di sana.
Hahhh... Ravindra ingin menyerah saja, tapi
ia ngeri juga kalau harus melihat Mirza,
dengan wajah seperti itu, setiap hari
seumur hidupnya. No offense.
"Viiiinnnn!" Mirza berteriak, melongokkan
kepalanya menembus pintu.
Ravindra lagi-lagi menghela napas. "Iya,
bawel..." sungutnya sebelum melangkah
keluar toilet, mengikuti hantu yang
melayang terkikik di depannya.
Sebulan yang lalu, awal bulan Mei yang
kelabu, Mr. Keenan Xander mengumumkan pertandingan persahabatan
sekaligus perpisahan untuk tiga pemain inti
klub basket CLS yang lulus di bulan Juni. Itu
adalah kegiatan rutin yang diusulkannya
sejak lima tahun lalu. Pelatih klub basket
CLS itu secara spesifik mengajukan timnya
untuk bertanding dengan pemain-pemain
semi profesional dari college atau
universitas di penjuru Inggris. Bukan untuk
menang tentu saja, karena itu hampir
mustahil, tapi untuk bersenang-senang.
Tahun ini mereka menantang Bradford
Dragons, tim basket elit dari Bradford
College. Mr. Keenan membawa pemain inti
dan seluruh pemain cadangannya melintasi
204 mil jarak dari Queenhithe menuju Great
Horton Rd, Bradford, menggunakan sebuah
bus sewaan. Mereka hanya berhenti satu
kali selama perjalanan empat jam penuh
itu, makan siang di restoran Italia, masih
dalam kawasan sebuah rest area.
Ravindra sudah merasakan sesuatu sejak
pamit mencari toilet di rest area itu. Tapi, ia
mengenyahkan instingnya, memilih fokus
pada pertandingan di depan mata.
Pertandingan itu adalah sore yang penuh
keringat dan napas yang terengah-engah.
Pemain inti CLS, Ravindra, Kevin , Brian ,
Rendra , Adhitama , dan kapten mereka, Elgard ,berlarian dengan semangat di lapangan.
bermain habis-habisan. Dua poin terakhir
untuk Bradford Dragons mengakhiri empat
kali sepuluh menit yang menghabiskan
tenaga. CLS kalah, tentu saja, tapi
setidaknya mereka kalah terhormat.
Baiklah, itu tidak benar. Skor akhir 98-51.
Bradford membuat mereka keok tanpa
ampun.
Yah, bagaimanapun monster-monster itu
memang bukan level mereka. Tapi, seluruh
pemain inti, terutama tiga senior yang
segera lulus, Ravindra , Kevin , dan Elgard, merasa sangat puas. Pertandingan yang sangat
hebat untuk mengakhiri karier basket
mereka di CLS.
Seusai pertandingan itu, Elgard, mengikuti
instruksi Mr. Keenan, menyerahkan
lencana kaptennya pada Adhitama, diiringi
tepuk tangan dan teriakan bersemangat dari seluruh tim.Setelahnya mereka bergegas mandi dan merapikan diri diruang ganti. Mr Keenan berencana membawa mereka kembali ke London malam itu juga.
Pada saat itulah.Ravindra berteriak sekuat tenaga dari bilik kamar mandinya.
"Peng ! Peng ! Kau tidak apa - apa ?!" Kevin yang sudah selesai mandi dengan handuk yang masih melilit dipinggangnya,menggedor pintu bilik tempat Ravindra didalam sana berseru "s**t ! s**t ! s**t !" Berkali-kali.
"Oi vin !! Kalau tidak menjawab aku akan mendobrak pintunya !!" Seru Elgard tidak sabar.
Ia menatap Kevin,Elgard lalu beralih pada seluruh anggota timnya. Mereka tampak khawatir,tapi tak ada waktu untuk mencemaskan orang lain karena Ravindra bertaruh wajahnya pasti seputih kapas.
"Aku ingin muntah" katanya sebelum berlari dan memumtahkan isi perutnya ke wastafel. Ia berkumur beberapa kali sebelum membasuh wajahnya. Lalu menatap cermin diatas wastafel.
"Shitttt !!!" Serunya sambil berbalik badan memunggungi cermin itu.
Mendengar ribut - ribut dari dalam ruangan, Mr Keenan masuk dengan wajah penuh tanya "kau kenapa Ravindra?"
Ravindra menoleh,wajahnya pucat "sorry sir,saya......"
"Tunggu,tunggu" Mr Keenan menyela demi melihat wajah seluruh timnya tidak kalah pucat. Ia tiba - tiba ikut merinding.
" Berhenti disana Ravindra jangan katakan apapun oke? Kalian semua cepat berpakaian, kita hampir terlambat makan malam" lanjutnya mengalihkan topik.
Seluruh anggota basket CLS bergerak menjauhi Ravindra.secepat mungkin mengenakan pakaian mereka tanpa banyak menatap ke arahnya.
"Peng??" Kevin mencoba menenangkan sahabatnya, meskipun ia sendiri sudah gemetaran.
Ravindra menggeleng pelan,ia memilih mengikuti teman - temannya berpakaian tanpa banyak bicara. Dari sudut matanya ia masih melihat sosok yang mengerikan itu. Hantu dengan wajah separuh hancur. Tangan kanan yang remuk yang semena - mena tiba - tiba muncul dibilik mandinya dengan riang memperkenalkan diri sebagai Mirza. Siswa CLS yang mati tertabrak truk di dekat rest area tempat mereka makan siang. Sejauh ini,hantu itu adalah sesosok yang paling menyeramkan yang pernah muncul dihadapan Ravindra.
"Hei vin" Aska, pemain cadangan paling muda yang terpaksa duduk di sebelah Ravindra dan Kevin dalam perjalanan pulang malam itu,membuka pembicaraan dengan takut - takut "itu tidak mengikuti kita kan? Hehe"
Ravindra meilirik Mirza yang melayang berputar-putar dengan riang didalam bus.Ia tersenyum menatap Aska,lalu menggelengkan kepalanya,berusaha menenangkan adik kelasnya itu.
"Sorry tadi aku nakutin kalian,aku belum pernah melihat yang seperti itu." Ravindra menggaruk belakang lehernya canggung. Ia menatap Kevin yang mengangguk memaklumi.
Seluruh sekolah tidak mengetahui kemampuan Ravindra kecuali anggota tim basket dan Mr Keenan. Tapi hanya Kevin yang tau kalau hantu yang menampakkan diri pada Ravindra akan terus mengikutinya sampai keinginan mereka terkabul.
Ravindra butuh waktu hampir satu minggu untuk membiasakan diri pada Mirza.
"Yakin disini?" Ravindra menatap Mirza ragu.
"Serius Vin ! Yakin,nah geser dulu lokernya.nanti dibelakangnya ada lubang." Mirza melayang berputar-putar dengan semangat.
"Ravindra menatapnya sangsi"
"Ih buruan vin !! Keburu banyak orang lewat sini" hantu itu mendesak.
"Awas kalau tidak ada" Ravindra melepas toganya,menggletakannya di lantai dengan asal.
Loker itu tinggi dan berat,Ravindra mencoba
mendorong, menarik, menggeser, tapi
almari besi itu baru bergerak beberapa
senti. Napasnya terengah-engah. Ia merasa
sedang dikerjai.
"Ayo, Vin! Semangat, Vin!"
Sumpah demi apapun. Ravindra ingin sekali
meninju hantu itu. Tapi, barang apapun
yang ia lemparkan kepadanya, termasuk
tinjuan tangan, akan berakhir menembus
tubuh transparan itu. Percayalah, Ravindra
sudah pernah mencobanya. Beberapa kali,
bahkan.
Setelah berhasil menggeser almari besi
itu cukup lebar, Ravindra menyalakan senter
dan terhenyak. Ada tambalan selotip
bertumpuk-tumpuk di dinding, sepertinya
menutupi lubang. Ravindra berusaha
mengelupaskan selotip itu, bersorak riang
dalam hati ketika tangannya menemukan
lubang yang dimaksud. Ia menatap
Mirza yang terpekik girang.
"Beneran ada kan. Ravindra! Ambil. Vin!"
Ravindra meraba-raba lubang yang tidak
seberapa besar itu, lalu menarik keluar
sesuatu. Sebuah kalung dengan pendant
berbentuk peluit yang terbuat dari perak.
Sepertinya. Karena kalung yang ia julurkan
di depan wajahnya itu sudah berwarna
kehitaman.
"Nih, bawa ke neraka," ujar Ravindra sambil
mengangsurkan kalung itu ke hadapan
Mirza.
Mirza bertepuk tangan riang, tapi
kemudian menggelengkan kepalanya.
Oh, iya, benar juga. Bagaimana bisa dibawa
kalau kalung itu menembus tubuhnya.
Ravindra tersentak.
"Hah? Jangan bilang kalung ini perlu
kuberikan pada orang lain yang entah
tinggal di mana?!"
Ravindra bisa sungguhan gila kalau misi ini
masih ada jilid duanya.
Tapi, untungnya, Mirza tersenyum dan
menggeleng lagi.
"Terserah mau kau apakan, Vin. Dibuang
juga oke. Aku sudah lega," katanya tulus.
Mirza melambaikan tangannya.
membisikkan selamat tinggal, lalu lenyap
begitu saja.
Tugas Ravindra selesai.
Hah?
Hah?
"Terus buat apa susah payah kita cari
kalau ujung-ujungnya dibuang, Mirza?!!!"
Ravindra meledak marah. la menatap toganya
yang kotor berantakan, ceceran selotip
di lantai, lubang di dinding, dan loker yang
harus digeser kembali ke tempatnya.
"Oi, setan!" umpatnya sepenuh hati.
"Si Mirza ke mana sih?" Elgard menggerutu
di sepanjang koridor. la dan Kevin sedang
menuju ke lapangan basket, anak-anak
yang lain sudah menunggu mereka bertiga
di sana.
"Mungkin sakit perut, El," sahut Kevin asal.
Kevin sebetulnya bisa menebak ke mana
sahabatnya itu pergi, mungkin meladeni
hantu yang masih mengikutinya ke
mana-mana. Tapi, Kevin tidak tega
mengatakan hal itu pada Elgard.
"Aku saja yang cari, El. Kau duluan."
"Jangan lama-lama, Kev. Kalau tidak ketemu
tinggal saja!"
Kevin melambaikan tangannya, lalu berbelok
ke koridor yang lain. Di ujung koridor itu,
ia melihat sahabatnya sedang kesusahan
menggeser loker.
"Oi, Peng!" Kevin Sanjaya, sahabat
Ravindra dari orok itu memanggil dari ujung
koridor. Ravindra baru selesai mengembalikan
almari besi ke posisi semula ketika Kevin
menepuk pundaknya. "Ngapain kabur ke
sini?"
Ravindra tak menjawab, wajahnya keruh.
la mengambil kalung sialan itu dari saku
celananya, memberikannya pada Kevin.
"Hah? Apa ini?" Kevin memandangi benda di
tangannya, dahinya berkerut.
"Kalung." sahut Ravindra cuek. Tangannya
sibuk membersihkan debu yang menempel
di toganya. la mengambil topinya yang
tergeletak di lantai, menepuk-nepukkan
benda segi empat itu ke udara.
Kevin memperhatikan kalung itu lamat-lamat,
lalu tersentak. Oh! la celingak-celinguk
sebentar, berbisik takut-takut.
"Hantunya masih di sini?"
"Sudah pergi."
Huft, Kevin mendesah lega.
"Lho, terus kalungnya buat apa. Peng?"
tanyanya heran.
"Dibuang, Kevin. Sana, lempar ke sungai
Thames."
Kevin menatap wajah masam sahabatnya.
Tawanya meledak.
"Hahahaha... Ya ampun. Peng, kau dikerjai!"
Ravindra mendelik kesal.
"Sorry.. sorry." Kevin merangkul bahu
sahabatnya, mengajaknya berjalan ke
arah lapangan basket. "Sudahlah, yang
penting hantunya pergi. Anak-anak sudah
menunggu di lapangan. Elgard juga sudah ke
sana duluan."
"Mau apa?"
"Foto-foto, Peng! Kenangan buat anak-anak.
Lagi pula setelah ini kita juga pisah dari
Elgard."
Hahhhh... Ravindra menghela napas lelah. la
Pasrah saja diseret-seret oleh sahabat nya.
Kalau boleh jujur, ia cuma mau pulang.
Mandi, lalu tidur tanpa gangguan. Berharap
tidak bertemu hantu-hantu lain dalam waktu
dekat.
Ravindra belum tahu, pada saat itu kakeknya
tiba-tiba jatuh tersungkur di halaman
belakang rumahnya. Kakeknya mendapat
serangan jantung dan meninggal sebelum
sempat dilarikan ke rumah sakit.