*Author PoV*
[Ada yang mau gue omongin. Ada waktu nggak?] Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Bejo. Saat membukanya. Bejo baru saja mandi, dia hanya melilitkan handuk, sehingga memperlihatkan otot perutnya yang six pack.
"Rere?" Melihat nama kontak yang mengiriminya pesan, membuat wajahnya terlihat sumringah. Meski ganteng dengan tubuh proporsional, Bejo termasuk laki-laki galon, gagal move on.
Rere adalah satu-satunya wanita yang pernah ada di hatinya. Namun sayangnya, Rere adalah tipe fuckgirl. Dia hanya mempermainkan Bejo yang lugu itu.
Meski sudah berusia 35 tahun, salah satu alasan yang membuat Bejo belum menikah adalah Rere. Dia masih menunggu gadis itu untuk kembali padanya.
Rere bukanlah tipe gadis setia yang hanya berpacaran dengan Bejo. Bahkan dia sudah melakukan yang lebih jauh dengan selain Bejo.
Hanya dia satu-satunya lelaki yang tidak menyentuhnya. Jadi, meski Rere mencintainya, dia tetap mencari pemuas nafsunya pada orang lain.
[Ada. Aku ada waktu, kok. Kapan?]
Tanpa pikir panjang dan menunggu waktu lebih lama lagi, Bejo segera saja membalas pesan dari gadis itu.
Semenit, lima menit, hingga setengah jam belum ada balasan membuat Bejo terlihat begitu gelisah. Kini tubuhnya mulai merasa kedinginan karena dia sama sekali belum memakai baju.
Akhirnya menyerah, Bejo pun meletakkan handphone-nya di atas bed miliknya.
Dia membuka lemari miliknya dan mengambil pakaian untuk dipakainya. Hanya celana kolor bermotif bunga dan kaos putih lengan pendek yang diambilnya. Oh, satu lagi tentunya, celana dalam.
Setelah memakai bajunya, Bejo segera merebahkan tubuhnya yang lelah karena seharian mengajar. Hari ini hari pertamanya di Universitas Wijaya, menggantikan salah satu dosen yang mencalonkan diri jadi bupati.
"Rere kok tidak membalas pesanku, ya?" Bejo masih saja menanti balasan pesan dari mantan kekasihnya itu. Dia berguling-guling di kasur sembari memegang dan menatap layar ponselnya.
Mereka berdua kenal tujuh tahun yang lalu. Saat dia masih menjadi dosen baru di Universitas Purnama. Rere waktu itu masih berumur 20 tahun. Entah kenapa saat melihatnya, Bejo sudah jatuh hati padanya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, Rere mendekatinya terlebih dahulu. Bejo yang masih awam dalam hal wanita, hanya bisa kegirangan saat mengetahui hal itu. Wanita yang ditaksirnya ternyata juga menaruh hati padanya.
Klunting!
Bejo sempat terkaget dengan bunyi ponselnya. Bahkan dia sempat menjatuhkan ponsel itu dari tangannya.
Dengan penuh harap, Bejo segera membaca pesan yang masuk ke dalam ponselnya.
[Ketemu yuk malam ini.] Bejo hampir saja melonjak kegirangan mendapat balasan pesan dari Rere. Seperti anak remaja yang sedang puber, dia melonjak-lonjak dia atas springbed ukuran king yang berada di kamarnya, persis seperti anak author yang berusia empat tahun.
[Baik. Ketemu di mana?] Tak ingin menyia-nyiakan waktu lagi, segera saja Bejo membalas pesan Rere. Harapannya masih tinggi untuk bersama Rere.
[Ketemu di Club Zeus, ya?] Kali ini tak butuh waktu lama bagi Bejo untuk menerima balasan dari Rere.
"Club Zeus? Di mana itu?" gumamnya seorang diri. Bagi Bejo yang lugu, istilah club begitu asing di hidupnya.
"Sudahlah! Gampang. Nanti bisa cari di maps." Segera Bejo kembali mengambil gawai miliknya. Dia mengetikkan sebuah pesan balasan untuk Rere. Melihat kelakuannya saat ini, tak ada yang percaya bahwa dia pria berusia 35 tahun.
Sikapnya layaknya remaja ABG yang sedang kasmaran. Entah bagaimana cara berpikir Bejo selama ini? Rere selalu datang saat dia sendirian, dan akan pergi lagi jika dia sudah mulai bosan dengan Bejo. Dan lelaki itu tak pernah menyadari hal itu.
[Oke! Aku jemput, ya?] send Rere.
[Nggak usah. Langsung ketemu aja di TKP.] Meski sedikit kecewa, tapi Bejo mengiyakannya.
Segera pria berusia 35 tahun itu mengganti pakaian santainya dengan pakaian yang lebih trendi dan stylish, setidaknya menurutnya.
Bejo mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan kemeja berwarna putih. Tampilannya saat ini benar-benar mirip aktor Korea Lee Dong Wook.
Setelah selesai berganti pakaian, segera Bejo menyambar kunci mobilnya dan turun dari kamarnya. Di ruang tengah, dia berpapasan dengan ibunya. Seorang wanita berjilbab dengan tatapan meneduhkan.
"Mau ke mana, Nak?" Tak biasa-biasanya anak laki-lakinya itu keluar menjelang maghrib seperti ini. Bejo termasuk anak yang betah di rumah. Tidak pernah keluar malam seperti pria pada umumnya.
"Ketemu teman sebentar, Buk." Dia menghampiri Zainab, ibunya untuk mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkannya itu. Zainab sangat percaya pada anak laki-laki satunya itu hingga tidak menanyakan ke mana tujuannya.
Mungkin mau kondangan pernikahan temennya? batin wanita paruh baya itu melihat anaknya mengenakan jas.
“Assalamu’alaikum.” Bejo berbalik memunggungi ibunya. Dia berjalan menuju pintu.
“Wa’alaikumsalam.”
"Ati-ati ya, Nak." Zainab masih menatap punggung tegap Bejo ketika Bejo telah menjauh darinya.
"Iya, Buk!" jawab Bejo dengan setengah teriak, karena memang posisinya sudah berada di luar rumah.
Bejo segera menghidupkan mesin mobilnya. Dengan hati penuh harap dia segera bergegas untuk menemui satu-satunya wanita yang pernah ada di hatinya.
Dibukanya aplikasi maps dan mencari lokasi tempat Club Zeus berada.
“Nggak begitu jauh dari sini,” gumamnya seorang diri.
Sepanjang perjalanan, pria itu terus tersenyum membayangkan pertemuannya dengan Rere yang sebentar lagi akan terwujud.
Senyuman terus mengembang di bibirnya, seakan hari ini adalah hari terindah di hidupnya.
Sebentar lagi aku bakalan ketemu Rere. Sudah tidak sabar. Bagi Bejo, Rere adalah cinta pertama dan juga terakhir untuknya. Setidaknya untuk saat ini.
Bejo terus melajukan mobilnya melewati jalanan Jakarta yang padat. Bagaimanapun ini adalah jam sibuk di kota itu. Waktunya orang-orang pulang dari bekerja.
Kini mobil Bejo telah berada di parkiran tempat itu. Dia begitu ragu-ragu untuk memasukinya. Pandangannya menyapu sekeliling, banyak mobil-mobil mahal yang terparkir di sana.
Dengan ragu, akhirnya Bejo menghubungi Rere untuk menanyakan keberadaan wanita itu.
Satu kali panggilan tidak diangkatnya, namun Bejo tidak menyerah. Dihubunginya lagi mantan kekasihnya itu. Benarkah mantan? Bahkan tidak pernah ada kata putus di antara mereka.
Sudah kebiasaan bagi Rere meninggalkan lelaki itu tanpa pamit. Dan akan datang tanpa permisi, persis seperti jaelangkung.
“Halo, Beb. Langsung masuk aja. Aku udah di dalam.” Dipanggil Beb oleh Rere, membuat perasaan Bejo melambung. Dia senyum-senyum sendiri saat ini. Bahkan bisa terlihat dengan jelas pipinya memerah kini.
“Ma--”
“Tut … tut … tut …!” Tanpa menunggu jawaban dari Bejo, seenaknya saja Rere mematikan panggilan itu secara sepihak. Dan Bejo, tentu saja selalu memakluminya.
Tapi ada satu masalah bagi Bejo. Bagaimana dia bisa masuk ke dalam tempat itu? Dia melihat ada dua penjaga di depan pintu masuk. Yang membuatnya ngeri adalah penjaga itu terlihat begitu seram dan menakutkan.
"Sebenarnya tempat apa yang bakal aku kunjungi ini?” Seumur hidup, Bejo tidak pernah menginjakkan kakinya di tempat seperti ini. Banyak pasangan bermesraan saat memasuki tempat itu. Bejo hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya.
“Sudahlah, aku masuk saja. Takut Rere terlalu lama menunggu,” monolognya seorang diri, tentu saja masih dengan logat medhok khas orang Jawa.
Lagi, Bejo bercermin menggunakan spion depan mobilnya, memastikan tak ada yang salah dengan penampilannya.
Dia menarik napas panjang, mempersiapkan diri untuk menemui kekasih hatinya.
Gemetar? Iya. Entah bagian apa yang membuat kaki Bejo gemetar. Bagian akan bertemu Rere atau bagian yang akan memasuki club? Hal itu hanya Bejo dan Tuhan saja yang tahu.
Dia mencoba untuk memantapkan langkahnya ke tempat itu. Menurut teman-temannya, club adalah tempat untuk mabuk dan bertemu wanita.
Yang akan dilakukannya saat ini adalah bertemu dengan wanita, tapi dia tidak akan mabuk.
Sampai di depan pintu masuk, tentu saja langkahnya dihentikan oleh kedua penjaga itu. Di samping karena dia tidak memiliki kartu akses masuk dan juga wajahnya terasa asing bagi kedua penjaga itu.
“Bisa perlihatkan kartu anggota Anda?” Salah seorang penjaga berdiri dengan tegap di hadapannya. Sebenarnya Bejo saat itu merasa begitu takut. Meski Bejo adalah pemegang sabuk hitam taekwondo, tetapi di luar arena dia belum pernah sekali pun bertarung.
“Dia ama gue.” Rere datang dari arah dalam dan menyelamatkannya. Begitulah pemikiran Bejo. Laki-laki itu bisa bernapas lega sekarang.
Kedua penjaga itu akhirnya mundur dan membiarkan Bejo masuk bersama Rere. Rere menggandeng tangan Bejo dan menyeretnya untuk ikut masuk ke dalam.
Memasuki tempat itu, bulu kuduk Bejo malah merinding. Mencium aroma yang begitu mengganggu indera penciumannya.
“Bising sekali,” gumamnya lirih saat mendengar sang DJ memainkan musik. Sepertinya dia nampak kurang nyaman dengan semua ini. Dia berkali-kali melihat pintu, gelisah ingin segera pergi dari sini.
Rere membawanya menuju sebuah sofa di ujung pojok tempat itu, aroma alkohol yang begitu menyengat membuatnya ingin lari saja dari sana.
Meski sudah mempersiapkan tentang hal ini tadi sebelum berangkat, tapi menghadapinya sendiri ternyata lebih menyeramkan.
Di meja yang berada di depan tempatnya duduk, sudah tergeletak beberapa botol minuman yang Bejo yakin sudah ada isinya.
“Kenapa kamu ajak aku ke tempat ini?!” tanya Bejo pada Rere dengan sedikit berteriak, karena memang nyatanya terlalu bising di dalam.
Dia mencintai Rere, tapi tentang kebiasaan Rere ke club, dia sama sekali belum mengetahuinya. Orang tuanya pasti akan kecewa jika tahu tentang hal ini.
“Bukannya kamu selama ini menungguku? Maka, kubawa kamu masuk ke duniaku!” jawab Rere sembari kepalanya bergerak-gerak mengikuti irama musik yang terdengar begitu keras. Rere juga ikut berteriak saat mengucapkannya.
“Kamu sering ke sini?!” Bejo semakin penasaran dengan hal itu. Selama ini dia dibesarkan dalam lingkungan yang agamis, tak mungkin dia akan masuk ke dunia seperti ini dan menghancurkan hati orang tuanya.
Rere mengangguk, “Ini adalah duniaku. Jika ingin bersamaku, kamu harus memakluminya.”
Rasa cintanya selama ini pada Rere entah kenapa tiba-tiba menghilang. Berganti rasa kecewa. Meski selama ini selalu dipermainkan wanita itu, Bejo sama sekali belum menyadarinya.
“Tapi, aku nggak nyangka kamu mainnya ke tempat seperti ini!” Ada nada kecewa dalam ucapannya kali ini. Matanya melihat lautan manusia yang asyik berjoget berbaur antara laki-laki dan perempuan. Tak kenal malu ataupun segan dengan lawan jenis.
Dia membayangkan Rere yang juga seperti itu, tanpa malu berjoget dengan lelaki lain dan dia harus memakluminya.
Bejo menggelengkan kepala, tidak! Aku tidak bisa membayangkan pasanganku disentuh oleh orang lain.
Selama ini dia terlalu buta oleh yang namanya cinta, hingga peringatan dari beberapa teman tak juga diindahkannya. Dan kini dia mengetahui langsung dari wanita yang selama ini ditunggunya.
Rere dapat melihat raut kecewa dari sorot mata Bejo. Ada rasa sakit yang menggerogoti hatinya kini. Ternyata laki-laki itu tidak bisa menerima tentang dunianya.
“Aku harus pulang, Re!” Bejo berdiri, beranjak dari tidurnya. Saat hendak melangkah, tangan Rere menahannya.
Rere tersenyum, “Setidaknya minumlah ini dulu.” Rere menyodorkan segelas es jeruk yang sudah ada di meja itu sebelumnya.
Bejo bergeming, dia tak tahu harus menerimanya atau tidak.
“Tak usah khawatir, ini hanya jus jeruk. Bukan alkohol.”
Mungkin tidak apa-apa aku meminumnya. Yang penting bukan minuman keras, batin lelaki lugu itu.
Bejo mengambil gelas itu dan meneguknya dengan sekali teguk, Rere tersenyum licik saat melihatnya.
“Aku pulang dulu!” Bejo menyerahkan gelas itu kembali pada Rere. Tapi saat kakinya hendak melangkah, tiba-tiba saja tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dan akhirnya pria itu ambruk tak sadarkan diri.
Rere segera memapah Bejo, sementara dia tidurkan di sofa yang tadi diduduki pria itu. Setelahnya, dia menelepon seseorang untuk membantunya membawa pria itu ke suatu tempat.