6. Dunia Malam

1749 Kata
“Ke-kemana ini, Non?” Aku sendiri belum terpikirkan akan pergi ke mana? “Muter-muter aja, Mang.” Tanpa ada pertanyaan lagi dari pria tua di depanku, mobil telah melaju ke jalanan. Aku pasrah aja Mang Asep bakal ngajak muter-muter ke mana. Yang penting aku belum siap untuk ketemu mami sama papi. Masih kesel. Dalam hati, sebenarnya aku pengen sekali pergi ke kelab malam. Seperti yang sering Bora ceritain. Tapi, karena selama ini aku terlalu nurut sama mami, jadinya belum pernah sekali pun aku pergi ke sana. Hanya sering denger Bora cerita, kalau di sana itu asyik. Apa aku mencoba untuk ke sana saja? Bentar aku hubungi Bora dulu. Nggak jadi, deh handphone-nya aku matiin. “Hai, Al. Tumben lo hubungi gue. Ada apa?” “Ke klub, yuk?” “Eh, ini beneran Alia temen kuliah gue ‘kan?” “Iyalah. Alia siapa lagi yang mau temenan ama lo selain gue?” “Ah! Emang beneran rese lo.” Aku yakin saat ini Bora sedang mencak-mencak nggak jelas. Sengaja aku jauhkan handphone dari lubang telinga, demi kewarasan gendang telingaku ini. “Mau nggak, lo.” Nggak pengen terlalu panjang basa-basinya. “Ya maulah. Gila aja nggak mau diajak ke club. Tapi, lo yang traktir ‘kan?” “Tenang aja kalau ama gue.” “Sip! Jemput gue, ya. Gue siap-siap dulu.” Telepon dimatiin begitu saja sama temen nggak ada akhlak itu. Untung aja aku lagi butuh dia buat nemenin ke kelab. Kalau nggak, udah aku bejek-bejek tu anak biar jadi rujak. “Non!” “Hmm ....” “Kata Nyonya, Non Alia nggak boleh main ke tepat semacam itu.” Aku tahu Mang Asep hanya menjalankan tugasnya sebagai pengingat ketika aku keluar jalur. Tapi saat ini, aku sama sekali tak peduli. "Biarin! Alia mau protes!" Mang Asep hanya terdiam. Tak lagi berani bersuara. Aku yakin nanti yang pertama kena marah adalah pria paruh baya di depanku ini, tapi sekali lagi aku tak peduli. Sepanjang perjalanan hanya diisi dengan keheningan. Mobil yang aku tumpangi ini membelah padatnya jalanan Jakarta. Perasaan dalam d**a berkecamuk. Banyak sekali hal yang ingin meledak di dalamnya. Tak butuh waktu lama, mobilku ini telah sampai di rumah Bora. Rumah megah yang terlihat begitu sunyi. Bora tinggal sendirian di rumah itu. Nyokap bokapnya tak pernah ada di rumah. Mereka hidup mencari kebahagiaan mereka sendiri. Papi Bora selalu berada di luar negeri, sedang maminya mencari kesenangan di luar rumah. Bora tidak mau ambil pusing. Dia juga akan ikut bersenang-senang dengan caranya. Dia kerap sekali pergi ke club untuk mencari hiburan. Selama ini aku masih enggan jika diajak karena masih nurut sama mami. Tapi sekarang, Alia lagi pengen protes sama mami dan papi. Karena sudah mengenalku sebagai teman Bora, penjaga di pintu depan pun langsung membukakan pintunya untuk kami. Mungkin juga Bora sudah bilang dengan penjaganya itu. Mobilku memasuki halaman rumah itu. Ternyata dia udah nunggu di teras depan rumahnya. Melihat mobilku berhenti, tanpa aba-aba langsung saja anak itu masuk dan duduk di sebelahku. "Udah nggak usah protes. KIta langsung cabut aja," katanya sesaat setelah mendudukkan bokongnya di sebelahku. Seolah tahu isi hatiku yang ingin kuucapkan tadi. "Ya udah, Mang. Langsung berangkat saja." Mobil pun kembali melaju meninggalkan rumah itu. Mang Asep sudah tidak berani mengajukan protes padaku. "Eh! Ini beneran lo 'kan? Bukan demit atau kuntilanak." Sembarangan saja ni anak kalau ngomong. Memang bener mulutnya nggak ada saringannya. "Lo kira gue setan?" Tentu saja aku merasa kesal dengan pertanyaannya barusan. Suasana hatiku sedang buruk, ditambah lagi Bora yang asal jeplak. "Habisnya. Ini bukan Alia yang gue kenal. Alia temen gue itu selama ini nurut dan nggak pernah pergi ke club kaya gini." Nggak usah dijelasin lagi kayaknya, Bo. Emang selama ini aku alim, tapi boleh dong sesekali nakal biar nggak dibuang. "Terus ... kali ini lo nggak mau nganggep gue temen, gitu?" tanyaku dengan nada ketus. Hal yang biasa bagi kami dan tidak akan ada yang tersinggung dengan kejutekan masing-masing. "Ya enggaklah? Tapi, gue takut dikira bawa pengaruh buruk buat lo." Aku tahu Bora memang rusak, tetapi tidak sekali pun dia mengajakku dan Helen ke tempat seperti itu. Karena dia tahu aku dan Helen masih polos. Kami berdua belum pernah sekali pun masuk ke tempat seperti itu. "Tenang aja. Semua gue yang nanggung. Lo nggak bakal kena marah bonyok gue." Aku pun kembali meyakinkannya agar tidak ragu membawaku ke tempat itu. Meski aku bisa ke sana sendiri, tetapi setidaknya jika ada teman aku merasa lebih aman. "Oke. Tapi jangan nyesel, ya. Lo bukan lagi anak alim yang selama ini gue kenal." Aku tahu dengan memasuki tempat itu, aku bukanlah Alia yang dulu. Kepolosanku pasti akan ternoda. Tapi, aku ingin membuktikan sama papi bahwa aku sudah dewasa. "Nggak bakalan!" jawabku mantap. Meski hati kecilku tak semantap itu. Ada perasaan ragu yang terus menggerogoti keyakinanku ini. Tak ada pembicaraan lagi antara kami. Kulirik Bora, gadis itu terus menatap keluar. Dibanding kedua temanku, kehidupanku bisa dibilang paling sempurna di antara mereka. Papi selalu di rumah dan mami apalagi. Dia mengorbankan banyak hal untukku dan papi. Mami memutuskan untuk tidak mengurus sendiri perusahaan pemberian kakek karena ingin fokus pada keluarganya. Sudahlah, aku tak ingin membandingkan lagi kehidupan kami. Nyatanya kini papi sudah tak lagi menyayangiku. Bora memang selalu ceria setiap aku melihatnya. Tapi, kenyataannya tak seperti yang terlihat. Hati dan jiwanya begitu kesepian. Dia menutupi rasa kesepiannya itu dengan dugem. Bukannya tak setia kawan, tapi selama ini aku dan Helen tak berada di dunia yang sama dengannya. Bahkan aku juga tahu jika Bora adalah pecinta one night stand. Itu adalah pilihannya, sebagai sahabat kami tidak bisa ikut campur terlalu jauh. Setelah sekitar setengah jam perjalanan, akhirnya mobilku sampai di sebuah kelab malam langganan Bora. belum-belum jantungku berdetak begitu kencang. Aku masih berusaha mengatur napasku, menyiapkan diri memasuki tempat yang terlarang bagi mami. "Mang! Handphone Mamang dimatiin aja. Aku nggak mau papi atau mami tahu aku ada di mana," ucapku pada Mang Asep yang berarti juga sebuah perintah yang tidak boleh dilanggar. "I-iya, Non." Tak ada hal lain yang bisa Mang Asep lakukan selain patuh pada perintahku. Meski kutahu saat ini Mang Asep sedang begitu khawatir tentangku. Seketika lututku lemas membayangkan tempat seperti apa yang bakal kumasuki. Jujur saat ini tubuhku ikut bergetar karena takut. "Al, kalo lo nggak yakin. Masih ada waktu untuk pulang." Mungkin Bora dapat menangkap kecemasan yang tercetak di wajahku. Hingga akhirnya dia meyakinkanku lagi akan keputusanku ini. Aku membuang napas kasar, "Gue yakin kok." Aku tahu ini bukan tempat baik untuk dikunjungi. Tapi, tak ada salahnya mencoba. Aku ingin melakukan hal-hal yang anak muda lain lakukan. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Pasti saat ini mami papi sama mami lagi sibuk nyariin. Biarin aja, deh. Semua 'kan udah nggak sayang Alia. Akhirnya aku keluar dari mobil setelah sebelumnya mengumpulkan segenap keberanian untuk memasuki tempat itu. Tempat yang aku yakini ada banyak kesenangan di dalamnya. Tempat yang juga aku yakini ada banyak roti sobeknya. Semoga aku nggak khilaf mata saat di dalam. Dan semoga saja tak ada cowok yang sengaja pamer roti sobeknya di hadapan umum. Bora masih menungguku yang kuyakin dia melihatku ragu-ragu memasuki tempat itu. Aku menapakkan kaki kiriku di parkiran club itu. Jujur saja saat ini kakiku gemetar saat pertama kali menapakkan kaki di tempat seperti ini. "Come on, Al. Lo jangan kayak orang kampung gitu, ah," lirihku sembari menegakkan badanku. Kulihat ada raut khawatir di wajah Bora. Ya, aku sangat tahu sebenarnya dia nggak mau aku menjadi sepertinya, kenal dunia malam. "Ayok, Bo!" ajakku padanya. Dengan langkah anggun serta menegakkan punggungku aku memasuki tempat itu. Kami berjalan beriringan layaknya sosialita yang sebenarnya. Meski harus berakting, aku tidak akan menampakkan ketakutanku. Takut melihat sesuatu yang selama ini belum pernah kulihat. Club yang kami datangi ini termasuk club untuk orang-orang elit seperti kami. Tidak mungkin Bora mau masuk club murahan sedangkan dia memiliki banyak uang. Di pintu depan, terdapat dua penjaga yang berpakaian rapi serba hitam. Setelah memperlihatkan kartu VIP milik Bora, kami masuk ke dalam tanpa pemerikasaan lagi. Aku hanya mengekor pada Bora, karena aku sama sekali buta tempat ini. Kesan pertama setelah masuk adalah gelap. Padahal kami harus membayar mahal untuk sampai ke tempat ini, kenapa gelap begini? Semakin ke dalam semakin terdengar dentuman musik yang memekakkan telinga. Ternyata lebih keras dari teriakan mami. Nyesel aku bilang teriakan mami yang paling kenceng, ternyata ada yang lebih dahsyat dari itu. Kulihat Bora mulai menggerak-gerakkan tubuhnya mengikuti irama. Meski kaku, aku mencoba mengikuti pergerakan sahabatku itu. Kulihat ada seorang DJ yang sedang memainkan music di atas sana. Melihat lautan manusia di hadapanku mengapa perutku malah mendadak mual. Apa ini efek karena aku belum makan tadi. Habisnya tadi aku keburu marah ama papi, jadinya lupa kalau mau ngajak makan. Efeknya sekarang 'kan baru terasa. Kenapa semakin masuk ke dalam semakin tercium aroma tape, ya? Mami sering buat karena itu makanan kesukaan nenek. Apa kelab malam juga menjual tape. "Bo ...." Aku celingukan mencari manusia satu itu. Cepet banget, ke mana dia sekarang? Akhirnya aku nemuin Bora udah joged-joged di bawah sana. Aduh! Aku mesti ke mana? Perasaan apa ini? kenapa Alia yang super duper PD bisa ketakutan di tempat seperti ini. Itu juga si Bora, beneran temen nggak ada akhlak banget. Tahu aku baru pertama ke sini, udah main tinggal aja. "Wah! Bener-bener temen gue yang satu itu. Kalau udah jadi satu ama koloninya aja, gue dilupain." Akhirnya terpaksa aku celingukan nyari tempat yang kurasa aman untuk menenangkan diri. "Tapi, ngomong-ngomong gue haus. Cari minum dulu aja." Aku pun celingukan lagi mencari penjual minuman. "Ah! Itu di sana ada." Aku segera menuju ke tempat yang terletak paling pojok. Setelah menarik napas panjang, aku berjalan dengan segenap keberanian ke tempat itu. Aku duduk di sebuah kursi dan mataku mulai memindai ke arah rak di belakang pelayan. "Mau pesan apa Nona cantik?" Seorang pelayan menghampiriku dan tersenyum ke arahku. "Uhm ...." Aku menengok ke sebelah kananku, " seperti itu saja." Aku menunjuk ke arah minuman berwarna pink yang terlihat begitu menggoda. Sepertinya sangat enak? Pelayan itu hanya menaikkan sebelah alisnya, meski sesudahnya tetap pergi meracik minuman itu untukku. Aku melihat sekeliling, sepertinya ada seseorang yang kukenal. Aku memicingkan mataku untuk lebih mengamati orang itu. "Bukannya itu Pak Bejo, ya? Wah, ternyata mainnya ke sini juga." Aku hapal sosok yang baru tadi pagi kutemui. Meski kuyakin seratus persen dia tidak mengenaliku. "Tapi, ada yang aneh. Ngapain Pak Bejo tidur di sini? Kayak nggak punya rumah aja." Ada seorang wanita cantik dan seksi di sebelah dosen gantengku itu. Apa yang mereka lakukan di tempat umum seperti ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN