Chapter 2: Busted?

1336 Kata
Keduanya terdiam. William telah duduk di hadapannya sambil meminum es teh manis milik Angkasa. Pertanyaan William masih mengambang di pikirannya. Bagaimana William dapat mengetahuinya? Apa dia hanya memastikan? Bercanda? Apapun itu, sekarang William sudah menatapnya nyalang. Salah satu kakinya terangkat di kursi yang dia duduki. Sepertinya sudah 30 detik pemuda itu tidak berkedip menatapnya. Entah terkesima dengan parasnya atau mengancam, Angkasa tidak tahu. "Apa maksudmu?" "Kau mengikutiku. Sejak dikampus tadi dengan Brio warna merah." Tidak ada lagi jawaban yang dapat menepis perkataan William. Dia bahkan dapat menyebutkan jenis dan warna mobil yang Angkasa kendarai. Angkasa menghela nafas. Apa dia jujur saja? Atau mencari alasan seperti dia fans berat William? Atau adiknya menyukai William dan memintanya untuk membuntui pemuda yang sialnya memang berparas tidak buruk itu. "Tidak perlu banyak berpikir. Jujur saja. Apa kau polisi?" Angkasa buru buru menggeleng. Kalau pertanyaan itu mudah saja dia jawab tanpa harus berbohong. Salah satu alis William terangkat, bingung. Es teh manis yang dia curi dari pria muda di hadapannya ini sudah tandas. "Lalu kenapa kau mengikutiku? Apa adik perempuanmu menyukaiku dan memintamu untuk membuntutiku?" Angkasa mendengus. Salah satu calon kebohongannya malah di utarakan langsung oleh William. "Kau sangat percaya diri dengan wajahmu." William mengangguk, "Tentu saja. Aku ini tampan. Jika kau jadi aku, kau juga pasti akan sangat percaya diri dengan ini." Pemuda berambut biru itu menunjuk wajahnya, menyengir lebar. Angkasa bersumpah dia dapat melihat William membusungkan d**a. "Baiklah. Cukup basa basinya." William melipat kedua tangannya di depan d**a. Kedua matanya kembali mengawasi Angkasa seperti seekor burung elang mengawasi mangsanya. "Kenapa kau membuntutiku? Jujur saja. Itu akan jauh lebih baik untukmu." Hening sejenak. Angkasa masih menimang nimang. Dia lemah, jadi tidak bisa langsung mengambil keputusan yang nantinya akan menyulitkan dirinya sendiri. Beberapa detik, sang Jurnalis menghela nafas, "Baiklah. Aku seorang Jurnalis." Sudah. Angkasa sudah jujur. Dia berhadap William tidak akan menyeretnya pergi entah kemana. Tidak mungkin. Dia menatap beberapa pengunjung restaurant. Dia memiliki banyak saksi mata. Pelayan yang menatapnya dari ujung gedung mungkin sekutu William. Angkasa tidak dapat mempercayainya. "Jurnalis? Untuk apa kau membuntutiku? Jangan bilang kau ikut termakan rumor rumor buruk itu tentangku?" William menepuk pahanya, kesal bercampun gemas dengan pria muda yang mengaku sebagai Jurnalis di hadapannya ini. Angkasa dilain sisi hanya menatap William dengan kedua mata yang terbelalak. Dia tahu mengenai rumor itu? Jika didengar dari intonasi dan penuturannya William seakan mengatakan bahwa rumor itu tidak benar, tetapi Angkasa tidak akan lengah. Dia tidak dapat mempercayai orang ini. Tidak setelah William bergerak seperti orang aneh yang sedang dalam pelarian dari polisi. "Kenapa wajahmu seperti tidak percaya sama sekali? Apa aku kelihatan seperti orang misterius yang sedang kabur dari polisi?" Angkasa mengangguk, tidak dapat menepis perkataan William. Pemuda berambut biru di hadapannya menghela nafas. Entah mengapa dia yang merasa lelah saat berbicara dengan Jurnalis polos di hadapannya ini. "Tentu saja aku tidak percaya. Lagi pula bukankah aneh? Jika kau memang tidak terlibat rumor aneh itu, kau tidak akan bertanya apakah aku seorang polisi. Jika kau memang mengira polisi mengikutimu, berarti ada sesuatu yang kau lakukan, bukan?" Angkasa meraih sendok garpunya, memulai acara makan siangnya. 1-0. Dia menang. Kekehan William membuat Angkasa memutar bola mata kesal. Dia memutuskan untuk memfokuskan diri pada makanan di hadapannya. Lezat. Dia akan merekomendasikan restaurant ini pada rekan rekannya jika mereka ingin mencari suasana baru. Mungkin dengan sedikit peringatan terhadap pelayan berambut hitam legam dengan wajah tampan di ujung sana. "Kau cukup tajam sebagai seorang Jurnalis. Begini saja. Siapa namamu?" Salah satu alis Angkasa kembali terangkat. Orang ini memang penuh kejutan. "Angkasa. Angkasa Abisatya." "Angkasa, Kau boleh memeriksaku, tetapi dari pada itu, aku memiliki tawaran lain yang lebih menarik. Apa kau ingin mendengarnya?" Kedua mata Angkasa memicing, menyelidik William yang sudah duduk bersandar pada meja di hadapannya, memperhatikan Angkasa dari dekat. "Apa menurutmu aku akan jatuh begitu saja? Coba lagi. Kau masih terlalu muda untuk mengelabuhiku." Angkasa mengibaskan sendoknya, sengaja mendekatkan beda itu pada wajah William, menyuruhnya menjauh sebelum kembali menyantap ayam saos Inggris yang akan terlah masuk kedalam list makanan kesukaannya. "Sesuatu yang besar sedang terjadi. Kau tidak akan ingin ketinggalan hal ini. Bahkan para polisi masih belum dapat mengendusnya. Kau akan jadi jurnalis pertama yang meliput ini, mungkin kau yang akan membantu polisi untuk meringkus kasus ini." "Dan kau pikir aku akan percaya? Coba lagi, William. Coba lagi." Angkasa kembali menyuapkan ayam saos Inggris di hadapannya, menikmati rasa masakan yang entah mengapa membuatnya sangat ketagihan. Dia harap restaurant ini tidak menggunakan bumbu bumbu aneh. "Oh apa kau yakin? Ini benar benar akan membantu namamu Angkasa. Kau pasti mengetahui Sky bukan? Kau bisa saja melampauinya dengan liputan ini." Suara aneh yang terdengar di hadapannya membuat William mendongak. Pemuda itu mengernyit saat mendapati Jurnalis bernama Angkasa ini tampak tersedak makanannya sendiri. Spontan William buru buru menyodorkan es teh manis yang sempat dia minum tadi yang buru buru diambil Angkasa dan langsung dia tegak habis. "Apa kau baik baik saja? Aku tahu kau antusias tapi-" "Bagaimana bisa aku menjadi setenar Sky jika Sky adalah aku?" Detik itu pula William mengerjab. Sebuah alasan baru untuk benar benar menunjukkan hal itu pada Angkasa (sky). Saat pertama kali dia tidak sengaja melihat mobilnya melalui kaca spion, kebetulan dia juga mengingat mobil yang sama telah terparkir di halaman kampusnya. Siapa yang tahu bahwa orang yang memperkenalkan dirinya sebagai Angkasa Abisatya adalah Sky si Jurnalis terkenal itu? William sering melihat nama pena Angkasa di berbagai surat kabar, maupun fisik hingga digital. Sky sering dibicarakan di berbagai acara televisi politik, Bisnis, hingga banyak polisi polisi yang juga mencantumkan namanya sebagai rasa terima kasih. Mungkin dia dapat mempercayai orang ini. Dia butuh koneksi untuk misinya kali ini dan Angkasa adalah orang terkenal yang memiliki banyak koneksi orang terkenal lainnya. Baiklah, dia sudah mengambil keputusa. Angkasa adalah tipe orang yang bekerja untuk menuntaskan rasa ingin tahunya. Dia bukan tipe orang yang akan muda disogok. Setidaknya William percaya itu. "Jika kau memasang telingamu dan mendengar apa yang akan aku katakan, aku jamin kau pasti tergoda. Tetapi sebelum itu, aku harus menunjukkan sesuatu. Semoga kau bisa mempercayai perkataanku setelah ini." Angkasa mendongak. William sudah beranjak berdiri. Beberapa detik, pemuda berambut biru yang sialnya juga jauh lebih tinggi dari tubuhnya yang 171 cm itu telah membawanya menuju ruangan karyawan di ujung restaurant. Pelayan tampan yang tadi mengambil pesanan Angkasa juga ikut masuk kedalam ruangan itu. Ruangan itu hanya sebuah ruangan minimalis sebesar 4 meter kali 3 meter. Terdapat sebuah meja lipat dari plastik yang berdiri kokoh di ujung ruangan sebelah kanan. Pada sisi sebelah kiri ruangan, terdapat sebuah loker besar yang dapat digunakan oleh lima orang. Nama nama asing tertempel dimasing masing loker, kecuali loker paling ujung yang tampak sudah rusak. Pada dinding di hadapan mereka, terdapat rak buku besar penuh dengan komik keluaran tahun 1990an. "Kau ingin menunjukkan koleksi komik vintage milikmu? Aku tidak punya waktu untuk itu. Kau baru saja mengganggu makan siang seseorang. Asal kau tahu saja." Angkasa menarik tangannya dari genggaman William sebelum melipat tangan di depan d**a, kesal. "Dylan, tolong bungkuskan makanan Tuan Jurnalis disini." Pelayan tampan yang sedari tadi berdiri sambil bersandar pada meja lipat mengangguk, buru buru berjalan keluar untuk meraih makanan Angkasa dan membungkusnya. "Jadi namanya Dylan?" "Kenapa? Kau menyukainya?" William terkekeh, menggeleng cepat sebelum beranjak menuju rak besar di hadapannya. Salah satu alis Angkasa terangkat saat mendapati pergerakan William. Pemuda berambut norak itu mulai mengeluarkan satu per satu buku komik yang terletak tepat di hadapan kedua matanya. "Apa yang kau lakukan?" Tidak ada jawaban. Angkasa kembali menunggu dengan sanar. Lima buku komik sudah William keluarkan hingga sebuah alat kecil bergerak keluar dari balik rak tersebut. Itu adalah alat canggih yang men scan bola mata seseorang. Kerutan di dahi Angkasa semakin nampak. Alat itu dengan cepat menelusuri setiap titik di mata William sebelum rak buku itu bergeser. Sebuah tirai hitam tampak di balik tembok. Tulisan dengan pilox hitam yang tergores di atas tirai tersebut tampak mencolok dibandingkan tembok putih yang mengelilingi seluruh ruangan tersebut. "Black alley." Willaim tersenyum lebar, "Silahkan masuk dan selamat datang di Black alley. Tempat dimana kau bertemu dengan sesuatu yang tidak pernah ada."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN