Ameliya terdiam. Paket berisikan perlengkapan bayi secara tiba-tiba hadir di rumahnya. Seorang kurir mengantarnya dan tanpa mengetahui atau memang sengaja tidak memberitahu siapa pengirim barang itu. Ameliya memutusan duduk di sofa, memeriksa paket yang baru saja dia buka, berharap ada sebuah petunjuk atau bahkan surat dengan nama sang pengirim di dalamnya. Namun ternyata tidak. Ameliya tidak ada menemukan apa pun selain botol minum, beberapa baju bayi beserta popok dan pampers.
Ameliya memang berniat membeli beberapa peralatan bayi minggu ini, dan Dimas mengetahui hal itu. Namun rasanya mustahil jika Dimaslah yang membelikannya. Saat ni, Dimas malah sedang ke Bandung untuk kerjaannya. Dimas tidak akan sempat menyiapkan kejutan ini di saat hari-hari sibuknya. Bahkan untuk sekedar makan saja Dimas sering lupa, apa lagi harus emnyiapkan kado seperti ini.
Nina yang kebetulan menginap semalam di rumah Ameliya, tampak menuruni tangga mendekati Ameliya yang duduk sendirian di ruang tv, lantas duduk di sampingnya sembari memeriksa barang-barang yang baru saja diterima Ameliya. Ameliya meliriknya sesaat, lantas kembali mengarahkan tatapan ke baju bayi berwarna biru dan pink di tangan Nina.
“Lucunya, kapan belinya, Kak? Kok gak ngajak-ngajak Nina?” tanya Nina yang tampak sedikit kecewa melihat beberapa baju bayi. Nina masih saja mengira Ameliya membelinya tanpa mengajaknya ikut untuk sekedar memilih.
“Kakak belum ada belanja, Dek,” ucap Ameliya yang sesaat menarik ekspresi bingung dari wajah Nina. “Ini tadi ada kiriman entah dari siapa, kurirnya pun juga gak tau ini dari siapa. Kakak rasa sih, sekongkol sama kurirnya buat gak ngasih tau siapa orangnya.”
“Tunggu dulu,” ucap Nina bingung. “Jadi ini dikasih orang, bukan kakak beli sendiri?”
Ameliya menganggukkan kepala. Nina kaget bukan main, menyapu pandangannya ke atas meja yang penuh dengan hadiah entah dari siapa. Nina kembali menatap Ameliya seolah bertanya siapa orangnya, dan Ameliya langsung mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu siapa gerangan.
“Jangan-jangan dari mantan kakak kali!” ucap Nina yang membuat Ameliya tertawa mendengarnya.
“Ya gak mungkinlah,” jawab Ameliya sembari melipat beberapa pakaian bayi. “Kakak cuma punya mantan satu, dan dia sekarang gak ada di Indonesia. Gak tau pun dia di mana sekarang. Ngilang kali di telan bumi.” Ameliya kembali tertawa yang sama sekali tidak dibalas Nina dengan tawaan juga. “Terakhir yang aku dengar sih dia di Jerman, Cuma gak tau lagi sekarang gimana kabarnya dan tinggal di mana. Gak peduli juga.”
“Bisa aja kan dia balik, dan cari tau tentang kakak, terus karena tau kakak lagi hamil, dia langsung belikan semua ini. Bisa aja kan?” tanya Nina lagi yang hanya diawab Ameliya dengan gelengan kepala. “Teringatnya, waktu kakak nikah sama Bang Dimas, diundang gak dia?”
Ameliya mencoba mengingatnya, “Sepertinya enggak. Acara kakak Cuma dihadiri keluarga doang, jadi gak ada siapa pun paling teman kuliah, itu pun yang dekat aja. Soalnya kakak baru masuk juga kan waktu itu, jadi gakk pala banyak diundang.”
Nina mengangguk pelan. Namun penyelidikannya tidak sampai di situ, dia kembali mengarahkan sorot matanya ke Ameliya yang mulai Menyusun kembali barang-barang pemberian seseorang itu.
“Dia … mantan kakak di mana? SMA?” tanya Nina yang kembali dijawab Ameliyadengan gelengan kepala. “Jadi?”
“SMP,” jawab Ameliya. “Masih cinta-cinta monyetlah. Jadi gak serius-serius amat juga. Iseng-iseng berhadiah, gara-gara dijodohkan sama teman-teman, terus jadi deh. Tapi gitu-gitu sampai tiga tahun juga lho.”
“Putus gara-gara apa?” tanya Nina lagi. Dia tampak benar-benar penasaran dengan cerita masa remaja Ameliya.
“Keluarganya pindah ke Jerman, jadi dia terpaksa ikut karena di sini, dia gak punya siapa-siapa. Kalau pun ada, di Jogja sama Bandung doang.”
“Bapaknya orang Jerman?” tanya Nina lagi.
“Iya, asli orang sana. Setelah menikah pindah ke sini, tapi lucunya Rayyan sama sekali gak pintar Bahasa Jerman, inggris juga belepotan.” Ameliya tertawa mengingat sosok cowok yang berhasil mengisi hari-harinya walau harus backstreet dari Adit yang tidak memberikannya izin berpacaran saat itu. Bahkan untuk dekat sama cowok saja pun, Adit tidak pernah mengizinkannya.
“Rayyan?” tanya Nina.
Ameliya menganggukkan kepala, “Ya, itu namanya. Nama panjangnya agak susah, jadi malas ngingatnya.” Ameliya kembali tertawa.
“Orangnya ganteng banget dong, Kak?” Nina tampak antusias. Sembari membayangkan, Nina terus menatap Ameliya dengan kedua mata berbinar-binar. Erharap so pemilik nama Rayyan punya adik atau malah keluarga seusianya yang bisa dia gaet untuk jadi pendamping, sekedar memperbaiki keturunan.
“Lumayan, putih, tinggi,” jawab Ameliya santai. “Sayangnya abangmu gak suka.”
“Bang Adit?” tanya Nina yang langsung dijawab Ameliya dengan anggukan kepala. “Alasannya?”
“Kurang jelas sih, entah karena memang saat itu Bang Adit gak pernah kasih izin aku untuk pacaran atau sekedar dekat sama cowok, atau karena memang ada hal yang tidak disukai Bang Adit dari Rayyan, aku juga kurang jelas. Yang pasti pas tau kalau aku sering dekat sama Rayyan di seklah, bahkan sering terlihatnya jalan bareng ke luar dari kelas pas puang sekola, Bang Adit langsung ngelarang untuk dekat lagi.”
“Jadi kakak sama Bang Rayyan itu backstreet?” tebak Nina yang hanya dijawab anggukan oleh Ameliya. Ada tawa kecil dari Ameliya mengingat semua kejadian itu. Tapi di sisi lain, Nina malah teirlihat kecewa akibat Ameliya yang tidak jadi dengan Rayyan. Amelliya melirik ke Nina yang tampak manyun.
“Kenapa?” tanya Ameliya bingung.
“Kesel aja sih, kok bisa gak jadi,” jawab Nina. ‘Kalau jadi kan Nina punya keponakan turunan Jerman.” ‘
“Idih kamu,” ucap Ameliya. “Tuh kurang cantik dan ganteng apa lagi ponakan kamu. kalau gak sama Bang Dimas, gak bakalan dapat dua ponakan yang lucu kayak gitu. Sekarang malah mau tiga. Kakak malah bersyukur bisa dapat Bang Dimas, dan bukan sama Rayyan. Kalau bukan Bang Dimas orangnya, gak bakalan ada yang bisa nerima kaka kapa adanya.”
Nina melirik ke Ameliya, “Emangnya kakak kurang apa?” tanya Nina yang spontan membuat Ameliya terdiam. Tangannya yang semula bergerak membereskan kertas kado, dengan memasukkannya ke plastk, langsung terhenti.
“Kakak cantik, pintar, baik, calon dokter hebat kayak Bang Dimas lagi, masa gak ada yang mau sama kakak. Mustahil kan?” lanjut Nina. “Kakak itu sempurna banget. Apa coba yang buat cwok-cowok di luar sana nolak kakak? Gak ada alasan buat nolak tau, Kak.”
“Ada,” jawab Ameliya dengan nada suara datar yang membuat Nina terdiam. Ameliya yang langsung tersadar kalau dia tidak boleh menceritakan apa pun pada Nina mau pun Aden, langsung mencocba mengontrol emosi dan napasnya dan berpura-pura tidak ada apa-apa.
“Kamu lanjutkan bereskan ya, kakak mau mandi dulu, bentar lagi Bang Dimas mau pulang,” ucap Ameliya yang langsung bangkit dan pergi meninggalkan Nina yang tampak kaget bercampur bingung dengan sikap Ameliya yang spontan berubah. Ameliya lansung masuk ke kamarnya yang terletak di lantai tempat keduanya berada. Dia tidak mau di lantai atas karena takut turun naik dan membahayakan bayi di dalam kandunganya.
Nina sendiri langsung membereskan barang dengan perasaan yang masih bingung bukan main.