Rasya menghentikan mobilnya tepat di depan rumahnya yang baru. Hari ini ketiganya berniat membereskan rumah baru yang akan ketiganya tempati setelah Audy dan Rasya menikah. Namun ada yang aneh semenjak kunjunga ke penjara tadi. Audy yang sejak tadi duduk di samping Rasya yang sibuk mengemudikan mobil, tapak diam seribu Bahasa. Audy hanya terus menatap ke kertas berisikan nomor handphone yang sempat diberikan Melody padanya.
Rasya sesaat melirik ke Yura yang duduk di belakang. Yura mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu menahu tentang kondisi Audy saat ini, lantas memutuskan untuk ke luar dari mobil dengan memegang kunci rumah duplicate di tangannya, sedangkan kunci asli berada di Rasya. Rasya mmang sngaja membuat dua kunci duplicate. Satu untuk Yura dan satu lagi untuk Audy. Agar lebih memudahkan keduanya membuka pintu jika nantinya tidak ada siapa pun di rumah.
Rasya kembali mengalihkan pandangan ke Audy yang masih tertunduk dengan kedua tangan, masih aja memegang kertas. Rasya menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan, mengusap kepala Audy pelan yang membuat wanita di sampingnya mengalihkan pandangan ke arahnya.
“Ada apa?” tanya Rasya dengan nada suara lembut. “Apa tadi Mami ada ngomong sesuatu, yang membuat kamu sakit hati?” tanya Rasya lagi sebelum sempat Audy menjawab pertanyaan pertamanya.
Audy menggelengkan kepalanya pelan, memberikan kertas di tangannya ke Rasya yang angsung diambil Rasya dan melihatnya. Rasya mengerutkan kening melihat beberapa angka yag kini tertulis di kertas yang sudah terlipat tak tentu arah.
“Ini nomor Mami?” tanya Rasya yang kembali dijawab Audy dengan gelengan kepala. “Jadi?”
“Ayah,” jawab Audy singkat lantas menyandarkan kepala dengan tatapan lurus ke kaca depan. Enggan menatap Rasya yang tampak kaget menatapnya, seolah tidak percaya denga napa yang dia dengar.
“Ayah? Kok bisa oamu dapat nomor teleponnya? Dari siapa? Mami?” tanya Rasya beruntu deolah tidak pernah memberikan Audy izin menjawab.
Audy menarik tatapannya ke Rasya, menghela napas pelan lantas memejamkan kedua matanya sembari menyandarkan kepalanya lagi. Ada gurata kesedihan dan lelah di wajahnya memikirkan semua yang kini dia pikirkan seorang diri. Sejujurnya, Rasya sendiri tidak pernah menginginkan Audy memikirkan semuanya seorang diri. Dia ingin Audy bisa membagikan semua pikiran-pikiran berat di kepalanya untuknya. Terkadang, Rasya malah merasa Audy tidak pernah menganggapnya ada hanya karena tidak pernah membagikan masalahnya. Audy merasa dirinya selalu bisa menyelesaikan semuanya sendiri, tanpa bantuan siapa pun di sekelilingnya.
“Kemarin Ayah sempat datang ke penjara buat ngunjungi Mami,” cerita Audy dengan kedua mata yang sudah terbuka, namun belum juga mengarahkan pandangannya ke Rasya. “Ayah datang sambil ngasihkan nomor ini buat diberikan untukku.”
RAsya tersenyum lega, “Bagus dong, kita jadi bisa hubungi Ayah secepatnya dengan mudah. Sejak kemarin kita mikirin cara untuk nemukan Ayah, dan sekarang caranya sudah ada di depan mata. Apa lagi sih yang kamu pikirin, hubungi sekarang. Biar bisa kita ketemu siang ini.”
“Gak semudah itu,” jawab Audy yang kembali membuat Rasya mengerutkan keningnya. “Mami bilang, kondisi Ayah masih tetap sama seperti dulu, gak punya apa-apa,” jawab Audy. “Ayah tetap miskin, pulang ke Jakarta cuma bermodalkan pakaian lusuh yang dia pakai saat bertemu sama Mami. Dan sebenarnya, nomor itu juga bukan punya Ayah, tapi milik ibu pemilik rumah sewa tempat Ayah tinggal.”
“Terus masalahnya di mana?” tanya Rasya yang masih bingung dengan arah kalimat Audy sebenarnya. “Apa kamu malu karena Ayah miskin?”
Audy menggelengkan kepala, “Bukan karena itu, Sya.”
“Jadi karena apa?”
“Karena aku gak mau kejadian yang sama kembali terulang!” jawab Audy cepat yang membuat Rasya terdiam. “Seseorang berstatus keluarga hadir di hidupku, ters menjadikanku objek untuk dapatkan uang uang dan uang.” Air mata Audy jatuh membasahi pipinya yang semula kering.
Tampak jelas trauma itu masih membekas di hatinya, hingga membuatnya takut jika harus menemui orang-orang di luar yang sering dia temui. Rasya kini akhirnya mengerti maksud dari penolakan Audy sejak tadi. Dia takut, kejadian bersama Melody dan ayah tirinya yang Bernama Roszi kembali terjadi. Rasya kembali mengusap kepala Audy dengan penuh kelembutan, mengusap aijr matanya dan mencoba menenangkannya.
“Kamu pikir saat ini aku sudah poercaya seratus persen sama Yura? Enggak!” jawab Audy yang masih tampak saja meneteskan air mata. “Aku masih saja takut kalau harus tinggal berdua bersama YUra saat kamu pergi kerja nanti. Tapi aku juga gak bisa ninggalin dia gitu aja di rumah Adit atau pun membiarkan dia tinggal di luaran sendirian. Biar bagaimana pun dia tetaplah adikku yang harus aku jaga.”
“Aku gak bakalan ninggalin kamu sendirian, Dy, aku janji,” jawab Rasya. “kejadian yang dulu gak akan pernah terjadi lagi. Selama aku ada, kamu gak akan pernah bisa disakiti oleh siapa pun. Aku janji.”
Audy mencoba menghentikan tangisannya. Menghapus air matanya lantas menyandarkan kembali tubuhnya di tempatnya duduk. Rasya sendiri menghela napas pelan, kembali memusatkan pandangan ke kertas yang masih di tangannya lantas meraih handphonenya dan menekan beberapa tombol angka yang membuat Audy spontan mengalihkan pandangannya ke Rasya, lantas merampaps kertas di tangan RAsya yang membuat Rasya kaget bukan main.
“Kamu mau ngapain?” tanya Audy dengan kedua mata terbelalak kaget.
“Mau nelepon Ayah, mau ngajak Ayah ketemuan.”
“Bua tapa?” tanya Audy lagi seakan tidak ingin Rasya melakukan hal itu.
“Buat kamu!” jawab Rasya lagi. “Buat jadi wali nikah kita, karena biar gimana pun kamu membuttuhkannya untuk hadir.”
Audy terdiam, membiarkan Rasya mengambil kembali kertas di tangannya dna meneruskan mengeti angka di dalam handponenya. Audy melirik ke Rasya yang tampak serius dengan apa yang dia lakukan.
“Kalau seandainya kehadiran Ayah hanya membuatmu susah, kamu apa sudah siap?” tanya Audy dengan nada suara pelan karena takut Rasya marah dan kembali meninggikan nada suaranya seperti sebelumnya. Walau pun Audy sendiri tahu bahwa Rasya belum dikatakan marah saat itu.
“Apa pun yang akan terjadi ke depannya, aku siap,” jawab Rasya. “Sudah seharusnaya ayah kamu menjadi tanggunganku juga. Aku sudah tidak punya ayah, dan ibu … bahkan sudah tidak bisa diharapkan dan disebut sebagai seorang ibu. Jadi apa salahnya ayah kamu aku jaga?”
“Bahkan saat Ayah meminta uang terus menerus dalam jumlah yang besar?” tanya audy lagi.
Rasya menganggukkan kepala sembari tersenyum, “Aku siap,” jawab Rasya. “Kita telepon sekarang ya?”
Audy mengangguk. Rasya langsung menekan tombol pemanggil telepon dan menempelkannya di telingannya.
“Halo,” jawab seseorang yang ternyata bukan suara seorang wanita yang dibayangkan, melainian suara berat seorang lelaki yang membuat Audy dan Rasya saling berpandanan kaget.