BAB 63

2043 Kata
Aden yang tidak sabar memberitahukan Metta, langsung menantinya di depan pintu kelas. Metta yang sempat dia lihat masuk ke ruang guru untuk mengumpulkan tugas dan berbicara entah tentang apa di sana. Aden tidak bisa terlalu lama mendengarnya saat mengumpulkan tugas tadi guru perempuan Bernama Lina itu malah dengan cepat memintanya ke luar dari ruangan pribadinya. Aden sempat melirik ke Metta yang sudah duduk di hadapan wali kelasnya itu, namun Metta malah langsung menundukkan kepala, seolah enggan membiarkan Aden memberikan isyarat apa pun untuk seekdar bertanya untuk apa dia berada di ruangan Ibu linda selama itu. Aden menghela napas, duduk di kursi kayu panjang di depan kelas sembari melihatb ke kana dan kiri. Lorong sekolah memang masih tampak ramai. Bel sekolah tanda masuk pun belum terdengar berbunyi. Aden melirik ke jam tangannya yang baru menunjukkan pukul tuju pagi, masiha da setengah jam lagi waktu santai usai dan kegiatan belajar mengajar pun dimulai. Dari kejauhan terlihat Bryan baru saja hadir. Dia melangkah santai sembari memutar bola basket di ujung jari telunjung tangan kanannya. Sesaat dia menghentikan putaran bola saat melihat Aden duduk sendiria. Bryan berdehem, lantas melangkah cepat dan duduk di sampingA den yang tampak tidak terlalu peduli dengan kehadiran sahabatnya itu. Aden hanya melirik sesaat, lantas memusatkan pandangan ke arah lain. “Gue lihat, Nina gak ada di kelas, dia ke mana?” tanya Bryan yang kini tampak sedikit ada kecemasan di wajahnya yang bsia tertangkap kedua mata Aden yang sempat dilihatnya. “Dia sakit?” Aden menggelengkan kepala, “Dia ada masalah, tapi kami gak tau masalahnya apa sebenarnya,” jawab Aden yang jadi ikut khawatir mengingat keadaan Nina yang tidak seceria biasanya selama di rumah. “Kalau kata Kak Nisa, dari mulai pulang sekolah dia gak semangat. Pulang-pulang udah gak mood, taunya di kamar terus. Makan siang pun enggak. Bahkan diantar Kak Nisa di ke kamarnya juga tetap gak di makan.” Bryan sesaat terdiam. Mencoba membantu Aden untuk berpikr ada apa sebenarnya dengan Nina. Bryan sendiri tahu Nina seperti apa. Dia anak yang ceria dan jarang bersedih. Namun kalli inni secara tiba-tiba Nina berubah hingga memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Aden melirik ke Bryan yang hanya diam sembari menundukan kepala, “Loe ada salah sama adek gue?” tanya Aden yang jelas saja membuat Bryan kaget bukan main mendengar tuduhan Aden. “Lha, kok gue?” tanya Bryan. “Jumpa aja semalam kagak, mau buat jahat apa coba. Nganeh-nganeh tuduhan loe,” ucap Bryan mencoba membela dirinya sendiri. “Kok bisa loe nuduh gue gitu sih, Den. Emangnya gue sejahat itu selama ini sama Nina, kan kagak.” “Ya mana tau, soalnya tadi malam pas gue tanya ke dia kenapa, terus gue sebut nama semua orang sampai ke nama loe, dia langsung diam. Sementara nama lainnya dijawab,” cerita Aden yang jelas saja membuat Bryan bingung. “Kemarin loe ada jumpa Nina gak?” tanya Aden lagi yang masih penasaran dengan penyebab Nina diam saat nama Bryan dia sebutkan tadi malam. Bryan menggelengkan kepala, “Gue gak ada ketemu Nina kemarin, lihat pun enggak,” jawab Bryan yang terlihat bersungguh-sungguh dengan ucapannya. “Bukan karena gue ali, jangan gara-gara Nina diam saat loe nyebut nama gue, loe langsng bilang gue yang salah. Bisa aja dia diam karena rindu sama gue. Ya kan?” “Gak gue rasa,” jawab Aden ngasal yang jelas membuat Bryan memanyunkan bibirnya. “Dia gak mungkin rindu sama loe, soalnya pas gue tanya dia suka apa gak sama loe, dia malah gak mau jawab. Kalau dia ada rasa, pasti dia langsung jawab.” “Gak semuanya kali,” ucap Bryan tidak mau kalah. “Atau gue temui aja dia nanti sepulang sekolah? Gue free kok, mana tau setelah gue jumpain dia, diam au cerita sama gue.” Aden teringat ucapan Nina tadi malam, yang memintanya untuk tidak mencari tahu di mana dia berada. Aden sebenarnya tahu Nina mau ke mana, da rasanya dia juga tidak ingin mengusik Nina setiap kali Nina berdiam diri di sana. Dia butuh ketenangan, dan satu-satunya yang menjadi tempatnya mencari ketenangan adalah makam sang ibu. “Boleh juga, tapi nanti siang dia gak di rumah,” ucap Aden. “Dan gue minta, loe jangan bilang ke dia kalau gue yang ngasih tau, bilang aja hari ini kita gak ada ngebahas tentang dia. Gimana?” “Emangnya dia di mana?” tanya Bryan cukup penasaran. “Makam Ibu loe?” Aden mengangguk. Baginya, mustahil Bryan tidak tahu di mana keberadaan Nina saat ini. Sudah dua tahun dia mengejar-ngejar Nina, dan bahkan sudah dua tahun juga diam-diam Bryan menjaganya tanpa sepengetahuan Nina. Dia bahkan lebih tahu segala hal tentang Nina dibandingkan Aden sendiri. Aden yakin, kedatangan Bryan di sana, bisa membuat Nina sedikit lega. Minimal kalau pun Bryan yang menjadi sumber penyebab mood Nina berubah sejak kemarin, keduanya bisa salinng mencari solusi agar tidak ada lagi masalah antar keduanya. Senggolan Bryan mengagetkan Aden yang sesaat melamun tentang Nina. Aden mengarahkan tatapan ke Bryan dengan memberikan kode untuk melihat kea rah tatapannya kini tetruju. Aden menurut, dan ternyata ada Metta yang berjalan sendirian menuju ruang kelasnya yang juga sama dengan Aden dan Bryan. Bryan yang mengerti kalau Aden ingin menemui Metta sampai membuatnya menunggu di depan kelas, langsung inisiatif masuk ke dalam kelas dan menutup pintu kelas yang sontak saja membuat Metta yang berniat masuk, langsung kaget antas menghentikan langkahnya di depan pintu kelas yang sudah tetrutup. Aden melihatnya, lantas berdiri mendekat. “Gue mau bicara sebentar, bisa?” tanya Aden sembari meminta Metta untuk duduk di kursi. Metta mengangguk, melangkah mendekati kursi dan duduk sembari menekan kaca matanya yang melorot. Aden duduk di sampingnya. Metta sedikiit bergeser memberi jarak. “Sebelumnya, loe kenapa di ruang Ibu Linda? Ada masalah?” tanya Aden masih penasaran yang malah dijawab Metta dengan gelengan kepala. “Loe gak buat tugas?” tebak Aden yang lagi-lagi hanya dapat jawaban gelengan kepala dari Metta. “Jadi kenapa, soal beasiswa?” Kali ini tidak ada jawaban dari Metta. Dia hanya diam. Dan sikapnya itu membuat Aden bisa menebak kalau masalah yang kinni dihadapi Metta adalah tentang beasiswa yang selama ini dia dapatkan. Aden menatapnya serius. Sedangkan Metta hanya menundukkan kepala menghindari beradu pandang denga Aden. “Beasiswa loe kenapa?” tanya Aden. “Jangan bilanng kalau beasiswa loe dicabut?” tebak aden lagi walau pun kali ini dia berharap tebakannya salah sasaran. “Belum, Cuma hampir,” jawab Metta singkat yang jelas membuat Aden kaget. “Kok bisa, masalahnya di mana?” tanya Aden lagi. Dia tahu, Metta bisa sekolah hanya karena mengandalkan beasiswanya saja selama ini. Jika berharap dari keuangan pribadinya dan keluarga, tidak akan pernah cukup apa lagi mengngat sang bapak tidak pernah lagi membiayai hidupnya. Bahkan untuk pulang saja pun tidak pernah lagi. “Nilai gue merosot beberapa bulan belakangan ini, mungkin karena gue terlalu fokus kerja, soalnya Ibu sudah dua bulan ini berjualan kue dan nasi laukpauk di depan rumah. Jadi setiap pulang sekolah, gue bantuin ibu dan malamnya gue dan Ibu masak buat besok pagi. Mungkin karena gue udah jarang mengulang pelajaran di rumah, jadi beberapa kuis dan tugas kita dari bulan lalku, menurun semua. Ibu Linda manggil gue buat ngasih peringatan.” Aden terdiam. Dia tidak menyangka masalah baru malah muncul dalam kehidupan Metta. Semula Aden berharap tidak akan ada lagi masalah setelah dirinya memberikanna tempat bekerja di rumah Ameliya. Namun malah kenyataannya salah. Aden kembali menatap Metta yang menghela napas panjang. “Jadi sampai sekarang, Ibu loe masih jualan?” tanya Aden yang langsung dijawab Metta dengan gelengan kepala. “Gue minta Ibu berhenti jualan setelah gue dapat kerja di rumah kak Amel, tapi efek dari kerjaan beberapa bulan belakang ini baru muncul sekarang,” ucap Metta yang tampak menyesal karena sudah menyepelekan pelajarannya. Aden menghela napas pelan, “Sebenarnya gue ngajak loe bicara kali ini, karena gue mau ngasih kabar ke loe dan keluarga loe,” ujar Aden yang berhasil menarik tatapan Metta ke arahnya. “Gue gak tau, ini kabar baik atau malah sebaliknya, ya … gue harap ini kababr baik yang bisa loe terima, minimal jadi kabar yang bisa buat loe lega sedikit aja.” “Apa itu?” tanya Metta tampak penasaran. “Nina menawarkan Ibu loe ke Kak Nisa untuk bekerja di rumahnya,” ucua[ Aden yang secara tiba-tiba membuat Metta tersenyum walau ekspresi kaget hadir di wajahnya. “Loe serius?” tanya Metta yang langsung dijawab dengan anggukan kepaa oleh Aden. “Kok bisa? Emangnya Kak Nisa lagi nyari pekerja di rumahnya?” “Iya, Si Mbok yang lama pulang kampung dan gak tau bisa balik lagi apa enggak, sementara Mbk Sumi sekarang bekerja di rumah Kak Ameliya. Jadi Kak Nisa kerja sendirian di rumah. Padahal dia juga lagi hamil.” Metta terdiam. Dia mencoba berpikir pendapat sang ibu tentang tawaran menggiurkan kali ini. Metta sendiri pun sebenarnya cukup senang mendengar sang Ibu bakalan bekerja di rumah keluarga Aden yang dia tahu, semuanya orang baik. Dia yakin, kehidupannya akan baik-baik saja, dan sang Ibu juga bbisia bekerja hingga tidak membuatnya stress karena harus diam diri di rumah dan malah membuat tubuhnya sering jatuh sakit. “Gimana, loe mau?” tanya Aden. “Maksud gue, Ibu loe apa mau kerja di rumah gue?” “Seharusnya Ibu mau sih, cuma gue harus tanya Ibu dulu, takutnya Ibu nolak. Cuma, gue baru bisa nanyanya hari minggu nanti, gue kan masih harus kerja lagi sepulang sekolah, mana mungkin sempat pulang dulu. Gak enak sama Kak Amel, dia udah baik banget sama gue.” Aden yang mendengar hal itu langsung mengambil handphonenya, mencoba menghubungi Ameliya dan langsung menceritakan rencana Nisa memperkerjakan Ibunya Metta, sampai meminta izinnya untuk bisa mengantar Metta pulang dulu menemui sang Ibu. Metta yang mendengar hal itu, tampak panik bukan main. Dia terus meminta Aden untuk menutup teleponnya, namun Ade malah mengabulkannya setelah selesai berbicara dengan Ameliya yang ternyata memberikannya izin. Metta menatapnya kesal karena sudah melakukannya tanpa meminta izin terlebih dulu. Aden sendiir hanya menggaruk kepalanya bagian belakang yang sebenarnya tidak terasa gatal. “Gue cuma mau ngemulusin rencana adek gue buat nolongin loe dan keluarga loe, itu aja,” ucap Aden yang merasa terlalu gengsi kalau harus mengakui, bahwa semua ini juga demi Metta. “Gue gak mau harapan Nina, gagal total. Dia bisa makin lama badmood-nya di rumah. Seharian aja udah bosen lihatnya, apa lagi berkepanjangan. Bisa-bisa dia sakit nanti. Ini aja udah gak sekolah.” “Iya, dari tadi gak ada kelihatan, Nina gak masuk sekolah?” tanya Metta yang haanya dijawab Aden dengan anggukan kepala. “Kenapa, sakit?” tanya Metta yang kali ni gantian penasaran. “Dari kemarin sepulang sekolah dia ngurung diri di kamar, di ajak makan gak mau, ditanya kenapa gak mau jawab. Kami semua bingung di rumah. Ini tadi tiba-tiba gak mau sekolak.” Metta terdiam. Dia ingat kejadian kemarin yang langsung membuat Nina diam seribu Bahasa sepanjang perjalanan pulang di bis kota. Metta menatap Aden yang menjuruskan tatapan ke bawah, ada kesedihan di wajahnya akibat memikirkan kondisi Nina yang belum juga kembali seperti sediakala. “Apa gara-gara kemarin ya?” tanya Metta tiba-tiba yang langsung menarik tatapan Aden kembali kepadanya. “Ada apa?” tanya Aden. “Kemarin itu kami ngelihat Bryan boncengan sama cewek sepulang sekolah, setelah Nina lihat itu, sepanjang jalan pulang dia cuma diam aja gak mau ngomong. Bahkan dia gak ada ngucapin kalimat peprisahan kayak biasa pas duluan sampai rumah.” “Cemburu?” tanya Aden yang semula dijawab Metta dengan mengangkat kedua bahunya. “Gue juga gak tau ya benar apa gak, yang pasti sebelum kami lihat itu, Nina masih biasa aja, masih banyak cerita dan ketawa-ketawa, tapi setelah itu malah diam aja.” Aden terdiam, lantas tersenyum tipis. Dari ucapan Metta , dia bisa mengambil kesimpulan kalau ternyata selama ini sang adik benaran menaruh hati pada Bryan. Namun akibat terganjal janji untuk sekolah yang benar sampai lulus, Nina memutuskan untuk menyembunyikan rasa cintanya untuk Bryan. Aden menghela napas lega saat mengingat keputusannya untuk menyuruh Bryan menemui Nina tepat sasaran. Dia yakin, hanya Bryanlah yang bisa mengembalikan mood Nina seperti semula, walau selama ini Nina selalu bilang kalau dia tidak ingin Aden menyuruh Bryan unntuk terus mengikutinya ke mana pun dia pergi. Metta yang melihat senyuman Aden, hanya menatapnya bngung sembari memikirkan apakah ucapannya salah atau tidak karena sudah erita semuanya pada Aden.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN