BAB 62

1365 Kata
"Nina hari ini gak masuk sekolah ya, Kak." Ucapan Nina yang dia ucapkan saat Nisa, Adit dan Aden sedang menikmati sarapan, langsung menoleh ke Nina yang baru saja masuk ke ruang makan. Nina masih berdiri saat semua pasang mata masih tertuju padanya. Nina yang lebih kaget mendapati Nina masih memakai piyama, langsung mendekatinya dan mengajaknya duduk di kursinya biasa, tepatnya di samping Aden. Nisa sendiri langsung menyiapkan piring Nina, menuangkan nasinya dan lauk ayam goreng buatannya berhubung sang pembantu sedang pulang kampung sejak dua hari lalu. "Kamu kenapa gak mau sekolah?" tanya Nisa yang sudah kembali duduk. "Kan sayang kalau gak sekolah, Dek." Nina tersenyum tipis. Dia masih malas masuk akibat pemandangan kemarin. Rasanya dia ingin di rumah saja seharian ini. Ditambah lagi mengingat Nisa tidak ada yang membantunya di rumah. Walau Audy berjanji akan datang menemaninya bersama Arum. "Nina mau nemanin Kak Nisa di rumah hari ini, sekalian kita coba cari pembantu baru saja, Kak. Kemarin Nina sempat tanya-tanya sama Kak Metta, dia bilang ibunya bisa. Kakak sama abang mau gak?" tanya Nina to the point. Seolah dia sedang tidak ingin terlalu membahas tentang niatannya tidak masuk sekolah hari ini. Aden sendiri yang mendengar hal itu, sempat menoleh kaget. Dia tidak menyangka, Metta malah menawarkan ibunya sendiri untuk bisa bekerja di rumahnya. Yang dia ingat, sang ibu sering sakit-sakitan, dan tidak terlalu kuat melakukan apa pun. "Bukannya ibunya sering sakit, Dek?" tanya Aden terlontar begitu saja dari mulutnya. Sebenarnya dia tidak ingin membahasnya di depan Nisa dan juga Adit. Namun sialnya, kalimat itu malah ke luar begitu saja. Tanpa bisa dia cegah. "Katanya udah agak sembuhan," jawab Nina yang masih saja belum menyentuh nasinya. "Dulu, ibunya pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah tetangganya, tapi karena sakit, jadi berhenti. Dan sekarang dia bisa." Nina kembali mengarahkan tatapannya ke Nisa, berharap Nisa bisa membujuk Adit untuk mau menerima tawaran Metta terhadap ibunya. "Gimana, Kak, bisa, kan?" Nisa langsung mengarahkan tatapannya ke Adit yang tampak serius membahas hal ini walau belum ngeluarkan satu patah kata pun. Nina sendiri tampak berharap dengan keputusan Adit yang mau menerima tawaran itu. Di satu sisi Metta bisa lebih dekat dengan ibu dan adiknya, di sisi lain Nina berpikir dirinya bisa membantu keuangan keluarga Metta untuk biaya adiknya yang akan masuk sekolah. "Boleh juga, dia bisa kerja selamanya juga di sini. Kalau pun si Mbok balik, dia bisa bantu-bantu pekerjaan di rumah ini, mengingat Kak Nisa juga gak mungkin ngerjakan semuanya sekarang. Dan kalaupun si Mbok gak balik lagi, kita jadi gak perlu capek-capek nyari pembantu lagi." Jawaban Adit jelas membuat Nina lega bukan main. Aden pun ikut senang mendengarnys, dia tersenyum lebar walau dengan cepat dia pudarkan senyumannya karena gengsi. Nisa sendiri langsung menarik tatapannya ke Nina yang mulai menyendok nasinya. "Kalau gitu kamu harus sekolah hari ini, kan kamu harus ngasih tau Metta langsung," ucap Nisa yang spontan menghentikan gerakan tangan kanan Nina yang berniat memasukkan satu suapan ke mulutnya. Dia yang semula mulai semangat, langsung lemas lagi mendengar pembicaraan tentang sekolah kembali ditarik Nisa ke permukaan. Aden menoleh ke arahnya yang hanya tertunduk tak berani menjawab. Aden menghela napas pelan, lantas kembali menarik tatapannya ke Nisa yang sudah melanjutkan sarapannya. "Biar Aden aja yang ngasih tau Metta nanti, Kak," jawab Aden yang spontan saja menarik tatapan Nina ke arahnya. "Nina biar libur dulu hari ini buat nemani kakak, lagi pula hari ini di sekolah ada rapat guru untuk turnamen minggu depan." Nina tidak menyangka, Aden bisa membantunya dengan cara berbohong. Dia tahu jelas, hari ini tidak ada rapat guru. Namun posisinya sebagai ketua OSIS, malah berhasil membuat Nisa dan Adit percaya dengan kalimat yang dia utarakan. Nina benar-benar terharu menyadari Aden begitu perhatian dan mengerti kondisinya. Aden yang selama ini jahil minta ampun, kini malah begitu cepat menolongnya dengan mencari alasan yang tepat untuk tidak masuk sekolah. Aden menoleh ke arahnya, tersenyum lebar lantas mendekati bibirnya ke telinga Nina. "Traktir makan," bisik Aden yang spontan saja mengubah rasa haru di hati Nina jadi kesal bukan main. Nina menatapnya tajam yang sudah kembali melahap makan paginya seakan tak ada beban sama sekali. *** Ameliya memegangi perutnya. Belum selesai masakannya untuk makan pagi, perutnya secara tiba-tiba kram. Sumi yang baru saja masuk ke dapur sembari memegangi sapu, langsung kaget dan mendekati Ameliya yang sudah bersandar di dinding. Dia tampak panik hingga berteriak memanggil Dimas yang baru saja turun dari lantai dua bersama Zyo dan Zenia yang sudah ada di gendongannya. Dimas berlari setelah menurunkan Zenia di lantai dan meminta Zyo untuk menjaganya. "Kamu kenapa, Mel?" tanya Dimas panik. Sementara Ameliya sudah mulai baik-baik saja. Dia menarik napas dalam-dalam lantas menghembuskannya. Berulang kali Ameliya melakukannya agar rasa sakit bisa sedikit berkurang. "Aku udah gak apa-apa, Dim, sudah gak sakit lagi," jawab Ameliya sembari memegang tangan Dimas. "Tadi cuma sedikit kram, mungkin karena sudah mau waktunya." "Kita ke rumah sakit ya?" ajak Dimas yang masih tampak cemas. "Gak usah, aku baik-baik aja," ucap Ameliya sembari tersenyum. "Ini bukan yang pertama, Dim, sudah dua anak kita, jadi aku sudah bisa nge handle semuanya. Kamu ke rumah sakit aja gih, sekalian antarkan Zyo ke sekolah ya? Aku gak bisa." Dimas mengangguk, " Tapi kamu yakin gak apa-apa? Atau kita coba cek aja ke dokter dulu. Aku takut pas aku kerja, kamu malah sakit lagi." "Aku baik-baik aja, lagian di rumah juga ada Mbok Sumi, Zenia dan juga Pak Tarno, supir kita. Nanti dia kan bisa antar aku langsung ke rumah sakit kalau ada apa-apa. Kamu tenang aja," jawab Ameliya sembari mengusap pundak Dimas lantas menoleh ke Sumi yang berdiri di belakang Dimas. "Mbok, minta tolong lanjutin goreng telurnya yaa. Nasi gorengnya juga bawakan ke meja makan ya, Mbok." "Iya, Mbak, biar Mbok aja yang lanjutin, Mbak Amel istirahat aja." Ameliya mengangguk. Bersama Dimas yang masih dia pegang, Ameliya berjalan ke luar dari dapur menuju ke meja makan. Dimas membantunya duduk. Zyo sendiri langsung mendekat bersama Zenia yang dia genggam dan jalan bersama. "Mami kenapa?" tanya Zyo yang tampak khawatir. "Mami jatuh?" Ameliya menggelengkan kepala, "Enggak, Nak, Mami cuma kecapekan jadi disuruh Papi duduk dulu. Zyo makan dulu yuk, pakai nasi biasa aja ya sama telur ceplok. Ini udah mami masakin telor setengah matang buat Zyo." Zyo mwngangguk. Dengan bantuan Dimas, Zyo duduk di kursinya. Sedangkan Zenia di pangku Dimas yang sudah duduk di kursi. Ameliya mengambilkan nasi untuk Zyo, memberikannya telur dan mendekatkan segelas s**u yang juga sudah dia buat ke dekat piring Zyo. Ameliya pun juga melakukan hal yang sama ke Dimas dan juga dirinya. Sedangkan Zenia tampak sedang memakan roti seperti biasa sebelum memakan nasi. "Hari ini Metta pergi lebih awal ya?" tanya Dimas yang langsung di jawab Ameliya dengan anggukan kepala. "Dia ada tugas sekolah yang harus dikumpulkan pagi ini, sebelum bel masuk, jadi dia izin pergi duluan." Ameliya meraih gelas susunya dan meminumnya. "Aku benar-benar suka cara dia kerja dia detail dan telaten. Dekat juga sama anak-anak. Untung saja Nina dan Aden menawarkan ke kita, kalau enggak, kita gak akan dapat yang kayak Metta. Susah nyari kayak gitu sekarang." Dimas mengangguk, "Tapi kamu juga harus ingat, dia masih sekolah, kasih dia waktu untuk belajar dulu atau sekedar ngerjain tugas sekolah. Kan kasihan kalau dia harus ngerjain tugasnya malam. Dia pasti capek. Minimal pulang sekolah kasih dia waktu dua jam untuk belajar, makan atau istirahat. Dia juga harus shalat juga." "Iya, aku udah atur itu kok. Hari ini aku akan bilang ke Metta untuk istirahat dulu dua jam setelah sampai. Jadi dia bisa selesaikan apa yang harus dia selesaikan." Dimas mengangguk, "Teringatnya, gimana kasus Adit di hotel, udah selesai?" tanya Dimas. Ameliya menggelengkan kepala, "Aku belum ada nanya lagi. Nanti kalau sempat aku telepon Kak Nisa. Sekalian nanya kabarnya juga." Ameliya melirik ke Sumi yang baru saja datang membawakan telur dadar. Ameliya mengajaknya makan, namun Sumi malah menolak sopan dan kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ameliya kembali menoleh ke Dimas. Kali ini bukan Dimas yang jadi pusat matanya tertuju. Tapi ke handphone Dimas yang berdering. Dimas meliriknya dan mengerut kan dahi membaca nama di layar handphonenya. "Siapa?" tanya Ameliya penasaran. "Aurelly, ngapain lagi nih anak nelepon, gak ada malunya!" ucap Dimas sembari membalikkan handphonenya kesal. Ameliya sendiri hanya menghela napas berat mendengar satu nama itu kembali terdengar di telinganya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN