Ameliya menjatuhkan piring yang dia pegang dan ingin bawa ke ruang makan ke lantai. Suara hantamannya, jelas membuat semua orang kaget bukan main. Dimas yang sudah duduk bersama anak-anak, dan Metta yang tampak sedang membereskan mainan Zyo dan Zenia, langsung kaget dan berlari ke dapur. Begitu juga dengan Sumi yang malam itu, sedang menyetrika pakaian di ruangan dekat dengan dapur.
Dimas langsung menangkap tubuh Ameliya yang hampir terjatuh sembari memegangi perutnya. Dia tampak kesakitan. Metta sendiri dengan sigap menahan Zyo dan Zenia yang ingin berlari mendekati Ameliya, saat melihat pecahan piring berserakan di lantai. Sumi dengan sigap mengambil sapu dan serokan sampah.
“Kamu kenapa, Mel?” tanya Dimas panik.
“Perutku, sakit,” rintih Ameliya yang tanpa pikr anjang, langsung membuat Dimas berinisiatif mengangkat tubuhnya dan membawanya langsung ke mobil. Dia tahu ini sudah saatnya Ameliya melahirkan. Seharusnya sudah sejak pagi dia membawanya, namun sifat keras kepala Ameliya, malah membuatnya tidak bisa memaksanya untuk melakukan hal itu.
“Metta, tolong jaga anak-anak di rumah, dan Mbok!” panggil Dimas yang sempat menangkap sosok Sumi berlarian ke luar rumah sebelum dirinya masuk ke mobil. “Tolong bereskan semua pakaian saya dan Ameliya, kabarin Adit dan minta tolong mereka untuk membawakannya ke rumah sakit kalau mereka langsung ke sana. Mengerti?”
Sumi menganggukkan kepala, “Mengerti, Mas, hati-hati,” pesan Sumi yang sama sekali tidk dibalas Dimas. Dimas langsung masuk ke mobil, dan bersama Ameliya menuju ke rumah sakit tempatnya bekerja.
Metta yang melihat Sumi sibuk memilih pakaian untuk dibawa ke rumah sakit, berinisiatif menghubungi Aden melalui telepon genggamnya. Zyo dan Zenia dia pastikan aman di atas tempat tidur menemani Sumi, dan Metta sendiri langsung melangkah ke sudut ruangan mencoba menghubungi Aden.
Sementara itu, Aden yang asyik menikmati santapan makan malam, langsung berhenti saat handphone yang sejak tadi dia letak di samping piringnya berbunyi. Aden meraihnya, dan membaca nama Metta di layar, lantas langsung menjawabnya.
“Kakak dibawa ke rumah sakit?!” tanya Aden setelah mendengar maksud dari Metta mnghubunginya malam ini.
Mendengar hal itu, spontan saja Nisa dan Adit menghentikan santapan makan malam mereka. Menjuruskan tatapan ke Aden yang langsung mengaktifkan loudspeaker agar semua orang bisa mendengar apa yang dikatakan Metta. Mirna sendiri yang juga berada di ruang makan sembari menuangnya air ke gelas semua orang, berusaha tidak ikut campur denga napa yang terjadi. Walau pun dia sendiri mengetahui, bahwa suara Mettalah yang kini diperdengarkan melalui handphone Aden.
“Ameliya mau melahirkan, Met?” tanya Nisa yang ikutan panik mendengar kabar itu.
“Sepertinya begitu, Kak. Tadi katanya perutnya sakit, dan Bang Dimas langsung bawa Kak Ameliya ke rumah sakit,” jawab Metta. “Maaf, Kak, sebelumnya, apa orang kakak mala mini bakalan ke sana?” tanya Metta sendiri segan mengatakan hal itu. Metta mengarahkan tatapannya ke Sumi yang langsung mendapatkan persetujuan darinya dengan anggukan kepala. Metta sedikit lega mendapatkan dukungan itu, walau pun jantungnya masih berdetak sedikit kencang akibat pertanyaannya yang terkesan sok ingin tahu.
Nisa mengarahkan tatapannya ke Adit seolah meminta persetujuan. Adit menganggukkan kepala tanda setuju. Nisa tampak lega melihatnya.
“Insha Allah, iya, Met, kenapa? Kalian mau ikut?” tanya Nisa.
Metta malah menggelengkan kepala, seolah ada Nisa di depan matanya, “Kami cuma mau titip pakaian Kak Ameliya dan Bang Dimas aja, Kak. Soalnya tadi Bang Dimas esan, kalau or6ang kakak ke sana, titipkan sama kakak tasnya, biar dia gak balik ke rumah lagi mungkin. Boleh, Kak?”
“Boleh, Met, nanti kami jemput tasnya ke sana ya,” jawab Nisa sembari meraih gelasnya dan meneguk setengah air minumnya untuk sekedar menenangkan perasaannya.
“Gak usah, Kak, biar Metta saja yang antar ke rumah naik sepedanya Mbok Sumi,” ucap Metta. “Sekalian Metta mau jumpa Ibu juga sebentar, ada yang mau Metta kasih ke Ibu.”
Mirna yang mendengar hal itu hanya tersenyum tipis sembari membawa teko kaca berisi air kembali ke dapur. Dia tahu apa yang ingin dikasih Metta. Metta sudah mengatakannya tadi siang, namun sayangnya dia lupa membawanya.
“Ya sudah, kalau bisa sekarang ya, soalnya sebentar lagi kami langsung gerak ke rumah sakit,” ucap Adit yang lagi-lagi membuat Metta menganggukkan kepala, lantas mengucapkan salam dan mengakhiri panggilan. Metta melangkah cepat mendekati Sumi yang sudah selesai Menyusun pakaian.
“Mbok, bisa titip anak-anak sebentar, kan?” tanya Metta yang sudah minta izin sebenarnya dari maghrib pada Sumi, untuk bisa menggantikan tugasnya sebentar saja. Sumi tersenyum tulus lantas menganggukkan kepala.
“Pergilah, cepat, jangan sampai Mbak Nisa dan Mas Adit malah yang nunggu kamu,” ucap Sumi sembari memberikan tas berisi pakaian Ameliya dan Dimas ke tangan Metta. Metta mengangguk, lantas berbalik pergi meninggalkan Sumi yang sudah duduk bersama Zyo dan Zenia. Zyo menatapnya bingung.
“Nek Sum, Mami kenapa?” taya Zyo yang kemali menghadirkan senyuman tulus di bibir Sumi. Sumi mengusap kepalanya penuh kasih sayang, seolah benar-benar sedang berhadapan dengan cucu kandungnya sendiri.
“Adiknya Zyo sudah mau lahir, sekarang Mami lagi berjuang untuk adiknya Zyo. Kita berdoa sama-sama, ya?” ajak Sumi yang langsung djawab Zyo dengan anggukan kepala sembari bersama-sama mengadahkan tangan untuk berdoa demi keselamatan Ameliya.
***
Dimas kembali menggendong Ameliya ke luar dari mobil membawanya masuk ke rumah sakit dan berteriak meminta beberapa orang suster yang berdiri di belakang meja informasi, untuk mengambil tempat tidur dorong. Dimas meletakkan tubuh Ameliya dengan posisi berbaring dan berlari di sampingnya sembari terus memegangi tangan Ameliya erat.
“Kamu kuat, Sayang, kamu istriku yang kuat,” ucap Dimas tanpa henti saat mellihat Ameliya meneteskan air mata menahan rasa sakit yang menyerangnya. “Di mana Dokter Lydia? Dia masuk hari ini, kan?” tanya Dimas ke semua suster yang berlari di dekatnya membawa Ameliya menuju ke ruang bersalin.
“Masuk, Dok!” jawab salah satunya.
“Panggil cepat!” perintah Dimas yang langsung dituruti sang suster yang menjawab pertanyaan Dimas. Dia mengambil jalan lain untuk memanggil Lydia di ruangannyanya. Sedangkan Dimas akhirnya lega bisa membawa Ameliya masuk ke ruangan bersalin.
Statusnya sebagai dokter pun dia kerahkan. Dimas membantu menyiapkan segalanya termasuk alat pernapasan jika diperlukan. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada Ameliya. Semua harus lengkap, semua harus sempurna, seperti yang selama ini dia lakukan pada semua pasiennya yang lain. Dimas tidak ingin, ada satu alat pun yang kurang. Anak da sang istri harus selamat. Itulah yang diinginkan Dimas saat ini.
Lydia masuk dengan tergesa-gesa, mencoba memeriksa Ameliya setelah menyapa Dimas singkat. Dimas menatapnya dengan keringat membanjiri wajahnya. Sedangkan Ameliya erus mengerang kesakitan yang semakin membuat suasana tegang bukan main.
“Sudah waktunya,” ucap Lydia ke Dimas, lantas beralih ke semua perawat yang sudah siap siaga. “Semua sudah siap?” tanya Lydia yang langsung dijawab serentak oleh dua orang suster di dekatnya. “Dokter mau tetap di sini, atau menunggu di luar?” tanya Lydia pada Dimas.
“Saya di sini saja,” ucap Dimas yang langsung membuat Lydia memulai proses persalinan.
***
Metta menyerahkan tas ke Aden yang malam itu ikut ke rumah sakit. Nisa dan Aden sendiri tampak masih bersiap-siap di dalam. Aden berusaa menghubungi Nina, namun sang adik malah sejak tadi tidak bisa dihubungi, bahkan Bryan sendiri pun tidak menjawab teleponnya. Aden kesal bukan main. Di saat-saat genting seperti ini, keduanya malah sama sekali tidak bisa dihubungi. Metta yang melihat Aden mengerang kesal lantas menepis udara dengan tinjunya, langsung mengusap lengan Aden yang membuat cowok tampan itu meredam emosinya.
“Jangan marah-marah, bisa saja mereka saat ini sedang di jalan mau pulang,” ujar Metta mencoba mengajak Aden berpikir positif. “Naik motor pasti susah ngangkat telepon. Sedangkan Nina, handphonenya gak aktif mungkin karena lowbatt. Jangan dimarahin kayak gitu nanti, kasihan,” sambung Metta lagi.
Sikap tenang Metta berhasil membuat Aden ikut tenang. Aden menarik napas dalam-daam, lantas mengembuskannya perlahan. Membenarkan apa yang dikatakan Metta di dalam hatinya, lantas menatap Metta yang masih mencoba mentransfer ketenangan melalui senyumannya yang manis.
“Loe gak mau ketemu Ibu loe dulu, dia pasti sudah nungguin loe di dalam,” ucap aden yang teringat tujuan lain Metta datang ke rumahnya.
“Nanti saja, setelah kalian pergi,” jawab Metta.
Pembicaraan tidak berlanjut saat motor Bryan masuk ke perkarangan rumah. Nina turun dari motor Bryan. Disusul Bryan yang ikut turun setelah melepaskan helm dan menerima helm dari Nina. Nina yang berniat mengejek keduanya yang tampak dekat, urung saat melihat tas besar di tangam Aden. Nina mengerutkan kening sembari menjuruskan tatapannya ke Aden yang menatapnya tanpa ekspresi.
“Loe mau ke mana bawa tas segala, Bang?” tanya Nina bingung bukan main.
“Dari mana aja sih, Dek, kami semua panik, loe malah susah dihubungi,” jawab Aden sedikit lari dari pertanyaan Nina. Rasa kesal dan khawatir masih ada tersisa di dadanya yang membuatnya ingin menuntaskannya terlebih dulu, sebelum menjawab semua pertanyaan Nina.
“Sorry, Den, jangan marah sama Nina, semua murni salah gue,” potong Bryan yang tampak tidak rela jika Aden harus memarahi Nina yang pulang malam. “Tadi habis dari makam, kami ke tempat les adik gue, kami ngobrol panjang di saa sampai malam, sekalian makan malam, dan langsung pulang.” Bryan berharap Aden bbisa mengerti dan tidak mengutamakan emosinya tanpa berpikir panjang. Bryan pun tidak ingin hubungannya dengan Ade malah hancur hanya karena salah paham.
“Gue gak marah, gue cuma bingung harus ngabarin Nina lewat mana,” balas Aden.
“Ngabarin apa, Bang? Ada masalah?” tanya Nina mulai panik sembari mengarahkan sorot matanya ke pintu depan rumah yang terbuka. “Kak Nisa kenapa, Bang?!” tebak Nina mulai takut.
“Bukan Kak Nisa, tapi Kak Ameliya,” jawab Aden lagi. “Kak Ameliya kontraksi dan sepertinya mau melahirkan malam ini, kami semua mau ke sana sekalian bawain pakaian mereka. Gue dari tadi ngehubungi loe buat ngasih kabar itu, sekalian nanya loe ikut apa kagak.”
“Gue ikut!” jawab Nina cepat tanpa pikir panjang.
“Ya udah cepat berberes!” jawab Aden. “Bawa apa yang mau dibawa.”
“Pakaian sekolah!” seru Nina. “Sebentar, jangan pergi dulu!” seru Nina lagi lantas berlari masuk ke rumah. Aden menggelengkan kepala lantas kembali memusatkan pandangan ke Bryan seolah meminta penjelasan lebih detail lagi. Bryan menelan air liurnya. Dia paling takut jika harus berhadapan Aden denngan emosi yang bisa saja tidak bisa ditahan. Sedangkan Metta, hanya tersenyum tipis.
“Jangan marah juga sama gue, Den,” mohon Bryan.
“Bukannya elo tadi di depan Nina yang bilang gue gak boleh marah sama Nina, tapis ama elo aja?” tanya Aden. “Kenapa sekarang gue malah gak boleh marah sama loe?”
“Ya … loe kayak gak pernah muda aja,” ucap Bryan ngasal yang langsung membuat Aden dan Metta tertawa mendengarnya. Bryan lega melihat Aden tertawa. “Lha, malah ketawa, gak marah loe sama gue?”
“Kagaklah, asal adek gua aman, itu aja!” jawab Aden. “Jadi gimana, udah jadian belum?”
“Loe kira adek loe itu elo, gampangan!”
“Eh, kurang ajar, gak gue restui baru tau loe!”
“Jangan gitu jugalah, Bro!” ucap Bryan kembali memelas. “Eh iya, jadi loe malam ini tidur sana?” tanya Dimas yang langsung dijawab Aden dengan anggukan kepala. “Metta juga ikutan?” tanya Bryan yang spontan saja dijawab Metta dengan gelengan kepala cepat. “Ouw, kirain ikutan karena Kak Ameliya majikan loe.”
Metta kembali menggelengkan kepala tanpa menjawab apa pun. Sesaat suasana hening, namun mulai heboh saat Nina datang dengan tas ransel sekolah dan tas jinjing berisi pakaian. Di belakangnya ada Nisa dan Adit yang ikut menyusul. Nisa tampak hati-hati berjalan karena takut terjadi sesuatu pada calon bayinya. Nisa menghampiri adik-adiknya saat Adit sedang memanggil supir pribadinya.
“Sudah dibawa, Met?” tanya Nisa menyapa Metta terlebih dulu.
“Sudah, Kak, ini sudah sama Aden,” jawab Metta sembari menunjukkan tas di tangan Aden.
“Ouw ini, kamu gak ikut?” tanya Nisa lagi.
Metta menggelengkan kepala, “Kasihan anak-anak dir umah kalau Metta ikut, Kak. Mbok Sumi pasti kerepotan.”
Nisa mengangguk tanda mengerti, lantas beralih ke Bryan, “Kalau kmu sendiri, gak ikutan nemanin Nina?’ tanya Nisa sembari menyenggol pelan Nina yang menunduk malu. Aden cekikikan mendengar ledekan Nisa.
“Gak, kak, besok saja sepulang sekolah. Soalnya sudah janji sama bunda dan daddy buat cepat pulang,” jawab Bryan.
Nisa menganggukkan kepala. Suara Adit yang berseru memanggil untuk masuk ke mobil, membuat semua orang langsung berpamitan pada Bryan dan Metta. Nisa dan Nina langsung masuk lebih dulu.
“Hati-hati pulang,” ucap Aden pada Metta yang langsung dijawab Metta dengan anggukan kepala.
“Sama gue kagak dibilang?” tanya Bryan dengan sikap manja.
“Ogah!” bentak Aden sembari berlalu pergi metta dan Bryan spontan tertawa, lantas meliat mobil Adit yang membawa pergi meninggalkan perkarangan rumah menuju rumah sakit tempat Amelia kini sedang berjuang menyelamatkan hidupnya dan juga hidup anak ketiganya.