Brak!
Metta terjatuh. Grace yang dengan sengaja menjegal kaki Metta yang asyik melangkah menuju ruang kelas, membuat Metta tersungkur. Hidungnya yang lebih dulu mencium lantai, tampak mengeluarkan darah yang mengalir dari lubang hidungnya. Bryan yang baru saja ke luar dari kelas, menangkap kejadian itu, berlari mendekati Metta yang sudah jadi objek tertawaan semua orang, terutama Grace dan kedua sahabatnya.
Grace terdiam saat melihat Bryan datang dan membantu Metta. Sesaat Grace melirik ke kanan dan kiri, sekedar memastikan tidak ada Aden saat itu. Dan betapa leganya Grace, Aden memang belum terlihat. Entah sedang di kelas atau malah belum hadir. Grace melipat kedua tangannmya, menikmati pemandangan yang masih begitu indah baginya saat melihat Metta masih membersihkan buku-bukunya yang berantakan di lantai, sembari sesekali mengusap dengan punggung tangannya darah yang masih saja mengalir. Bryan sendiri tampak membantu Metta membereskan buku-bukunya, dan menatap Grace penuh emosi.
Bryan berdiri, menatap Grace yang begitu berani membalas tatapannya. Sedangkan Metta sendiri berusaha bangkit sembari memegang semua buku tugas teman-teman sekelasnya yang baru saja dia ambil dari meja guru fisika. Metta menundukkan kepala, menarik lengan Bryan dengan tangan kanannya agar tidak bertengkar dengan Grace. Grace tersenyum penuh kemenangan melihat ketakutan di wajah Metta.
“Akhirya kita punya bukti akurat juga ya, Bang!” seru seseorang yang membuat semua orang menjuruskan tatapan ke asal suara. Tampak Nina dan Aden berdiri tidak jauh dari kerumunan berada. Nina memegang handphonenya, sedangkan Aden menatap tajam dengan bola basket di tangannya. Keduanya melangkah memasuki kerumunan dan berhenti tepat di dekat Grace dan Metta.
“Nin, temanin dulu Metta ke UKS, darahnya masih ngalir,” perintah Aden yang tampak khawatir saat melihat darah masih saja mengalir dari hidup Metta.
“Siap, Bos!” seru Nina sembari memberikan handphonenya ke tangan Aden lantas mendekati Grace dengan menatapnya sinis. “Kena loe sekarang, Kakak Senior!” ucap Nina lantas tersenyum puas saat mendapati ekspresi ketakutan di wajah Grace. Nina beralih ke Metta, mengajaknya pergi ke UKS sembari mengambil semua buku yang dia pegang, untuk dia pegang selama Metta masih menahan rasa nyeri di hidungnya.
Aden menatap Grace sepeninggalan Metta dan Nina. Grace tampak gelagapan, persis seperti maling yang baru saja ketangkap oleh semua orang. Semua mata tertuju padanya, yang membuat Grace semakin merasa sesak bukan main. Dia tidak menyangka, semua kejadian itu yang semula dia anggap tidak terlihat oleh Aden, kini malah menjadi objek pengambilan gambra di handphone Nina yang kini digenggam Aden. Grace membalas tatapan Aden, lantas menggelengkan kepala. Seolah ingin mengatakan bahwa dia tidak salah. Namun yang dia dapat malah tatapan penuh emosi dari Aden.
“Mau loe apa sih sebenarnya sama Metta?” tanya Aden. Dia tidak habis pikir Grace begitu membenci Metta yang tidak pernah melukainya bahkan mengusiknya sama sekali. metta malah sealu memilih menghindar dari pada bertatapan langsung dengan Grace yang terkenal sebagai artis SMA tenpat sang ayah menanamkan modalnya di dalam.
“Gu-gue, gak sengaja,” jawab Grace gugup. “Dia jalan di depan gue, dan gak sengaja gue jalan juga, jadi dia tersandung kaki gue dan jatuh,” ucap Grace mencoba membela dirinya yang rasanya percuma, mengingat semua bukti kini ada di tangan Aden. Aden yang mendengar jawaban Grace, langsung tersenyum lantas menggelengkan kepala. Dia tampak tidak menyangka, Grace masih bisa membela dirinya sendiri padahal ada banyak pasang mata yang melihat jelas kejadian itu. Bahkan semua itu terekam di handphone Nina.
Aden malas berbicara, dengan sikap tenang dia memutar video di handphone Nina dan menunjukkannya langsung di depan Grace dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Aden takut tanga Grace begitu cepat menangkap handphone yang dia pegang, dan menghapus video itu.
Grace tampak panik saat melihat bukti yang terekam jelas. Dia tidak menyangka, semua itu bisa didapatkan Nina begitu lengkap. Bahkan tidak ada yang terlewat sama sekaili. Grace goyah, terduduk di kursi kayu panjang di belakangnya dengan wajah pucat pasi. Bayangan wajah kedua orang tuanya terutama sang ayah, terlintas begitu jelas. Ucapan yang diucapkans ang ayah agar Grace tidak mempermalukannya di sekolah, kini hancur seketika. Pria tegas itu pasti akan marah besar padanya, dan mungkin saja akan memukulinya tanpa ampun.
“Sekarang loe mau ngebela diri lagi?” tanya Aden yang sudah menyimpan hand[hone itu kedalam saku celanannya. “Grace-Grace, gue gak ngerti lagi deh sama loe. Loe sebenarnya ada masalah apa sama Metta, coba deh cerita sama gue, siapa tau gue dan teman-teman di sini yang jadi saksi kejadian tadi bisa bantu loe,” ucap Aden seakan menghinanya. Dia tahu, kalimat Aden barusan bukanlah kalimat serius. Dia hanya ingin menyindirnya yang sudah berbuat tak baik pada Metta hingga membuat wanita itu terluka.
“Mau loe apain bukti video itu?” tanya Grace yang masih tampak ketakutan. Dia berharap, Aden tidak melaporkannya ke dewan guru atau malah sampai langsung ke sang ayah. Grace tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan sang ayah padanya. Bisa saja memukulinya, mengurungnya berhari-hari, atau malah mengusirnya dan mencoreng namanya dari kartu keluarga. Pria itu bisa melakukan apa saja demi harga dirinya. Bahkan dia tak segan menyingkirkan siapa pun yang menghalangi langkahnya.
“Terserah loe, bebas!” jawab Aden. “Tapi ngomong-ngomong, Bapak loe masih kerja di kantor yang sama, kan?” tanya Aden sembari tersenyum sinis. “Bapak loe masih jadi penyumbang terbesar di sekolah ini, kan? Ya … bisa sih kalau loe mau gue kasih langsung ke beliau. Tinga pilih aja, mau gue kumpuli dewan guru sampai bapak loe di sini, gue antarr langsung ke kantor, atau ke rumah loe.” Aden melipat kedua tangannya di d**a. “Bebas, loe bisa pilih.”
Grace menggelengkan kepala. Kembali berdiri lantas berlutut di hadapan Aden yang spontan saja membuat Ade kaget bukan main, lantas mundur beberapa langkah. Bryan sendiri pun tampak kaget mendapati Grace mau merendahkan dirinya di hadapan orang lain, bahkan di depan semua orang yang kini masih menjadikannya objek perhatian.
“Gue minta tolong sama loe, Den, jangan ya?” pinta Grace sembari menyatukan kedua tangannya persis seperti seseorang yang sedang memohon padanya. “Gue rela lakuin apa pun demi video itu. Tolong jangan sampai bokap gue tau soal video ini, Den. Gue mau lakuin apa aja.”
Sesaat Aden terdiam. Dia masih saja tidak bisa percaya dengan apa yang dia lihat dan terima saat ini. Grace yang selalu bersikap berkuasa di berbagai situasi, dengan memegang erat naama sang ayah yang begitu dihormati di sekolah, kini malah begitu mudahnya merendahkan dirinya di depan dirinya. Aden melirik ke Bryan, bryan hanya mengangkat kedua bahunya tanpa dia sendiri pun bingung harus melakukan apa saat ini. Aden menghela napas, menatap kembali Grace yang masih terus saja berlutut di hadapannya.
“Loe serius?” tanya Aden.
“Gue serius,” ucap Grace tampak sungguh-sungguh.
“Jauhin Metta!” ucap Aden tanpa ragu sedikit pun. “Gue gak mau, ngelihat loe di sekolah ini lagi ngegangguin Metta. Sampai sekali aja gue lihat atau pun dengar loe ngelukai atau bahkan nyentuh dia sedikit aja, bukti ini bakalan gue sebarin bukan hanya ke bokap loe doang, tapi ke semua media social.” Aden menatap ke semua orang. “Dan kalian semua jadi saksi kalau sampai ada yang melihat Grace ngapa-ngapain Metta lagi, lapor sama gue!” teriak Aden lantas kembali menatap Graca yang tampak ragu menyetujui perjanjian itu. “Gimana, mudah, kan?”
Grace menyerah, menganggukkan kepala yang berhasil menarik senyuman lebar di bibir Aden. Tanpa membantu Grace untuk bangkit, Aden melangkah meninggalkan Grace yang langsung dibantu kedua sahabatnya untuk berdiri. Grace menundukkan kepala malu, melangkah masuk ke dalam kelas diiringi sorakan dari semua siswa siswi yang menyaksikan secara langsung adegan bak film di tv itu.