Nisa tertawa saat mendengar cerita Nina tentang kedekatan Aden dengan Metta. Aden yang duduk di pinggir kolam, hanya mencibirkan bibir sembari membersihkan sampai dedaunan dengan jaring khusus yang sempat dibeli Aden beberapa tahun lalu.
Nina melirik ke arah Aden. Dengan sengaja, Nina memang mencibjr Aden yang tampak malu. Apa lagi saat Nina menyindir Aden tentang ucapannya mengenai Metta yang tak akan pernah mau dia dekati. Namun malah kini, Aden lah yang mengajak Metta untuk makan siang berdua. Tertawa bersama bahkan bercerita panjang.
Aden yang mulai tertarik untuk ikut bercerita, langsung mendekati keduanya, dan duduk si lantai pinggir kolam tepatnya di bawah Nisa yang duduk di tempat tidur berjemur yang sengaja disediakan Adit sebanyak dua buah, untuk sekedar bersantai. Sedangkan Nina duduk di tempat berjemur satunya, di sebelah Niaa yang masih tertawa.
"Jadi kemarin dia gak sampai curiga, kan?" tanya Aden setelah mendengar Nina hampir saja keceplosan tentang masalah keluarga yang dihadapi Metta.
Nina menggelengkan kepala, "Gak sampai Njna ceritain. Nina langsung pura-pura ngalih kan pembicaraan, jadi yang tadinya dia curiga, malah gak jadi curiga." Nina menatap Aden dalam. "Kayaknya memang ada yang dia sembunyikan deh, Bang, soalnya kalau dilihat dari lukisan yang dia buat, kayaknya serem gitu. Seorang anak yang ketakutan sama ayahnya. Itu sih yang aku baca pas tau lihat lukisannya ditambah cerita yang abang ceritakan tentang Metta kemarin."
"Kalau kakak boleh tau, Metta tinggal sama siapa di rumah?" tanya Nisa yang ikut penasaran dengan kisah hidup cewek yang digadang-gadang sebagai calon pacar Aden. Untuk pertama kalinya ada nama perempuan yang tersebut dari Nina perihal Aden. yang Nisa tahu, Aden termasuk susah berdekatan dengan perempuan. Seolah baginya, cukup ada Nisa dan Nina di hidupnya, dia tidak perlu siapa pun lagi perempuan untuk bisa menghiasi hari dan hatinya.
"Setahu Aden, dia tinggal sama ibu dan adik laki-lakinya," jawab Aden sembari mengingat cerita Metta kemarin.
"Ciyeeee, sampai segitunya tau tentang Metta, udah pernah datang ke rumahnya nih, buat ngapelin ayang Metta," ledek Metta yang langsung membuat Aden kembali kesal bercampur malu karenanya. Aden langsung menyibakkan air kolam ke arah Nina yang membuat Nina terpekik kaget, begitu juga dengan Nisa yang terkena percikan nya.
"Kemarin dia cerita gitu, makanya abang tau!" jawab Aden mencoba membela dirinya.
"Ya kalau pun datang ke rumahnya juga gak papa, ya kan, Kak Nisa?" tanya Nina mencari dukungan untuk semakin mempertajam ledekannya pada Aden.
"Bener, Aden kan udah remaja, wajar jugaa dekat sama perempuan, jangan jomblo mulu."
Nina menang telak, dia menatap Aden sembari memainkan kedua alisnya yang membuat Adek kesal melihatnya.
"Nanti ajalah itu, Kak. Lagian sekarang ada dua perempuan yang harus Aden jaga, yang satu lembut banget, yang satu preman banget," ledek Aden sekedar membalas ucapan Nina.
Nina mencibir kan bibirnya karena sadar preman yang dimaksud Aden, adalah dirinya. Nina kembali mengarahkan tatapannya ke Nisa.
"Tapi apa yang di bilang Bang Aden bener sih, Kak. Selama Nina berteman dekat sama Metta, dia cuma cerita tentang ibu dan adik laki-lakinya aja, gak pernah cerita tentang ayahnya. Metta cuma sering cerita kalau sekarang dia lagi cari kerja buat biaya sekolah dasar adiknya itu. Cuma belum dapat aja."
"Kalau kerja di restoran baru Bang Adit, bisa gak ya, Kak?" saran Aden saat teringat cafe yang lagi mau dibuka Adit, walau masih dalam proses pembangunan.
"Kelamaan, selak adeknya tamat SD!" seru Nina yang langsung membuat Aden menggaruk kepala bagian belakangnya.
"Gak selama itu juga kali, Dek palingan tahun ini selesai, kan memang mau cepat dibuka sebelum lebaran," ucap Nisa sembari menghitung bulan. "Lima bulan lagi, Mudah-mudahan sih siap. Tapi bener memng, kalau menunggu itu bakalan lama banget. Kasihan Metta, pasti butuh biaya cepat."
Nina menganggukkan kepala. Aden pun demikian. Nisa mencoba memikirkan sesuatu. Dia berharap, Adit mau memberikannya pekerjaan di hotel untuk sementara waktu, sampai cafe selesai dibangun.
"Kalau jadi baby sitter akhirnya gimana?" seruan Ameliya terdengar yang membuat ketiganya menoleh. Semuanya tersenyum melihat Ameliya hadir bersama Zenia. Nina langsung berlari menyambutnya, menggendong Zenia dan berjalan di belakang Ameliya sekedar menjaganya hingga duduk di tempatnya semula. Nina sendiri memilih duduk di bawah tepatnya di samping Aden dengan Zenia berada di pangkuannya.
"Boleh juga tuh ide kamu, Mel, tapi kamu yakin jadikan anak remaja sebagai baby sitter? Kamu yakin dia bakalan setelaten baby sitter sungguhan?" tanya Nisa.
Ameliya tersenyum lebar, "kan ada aku dan Mbok Sumi juga di rumah, Kak. Kami berdua bisa mantau dia sekaligus ngajarin dja tentang cara mengurus dan menjaga anak," jawab Ameliya yang terlihat sangat yakin dengan keputusannya. "Lagian, sekalian buat mulusin jalan adek aku buat dekatin perempuan pilihannya. Eh, siapa namanya?" tanya Ameliya dengan senyuman jahil.
"Metta, Kak!!" seru Nina yang langsung mendapatkan senggolan pelan dari Aden di sampingnya.
"Ha, Metta, namanya bagus," puji Ameliya. "Jadi kapan bisa dijumpain kakak sama Metta? Kakak pengen ketemu langsung sekaligus nanya apa dia siap kerja sama kakak."
"Kalau besok gimana, Kak?" tanya Nina. "Soal ya besok kan hari minggu, jadi Nina rasa Kak Metta juga gak ada kerjaan juga. Jadi dia bisa langsung ke rumah kakak buat ketemuan. Nanti Nina juga bakalan ngehubungi Kak Metta dulu buat nanya, apa dia mau jadi baby sitter. Soalnya sia-sia aja kan kalau dia udah ke sini, tapi malah gak mau jadi baby sitter. Takutnya dia malah segan nolak kalau udah sampai di sini."
"Boleh juga, itu lebih bagus sih menurut kakak. Tapi dia nanti ke sini naik apa?" tanya Nisa. "Kan kasihan kalau harus naik angkutan umu atau becak. Uangnya juga mungkin gak ada buat ongkos ke sini. Ada pun kakak rasa bakalan kasihan kalau sampai harus dikeluarin." Nisa melirik ke Aden saat Nina dan Ameliya melirik ke arahnya. "Kira-kira siapa ya yang bisa jemput Metta?"
Semua pasang mata langsung tertuju ke Aden. Aden yang merasa tersudut, mau gak mau menghela napas dan menyetujui permintaan ketiga saudaranya itu. Ameliya tertawa melihatnya, Nisa tersenyum lebar, sedangkan Nina kembali menyindir Aden yang membuat lelaki tampan itu tersipu malu.
"Eh iya, Zyo mana?" tanya Nisa yang baru sadar tidak ada Zyo di antara mereka. "Tumben, biasanya selalu ikut kalau ke sini?"
Ekspresi Ameliya yang semula tampak riang, berubah sedih. Zyo memang tidak ikut bersamanya. Ameliya yang sempat mengajak Zyo pergi bersamanya, malah menolak lantas masuk ke kamar. Sikap Zyo tadi jelas membuat Ameliya sedih bukan main. Berniat mengajak Zyo lagi, namun Sumi melarangnya dengan alasan memberikan waktu sebentar untuk Zyo kembali mau memaafkannya.
"Ada sedikit masalah di rumah, jadi dia ngambek," ucap Ameliya sembari mencoba teesenyum agar tidak membuat Nisa dan kedua adiknya curiga. Namun sayangnya, senyumanya malah membuat ketiganya semakin penasaran tentanh masalah yang sedang terjadi di rumah Ameliya.
"Ada apa, Mel? Soal Om Doni?" tanya Nisa yang langsung dijawab Ameliya dengan gelengan kepala.
"Tentang aku," jawab Ameliya yang langsung membuat ketiganya menatap kaget ke arahnya. "Semua karena aku." Kedua mata Ameliya terbendung air yang siap jatuh. Ameliya yang tidak tega melihatnya, langsung memeluinya erat. Diam-diam, Nisa meminta Nina untuk membawa Zenia pergi saat anak kecil berusia dua tahun itu menatap ke arah Ameliya. Nina menurut, lantas mengajak Zenia bermain di dalam diikuti Aden. Nisa melepaskan pelukan setelah keduanya pergi.
"Ada apa, ayo cerita sama aku," ajak Nisa yang membuat Ameliya menarik napas panjang lantas mengembuskannya perlahan.