BAB 66

1675 Kata
Nina duduk di jalan setapak di samping malam sangat ibu. Bibirnya manyun. Berulang kali dia mencabut rumput liar yang tumbuh, dilempar nya ke dekat kakinya, lantas kembali mencabut lainnya satu persatu. Dia tampak kesal. Moodnya masih berantakan. Entah kenapa, tapi anehnya pemandangan kemarin saat melihat Bryan membonceng perempuan lain di depan matanya, malah membuatnya kesal bukan main. Masih ingat jelas ucapan Bryan waktu itu. Bahwa dia tidak akan dekat dengan perempuan lain selain Nina. Dia tidak akan membonceng perempuan lain selain Nina. Namun kenyataannya, Bryan malah berboncengan dengan perempuan cantik berseragam sekolah SMA yang berbeda dengan seragam sekolah tempat Nina dan Bryan bersekolah. Nina yakin, perempuan itu pasti datang menemui Bryan, dan akhirnya dibonceng Bryan untuk diantar pulang. Nina sadar, tidak seharusnya dia marah pada Bryan. Bryan bukanlah siapa-siapa baginya. Bryan bahkan tidak punya hubungan khusus dengannya. Berulang kali Bryan menembaknya, dan berulang kali juga Nina menolaknya tanpa memberikan alasan yang jelas. Adenlah yang selalu menjelaskan padanya dengan kalimat-kalimat terbaiknya yang entah apa itu. Aden mengarangnya sendiri, tanpa meminta izin terlebih dulu pada Nina. Anehnya, Nina malah tidak keberatan dengan semua alasan yang diberikan Aden pada Bryan. "Bu, apa Nina boleh pacaran?" tanya Nina tiba-tiba setelah sekian lama diam. Nina menghela napas, dia tampak malu dengan pertanyaannya sendiri. "Iya-iya, Nina tau ini baru pertama kalinya Nina cerita sama Ibu tentang hal beginian, Nina juga tau kalau Nina pernah janji sama Ibu lewat mimpi, kalau Nina bakalan rajin belajar sampai lulus perguruan tinggi baru setelah itu mikirin yang beginian. Tapi Nina gak bisa bohongi hati Nina sendiri, Bu, kalau sekarang rasa itu datang gitu aja." Nina mencabut kembali rumput liat dan membuangnya kembali ke depan kakinya. "Tapi kayaknya sih uda terlambat, Bu, dia sekarang udah punya cewek lain. Mungkin karena selama ini Nina tolakin mulu, dikiranya pasti Nina sok jual mahal atau malah gak pernah punya rasa. Jadi dia bosan nunggu terus cari yang lain." Nina kembali menghela napas kasar. "Tapi kayaknya semua laki-laki sama ya, Bu. Cuma Bang Adit, Bang Dimas, Bang Rasya sama Bapak aja yang beda. Selebihnya sama semua." Nina langsung cengengesan saat mengingat Aden. "Iya-iya, anak ibu lupa Nina sebutan, Bang Aden." Nina mengusap makam yang di batu nisannya tertulis nama Ratna dengan mimik wajah sedih. Ingatannya kembali tertarik ke belakang, saat sempat bertengkar dengan Bisa tentang kematian sangat Bapak. "Ngomong-ngomong soal Bapak," ucap Nina dengan nada suara menurun. "Kemarin Nina bertengkar sama Kak Nisa soal Bapak. Kak Nisa minta Nina untuk kunjungi pantai. Kata Kak Nisa, makam Bapak di sana. Nina kesal, Bu, kenapa sih pada percaya banget Bapak udah gak ada. Padahal gak ada yang lihat jasad Bapak, kan?" tanya Nina. "Kenapa semua orang langsung berasumsi kalau Bapak tenggelam, padahal kita semua cuma dengan kabar berita nya doang dari Om Tyo. Kenapa malah langsung percaya gitu aja." Nina kembali mwmanyunkan bibirnya, "Nina tau, waktu Ibu masih hidup, Ibu juga sering datang ke sana buat ngenang Bapak, tapi kan bisa jadi Bapak masih hidup, Bu. Bisa jadi Bapak diselamatkan orang lain terus dirawat sampai sekarang." Nina memeluk kedua lututnya. "Nina masih tetap percaya Bapak masih hidup sampai Nina lihat langsung jasad Bapak. Selama ini Nina sering mimpiin Bapak, bisa jadi karena Bapak rindu Nina di tempatnya sekarang. Dia pengen pulang, makanya sering datang ke mimpi Nina. Sayangnya Bapak gak pernah ngomong kalau masuk mimpi Nina. Kesel." "Mau sampai kapan kamu ngeyel kayak gitu?" Suara seseorang langsung membuat Nina kaget bukan main. Nina menoleh ke belakang, dan rasa kagetnya bertambah saat mengetahui siapa yang datang dan dan berdiri di belakangnya. Dia melangkah mendekat dan berdiri di sisi makam sang Ibu yang berbeda dari tempatnya kini duduk. Nina spontan berdiri, namun cowok tampan itu malah berjongkok dan menatap makam dengan wajah sendu. "Assalamualaikum, Bu, ini kali pertama saya datang ke sini, maaf baru bisa datang berkunjung ya, Bu," ucapnya. "Perkenalkan, nama saya Bryan, saya teman sekolahnya Aden dan kakak kelasnya Nina." Nina terdiam. Semula dia berpikir Bryan akan menyebutkan dirinya sebagai calon pacarnya agar membuatnya kesal. Namun ternyata tidak. Dia begitu sopan, hingga berhasil menambahkan nilai plus di hatinya untuknya. Bryan mengarahkan tatapannya ke Nina yang masih berdiri. Bryan menggeleng pelan, membuka kedua sepatunya lantas menduduki sepatunya sendiri sebagai alas pantatnya, membiarkan kedua kakinya yang dibalut kaus kaki menyentuh jalan setapak di tempatnya kini duduk yang menjadi batas antara makam satu dengan makam lainnya. Bryan kembali menatap Nina yang masih saja berdiri. "Mau sampai berdiri terus? Kan lagi gak latihan baris berbaris," sindir Bryan yang perlahan langsung membuat Nina kembali ke posisi semula, duduk si atas sepatunya. Tatapan matanya tetap tak lepas dari Bryan. Dia masih tidak percaya, cowok tampak itu hadir ke tempatnya menyendiri. "Ntar jatuh cinta kalau di lihatin terus," ledek Bryan yang langsung membuat Nina menarik tatapannya ke arah lain. "Gak usah ge-er!" bentak Nina yang membuat Bryan tersenyum. "Eh iya, udah jatuh cinta ya, salah berarti tadi kalimatnya. Seharusnya jangan lihat lama-lama nanti makin dalam cintanya." Nina spontan mengembalikan tatapannya ke Bryan dengan tatapan tajam. Dia kaget bukan main Bryan bisa mengetahui apa yang dia bicarakan tadi pada sang Ibu. Bryan sendiri seakan tidak peduli dengan tatapan tajam itu, dia malah mencabut rerumputan liar di atas makam dan membuangnya ke dekat kakinya. "Sejak kapan lo di belakang gue?" tanya Nina dengan nada suara tinggi. "Usstt, jangan kuat-kuat ngomongnya, ntar pada bangun baru tau rasa lho," canda Bryan. Anehnya, candaan Bryan malah spontan langsung diikuti Nina. Nina langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil celingak celinguk ke kanan dan kiri. Seolah ingin memastikan semuanya masih di tempat yang aman. Bryan yang menyadari hal itu, langsung menahan tawanya agar tidak terdengar Nina. Dan langsung berpura-pura kembali serius saat Nina menatapnya. "Jadi loe sejak kapan ada di belakang gue?" tanya Nina dengan nada suara setengah berbisik. Bryan lucu mendengar suaranya. Nina memang sejak dulu selalu polos di matanya. Dia sering kali mendapati Nina dipermainkan teman sekelasnya agar Nina iba dan akhirnya mau mengerjakan tugas-tugas mereka. Dan diam-diam Bryan lah orang yang selalu membantunya dengan cara memarahi semua teman-temannya itu agar tidak berani lagi mengusiknya. Dan semua itu, jauh sebelum Aden mengetahuinya. Terjadi di awal-awal Nina baru masuk sekolah. Nina yang dianggap masih kecil karena usianya yang jauh dua tahun di belakang teman-temannya, membuatnya harus jadi korban atas kejahilan beberapa orang yang datang dengan wajah memelas. "Kok malah diam sih, sejak kapan?" tanya Nina lagi masih dengan nada suara setengah berbisik. "Cukup lama," jawab Bryan. "Sampai pegal sih nih kaki nunggu kalimatnya yang pas." Nina semakin terjebak. Dia mulai yakin, Bryan mendengar semua curhatan hatinya. Nina menundukkan kepala, dia benar-benar malu bukan main. Bryan melirik ke arahnya, dia tahu gimana perasaan Nina saat ini. Sifat Aden memang menurun padanya, paling gengsi jika harus berbicara tentang perasaan. Bryan menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskannya perlahan. "Kalau memang alasan loe nolak gue karena loe mau serius sekolah dulu, gue bisa ngerti, Na. Loe gak perlu nolak tanpa alasan yang jelas. Loe juga bisa bilang ke gue, gue pasti ngerti kok. Gue malah bakalan dukung dan tunggu loe," ucap Bryan dengan nada rendah. Dia benar-benar ingin meyakinkan Nina kalah dia serius mencintainya. "Dan sekarang juga sudah terlambat, kan?" tanya Nina. "Loe dulu pernah janji buat nunggu gue dan bakalan terus ngejar-ngejar gue sampai gue luluh, nyatanya malah omong kosong." Nina membuang pandangannya ke arah lain. "Maksudnya?" tanya Bryan bingung. "Gue gak pernah ingkar janji sama setiap janji yang udah gue buat dan ucapin." Nina tertawa kecil mendengarnya, "Di depan makam Ibu gue aja, loe berani bohong. Gimana ke depannya nanti." Nina menghela napas. "Bisa jadi loe malah ninggalin gue pas gue lagi butuh-butuhnya loe. Sama kayak Bapak yang gak pulang-pulang saat Ibu butuh dia." "Tunggu, ini maksudnya apa sih?" tanya Bryan semakin bingung dengan arah bicara Nina. "Gue ingkar janji apa sama loe, Na?" "Cewek loe cantik, sama kayak loe, blasteran," ucap Nina yang membuat kerutan di kening Bryan semakin terlihat jelas. "Loe dan dia cocok, pas." Bryan mencoba mengingat-ingat kapan dia pernah membonceng cewek dan lewat di depan Nina. Bryan menggelengkan kepala. Dia sama sekali tidak pernah membonceng cewek lain selama ini. "Loe ingat janji loe, kan?" tanya Nina. Bryan mengangguk, "Gue pernah berjanji dua hal sama loe, pertama gue akan terus kejar loe sama loe cinta sama gue dan mau sama gue. Dan kedua, gue gak akan pernah bonceng cewek lain selain keluarga gue dan loe. Terus kapan gue pernah bonceng cewek?" Nina mulai jengah, dia bangkit dari tempatnya duduk, dengan cepat memakai sepatunya dan pergi. Bryan yang tidak mau kehilangan kesempatan, langsung mengejarnya dan menarik tangannya saat berada di depan motornya yang terparkir di area parkir pemakaman. Nina berbalik dan menatapnya. Entah kenapa, dia kesal bukan main pada cowok di hadapannya ini. "Jelasin sama gue, kapan gue pernah lewat depan loe, gak negur loe dan malah bonceng cewek naik motor gue?" paksa Bryan yang masih mencengkram pergelangan tangan Nina. "Kemarin, di depan gerbang sekolah, loe bonceng anak SMA lewat di depan gue, puas?!" bentak Nina. "Lepasin tangan gue!' Bryan berpikir keras tanpa melepaskan cengkramannya. Lantas tertawa yang membuat Nina berhenti memberontak dan malah menatapnya heran. "Loe cemburu?" tanya Bryan tampak senang. "Siapa bilang, biasa aja. Lepasin tangan gue!" paksa Nina lagi yang belum juga dilepaskan Bryan. "Loe cemburu sama adik gue?" tanya Bryan yang langsung membuat Nina terbodoh mendengarnya. Namun karena gengsi sekaligus tidak terlalu percaya dengan ucapan Bryan, Nina mengubah ekspresinya lantas membuang tatapannya. "Penipu, semua cowok sama aja ya. Kalau udah kejebak, semua di bilang adik." Bryan menggelengkan kepala, lantas menarik Nina ke arah motornya. Nina kembali memberontak, Bryan melepaskannya dan malah memasangkan helm di kepala Nina. "Apaan ini! Gue bisa pulang sendiri!" "Gue akan buktikan kalau gue gak bohong. Ayo naik!" pinta Bryan yang sudah di atas motor. "Ogah!" bentak Nina yang berniat membuka helmnya. "Loe lepas helm loe, gue suruh semua teman-teman loe yang pernah memanfaatkan loe dulu, untuk ganggu loe lagi. Silakan pilih." "Ha, maksudnya?" "Udah cepat naik!" paksa Bryan yang akhirnya malah membuat Nina nurut. Anehnya, Nina malah langsung naik begitu saja padahal Bryan belum memberikan penjelasan dari kalimat terakhirnya tadi. Bryan tersenyum, lantas mulai menjalankan motornya menuju ke tempat yang akan menjelaskan segalanya secara langsung pada Nina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN