BAB 19

2073 Kata
Sesuai janji, Adit mengajak Zakaria dan juga Ima untuk makan di salah satu restaurant yang tidak terlalu jauh dari pemakaman berada. Restaurant bertema ekluarga yang sangat nyaman, dengan pengunjung yang siang itu tidak terlalu ramai, membuat Nisa, Adit, Zakaria dan Ima tampak sangat menikmatinya. Restaurant bertema indoor itu, menjadi pilihan Adit karena memang dia sering ke restaurant ini bersama Nisa, Aden dan Nina setiap kali berziarah.                Pesanan masing-masing sudah datang di atas meja di hadapan masing-masing. Nisa memesan ayam bakar dengan nasi putihnya, Adit spaghetti, Zakaria dan Ima memesan nasi goreng seafood kesukaan keduanya. Sedangkan minumannya semua sama, teh manis dingin. Cuaca di luar yang cukup terbilang menyengat, membuat kerongkongan terasa kering dan butuh yang segar-segar, salah satunya teh manis dingin yang menjadi pilihan paling pertama keempatnya, saat daftar menu di hadapkan oleh salah satu pelayan restaurant.                “Jadi Ameliya sudah punya rumah sendiri sekarang?” tanya Zakaria setelah mendengar cerita singkat tentang Ameliya dan Dimas dari Adit. Dulu setelah menikah, yang dia tahu Ameliya memilih tinggal bersama sang mertua karena tidak bisa tinggal sendirian. Kehidupannya yang sejak kecil sudah diramaikan banyak orang walau hanya pekerja di rumah, membuatnya merasa enggan jika harus di rumah sendirian, apa lagi saat Dimas bekerja. Dia kesepian, dan hal itulah yang membuatnya tinggal bersama mertuanya.                Adit mengangguk, “Iya, Buya, mereka baru pindah kemarin,” jawab Adit setelah menyeruput teh manis dinginnya dengan menggunakan sedotan. “Tapi rumahnya tetap satu komplek sama kami, Cuma beda blok aja.”                “Bisa jalan kalau mau ke rumah kamu, Dit?” tanya Ima penasaran yang lagi-lagi dijawab Adit dengan anggukan. “Wah, bagus dong. Jadi kalau dia merasa kesepian, Ameliya bisa langsung ke rumah. Lagi pula yang umi tau, Ameliya sedang hamil besar, kan? Bahaya kalau tinggal sendirian di sana, apa lagi saat Dimas bekerja.”                Nisa tersenyum mendengar perhatian Ima. Rasanya dia benar-benar sudah berubah sekarang, bukan seperti wanita yang dia kenal dulu yang selalu cemburu dan marah setiap kali sang suami lebih mementingkan Nisa dan kedua adiknya dibandingkan dirinya sendiri. Nisa, Aden dan Nina yang dulu sempat tinggal bersama keduanya, awal mula sangat diterima baik oleh Ima yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Namun semuanya berubah drastis entah karena alasan apa. Namun kini, Ima tampak mulai lebih dewasa dari sebelumnya. Menyadari dirinya adalah istri dari seorang ustadz ternama di daerah tempatnya tinggal, yang membuatnya tersadar bahwa dia tidak boleh bersikap dan bahkan bersifat jahat seperti seperti itu.                “Lagian dia tidak sendiri di sana, Umi, ada Mbok Sumi dan Aden Nina di sana yang sering nemanin,” jawab Nisa. “tadi malam saja mereka tidur di sana, katanya mau nemanin kakaknya.”                Ima tertawa diikuti Zakaria. Keduanya tampak senang mendengar cerita dari Nosa tentang niat baik Aden dan Nina yang rela berpindah tempat tidur demi menemani Ameliya. Nisa sendiir pun sebenarnya merasa kesepian tanpa kedua adiknya itu. Namun mengingat Ameliyaudah hamil besar dan butuh seseorang di dekatnya yang selalu siaga menemaninya, membuat Nisa tidak mungkin setega itu memaksa keduanya untuk lebih memilih tinggal bersama di rumah sekedar menemaninya agar tidak kesepian dan malah membiarkan Ameliya seorang diri di rumah.                “Soal Alea, bagaimana kabarnya sekarang?” tanya Zakaria setelah beberapa menit membiarkan keheningan menyapa keempatnya. Adit menghentikan gerakan tangannya, menatap Zakaria lantas melirik ke Nisa yang ternyata juga menatapnya. Nisa menggelengkan kepala saat tatapannya kembali terpusat ke Zakaria, seakan memberikan jawaban bahwa dia mau pun Adit tidak tahu menahu lagi tentang kabar Alea.                “Seingat Adit, terakhir kali dengar kabarnya, dia masuk rumah sakit jiwa,” jawab Adit yang mengetahui hal itu dari salah satu bodyguardnya. “Tapi setelah itu, gak tau lagi gimana kabarnya, Buya. Kami memutuskan untuk menutup segala akses tentang Alea, Raka mau pun semua orang yang membuat hidup kami berantakan dulu.”                Zakaria menganggukkan kepala, “Tentanng Raka, terakhir kali dia sempat datang ke rumah kami. Dia datang berkunjung dan sempat ngopi bareng saya di rumah.”                “Raka datang ke rumah?” tanya Nisa kaget yang langsung dijawab Zakaria dengan anggukan kepala. “mau ngapain dia datang?”                “Dia kebetulan baru pulang dari Singapore, dan mampir ke rumah. Katanya silaturahmi saja. Sudah lama tidak jumpa katanya,” jawab Zakaria yang baru saja menyelesaikan makan siangnya. Tampak tinggal tulang dan irisan tomat di atas piringnya.                “Apa dia ngebahas tentang kami lagi, Buya?” tanya Adit penasaran. Kejadian di masa lalu yang membuatnya benar-benar geram bukan main pada sosok lelaki itu, jelas membuatnya memasang badan agar siapa pun tidak mengusik Nisa apa lagi pernikahannya. Dia tidak ingin kejadian menakutkan di masa lalu, kembali terjadi. Apa lagi saat ini Nisa kembali bisa hamil setelah bertahun-tahun berlalu.                “Iya, dia sempat bertanya tentang kabar kalian berdua waktu itu, terutama tentang kabar Nisa, Aden dan juga Nina. Dia sebenarnya ingin sekali bertemu kalian semua, tapi dia masih merasa bersalah akibat kejadian dulu,” jawab Zakaria dengan nada tenangnya. “Lagi pula yang saya lihat, dia sudah banyak berubah. Dari caranya berbicara, bersikap dan juga dia sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan di kota ini. Karena itulah dia kembali ke Indonesia. Katanya dia disuruh menangani perusahaan keluarganya. Tapi saya lupa perusahaan apa itu. Saya lupa bertanya.”                Adit melirik ke Nisa yang tampak masih meneruskan makan siangnya dengan menyendokkan nasi dengan sendok dan garpunya, namun kali ini gerakannya tidak selincah sebelumnya. Dia tampak melambat yang membuat Adit merasa, Nisa pasti kepikiran tentang Raka. Dia selalu ketakutan setiap kali nama Alea dan Raka disebutkan. Seolah keduanya menjadi bayang-bayang hitam yang siap kapan saja menyergapnya tanpa ampun seperti dulu. Adit mengusap kepala Nisa lembut, Nisa mengarahkan tatapannya ke Adit lantas tersenyum tipis.                “Kenapa?” tanya Adit yang tampak khawatir dengan kondisi Nisa.                Nisa menggelengkan kepala, “Aku gak apa-apa, Dit. Tenang saja.”                Adit tidak percaya. Nisa selalu saja mengatakan hal itu hanya demi Adit agar tidak kepikiran tentangnya. Nisa kembali melanjutkan makanannya dengan sorot mata tertuju ke piring makan siangnya. Zakaria dan Ima sendiri melihatnya tak tega. Adit menghela napas pelan, lantas mencoba mengganti topik pembicaraan agar tidak terus membicarakan tentang hal-hal yang membuat Nisa kerpikiran bahkan ketakutan seperti itu.                “Jadi gimana kerjaan Buya, masih tetap stabil, kan?” tanya Adit yang sebenarnya tidak tahu harus bertanya tentang apa.                “Alhamdulillah baik, bahkan sekarang saya sudah diminta ceramah ke luar kota, ini semua berkat doa kalian juga,” ucap Zakaria yang mengerti bahwa Adit berusaha mencari pembahasan lain demi Nisa.                “Ini bukan karena kami, Buya, tapi karena Umi dan si kecil Miya,” jawab Adit. “Gimana kabar Miya, pasti makin cantik.”                “Makin comel,” jawab Ima lantas tertawa. “Bawelnya minta ampun, udah kayak anak usia tujuh tahun, padahal baru juga empat tahunan. Ada aja yang dimintanya, terutama sama Buyanya.”                Nisa akhirnya tertawa saat mendengar tentang Miya yang dulu sempat dia lihat saat kelahirannya. Bayi kecil yang kehadirannya begitu dinantikan itu, berhasil menjadi salah satu alasan perubahan di diri Ima. Dia selalu saja gemas bukan main. Andai saja Nisa tidak keguguran saat itu, mungkin saat ini bayinya juga akan seumuran Miya. Namun sayangnya, kejadian menakutkan di pernikahan Ameliya waktu itu, menjadi alasan kepergian bayi di dalam kandungan Nisa untuk selamaya.                “Kapan-kapan kami boleh datang berkunjung ya, udah lama gak lihat Miya,” ucap Nisa yang tampak berharap bisa melakukannya secepatnya.                “Ya … bolehlah, Miya juga pasti rindu banget sama Bundanya,” ucap Ima yang langsung membuat Nisa tersenyum. Ya … Nisa memang meminta Miya untuk memanggilnya dengan sebutan itu. Rasa ingin memiliki anak, membuat Nisa akhirnya mengangkat Miya menjadi anak angkatnya di hari kelahirannya waktu itu. ***                                Audy tampak kagum saat melihat-lihat perhiasan untuk pernikahannya. Rasya yang tiba-tiba mengajaknya ke toko perhiasan setelah selesai menemaninyabertemu dengan salah satu pembeli, membuat Audy terharu bukan main. Dia masih tidak menyangka, kalau ucapan Rasya tentang pernikahan ternyata benar adanya. Semula Audy berpikir, Rasya hanya main-main dengannya. Seperti biasa, hanya memberikan harapan palsu yang selalu membuatnya kecewa setelahnya. Namun ternyata kali ini tidak. Rasya malah sudah menyiapkan segalanya, termasuk design undangan berupa video yang ingin dia sebar agar tidak memakan waktu lama. Dia tidak mau repot-repot menyebar undangan dari rumah ke rumah. Melalui video yang sudah dibuat salah satu temannya saja, sudah membuat Audy puas bukan main dengan hasilnya saat melihatnya tadi, walau sebearnya tanggalnya belum tertulis di sana.                “Kamu pilih aja mana design yang kamu suka, nanti kita bisa pesan sesuai ukuran jari kamu,” ucap Rasya tiba-tiba yang semakin membuat Audy terharu bukan main. Audy hanya bisa mengangguk lantas melihat-lihat design cincin di lemari kaca. Sedangkan Rasya sendiri melihat-lihat kalung dan gelang yang ingin dia berikan Cuma-Cuma untuk Audy sebagai hadiah ulang tahun. Ya … Audy akan ulang tahun minggu depan, dan Adit diam-diam memilih kalung saat Audy sibuk memilih cincin yang dia inginkan.                “Mbak, lihat yang ini?” pinta Audy sembari menunjuk ke salah satu design dari luar lemari kaca. Wanita yang memakai pakai kerja serbai putih itu, langsung mengambilnya dan memberikannya pada Audy. Audy melihatnya. Cincin bermatakan berlian itu membuatnya kagum bukan main. Namun rasanya, harganya pasti terlalu mahal yang membuat Audy mengembalikannya lagi ke tangan wanita di hadapannya. Rasya yang melihat hal itu, langsung mendekati Audy yang menolak saat wanita itu menawarkannya cincin yang sangat dia sukai itu.                “Kenapa gak diambil?” tanya Rasya yang jelas saja membuat Audy kaget mendengar suaranya yang tiba-tiba. “Coba lihat, Mbak,” pinta Rasya yang langsung kembali diberikan wanita itu ke tangan Rasya. “Bagus, kamu suka, kan?” tanya Rasya pada Audy.                “Itu pasti mahal, Sya, gak usah,” bisik Audy malu jika terdengar wanita yang masih di hadapannya. Namun sayangnya wanita itu malah bisa mendengarnya dan hanya tersenyum tipis.                “Kenapa rupanya kalau mahal?” tanya Rasya yang jelas saja membuat Audy kaget bukan main. “Namanya cincin pernikahan, ya … harus istimewalah, ya kan, Mbak?” tanya Adit.                “Benar, lagian harganya lagi promo, Mbak. Jadi tidak terlalu mahal juga.”                “Promo?” tanya Audy heran.                “Iya, kebetulan hari ini toko kami berulang tahun, jadi kami sedang promo harga besar-besaran. Termasuk cincin yang Masnya pegang itu,” ucapnya ramah yang langsung membuat Audy senang bukan main.                “Jadi gimana, kamu tetap nolak nih?” tanya Rasya yang spontan dijawab Audy dengan gelengan kepala.                Rasya tertawa melihatnya, langsung memakaikan cincin itu ke jari manis Audy yang ternyata sedikit longgar. Audy kembali melepaskannya dan memberikannya ke penjaga toko mas untuk dibuatkan ukuran sesuai jari manisnya.                Rasya sendiri langsung melihat-lihat kembali kalung dan gelang selagi Audy sibuk mengukur jari manisnya bersama penjaga toko itu. Rasya langsung memilih kalung berlian untuk Audy, dan juga gelang. Dan meminta sang penjaga toko lainnya membungkuskannya tanpa sepengetahuan Audy.                “Rasya, ngapain sih dari tadi di sana mulu, ayo pulang,” ajak Audy yang langsung membuat Rasya kembali menghampirinya.                “Astagfirullah,” ucap Rasya tiba-tiba sembari memukul keningnya sendiri.”                “Ada apa?” tanya Audy kaget.                “Dompet aku ketinggalan di mobil, kamu bisa ambilkan gak?” tanya Rasya yang langsung membuat Audy menghela napas pelan, mengadahkan tangan meminta kunci mobil yang langsung diberikan Rasya ke tangannya. Audy langsung ke luar dari toko.                “Hitung semuanya ya,” ucap Adit pada penjaga toko. “Dan calon istri saya jangan sampai tau kalau sebenarnya promo itu tidak ada. Dia jangan sampai tau kalau sebelum kami datang ke sini, kita sudah komunikasi tentang harga. Dia tidak akan setuju dan malah memilih cincin yang dia kurang suka hanya agar tidak merepotkan saya, saya tidak mau itu terjadi. Oke, Mbak?”                “Baik, Mas. Mas tenang saja, rahasia aman.”                Penjaga itu langusng memberikan sekotak perhiasan yang isinya kalung dan gelang ke tangan Rasya, memasukkannya ke dalam tas tangan lantas langsung dibawa ke luar oleh Rasya dengan menyembunyikannya di belakang tubuhnya. Rasya yang baru saja ke luar dari toko, hampir bertabrakan dengan Audy yang tampak kebingungan mencari di mana dompet Rasya berada yang sebenarnya tidak dia bawa. Rasya hanya membawa uang cash dan juga kartu kredit yang dia sembunyikan di saku celananya.                “Dompetnya gak ada, Sayang. Kamu lupa kali bawanya,” ucap Audy.                “Mungkin ketinggalan di rumah kali ya,” ucap Rasya berpura-pura bingung. “Ya udah, lagian udah aku bayar juga pakai kartu kredit. Yuk kita makan siang dulu, aku laper!” ajak Rasya yang langsung dijawab Audy dengan omelan akibat kebiasaan Rasya yang selalu saja lupa membawa dompet. Rasya langsung mendorong tubuh Audy untuk kembali ke mobil, dan diam-diam membuka bagasi mobil dan memasukkan tas belanjaannya ke dalam bagasi saat Audy sudah duluan masuk dan duduk di depan.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN