1. Mertua vs Menantu

3174 Kata
Dulunya Sembagi adalah seorang vice president di Accounting department sebuah lembaga keuangan bank. Kariernya dimulai dengan melamar Officer Development Program di Nation Bank, sebuah bank swasta internasional yang termasuk dalam lima bank swasta terbesar se-Asia Tenggara. Dia sudah memiliki karier dan pekerjaan yang bahkan berhasil mendapat posisi jauh lebih baik dibandingkan rata-rata orang di umur yang sama dengannya. Dia sudah memiliki kendaraan pribadi, aset dan sejumlah tabungan yang jumlahnya sudah lebih dari ekspektasinya ketika di awal karier. Dia lalu berkenalan dengan Turangga yang juga bekerja di perusahaan yang sama hanya saja berbeda divisi. Mereka melakukan pendekatan selama dua bulan lalu memutuskan untuk berpacaran. Setelah satu tahun berpacaran mereka memutuskan untuk menikah. Awalnya rumah tangga mereka harmonis layaknya pasangan suami istri baru menikah pada umumnya. Di tahun pertama pernikahan mereka menjadi pasangan yang saling mengerti kesibukan pekerjaan masing-masing. Secara ekonomi Sembagi dan Turangga tidak pernah kekurangan satu sama lain. Hanya saja memang karier Sembagi jauh lebih melesat dibanding dengan Turangga dan tentu saja perolehan gaji Sembagi beberapa kali lipat lebih besar dari gaji yang diperoleh Turangga. Meski begitu tidak lantas membuat Sembagi menjadi angkuh lalu bersikap semena-mena pada suami karena merasa memiliki jabatan dan gaji lebih tinggi di kantor. Ketika di rumah Sembagi tetaplah menjadi seorang istri yang tunduk pada perintah suami, tetap menghormati serta menjunjung tinggi harkat dan martabat suaminya. Sayangnya karier dan kondisi keuangan yang dimiliki Sembagi tidak membuat ibu mertuanya memperlakukan Sembagi dengan baik dan layak. Selama menikah dengan Turangga, ibu mertuanya itu selalu merendahkan Sembagi seolah tutup mata pada semua kebaikan dan usaha Sembagi dalam mengambil hati sang ibu mertua. Alasannya karena Sembagi belum memberikan keturunan di tahun kelima pernikahannya dengan Turangga. Sembagi dianggap mandul dan tidak pantas mendampingi Turangga. Tujuh bulan lalu bisa dibilang menjadi awal mula kehancuran Sembagi. Dia meninggalkan pekerjaan yang telah digelutinya selama hampir sepuluh tahun. Sang suami turut andil dalam proses pemaksaan dirinya agar resign. Demi menghindari keributan, Sembagi pilih menjadi istri penurut. Sebenarnya Sembagi sedang berada di puncak karier saat itu. Dan akan semakin naik jika dia tetap mempertahankan pekerjaannya. Namun hal itu tidak berarti apa-apa di mata ibu mertuanya karena ternyata wanita itu adalah orang pertama yang memaksa Sembagi untuk berhenti bekerja dan fokus mengurus rumah tangga supaya bisa cepat memberi keturunan. Karena tidak ingin rumah tangganya hancur, Sembagi menuruti perintah suami dan ibu mertuanya itu. Tanpa diketahui suami dan ibu mertuanya, sebenarnya Sembagi punya alasan besar mempertahankan pekerjaannya itu dan ada kaitannya dengan Turangga. Ya, dia sedang menyelidiki suaminya sendiri. Namun dia terpaksa mengubah rencana penyelidikannya karena dipaksa resign oleh suami dan ibu mertuanya. Sembagi merasa frustrasi begitu terpaksa berhenti menjadi wanita karier dan fokus menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Dia yang terbiasa aktif seharian dengan berbagai pekerjaan di kantor yang memutar otak dituntut berada di dalam rumah seharian. Melihat keadaan ini Sembagi memutuskan untuk tetap bekerja dengan menerima pekerjaan sebagai akuntan lepas yang bisa mengerjakan pekerjaannya di rumah. Selain sukses kariernya Sembagi juga berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya, ia tetap diperlakukan semena-mena oleh seluruh anggota keluarga suaminya terutama suami dan ibu mertuanya. Selain karena belakangan keluarga suaminya tahu kalau ternyata Sembagi adalah anak di luar nikah sehingga dia tidak bisa mewarisi sebagian besar harta peninggalan keluarganya, selama bertahun-tahun menikah keluarga kecilnya belum dianugerahi malaikat kecil di dalamnya. Suatu hari ia mengetahui suaminya berselingkuh. Namun bukannya dibela dia malah diperlakukan lebih tidak manusiawi lagi oleh ibu mertuanya. ~ Hari ini ibu mertua Sembagi yang bernama Dahayu baru saja kembali dari luar kota, ada acara reuni bersama teman-teman sekolah di kota asalnya. Meski dia masih ingin menghabiskan waktu di kota asalnya, wanita itu terpaksa pulang karena mendapat telepon dari Turangga yang harus dinas keluar kota selama tiga hari dan ingin ibunya sudah ada di rumah hari ini juga. Kedatangan wanita itu disambut oleh pembantu rumah tangga yang telah bekerja di rumah Sembagi selama lima tahun terakhir. “Nyonya kamu mana, Tini?” tanya Dahayu dengan raut kesal setelah masuk rumah tapi tak menemukan keberadaan Sembagi di mana-mana. “Bu Agi lagi di taman belakang, Nyonya.” “Ya, sudah. Bawakan barang-barang saya ke kamar ya. Saya mau menemui Agi dulu.” “Baik, Nyonya.” Kemudian Dahayu melenggang santai ke arah taman belakang. Dia menemukan Sembagi tengah fokus menghadap laptop dengan earphone di kedua lubang telinganya. Sehingga Sembagi sama sekali tidak bisa mendengar suara apa pun saat ini. “Lagi santai-santaian di sini rupanya,” omel Dahayu sembari berdecak beberapa kali. Dia semakin kesal karena Sembagi sama sekali tidak menyadari kehadirannya. Sampai akhirnya Dahayu menepuk pundak Sembagi. Sembagi reflek menoleh dan tersenyum seraya mengangguk sopan menyapa ibu mertuanya. Namun sedetik kemudian dia kembali fokus menatap layar laptop. Dia tampak sedang berbicara serius pada seseorang menggunakan bahasa Inggris yang tentu saja tidak dipahami artinya oleh Dahayu. Setelah selesai dengan urusan pekerjaannya Sembagi melepas earphone sekaligus mematikan laptopnya. “Maaf, Ma. Agi barusan masih zoom meeting sama klien. Mama kapan datang?” Dahayu melengos. Dia sama sekali enggan menatap Sembagi ketika menantunya itu menyalaminya. “Kamu sibuk apa memangnya? Sampai-sampai tidak tahu mertuamu datang.” Dahayu sedang melampiaskan kekesalannya atas sikap Sembagi yang dianggap tak mengacuhkannya. “Agi udah bilang tadi masih zoom meeting sama klien,” jawab Sembagi sabar. “Meeting apa? Kamu sudah tidak bekerja lagi, kan? Harusnya kamu fokus sama rumah tangga kamu. Belajar jadi ibu rumah tangga yang baik, kerjakan semua pekerjaan rumah tangga dengan sepenuh hati. Ini nggak. Malah tetap sibuk sama pekerjaan. Trus apa gunanya kamu resign? Mana tetap pakai PRT. Trus fungsinya kamu ada di rumah seharian apa?” “Mama kenapa ngomong gitu? Agi cuma kerja sebagai akuntan lepas ngisi waktu luang. Tadi kebetulan aja klien ngajak meeting mendadak untuk membahas masalah keuangan perusahaannya. Agi tetap mengerjakan pekerjaan rumah. Agi tetap mengurus semua kebutuhan Mas Tutur. Mbak Tini itu cuma bantu-bantu beres rumah aja, Ma.” “Ya, kalau kamu tetap mempekerjakan pembantu rumah tangga, itu sama saja dengan nambah beban pengeluaran. kasihan anak saya. Dia yang kerja banting tulang cuma buat bayarin pembantu. Sementara kamu cuma santai-santaian di rumah. Ngenakin kamu doang namanya.” Sebenarnya yang membayar gaji pembantu rumah tangga tetaplah Sembagi. Dari dulu juga Sembagi. Turangga tidak tahu menahu soal gaji pembantu rumah tangga yang bekerja di rumahnya. Sembagi tidak tega kalau harus tiba-tiba memberhentikan Mbak Tini. Biar bagaimanapun Mbak Tini sudah lama bekerja padanya. Dia sudah merasa cocok serta percaya pada kejujuran Mbak Tini. Sekarang-sekarang ini sangat sulit menemukan pembantu rumah tangga yang seperti itu. Ditambah lagi kehadiran Mbak Tini memang masih dibutuhkan oleh Sembagi untuk menemani dirinya yang terkadang merasa kesepian saat Turangga sedang sibuk dengan pekerjaannya. Oleh karena itulah Sembagi tetap mempertahankan Mbak Tini bekerja di rumahnya. “Justru Mas Tutur yang maksa Mbak Tini tetap kerja supaya Agi nggak kecapekan ngurusin rumah. Supaya Agi bisa lebih rileks dan nggak stress karena kesepian, jadi Agi bisa cepat hamil kalau pikiran tenang. Itu juga keinginan Mama, kan? Pengen cepat-cepat nimang cucu?” Kilah Sembagi tanpa menjatuhkan nama suami di depan ibu mertuanya. Dahayu berdecak karena merasa telah kalah oleh menantunya. “Tapi mana buktinya? Udah satu tahun kamu nganggur tetap aja nggak hamil-hamil, kan?” cibirnya belum cukup puas. “Semuanya butuh proses, Ma. Doakan aja Agi bisa cepat hamil ya. Agi juga pengen cepat-cepat punya anak. Biar nggak kesepian di rumah kalau ditinggal Mas Tutur kerja.” Dahayu hanya menjawab dalam gumaman. Dia lalu bangkit dari kursi taman dan beranjak pergi meninggalkan Sembagi. Sebelum benar-benar pergi dari taman, Dahayu menoleh dan melempar pertanyaan pada Sembagi. “Kamu masak apa hari ini?” tanya wanita itu dengan nada bicara masih tetap ketus. “Belum masak, Ma. Mama mau makan? Mau Agi masakin apa?” “Jadi Tutur berangkat dinas keluar kota nggak sarapan dulu? Kamu kerja nggak kerja kok, nggak ada bedanya, sih?” “Mas Tutur sudah sarapan, kok, Ma. Tadi Agi udah bikin omelette. Makan siang mampir resto sama teman-teman kantornya dan makan malam nanti di hotel aja katanya. Biasanya juga begitu.” Dahayu menggeleng sambil berdecak. “Kamu selalu jadi beban buat anak saya. Kasihan sekali Tutur nggak diurus dengan baik sama istrinya,” cibir wanita itu. “Ma-” Dahayu mengibaskan tangannya ke udara. “Ah, sudahlah. Kalau sampai Tutur mencari kenyamanan lain di luar sana, itu salah kamu sepenuhnya yang nggak becus jadi istri,” ujarnya sambil berlalu meninggalkan taman belakang. Sedih, frustrasi, tertekan, sakit hati tapi Sembagi bingung bagaimana cara mengungkapkan semua hal yang kini tengah dirasakannya. Setiap kali dia mengeluh soal ibu mertuanya pada suaminya, bukannya mendapat pembelaan Sembagi tetap saja menjadi orang yang disalahkan oleh suaminya. Ibu mertuanya itu sama sekali tidak berubah padahal mereka sudah saling kenal selama lima tahun. Namun Sembagi tidak pernah terlihat baik dan benar di mata wanita itu. ~~~ Keesokan harinya ketika Sembagi hendak mandi sore iseng dia membuka ponsel untuk mengirimi chat pada Turangga karena sejak pagi tadi suaminya itu tidak ada kabar sama sekali. Namun amarah Sembagi seketika naik ke ubun-ubun ketika melihat gambar yang tampil di layar ponselnya. Turangga sedang duduk sangat dekat dengan seorang perempuan muda yang tidak Sembagi kenal. Yang membuat Sembagi shock adalah posisi duduk Turangga dengan perempuan itu yang sama sekali tidak berjarak serta pakaian yang dikenakan oleh mereka berdua saat ini. Tanpa pikir panjang Sembagi membalas status pembaruan di kontak ponsel Turangga tadi. Sembagi Arutala: “Mas?” Sembagi Arutala: “Perempuan itu siapa? Kenapa duduknya sampai nempel banget sama kamu?” Balasan dari Turangga baru datang sepuluh menit kemudian setelah perasaan dan pikiran Sembagi semakin kacau memikirkan jawaban apa yang akan diberikan oleh Turangga padanya. Turangga Bumantara: “Dia anak MDP baru. Ikut join di departemen aku. Aku yang jadi tutornya selama masa pendidikannya. Kamu jangan mikir macem-macem ya, Agi Sayangku. Anaknya memang friendly. Dia juga akrab sama temen kantor Mas yang lain juga kok.” Turangga masih bersikeras membohongi Sembagi. Tanpa laki-laki itu ketahui bahwa sang istri sebenarnya sudah memegang banyak bukti perselingkuhan dirinya. Namun Sembagi belum mau mempublikasikan hal itu. Sembagi Arutala: “Ya tapi nggak harus duduk dempetan gitu bisa kali, Mas.” Balas Sembagi menunjukkan sikap berpura-pura bahwa dia peduli dan tidak terima pada tingkah Turangga. Turangga Bumantara: “Ya ampun, Gi. Cuma duduk bareng doang. Ribet amat pikiran kamu. Kalau aku memang niat nakal, ngapain juga aku posting foto itu yang bisa dilihat sama kamu? Aku sengaja posting karena mau nunjukin kalau memang nggak ada hubungan apa-apa sama perempuan itu.” Turangga Bumantara: “Kayak kamu nggak pernah punya teman kantor aja. Kamu juga gimana kalau sama temen kantor kamu dulu. Duduk bareng sambil ngobrol juga, kan?” Sembagi Arutala: “Aku nggak kayak perempuan itu yang nempel-nempel ke suami orang ataupun laki-laki yang nggak ada hubungan keluarga ataupun hubungan persaudaraan denganku, Mas. Aku selalu jaga jarak sama teman-teman kantor aku yang laki-laki. Aku menghormati dan menghargai kamu banget.” Turangga Bumantara: “Udahlah, Gi. Jangan mulai! Aku lagi pusing banget ini sama project kerjaan di sini. Please, jangan nambah-nambahin beban pikiran aku. Aku izin off dulu ya. Kalau chat kamu lama kubalesnya jangan marah. Aku beneran lagi hectic di sini.” Sembagi Arutala: “Ya, udah. Maaf sudah ganggu kerjaan kamu. Kamu jangan macem-macem di sana. Kerja ya kerja aja. Nggak usah ganjen nanggapin anak MDP yang friendly ke semua laki-laki itu. ILYM…” ~ Beberapa hari kemudian ketika Sembagi sedang istirahat siang di kamarnya terdengar suara Dahayu menyerukan namanya dari lantai bawah. Dengan menyeret langkah Sembagi memenuhi panggilan ibu mertuanya itu. Ketika langkahnya sampai di anak tangga paling bawah tiba-tiba ada kotak tisu melayang ke wajahnya dan ujung kotak tersebut melukai keningnya. Dahayu yang melakukan perbuatan itu. “Kebiasaan kamu itu. Bikin orang tua manggil-manggil sampai nunggu-nunggu. Nggak ada sopan-sopannya,” hardik Dahayu. “Saya dari tadi manggil-manggil kamu sampai suara saya serak. Kenapa kamu baru muncul? Sengaja mau bikin saya sesak napas dan kehabisan suara?” Sembagi tidak menjawab ucapan nyelekit yang dikatakan oleh Dahayu. Dia menyentuh keningnya yang terkena ujung kotak tisu. Beruntung tidak sampai berdarah. Namun Sembagi tak memungkiri kalau rasanya sangat menyakitkan. Ibu mertuanya ini memang semakin semena-mena setelah Sembagi tidak bekerja lagi, apalagi ketika Turangga sedang tidak ada di antara mereka. “Kamu pasti lagi males-malesan sambil pakai headset, kan? Makanya tidak mendengar suara saya memanggil kamu?” tuduh Dahayu. “Kamu tidak ada niatan mau minta maaf?” Sembagi menahan diri agar tidak lepas kontrol untuk membalas perbuatan ibu mertuanya. Dia menunggu sampai Dahayu menjelaskan hal apa yang membuatnya tiba-tiba naik pitam seperti itu. “Kamu pasti sudah melihat berita itu, kan?” hardik Dahayu karena Sembagi tak kunjung meresponnya. “Berita apa, Ma?” tanya Sembagi bingung. “Jangan pura-pura tidak tahu kamu. Saya yakin semua yang diberitakan di internet itu tidak benar. Kamu jangan sampai ikut-ikut memprovokasi keadaan. Turangga tidak seperti itu. Saya mendidiknya dengan sangat baik soal adab dan perilaku, jadi dia tidak akan berbuat hal tidak senonoh seperti itu di tempat umum.” Sembagi baru mengerti arah pembicaraan Dahayu setelah ucapan panjang lebar ibu mertuanya. Ini pasti soal berita yang baru saja beredar di internet. Berita tentang foto-foto Turangga sedang bermesraan dengan seorang perempuan muda yang gambarnya tampak buram sehingga wajah perempuan muda itu tidak tampak jelas. Entahlah apa perempuan dalam foto yang beredar di internet itu adalah perempuan yang sama, Sembagi sudah jenuh dan malas mempeributkan soal itu. Dia hanya perlu mengumpulkan bukti-bukti lebih banyak lagi agar bisa meninggalkan Turangga secepatnya. Namun dia tidak menyangka ada orang yang mengekspos foto-foto itu ke khalayak tanpa sepengetahuannya. Membuat Sembagi justru lebih penasaran pada pengirim misterius dan orang yang menyebarkan foto Turangga di internet, ketimbang perselingkuhan yang dilakukan oleh Turangga. “Apa pengirim misterius dengan yang mengedarkan foto-foto itu ke internet beda orang, ya?” tanya Sembagi dalam hatinya. Dia bingung seperti itu karena foto-foto yang beredar di internet tidak pernah dikirim oleh pengirim misterius sebelum tersebar seperti sekarang ini. “Anak saya tidak akan terlibat dalam rumor aneh seperti itu kalau bukan karena kamu. Saat ini dia sedang merintis kariernya, bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup kamu dan dia terlibat dalam rumor aneh. Menurutmu itu masuk akal tidak?” Sembagi tidak menjawab satupun pertanyaan Dahayu. Sembagi malas berdebat dengan Dahayu jika menyangkut soal anak laki-laki wanita itu yang tak lain adalah suaminya. Apa pun yang dia katakan sekalipun itu adalah sebuah kebenaran Dahayu pasti akan tetap menyalahkan dirinya. “Kamu sama sekali tidak merasa bersalah?” tanya Dahyu sekali lagi. “Jawab saya! Apa lidah kamu putus sehingga kamu tidak bisa mengucapkan satu patah kata pun, huh? Atau kamu sedang menentangku?” Dahayu benar-benar geram menghadapi sikap diam Sembagi hingga akhirnya sebuah tamparan melayang di pipi menantunya lalu Dahayu pergi karena tidak tahan dengan ekspresi datar di wajah Sembagi. Sementara itu Sembagi naik ke lantai atas. Di sana ada kakak iparnya, istri mendiang kakak laki-laki Turangga yang telah meninggal dunia, sedang merangkai bunga. Sejak ayah Turangga meninggal dunia dan seluruh aset milik ayahnya termasuk rumah disita oleh bank karena ayah Turangga terlilit hutang bank dalam jumlah yang sangat fantastis, Turangga memang mengajak ibu dan saudara-saudaranya tinggal di rumah besar miliknya. Rumah tersebut dihasilkan oleh Sembagi berkat kerja keras dan kegigihannya selama sepuluh tahun terakhir ditambah dengan hasil penjualan salah satu warisan orang tuanya. Sembagi mengizinkan keluarga Turangga masuk rumahnya selain tidak punya pilihan lain, ia juga merasa rumah yang ditinggalinya terlalu besar kalau hanya dihuni oleh dua orang saja. “Kamu nggak apa-apa? Kenapa lagi Mama? Kelihatannya dia marah besar sama kamu?” tanya Ratna, kakak ipar Sembagi. “Iya, Mbak. Aku nggak apa-apa,” jawab Sembagi dengan ekspresi datar. “Jangan terlalu dimasukkan ke hati. Beliau selalu seperti itu jika menyangkut soal anak laki-lakinya. Semua ibu di dunia juga akan bersikap yang sama dengan Mama,” ujar Ratna. “Tapi aku juga maklumin kamu kalau seandainya kamu ingin marah pada sikap Mama, karena kamu nggak paham rasanya punya anak, kan, Gi?” Sembagi terdiam mendengar kata-kata menyakitkan yang dilontarkan oleh kakak iparnya itu. Berbeda dengan sang ibu mertua, kakak iparnya cenderung halus tutur katanya tapi mampu mengoyak hati Sembagi. “Kali ini apa lagi ulah abang gue yang sok ganteng itu?” sambar suara lain di ruangan ini. Dia adalah Tasya, adik bungsu Turangga yang juga ikut tinggal di rumah Sembagi dan Turangga. “Gue dilarang buka-buka aplikasi X sama temen-temen karena katanya isu yang sedang jadi trending topic menyangkut anggota keluarga ini.” Tasya berjalan ke arah Ratna tanpa memedulikan Sembagi. Ratna menyambut adik iparnya itu dengan suka cita sembari menunjukkan ponselnya pada Tasya. “Beneran kamu belum lihat X sama sekali? Kebetulan aku sudah menyimpan beberapa artikel yang bisa didownload. Tuh, baca aja,” ujar Ratna antusias. Tasya mencibir lalu mengambil alih ponsel milik Ratna. Dia membaca dengan seksama salah satu artikel yang ditampilkan di layar ponsel. “Seorang karyawan senior bank swasta asing ‘NB’ dengan inisial ‘T’ kini tengah menjadi sorotan publik karena melakukan tindakan asusila di dalam ruang ganti salah satu butik fashion brand ternama yang berada di sebuah pusat perbelanjaan. Ya, Tuhan,” ujar Tasya di tengah-tengah membaca artikel tersebut. Sementara Ratna tertawa terpingkal-pingkal mengikuti Tasya yang sudah lebih dulu menertawakan artikel tersebut. Sedangkan Sembagi hanya terdiam dan membuang muka tidak ingin melihat reaksi saudara-saudara suaminya itu ketika membaca keburukan suaminya. Napas Sembagi mulai tidak beraturan karena bukannya berhenti membaca, Tasya justru semakin mengencangkan suaranya. “Meski ruang ganti tersebut adalah ruang VIP dan tidak sembarang orang bisa berada di sama, tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan tersebut karena tempat itu tergolong ruang publik.” Tasya kembali tertawa terpingkal-pingkal seolah baru saja menyaksikan suatu pertunjukan yang begitu lucu. “Emang paling bisa media kalau disuruh bikin berita,” komentar Tasya selanjutnya. “Bukan media namanya kalau nggak pandai bikin berita,” sambung Ratna sambil melirik ke arah Sembagi untuk melihat reaksi adik iparnya, lalu keduanya kembali tertawa. “Menurut lo gimana? Berita ini benar atau nggak?” tanya Tasya pada Sembagi sembari menggoyang-goyangkan ponsel milik Ratna. Sembagi bergeming. Dia sama sekali tidak merespon pertanyaan yang diajukan oleh Tasya karena ia tahu gadis itu hanya sedang memancing emosinya. “Gi, bagaimana kalau suatu hari nanti tiba-tiba Turangga pulang sambil menggendong bayi? Kamu harus lebih sering mengawasi tingkah lakunya. Jangan dibiarin gitu aja. Biar bagaimanapun dia suami kamu,” ujar Ratna sedang menunjukkan kepeduliannya. “Apa dia mau mendengarkan semua omonganku, Mbak? Beberapa bulan belakangan ini sikap Mas Tutur berubah drastis. Dia juga jarang pulang. Sekalinya pulang kami selalu bertengkar dan dia selalu pergi dari rumah tanpa memberi kejelasan apa pun alasan dari perubahan sikapnya itu,” ujar Sembagi dengan nada bicara ketus, lalu meninggalkan Ratna dan Tasya yang sedang menatap kepergiannya. “Dikasih tahu, malah nyolot. Awas saja bentar lagi kamu akan nangis-nangis kalau Turangga benar-benar meninggalkan kamu,” ujar Ratna penuh kekesalan. “Lo bisa aja ngomong gitu, karena suami lo udah meninggal. Jadi lo nggak perlu repot-repot menanggung perasaan curiga, negatif thinking dan overthinking kalau ada yang nggak beres sama sikap suami lo,” cibir Tasya kemudian berlalu dari hadapan Ratna. Sembagi mendengar perdebatan antara Retno dengan Tasya. Entahlah ucapan Tasya tadi bermaksud membela dirinya atau hanya sekadar ingin menghina Retno. Sembagi tidak mau ambil pusing. Dia memilih melanjutkan langkah kembali ke kamarnya. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN