PROLOG
Satu bulan yang lalu…
Malam itu hujan turun dengan sangat deras ditambah dengan angin yang berhembus kencang tak ketinggalan suara petir yang terus menggelegar di angkasa. Sembagi sedang sendirian di rumah karena ibu mertua dan saudara-saudara iparnya pergi berlibur ke Bali. Dia tidak ikut bergabung karena mereka ngotot pergi di hari efektif kerja Turangga, sedangkan Turangga tidak bisa ambil cuti di akhir bulan seperti ini. Sekarang Turangga belum pulang padahal jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sembagi khawatir listrik padam kalau sudah hujan deras disertai angin dan petir seperti ini. Beberapa kali Sembagi mencoba menghubungi ponsel Turangga. Namun tak satupun suaminya itu menghubungi balik atau membalas pesannya.
Hujan sudah berlangsung sudah hampir lima belas menit lamanya. Namun tidak ada tanda-tanda akan reda. Kini Sembagi menggigil ketakutan di balik selimut. Dia takut petir dan khawatir listrik akan padam sesaat lagi. Lalu kemudian ponselnya berbunyi denting singkat diikuti notifikasi pesan dari Turangga muncul di layar ponsel.
Turangga Bumantara: “Agi, aku nggak bisa pulang malam ini. Kamu nggak apa-apa, kan, di rumah sendirian?”
Sembagi membuka lockscreen ponselnya dengan tangan gemetar. Tujuh pesannya untuk Turangga yang bernada kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan hanya mendapat balasan seperti itu. Tidak ada sedikitpun ucapan maaf dan perasaan khawatir, cemas dan takut yang sama seperti yang Sembagi sampaikan di pesannya.
Turangga Bumantara: “Aku lembur. Harus banget ya, aku nginfoin ke kamu berulang-ulang? Kalau aku pulang telat itu pasti lagi lembur, Gi.”
Sembagi Arutala: “Ya, minimal ngabarin, Mas. Apa susahnya ngechat ngabarin kalau lagi lembur doang? Habis kuota kamu cuma buat ngechat aku? Habis energi kamu kalau dipakai buat ngechat aku? Aku itu khawatir setengah mati, Mas. Kamu ngerti nggak, sih?”
Turangga Bumantara: “Kamu jangan kayak anak kecil, dong, Gi. Yang harus apa-apa dingertiin. Lagian ngapain kamu mesti khawatir? Aku nggak ngapa-ngapain. Aku kerja. Di kantor juga ada banyak orang. Apa perlu aku VC sekarang lalu nunjukin semua anggota timku ke kamu biar kamu percaya sama aku? Lalu setelah itu aku merasa malu pada anak buahku karena mereka pikir istriku pasti tidak memberikan kepercayaan sepenuhnya pada suaminya. Itu yang kamu mau? Mempermalukan aku, Gi?”
Sembagi Arutala: “Aku sama sekali nggak punya niat seburuk itu sama kamu, Mas. Aku itu khawatir kalau kamu nggak ngasih kabar apa pun. Aku khawatir kamu sakit atau kecelakaan trus masuk rumah sakit. Bukannya ngarepin tapi cuma khawatir. Aku khawatir juga karena aku cinta sama kamu, Mas.”
Turangga Bumantara: “Ya, udah. Maaf. Aku yang salah, cuma kamu yang paling bener. Aku pulang telat malam ini. Kamu kalau lapar makan duluan aja. Aku makan di kantor bareng yang lain.”
Beberapa menit kemudian Sembagi masih terpaku duduk di pinggiran ranjang dengan kaki menggantung di atas lantai Sembagi meraih ponsel yang tadi diletakkannya di atas nakas. Dia melihat ada pesan dari nomor asing. Kata-katanya hanya sebuah kalimat berbunyi “Anda harus tahu soal ini.” Disertai lima gambar yang tak perlu Sembagi terka-terka karena jelas-jelas di dalam gambar itu adalah Turangga bersama perempuan yang berusia lebih muda dari Sembagi. Kira-kira usianya seusia adik bungsu Turangga. Pose mereka sudah kelewat mesra di mata Sembagi. Tanpa malu perempuan muda itu duduk di atas pangkuan Turangga, lain gambar perempuan itu sedang meliukkan badannya tepat di depan wajah Turangga, memeluk leher Turangga, menyodorkan gelas berisi alkohol ke mulut Turangga, dan yang terakhir dan paling menyesakkan adalah kedua orang itu saling menempelkan bibir.
Sembagi menekan tepat di jantungnya. Bahkan dia nyaris tidak bisa merasakan debar jantungnya sendiri saking lemahnya saat ini detak jantungnya. Kedua kaki dan tangannya gemetar bahkan ponselnya kini sudah lolos dari tangannya. Anehnya air matanya tidak keluar setetes pun. Tangannya kini mengepal penuh amarah. Dia tidak akan membahasnya dengan Turangga. Dia berusaha keras menahan diri untuk tidak bergegas menghubungi Turangga sampai laki-laki itu kembali ke rumah. Karena percuma pikir Sembagi. Bukannya mendapatkan penjelasan yang menenangkan, hatinya akan semakin sakit membaca ketikan dalam chat dari Turangga yang pasti akan punya seribu satu alasan untuk membela diri. Dia akan mencari tahu dan menyelesaikan persoalan ini dengan caranya sendiri.
~~~
^vee^