RIVAL

2276 Kata
Lily heran dengan sikap cuek Kinan. Bagaimana tidak, ia sangat mengenal geng Three Cute sejak SMP. Di masa SMPnya dahulu, geng ini merupakan geng yang terdiri dari tiga anak perempuan yang paling modis dan masing-masing dari mereka adalah anak tunggal dari tiga perusahaan terkenal di kota ini. Bagi Lily, sebuah keberuntungan jika bisa diajak bergabung dengan geng tersebut dan merupakan hal buruk jika Kinan menolaknya. Kinan yang merasakan tengah di perhatikan Lily, terheran mengapa ia memandangnya seperti ini. "Kamu kenapa Ly?" Lily menggelengkan kepala lalu mengambil buku pelajaran dari dalam tasnya. Namun pertanyaan itu masih mengganjal hatinya dan dengan segera ia kembali menatap wajah sahabatnya. "Kamu menolak tawaran Gladys untuk masuk Three Cute. Apa kamu tahu siapa mereka" tanya lily sangat penasaran. "Apa mereka anak raja?" Pertanyaan bersifat mengejek. "Mereka Three  Cute, Dude. Kalau kamu nggak mau bergabung, aku yakin kamu pasti dapat masalah," jawab Lily mengingatkan. "So what?" tanya Kinan dengan gaya khasnya. "Kamu pikir aku takut sama mereka. Hallo, aku Kinan, you know," tambahnya. "Kamu belum tahu mereka, Ki." Lily menyerah dengan sikap sahabatnya. Kinan yang sedang memegang cermin dan sibuk mengenakan lip gloss segera meletakkannya di atas meja. Ia menatap Lily sambil memicingkan kedua mata. "Lily. I'm the boss dan akan selalu seperti itu. OK," seru Kinan penuh penekanan. "Maksudmu..." "Kamu pikir aku mau jadi dayang-dayangnya ehm, Gladys. yeuch," ucap Kinan seolah jijik. Lily tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain menurut dengan Kinan. Bagi Lily, berteman dengan Kinan adalah hal yang luar biasa. Kinan baik, bahkan sangat baik kepadanya. Ia berharap dapat terus berteman dengan baik dengan Kinan. Kinan mencubit kedua pipi sahabatnya, ia berdiri lalu mengajak sahabatnya keluar kelas. Ia berjalan dengan kepala tegak dengan senyum yang ia tebar kepada seluruh murid di sekolahnya. Ia sedang menciptakan imagenya sebagai gadis populer nan baik hati di SMA Negeri dimana ia sedang mencari ilmu. *** Kinan dan Lily sampai di kantin sekolah. Keduanya segera memilih tempat duduk yang berada di tengah kantin. Tempat itu sungguh strategis untuk melihat atau dilihat oleh siapapun yang berada di dalam kantin. Sebagai gadis yang sedang menciptakan image, tentu saja Kinan memilih tempat tersebut sebagai tempat favoritnya. Kinan dan Lily sedang asyik menikmati makanan mereka saat geng Three Cute menghampiri. Gladys berkacak pinggang menatap Kinan yang sedang menikmati semangkok baksonya. "Minggir! Ini tempatku," perintah Gladys. "Cari tempat lain! Aku sudah menempatinya duluan," celetuk Kinan tanpa mengalihkan pandangan. Gladys menarik Lily hingga berdiri dan terdorong ke belakang. Lily tidak berani berkutik, ia hanya berani berdiri sambil melirik takut-takut kepada Revi dan Stevi yang berdiri berkacak pinggang di hadapannya. Kinan meletakkan sendok dan garpu di meja, dengan sangat keras. Rahangnya mengatup, napasnya memburu. Masih dalam posisi duduk, ia menatap Gladys dengan tatapan penuh amarah. Gladys yang merasa ditantang oleh Kinan segera meraih gelas berisi es jeruk dan membuang isinya tepat ke muka Kinan. Wajah Kinan basah kuyup bahkan seragamnya juga terkena imbasnya. Sebagai seorang pemimpin geng, ia merasa diremehkan oleh tingkah Kinan. Kinan terkejut dengan apa yang dilakukan Gladys kepadanya, mulutnya menganga karena terlalu terkejut dengan guyuran es jeruk yang membasahi rambut, wajah dan seragamnya. Kinan yang sangat kesal segera bangkit, memandang Gladys dengan tatapan tajam. "What the hell you doing," amuknya dengan suara keras hingga menjadi pusat perhatian. Mulut Gladys ternganga, begitu pula dengan Revi dan Stevi yang juga tidak menyangka bila Kinan akan melakukan perlawanan. Kinan meraih gelas berisi es jeruk milik Lily dan segera dilemparkan isinya ke arah Gladys. Gladys basah oleh siraman es jeruk, ia menatap tubuhnya yang basah. "Kita impas," kata Kinan datar. Kinan hendak melangkahkan kaki menjauh namun Gladys menahan tangannya.  Gladys yang amarahnya sudah diatas ubun-ubun melayangkan sebuah tamparan cepat hingga Kinan tidak sempat melawan. Merasa disakiti, Kinan balik menampar wajah Gladys. Keduanya segera terlibat pada pertengkaran khas anak perempuan dengan saling menampar dan saling menjambak rambut. Tidak ada satu pun anak yang melerai keduanya. Seolah apa yang dilakukan Kinan dan Gladys merupakan tontonan yang paling menarik. Bahkan beberapa murid perempuan dan laki-laki justru bersorak senang. Ada pula yang memvideo adegan itu. Melihat pertengkaran tersebut, membuat Lily segera berlari keluar kantin menuju kelas Wisnu dan Yudhistira. Saat mengetahui dua anak kembar tidak ada di dalam kelasnya, Lily segera berlari ke gedung olahraga. Lily berlari mendekati Wisnu danYudhistira yang sedang bermain basket. Ia berdiri dengan napas terengah-engah membuat kedua anak kembar itu heran melihatnya. "Kak, Kinan...." Lily masih dengan napas terengah-engah sambil menunjuk arah kantin yang berada dibelakang gedung. Tidak perlu menunggu lama bagi keduanya untuk menangkap maksud Lily. Keduanya segera berlari menuju kantin sekolah. Kantin sekolah telah kosong saat keduanya sampai, keduanya segera ke kantor konseling karena mereka yakin adik mereka telah berada disana. *** Seperti yang ada dalam kepala sepasang anak bongsor tersebut, Kinan benar-benar berada di dalam ruang konseling dan kini sedang di sidang. Wisnu dan Yudhistira saling menatap lalu sama-sama mengedikkan bahu. Keduanya menatap pintu ruang konseling sebelum memilih meninggalkan tempat tersebut. "Lagi-lagi," celetuk Yudistira yang telah paham perangai adiknya. Wisnu menghela napas berat. "Besok Ayah pasti dipanggil. Dasar anak perempuan," ucap Wisnu lemah. *** Bu Emy yang merupakan guru bidang konseling marah besar melihat tingkah dua muridnya. Ia menatap Kinan dan Gladys yang sama-sama basah dan sama-sama dalam keadaan berantakan. Keduanya berdiri berdampingan dengan kepala tertunduk. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan kalian?" tanya Bu Emy geram. "Kinan yang mulai duluan Bu, saya hanya membela diri," jawab Gladys. Kinan melirik Gladys kesal karena ucapannya tidak sesuai dengan kenyataan. "Apa yang kamu bilang? Seluruh anak di kantin tahu kamulah yang memulainya." Kinan tidak terima. "What. Kinan, jujur saja. Aku akan memaafkanmu kok," kata Gladys seolah dia yang paling teraniaya. Mulut Kinan membuka, ia menatap Gladys tidak percaya bahwa ia akan memiliki seorang rival bermuka dua. "Oh, jadi begitu cara mainnya," kata Kinan dengan menahan geraman. Gladys memasang wajah melas kepada Kinan. Berharap apa yang dilakukan dapat membuat Bu Emy percaya bahwa Kinan yang memulai pertengkaran. Gladys menatap sepasang mata Bu Emy dengan tatapan puppy eyesnya. "Maafkan Kinan, Bu. Sayalah yang bersalah," ujarnya dengan suara lemah. "Bu, Ibu harus bersikap obyektif dalam menanggapi sebuah kasus. Sepasang mata bersalah bukanlah sebuah bukti dia memang tidak bersalah," tukas Kinan. Gladys menatap Kinan dengan kerlingan devil sesaat sebelum ia menatap Kinan bagai seorang malaikat. "Maafkan aku, Kinan," kata Gladys bak seorang dramaqueen sedang melakonkan sebuah peran. Kinan menggelengkan kepala dengan seutas senyum meledek terlukis disatu sudutnya. "Jahat tetap saja jahat," gumamnya yang terdengar ke telinga Gladys. "Kenapa kamu membenciku, Kinan?" tanya Gladys, suaranya melemah seperti korban perundungan. "Apa kamu bodoh?" umpat Kinan. Melihat Kinan yang tak bisa menjaga tingkah lakunya, membuat Bu Emy naik darah. "KINAN!" teriak Bu Emy sekuat tenaga. *** Setelah menikmati makan malam, Kinan berjalan ke ruang keluarga dimana Bima dan Kiran sedang duduk sambil menonton TV. Di tangannya terdapat sebuah amplop coklat berisi surat panggilan orang tua. Kinan merasa tidak enak hati karena belum seminggu sekolah, ia sudah memberikan oleh-oleh surat panggilan orang tua kepada Ayahnya. Gara-gara Gladys sialan, awas saja ya, umpatnya dalam hati. Melihat Kinan yang berdiri di ambang pintu ruang keluarga membuat Bima memicingkan mata. Cukup melihat gestur tubuh anaknya, ia tahu Kinan sedang kena masalah. Demi menjaga kedamaian rumah, ia segera bangkit dan segera membawa putrinya masuk ke dalam ruang kerjanya. Ia tak henti-hentinya menarik napas dalam berharap alarm itu tidak benar-benar terjadi. Di dalam ruang kerjanya, Bima menangkup wajahnya sambil membaca selembar surat berisi panggilan orang tua yang harus ia hadiri esok hari. Ia menatap wajah Kinan yang duduk di hadapannya dengan wajah layu. "Ceritakan kepada Ayah, semua yang terjadi!" "Sumpah deh, Yah. Kinan gak bikin ulah kok. Dianya saja yang seenak perutnya nyiram aku pake es jeruk. Kinan sakit hati, Yah," kata Kinan penuh emosi. "Sayang. Ayah kecewa, kamu tidak bisa menjaga emosimu," kata Bima pelan namun kalimat itu seolah menusuk hati Kinan. Sepasang mata indahnya segera di hiasi air mata, namun  ia segera menghapus airmata itu berusaha meredam sendiri perasaannya. "Maafkan Kinan. Kinan selalu membuat Ayah malu. Kinan ...." Kinan tidak melanjutkan ucapannya, isak tangis memecah suasana. Bima segera bangkit dan segera memeluknya erat. Ia membiarkan Kinan menangis hingga puas. Setelah tangisnya reda, Bima berlutut mensejajarkan tinggi badannya dengan Kinan. Ia mengurung tubuh putrinya antara tubuhnya dan kursi. "Ayah tahu, Kinan tidak sepenuhnya salah. Tetapi, sesuai dengan peraturan yang telah kita sepakati. Kinan harus mendapatkan hukuman dari Ayah. Mengerti?" kata Bima dengan suara rendah namun terdengar tegas. "Iya, Ayah. Kinan mengerti," lirihnya. Sejak pertama kali Kinan membuat Bima harus berurusan dengan pihak sekolah. Bima memberlakukan sebuah hukuman bila Kinan mengulang kesalahannya. Bima akan memotong jumlah uang saku Kinan selama satu bulan penuh dan tidak boleh ada gadget maupun hiburan lain selama itu. Tidak ada TV, Radio dan laptop akan disita sehingga bila Kinan memiliki tugas yang memerlukan komputer, ia harus mengerjakannya di ruang kerja Bima dan di bawah pengawasan ayahnya. Hukuman tersebut telah disepakati dan hukuman terus berlipat jangka waktunya sesuai dengan jumlah Bima yang harus datang ke sekolah. Kinan menundukkan kepala, bagaimana pun juga ia merasa berat melepas gadgetnya, tapi apa boleh buat. Sekali lagi ia memeluk ayahnya sebelum bangkit dan keluar ruangan Bima dengan langkah gontai. Bima hanya dapat geleng-geleng kepala melihat Kinan yang selama ini tidak hentinya berbuat ulah. Untung punya satu anak perempuan, kalau punya dua saja. Bisa anfal aku karena kena serangan jantung, gumamnya dalam hati. *** Keesokan harinya, Bima duduk pasrah mendengar aduan yang meluncur dari Bu Emy, tentang tingkah laku Kinan yang sangat tidak terpuji. "Saya sangat menyesal karena harus memberikan peringatan tegas ini kepada putri anda, Pak. Saya pribadi juga tidak menyangka putri anda dapat ...," ucapan Bu Emy tertahan. "Saya mengerti, Bu. Sekali lagi maafkan tindakan putri saya yang membuat sekolah ini terganggu," kata Bima menyesal atas tindakan putrinya. "Ini peringatan keras bagi Kinan, selain itu saya juga memberlakukan hal yang sama kepada murid lain yang bertengkar dengannya," tegas Bu Emy. Bima menganggukkan kepala tanpa melawan. Ia menarik napas dalam, berusaha menetralkan pikiran dan hatinya yang sedang berkecamuk. Setelah selesai, Bima bangkit dan menyalami wanita bertubuh tambun tersebut. Sekali lagi, ia meminta maaf atas kesalahan Kinan sebelum keluar. *** Di luar ruangan, Kinan berdiri menunggu Bima dengan tidak sabar. Ia menyesal karena dengan mudahnya tersulut amarah. Meski ayahnya tak pernah tampak marah, namun hal itu justru membuatnya semakin merasa bersalah. "Ayah."  Kinan mendekati ayahnya dengan perasaan cemas. Bima hanya tersenyum, membuat hati Kinan lega sekaligus sedih. Ia meminta maaf untuk ke sekian kalinya. Keduanya berjalan melewati koridor sekolah. *** Lain Kinan lain pula dengan Gladys. Ii berjalan di koridor sekolah bersama papinya yang terus memarahinya. "Dasar anak pembawa masalah. Papi harus menunda jadwal penting Papi gara-gara kebodohanmu," umpat Papi Gladys. "Pap, sudah Gladys bilang. Ini semua bukan kesalahan Gladys. Kinan yang mulai duluan." Gladys melirik Papinya, ia menghentakkan satu kakinya karena sangat marah. "Halah. Kamu kira Papi tidak tahu kesalahanmu. Dasar anak tidak tahu diuntung. Sudah dituruti semuanya masih saja...." "Pak Gunawan." Kata-kata Papi Gladys tertahan oleh sebuah panggilan dari seorang pria yang sangat ia kenal. "Pak Bima." Gunawan memandang Bima bersama anak perempuan seusia Gladys. "Jangan-jangan ..." Sangat mudah menerka dengan siapa Gladys bermasalah. Bima dan Kinan berada tak jauh dari ruang konseling saat bertemu dengannya. "Jadi dia putri, Bapak. Ehm." Senyum tipis menghiasi wajah Kinan. "Kinan. Jadi gadis yang bertengkar dengan anak, Om, itu kamu?" tanya Gunawan tidak percaya. "Maafkan saya, Om. Karena saya, Om harus repot datang ke sekolah. Sungguh, Kinan menyesal karena terbawa emosi." Gunawan tersenyum kepada Kinan. "Tidak Kinan. Om, yang minta maaf karena putri Om membuatmu terganggu," ujar Gunawan. "Tidak, Pak. Putri saya juga bersalah. Saya pastikan, dia mendapat hukuman karena ulahnya." Bima sambil melirik putrinya. "Tidak usah, Pak. Saya yakin, anak saya yang bersalah. Jadi untuk apa Bapak menghukum putri Bapak." Gunawan tidak enak hati. "Tidak, Om. Ayah saya benar. Bagaimana pun, saya juga salah. Jadi saya terima hukumannya," sanggah Kinan. "Kamu gadis baik, Kinan. Kamu menerima hukumanmu dengan ikhlas. Om bangga padamu," puji Gunawan. Kinan tersenyum mendengar pujian dari Gunawan namun hal ini justru membuat Gladys mendecih pelan. Kinan mendengar decihan itu, ia hanya melirik sambil tersenyum penuh kemenangan. "Gladys. Maafkan aku ya. Aku mengaku salah padamu. Aku minta maaf." Kinan mengulurkan satu tangannya. Gladys menatap Kinan dengan tatapan jijik, ia merasa Kinan tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Namun ia tidak mau memperkeruh suasana, ia ikut tersenyum dan membalas jabat tangan Kinan. "Maafkan aku juga, Kinan. Mulai sekarang kita berteman baik ya."  Gladys sok manis. Kinan menarik tangan Gladys dan memeluknya erat. Sekalipun ia enggan berteman dengan Gladys namun ia juga tidak ingin memiliki musuh selama ia bersekolah. "Jadilah anggota Three Cute maka aku akan melupakan masalah ini," bisik Gladys dengan wajah masih dihiasi senyum. "Menjadi dayang-dayangmu? mimpi saja," "Kalau begitu. Bersiaplah?" "Haha, kamu pikir aku takut." "Kamu tidak tahu siapa aku." "Let see. B***c," yandas Kinan dengan umpatan kasar. Gladys berusaha menahan emosi. Tidak menyangka Kinan melawannya secara terang-terangan. Ia melepas pelukannya dan menatap Kinan dengan senyum munafiknya. Sama halnya dengan Kinan yang juga tersenyum munafik kepadanya. Gunawan dan Bima tersenyum melihat kedua putri mereka tampak saling berbaikan. Bima meraih Kinan dan merangkulnya. Kinan menengadah menatap wajah Bima dengan senyum khasnya. "Saya harus ke kantor sekarang dulu. Kapan-kapan, kita bisa berbincang kembali," pamit Gunawan. "Ya, saya juga berharap. Kedua putri kita dapat berkawan baik. Benarkan, Sayang?" kata Bima diakhiri pertanyaan kepada Kinan. "Tentu saja, Ayah. Kami pasti bisa berteman baik," ucap Kinan dengan lirikan tajam yang ia tujukan kepada Gladys. "Bagaimana denganmu?" tanya Gunawan kepada putrinya. "Tentu, Papi," jawab Gladys dengan hadiah lirikan tajam yang ia berikan kepada Kinan. "Baik, Pak Gunawan. Saya masih ada keperluan. Saya pamit dulu." Bima berjalan bersama Kinan. Saat Kinan dan Gladys berpapasan, keduanya saling melirik dengan lirikan seolah sedang menghunus pedang. Kinan dan Gladys, dua gadis yang sama-sama berharap dapat menjadi siswi paling populer disekolah mereka. Lalu bagaimana dengan kisah selanjutnya..?? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN