Lara menatap lama deretan pesan dari Dipta di layar ponselnya. Matanya berulang kali membaca kalimat yang sama, tapi rasanya seperti ada beban yang makin menekan dadanya. ‘Kenapa, Mas… kenapa harus kirim pesan kayak gini?’ Ada rasa sedih, tidak tega, dan sesak yang sulit diungkapkan. Ia bisa merasakan betul betapa hancurnya hati Dipta dan dirinya sendiri. Perasaan yang selama ini ia coba kubur muncul lagi, seperti akar pohon besar yang diam-diam tumbuh di dalam tanah, lalu menyembul ke permukaan. Ia menutup mata sebentar, menarik napas dalam. ‘Lara… kamu sudah memilih jalan ini. Kamu harus bertahan. Bukan sama Dipta.’ Tapi, kalimat itu tak cukup kuat menghapus wajah Dipta yang tiba-tiba saja hadir di pikirannya, wajah yang selalu sabar, yang dulu membuatnya selalu merasa aman. Berbe

