Chapter 1

930 Kata
Bab 1 “Ma, ini ada hadiah kecil dariku. Mohon diterima, ya.” Aku mengulurkan kantong plastik berwarna hitam yang berisi kado untuk hadiah ulang tahun ibu mertuaku. “Oh, iya … taruh saja di situ,” ucapnya dingin sambil kembali menyalami tamu-tamu lain yang datang. Aku tersenyum hambar. Kemudian mengambil kursi dan duduk sambil menunggu Mas Alka datang. Suasana terasa canggung. Sebagai menantu baru yang belum mendapatkan restu, merupakan sebuah tantangan besar untuk datang sendirian di acara seramai ini. “Hai, Mama. Selamat ulang tahun, ya. Ini aku bawakan hadiah buat Mama. Kami beli di Bali kemarin waktu Mas Hamish dapat tugas luar di kantor papa,” ucapnya sambil tersenyum lebar. Dialah Mbak Mirna—kakak iparku—istrinya Mas Hamish, yang merupakan anak pemilik perusahaan furnitur tempat Mas Hamish bekerja. “Ya ampun, mantu kesayangan mama. Gak usah repot-repot padahal. Kamu itu ya, selalu saja memanjakan mama sama barang-barang mahal kayak gini,” ucapnya sambil memeluk Mbak Mirna. Tampak sekali ada binar bahagia di mata wanita yang sudah melewati paruh baya itu. “Gak apa, Ma. Buat mama apa sih yang enggak,” ucap Mbak Mirna setelah saling melepas pelukan dengan ibu mertuaku. “Iya, makasih banyak ya, Mir. Ayo makan dulu.” Mama menggandeng Mbak Mirna melewatiku menuju stan makanan yang tertata rapi. Sudut mataku mengikutinya. Tampak wanita itu mengambilkan beberapa puding dan buah untuk Mbak Mirna. Dia mengantarkan Mbak Mirna duduk di meja yang berseberangan denganku. Sementara padaku, tak lagi menoleh atau menyapa. Aku sesekali menengok ke luar, berharap Mas Alka segera datang. Keberadaanku di sini sudah seperti siluman yang ada, tapi tidak kelihatan. “Bu Tuti beruntung banget punya mantu kayak Mirna ini, ya. Baik, cantik, kaya, bikin kami iri,” ucap beberapa ibu-ibu teman arisan ibu mertuaku kalau tidak salah. Mereka duduk serta mengelilingi Mbak Mirna. “Iyalah … gak kayak pilihan si Alka. Sudah gak dikasih restu juga tetep aja ngeyel anak itu. Padahal sudah berkali-kali saya bilang kalau nikah sama orang miskin, nantinya hanya akan merepotkan.” Kudengar ibu mertuaku memelankan ucapannya, tapi tetap saja jarak yang tidak cukup jauh masih bisa mendengarnya. Wajahku terasa panas dan malu ketika kumerasa beberapa sudut mata beralih memandang ke arahku. Aku duduk dengan kikuk. Ingin rasanya langsung berlari meninggalkan ruangan ini. “Padahal dulu kan Bu Tuti sudah mau mantu sama si Ratna, anak juragan kontrakan itu ‘kan?” timpal seorang wanita seumuran ibu mertuaku. “Makanya, saya berkeras dulu melarang Alka nikahin wanita kampungan itu, dasar ngeyel juga bocahnya. Tetep aja nekat. Kalau udah gini, ya mau gimana lagi?” Suara ibu mertuaku tetap terdengar meskipun dipelankan. Ada rasa nyeri menjalar ke dalam d**a. Sehina itukah aku di matanya? “Hai, Mbak Mirna.” Ajeng kali ini yang datang. Adik Mas Alka. Dia belum menikah. Selama ini dia yang paling bersikap baik padaku. Namun, dia datang bersama dua saudara iparku yang lain. Mbak Sari yang seorang perawat merupakan istri dari Mas Hamdan—anak pertama di rumah ini dan Mbak Melda yang orang tuanya tengkulak sapi dan katanya memiliki peternakan merupakan istri dari Mas Hadi—anak kedua. Mereka tampak cipika-cipiki dan mengobrol sebentar. Tampak mereka menyerahkan kado yang disambut hangat oleh ibu mertuaku dan langsung dipisahkannya. Berbeda dengan kado dariku yang dibiarkan saja teronggok bersama kado-kado tamu yang lain. Mungkin dia berpikir kadoku terlalu biasa. “Eh, Mbak Madina. Ayo gabung sini.” Ah rupanya Ajeng baru melihat keberadaanku. Dia melambaikan tangan sambil memasang senyuman. Aku mengangguk dan tersenyum padanya juga. Sementara yang lain hanya menoleh dan menatap datar padaku. “Hush, mejanya udah gak muat juga. Biar saja dia di sana.” Kalimat yang terlontar spontan dari wanita yang melahirkan suamiku itu kembali menciutkan nyaliku. Aku merasa begitu kecil di antara mereka. “Ih, Mama.” Ajeng mendengus lalu beranjak berdiri. Gadis periang itu menghampiriku yang duduk bersama dua orang tamu yang baru saja datang. “Mbak, maafin ya kalau sikap mama masih kayak gitu.” Ajeng menyalamiku dan memelukku sekilas. Dia tampak merasa tidak enak. “Gak usah dipikirkan, Jeng, Mbak gak kenapa-kenapa, kok,” ucapku berbohong. “Mas Alka mana?” Gadis itu mencari keberadaan kakaknya. “Tadi masih jualan katanya,” ucapku sambil tersenyum. Teringat Mas Alka yang bekerjanya hanya berjualan pecel ayam sambil menjaga parkiran di depan mini market, bahkan dia pun bilang selalu dibeda-bedakan dengan ketiga kakaknya yang sudah sukses. Ajeng mengangguk. Namun, gawainya berdering. Ajeng mengangkat telepon dan menjauh. Dia mengisyaratkan untuk berpamitan padaku. Aku kembali sendirian. Merasa semakin canggung dan tidak nyaman. Mas Alka bukan tanpa alasan hanya menamatkan pendidikannya hingga SMA dan tidak kuliah seperti ketiga kakaknya yang lain. Waktu Mas Alka baru saja tamat SMA, almarhum ayah mertuaku meninggal katanya. Jadi, tidak lagi ada yang mencari nafkah untuk membiayai kuliah. Sementara Ajeng masih duduk di kelas satu sekolah menengah atas dan sedang membutuhkan biaya besar juga. Tidak cukup uang pensiunan dari pegawai pemerintahan almarhum ayah mertua jika harus menutup kedua biaya itu. Karena itulah Mas Alka mengalah. Kini karir dan kehidupan Mas Alka jauh berbeda dengan ketiga abangnya. Sementara Ajeng beruntung karena memiliki calon orang kaya. Jadi, setelah menikah nanti dia akan meneruskan pendidikan katanya. “Dina, daripada bengong di sini mending kamu bantuin Bi Romsih di belakang.” Aku tidak sadar, tahu-tahu ibu mertuaku sudah berdiri di depan. “Iya, Ma. Bantuin apa?” Aku mendongak ke arahnya. Dia menunjuk piring-piring dan gelas kotor di sudut ruangan. “Itu bawain ke belakang. Terus cuciin sekalian. Kasihan Bi Romsih dari pagi tadi gak henti-henti bekerja,” ucapnya datar. Aku mengangguk. Lagipula aku sudah tidak nyaman berada di sini. Aku bolak-balik mengambil gelas dan piring-piring kotor itu ke dalam. Benar saja, Bi Romsih tampak sudah kelelahan. Kasihan sekali dia bekerja sendirian. Entah pada kali ke berapa aku membantu Bi Romsih. Kudengar suara lantang yang kukenal. “Aku tidak mengirim istriku untuk menjadi pembantu di sini, Ma. Kenapa dia sibuk mengambil piring dan gelas kotor, sementara kalian enak-enakan makan?” Kudengar suara itu. Aku menoleh dan tertegun. Mas Alka menatap ke arah ibu mertua dan para iparku yang tampak sedang asyik makan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN