Chapter 2

997 Kata
Bab 2 “Aku tidak mengirim istriku untuk menjadi pembantu di sini, Ma. Kenapa dia sibuk mengambil piring dan gelas kotor sementara kalian enak-enakan makan?” Kudengar suara itu. Aku menoleh dan tertegun. Mas Alka menatap ke arah ibu mertua dan para iparku yang tampak sedang asyik makan. “Bukan begitu, Alka. Dia yang mau dan menawarkan diri sendiri, kok. Mama ajak gabung aja dia malah nolak.” Pintar sekali dia memutar balikan fakta. Mas Alka menatapku tajam dan melemparkan pertanyaan. “Apakah benar semua itu, Dek?” Netra Mas Alka menatap padaku. Semua sorot mata tamu pun tertuju padaku akhirnya. “Iy-iya.” Aku mengiyakan, tapi disertai dengan anggukan ragu. Aku hanya tidak ingin terjadi keributan di acara ini. Tidak enak dilihat orang. Mas Alka menghampiriku setelah melirik sinis pada meja yang ditempati ibu mertua dengan ipar-iparku. Sepertinya dia tidak sepenuhnya percaya, tapi bagaimanapun juga aku sudah mematahkan tuduhannya. Maafkan aku, Mas. “Tuh kan, kamu dengar sendiri jawaban Madina. Dia memang menawarkan diri, bosan katanya. Mama udah larang juga tadi, tapi dia berkeras,” ujarnya dengan penuh percaya diri. Aku menghela napas. Sudahlah tidak perlu lagi diperpanjang dan diperdebatkan. Aku menantu baru di keluarga ini, sudah sepantasnya aku mengalah dulu dan menghargai semuanya. “Dek, beneran apa yang dikatakan mama? Kamu memang inisiatif menawarkan diri?” tanyanya menatapku. Sekali lagi aku mengangguk. Aku tidak mungkin memperkeruh keadaan. Tidak ingin suamiku berbuat kekacauan di hadapan banyak orang. Kalau pun kubantah, yang ada ibu mertuaku pasti akan semakin meradang, dan aku yakin dia tidak akan mengakui semuanya di depan banyak orang. “Iya, Mas. Aku bosen tadi … lagian kasihan Bi Romsih sibuk sendirian.” Akhirnya, kalimat itu yang keluar dari mulutku meski bertentangan dengan hati yang sebenarnya geram. Mas Alka tersenyum miring. Dia mengusap pucuk kepalaku yang terbalut kerudung. “Mas tahu apa yang ada dalam pikiranmu, Dek,” ucapnya. Lalu Mas Alka memintaku meletakkan gelas dan piring kotor itu kembali ke atas meja. Dia menggamit jemariku dan mengajakku berjalan menghampiri mereka. “Ma, sekarang sudah ada aku. Madina biar duduk saja di sini menemani aku makan. Dia pastinya gak akan bosan lagi,” ucapnya datar. “Ma, selamat ulang tahun, ya. Maafkan aku kalau belum bisa menjadi anak yang mama banggakan. Namun, bagiku, mama tetap mendapat kedudukan yang tinggi di hati ini.” Mas Alka memeluk wanita itu. Tampak sangat tulus ucapan itu terlontar dari mulutnya. Kutatap sekilas wajah ibu mertuaku, tampak datar saja. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Namun, tidak baik berburuk sangka, meski aku tahu jika Mas Alka bukan anak kesayangannya. “Ehmmm. Ngasih ucapan doang, kadonya mana?” Kudengar Mas Hamdan yang sudah berdiri di belakang suamiku menyapa. Mas Alka melepas pelukan pada ibunya. Suamiku menoleh dan mengulas senyum pada lelaki yang berdiri tidak jauh darinya itu. “Aku memang belum bisa ngasih kado mahal, tapi setiap malam aku selalu panjatkan doa. Sesuatu yang pastinya lebih berharga daripada sekadar harta,” ucap Mas Alka. Ya, kami hanya membeli satu kado dengan uang tabungan yang sudah kami kumpulkan. Mas Alka selalu bilang ingin memberikan hadiah yang berkesan untuk ibu tercinta. Aku pun setuju, sebagai menantu sudah selayaknya mendukung suami untuk berbakti pada ibunya. Mas Hamdan berjalan dan menghampiri ibu mertuaku. Padahal sejak tadi mereka diam saja, ketika Mas Alka datang seolah sengaja ingin menunjukkan kekayaan di depan kami. “Ma, selamat ulang tahun, ya. Ini kukasih sesuatu buat mama agar bisa gesek belanja di mana saja,” ucapnya sambil mengeluarkan sebuah kartu kredit. Maklum Mas Hamdan bekerja di bank. Jadi, baginya mudah untuk mendapatkan fasilitas kartu kredit seperti itu. Tampak wajah ibu mertuaku berbinar. Wanita lima puluh lima tahun itu tersenyum lebar. Ditepuk-tepuknya pundak Mas Hamdan setelah melepas pelukan. “Kamu itu memang anak mama yang selalu paling ngerti keadaan mama. Makasih, Ndan,” ucapnya dengan semringah. Dia segera memasukan kartu kredit itu pada tas kecil yang disimpannya di atas meja. Sementara Mas Hadi dan Mas Hamish masih belum beranjak dari meja tempat duduk mereka. Selama ini yang tampak paling tidak ingin tersaingi keberadaannya di depan ibu mertuaku memang hanya Mas Hamdan. “Hadi. Hamish. Ayo sini … mama mau potong kue,” ucap ibu mertuaku sambil menoleh ke arah Mas Hadi dan Mas Hamish. Keduanya berdiri dengan enggan dan berjalan menghampiri meja. Kemudian menjatuhkan bobot mereka di sisi yang berlawanan dengan kami. Aku duduk bersisian dengan para iparku dan Mas Alka. Ibu mertua dan Mas Hamdan duduk di meja seberang. Sementara Ajeng, entah ke mana dia menghilang. Kue akhirnya dia potong-potong. Setelah MC memandu membacakan doa. Potongan-potongan itu disimpannya dalam piring kecil. Ibu mertuaku memberikan potongan kue pertamanya pada Mas Hamdan—anak tertua sekaligus anak yang paling disayanginya. Kemudian potongan kedua diberikan pada Mas Hadi, menyusul potongan-potongan berikutnya dibagikan untuk pada anak dan menantunya yang lain. Potongan kue lainnya diberikan pada Ajeng dan calon suaminya yang baru saja datang. Baru setelah semua selesai dia memberikan potongan terakhir pada Mas Alka dan menyimpan dua sendok di atasnya. “Bu, kok cuma satu?” tanya Mas Alka tidak terima, karena menantu yang lain masing-masing diberikan satu porsi juga. “Ini buat ponakan-ponakan kamu nanti, sebentar lagi Hamzah, Elena sama Miranti sampai. Tadi lagi dianter supirnya Hamdan pergi ke supermarket sebentar,” ucapnya sambil melirik ke arah Bi Romsih yang kebetulan sedang lewat setelah mengambil piring-piring kotor. “Bi, ini nanti bawa ke dalam. Buat cucu-cucuku nanti,” ucapnya sambil mengulangkan tangan. “Iya, Bu.” Bi Romsih gegas menghampiri tempat duduk kami. “Ini sekalian juga simpan saja, Bi. Buat ponakan saya saja.” Mas Alka menaruh kembali kue dalam piring kecil itu dan mendorongnya ke arah Bi Romsih. “Iya gak cocoklah kue mahal kayak gini di lidah kamu, Ka. Lagian gak sebanding sama kadomu juga. Kado saja kamu cuma ngasih satu, ‘kan? Itu juga gak tahu harganya berapaan?” celetuk Mbak Mirna sambil menyuap kue ulang tahun ke mulutnya. “Makanya jadi orang itu jangan suka membangkang, Ka. Kebanyakan gak nurut sih sama orang tua. Coba kamu dulu nikah sama Ratna, sudah pasti kamu hidup senang juga. Bisa beli kado mahal buat Mama.” tambah Mbak Melda sama pedasnya. Tanpa kusangka Mas Alka menggebrak meja hingga membuat semuanya terkejut dan menarik perhatian para tamu yang sedang menikmati hidangan. “Istriku memang tidak berpendidikan tinggi dan kaya raya seperti kalian. Namun, istriku kudidik untuk bisa bersikap santun dan menjaga ucapan. Apakah kalian tidak pernah belajar tata krama di sekolah, bagaimana caranya menjaga lidah? Buat apa cantik dan kaya kalau tidak berbudi pekerti dan hanya memelihara kedengkian?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN