Chapter 3

969 Kata
Bab 3 “Istriku memang tidak berpendidikan tinggi dan kaya raya seperti kalian. Namun, istriku kudidik untuk bisa bersikap santun dan menjaga ucapan. Apakah kalian tidak pernah belajar tata krama di sekolah, bagaimana caranya menjaga lidah? Buat apa cantik dan kaya kalau tidak berbudi pekerti dan hanya memelihara kedengkian?” Ucapan Mas Alka yang lantang, telak membuat wajah Mas Hadi dan Mas Hamish merah padam. Mereka saling melempar pandangan. Begitu juga wajah Mbak Mirna dan Mbak Melda sama geram tampaknya. “Alka. Tolong diam. Kamu harusnya bersikap sopan pada orang yang lebih tua. Jangan seperti ini. Tolong hargai acara mama, Ka. Jangan membuat malu nama keluarga di muka umum,” ucapannya secara tersirat seolah menyebutkan jika Mas Alka yang membuat malu. Padahal kan dua menantunya itu duluan yang memancing keadaan. Mas Alka berdiri dan menggamit jemariku. Dia tidak lagi melayani perdebatan yang menyita waktu dan tenaga itu. Langkahnya mengayun cepat hingga cukup keteteran kumengikutinya. “Mas mau ke mana?” tanyaku ketika aku sudah berhasil menjejeri langkahnya. “Kita pulang,” ucapnya datar. “Iya, Mas.” Aku mengerti dan tidak lagi banyak membantah. Kuikuti ayunan langkah cepatnya menuju parkiran di mana sepeda motor kami ada di sana. “Mbak Dina. Mas Alka.” Kudengar teriakan Ajeng dari belakang. Gadis itu berlari memburu ke arah kami. Mas Alka menoleh, begitu pun aku. Dia sedang mengambilkanku helm kala itu. “Kalian mau ke mana?” Ajeng tampak terengah-engah mengejar kami. Beruntung dia memakai sepatu kets. Jadi, bisa berjalan cepat tanpa susah. “Pulang,” jawab Mas Alka sambil menyodorkan satu helm padaku. “Kalian jangan pulang, kan habis acara mama mau lanjut ke acara peresmian pertunanganku sama Mas Gibran. Masa Mas Alka sama Mbak Dina gak mau kasih aku doa restu, sih?” rengeknya. Tampak gelayut mendung menghiasi wajah cantiknya. Suamiku menghela napas. Dia menoleh padaku seolah meminta pertimbangan. Dengan berat aku mengangguk. Selama ini, Ajeng merupakan keluarga yang paling baik menerima kami. Kasihan juga, dia tidak terlalu dekat dengan ketiga kakaknya yang lain. Mungkin karena perbedaan usia juga, Mas Alka dan Ajeng hanya terpaut tiga tahun. Aku pun seumuran dengannya. Berbeda jauh selisih dengan ketiga kakaknya yang lain. “Please, Mbak.” Ajeng berjalan mendekat dan menggelayuti tanganku. “Mas cuma malas sama kakak-kakak iparmu di dalam,” ucap Mas Alka tampak enggan. “Kalian nunggunya di meja terpisah saja bareng Mas Gibran,” ucap Ajeng sambil memelas. Kumelirik Mas Alka. Dia tertegun sejenak, tapi kuyakin dia tak akan menolak. Baginya Ajeng adalah saudara kesayangan. “Baiklah, ayo.” Benar saja dia kembali turun dari sepeda motor. Meminta helm yang tadi diserahkannya padaku. Kami kemudian berjalan beriringan kembali masuk ke dalam. Ajeng menyiapkan satu meja terpisah. Dia memanggil Gibran yang tampak masih berbaur di meja utama. Entah kesibukan apa di sana, tampak heboh dan ceria sekali. “Mas, duduknya di sini saja, temani Mas Alka, yuk.” Ajeng menelpon calon tunangannya. Lelaki itu tampak mengangguk setelah menerima panggilan dari Ajeng. Dia berjalan dan menghampiri meja kami. “Siang, Mas, Mbak,” sapanya santun. Mas Alka mengangguk dan mengulas senyum. “Siang,” jawab suamiku singkat. “Sedang ada acara apa sih di sana? Rame banget pada ketawa-ketawa?” tanya Ajeng sambil menatap calon tunangannya. “Lagi buka kado, tapi dari para teman arisan mama dulu. Yang dari kita sih kayaknya belakangan. Khusus keluarga, katanya,” ucap Gibran. “Ooo ….” Hanya itu yang keluar dari mulut mungil gadis itu. Aku duduk sambil sesekali memperhatikan raut wajah suamiku. Namun, tampak datar saja. Jadi, susah menerka isi hatinya sekarang. Kami mengobrol ringan. Ajeng sibuk wara-wiri mengambilkan makanan untuk kami di sini. Meski tak ada lagi makanan yang kusentuh karena selera makan sudah hilang. Tidak lama, suara MC terdengar meminta perhatian. Semua mata tertuju pada meja utama yang sejak tadi dijadikan pusat acara. “Sekarang, kita mulai membuka kado dari keluarga, ya. Kado yang pertama dari anak dan mantu pertama. Kira-kira apa isinya?” Semua mata memandang bungkusan kado berpita indah. Tampak cantik. Ibu mertuaku dengan semangat membukanya. Tidak lama, dia mengeluarkan satu set gamis mewah pemberian dari Mbak Sari. “Wah, gamis yang cantik dan elegan. Cocok banget untuk Bu Tuti, ya. Dari warna dan coraknya. Memang Bu Sari ini menantu yang pintar mengambil hati,” ucap MC sambil ikut memegang gamis itu dan menunjukkannya ke depan para tamu yang ada. “Hamdan sama Sari ini memang selalu memperhatikan orang tuanya. Gak salah kalau jadi anak mantu kesayangan saya,” ucap ibu mertuaku dengan semringah. “Ok, lanjut dengan kado yang kedua … biar adil kita urutkan saja ya. Jadi, yang kedua ini dari anak keduanya, yaitu Mas Hadi dan Mbak Melda. Coba apa, ya, isinya?” ujar MC melanjutkan acara. Tampak setelah bungkusan kado yang mengkilap itu tersobek, menampilkan isinya. Ada dua pasang sandal bermerk. Wajah ibu mertuaku tampak semringah. Sepertinya Mbak Sari janjian dengan Mbak Melda untuk memberikan kado itu, buktinya mereka memberikan kado yang saling melengkapi. Kini MC melanjutkan acara dan membuka kado dari Mbak Mirna dan Mas Hamish. Dengan semangat ibu mertuaku membuka bungkusan yang cukup besar itu. Matanya berbinar seketika tatkala tampak satu tas branded keluar dari dalam. Tas yang katanya oleh-oleh perjalanan dari Bali itu dipamerkannya ke depan para teman arisannya. Kini giliran kado dariku yang akan dibukanya. Tampak sedikit malas ibu mertukau mengambil bungkusan mungil yang tadi kuberikan. Dia perlahan menyobek kertas kado dua ribuan yang kujadikan pembungkus kado. Aku lihat ekspresinya tampak datar. Setelah bungkusnya terbuka tampak masih ada kotak di dalamnya. Ya, kotak yang Mas Alka buat khusus untuk membungkus isi kado itu. “Kira-kira apa, ya isinya?” Mbak Mirna mengambil alih mic dari MC yang sejak tadi memandu jalannya acara. “Sandal jepit!” pekik Mbak Melda sambil tertawa. Sementara Mbak Sari sudah mulai disibukkan oleh rengekan putranya, Hamzah. Yang usianya sudah menginjak enam tahun. Sepertinya anak itu sudah bosan. “Paling gamis seharga seratus ribuan,” celoteh Mbak Mirna sambil tersenyum miring. “Ka, ini susah banget sih bukanya?” Ibu mertuaku melirik ke arah meja kami. Kunci kotak itu menggunakan gembok kecil. Mas Alka berdiri dan berjalan menghampiri ibu mertuaku yang sejak tadi kesulitan untuk membuka lubang kunci itu. “Ya ampun, Ka. Kamu ngasih apa sih sama mama? Barang murah saja pakai digembok segala.” celetuk Mas Hamdan yang selalu tidak mau tersaingi oleh siapa pun. “Udah sih, Ma. Gak usah dibuka, nanti saja habis acara kalau susah. Isinya paling barang murah juga,” celoteh Mirna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN