Chapter 1 : Cinta Sepihak
"Sengaja kan, kamu? Iya? Sengaja kamu ingin menggantikan Risa?"
"Astaghfirullah hal adzim, Mas. Itu nggak benar, Mas. Risa itu Adik aku sendiri. Nggak mungkin aku ngelakuin hal itu."
"Halah! Jangan sok baik kamu. Kamu tau itu bohong. Kamu memang berniat menyingkirkan Risa sejak awal!"
Siera menggeleng cepat. Air matanya turun membasahi pipinya yang putih dan halus. "Mas, jangan menuduh yang nggak-nggak!" bantahnya cepat.
"Kamu iri, Si. Kamu iri karena Risa selalu lebih baik dari pada kamu, kan?"
"Nggak, Mas. Nggak," tangis Siera.
"Sejak dulu, Risa selalu lebih unggul dari kamu. Semua orang lebih suka Risa dibanding kamu. Karena itu kamu iri sama Risa."
"Ya Allah..." rintih Siera sedih. Sama sekali tidak disangkanya sang suami berpikiran seperti itu. Padahal sama sekali dia tidak punya iri hati hati sedikitpun pada Risa.
Dia sangat menyayangi adik kembarnya tersebut. Bahkan Siera rela mengorbankan dirinya demi menyelamatkan Risa. Meskipun niat baiknya tidaklah berhasil.
Risa tidak selamat. Adiknya meninggal dalam musibah kecelakaan satu tahun lalu. Kecelakaan yang melibatkan mereka berdua. Dan hanya Siera satu-satunya orang yang tau apa yang sebenarnya terjadi kala itu.
"Kamu tau kenapa kamu selalu jadi yang nomer dua meskipun kamu dilahirkan yang pertama?"
Siera menatap pilu suaminya. Sambil menggeleng lemah dia menjawab, "nggak Mas."
"Karena hati kamu busuk! Kamu tidak pantas menjadi Kakaknya Risa! Harusnya saat itu bukan Risa yang meninggal!"
"Mas Andra, cukup!" jerit Siera. "Cukup, Mas. Tolong jangan dilanjutkan."
"Cukup, Mas..." lirihnya pilu. Hatinya yang sudah hancur karena perkataan Andra, semakin hancur tatkala menyaksikan suaminya menangis, meneteskan air mata di hadapannya.
Sungguh, jika bisa Siera ingin biarkan dia saja yang menangis, tersakiti fisik dan psikis. Asal bukan Andra, jangan Andra. Jangan pria yang begitu dia cintai sepenuh hatinya itu.
"Harusnya Risa yang selamat, Si."
Siera mengangguk dengan hati yang perih. "Aku tau, Mas. Harusnya memang Risa yang selamat hari itu. Agar kalian bisa melanjutkan hidup dengan bahagia. Bersama putri kalian, Saski."
Andra terduduk lemas di sofa. Matanya basah karena air mata. Teringat kenangan akan almarhumah istrinya, Risa yang sangat dia cintai.
Pria itu tidak bisa menerima kenyataan akan kematian Risa yang mendadak. Dia tidak rela jika istrinya meninggal dalam musibah kecelakaan setahun lalu. Sementara Kakak iparnya, Siera justru selamat.
Dan yang lebih menyedihkan, kini dia justru menikahi wanita itu demi menyelamatkan putri tunggalnya yang baru berusia satu setengah tahun, Saski. Demi agar anak malang itu mendapatkan kasih sayang seorang ibu, dia harus menikahi Siera.
Lalu setelah satu tahun yang dia lewati tanpa sedikitpun kebahagiaan dengan Siera. Lagi-lagi dia menemukan ujian. Andra mendengar dari polisi bahwa kecelakaan yang dialami oleh istrinya adalah suatu kesengajaan.
Karena itu dia sangat murka. Dia langsung tau bahwa Siera lah yang bertanggungjawab atas kematian Risa. Karena itu dia meluapkan emosinya pada Siera.
"Aku berani sumpah, Mas. Aku nggak membunuh Risa. Aku-"
"Aku juga bersumpah, Si. Aku akan mengirim kamu ke penjara. Aku bersumpah," sela Andra cepat. Sorot mata dinginnya membuat Siera tercekat.
Wanita itu tidak mampu mengatakan apa-apa lagi sebagai pembelaan. Karena dia tau percuma dia terus menyangkal. Itu justru akan menambah rasa benci Andra padanya.
Siera mengeluh dalam hati. Meratapi nasibnya yang begitu buruk. Dia menyesal terlahir sebagai kakak kembar Risa. Dengan wajah dan tubuh yang sama persis dengan wanita itu, membuat hidupnya menderita sejak kecil.
Suara tangisan bayi yang berasal dari boks samping ranjangnya membuat Siera kaget. Dengan cepat dia bangkit dari ranjangnya lalu berjalan menuju kesana. Dilihatnya bayi mungil yang berada di dalam boks sedang menangis sambil mengulurkan tangannya pada Siera.
Sesegera mungkin wanita itu mengangkatnya dari boks bayi. Dia mengelus-elus pungung bayi itu dengan lembut lalu menciumi wajahnya penuh kasih agar bayi itu diam.
"Saski, Anak Bunda sayang..."
***
Siera yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan sedikit terkejut akan kedatangan ibu mertuanya yang tiba-tiba. Tidak biasanya wanita tua itu keluar kamar sepagi ini. Biasanya, Siera yang lebih dulu mendatanginya ke kamar untuk mengajak sarapan.
"Selamat pagi, Ma."
"Andra mana?"
"Mas Andra udah berangkat pagi-pagi tadi, Ma."
Eva, ibu mertua Siera menghela nafas keras. "Kenapa sih, susah banget ketemu sama Andra? Dulu waktu menikah sama perempuan kampung itu, susah banget ditemuin. Sekarang nikah sama Kakaknya yang nggak kalah kampungan, lebih susah lagi ditemuin," omelnya menyindir Siera.
Siera mendesah dalam hati, berpura-pura tidak mendengar ucapan menyakitkan sang mertua. Wanita itu mengambilkan piring dan sendok untuk Eva.
"Mama mau sarapan apa? Biar Siera ambilkan," tanyanya pada sang mertua.
Tak disangka, wanita tua itu langsung mendengus keras. "Makasih. Kamu nggak perlu repot-repot ngambilin sarapan buat saya. Karena saya nggak sudi makan dari tangan seorang pembunuh!" serunya sambil menampik piring di tangan Siera hingga jatuh ke lantai.
Bunyi gemelontang dan pecahan piring menyamarkan isak tangis seorang Siera. Segera wanita itu berjongkok, memunguti puing-puing piring yang berserakan di lantai dengan berhati-hati.
"Dengar ya, kamu! Saya akan segera mengirim kamu keluar dari rumah ini. Bersama anak haram adik kamu itu!"
"Astaghfirullah hal adzim, Ma. Saski bukan anak haram. Saski itu Anak Risa dan Mas Andra. Dia Cucu Mama."
"Dia bukan Cucu saya!" bantah Eva. "Saya tidak sudi mempunyai Cucu yang terlahir dari seorang w************n!" sentaknya sambil menggebrak meja makan.
"Ya Allah..." tangis Siera pilu. Wanita itu terduduk di lantai sambil memegangi dadanya yang sesak. Hari-hari yang dia lalui di rumah itu membuat dadanya terasa berat. Rasanya dia hampir tidak bisa bernafas jika bukan karena Saski.
Siera buru-buru menghapus air matanya saat bayi itu datang bersama dengan Sri, pembantu rumah tangga disana yang selama ini menjadi teman Siera.
"Bu, Saski nangis terus sejak tadi."
"Ya Allah, Saski kenapa, Nak?" Siera buru-buru mengambil bayi itu dari gendongan Sri. Dia meraba dahi Saski yang terasa hangat.
"Saski panas, Sri. Sejak kapan dia gini?" tanyanya pada Sri.
"Dari tadi pagi, Bu. Pas bangun badannya udah panas. Makanya nggak saya mandiin. Saya takut makin panas, Bu."
Siera pun jadi cemas. Saski tidak berhenti menangis. Padahal biasanya setelah dia gendong, tangisannya langsung berhenti. Siera menempelkan pipinya ke kepala Saski.
Panas, Siera bisa merasakannya. Wanita itu pun segera membawa Saski ke kamar. "Sri, tolong kamu bersihkan ini ya. Saya mau bawa Saski ke dokter," pesannya sebelum berlalu dari ruang makan.
***
"Udah, nggak usah nangis lagi, Si. Saski cuma demam biasa, kok."
Siera menghela nafas pelan mendengar ucapan Elisa, sahabatnya yang juga seorang dokter anak. "Bener gitu, Sa? Nggak ada yang serius, kan?"
Elisa tersenyum kecil. "Jangan kuatir. Setelah minum obat, demam Saski insyaallah turun. Jangan terlalu cemas."
Siera mengangguk pelan. "Makasih banyak, Sa."
"Ini obatnya kamu tebus di apotek, ya." Elisa memberikan secarik kertas pada Siera lalu mengusap kepala Saski yang tertidur lelap dalam gendongan Siera. "Semoga Saski cepat sembuh."
"Sekali lagi makasih banyak ya, Sa. Kamu udah banyak nolong aku."
Elisa menghela nafas pelan. "Saranku kamu sebaiknya meninggalkan Andra, Si. Kamu nggak akan bahagia kalau rumah tangga kalian terus berlanjut."
"Sa..." desah Siera lemah.
"Cinta kamu bertepuk sebelah tangan, Si." Elsa meraih tangan sang sahabat dan menggenggamnya erat. "Dan kamu harus ingat kalau cinta sepihak selamanya hanya akan menyakiti."
Siera kembali menangis. Memang benar apa yang diucapkan oleh Elsa. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Cinta sepihak, yang sama sekali tidak ada gunanya. Cinta sendiri yang terus menyakiti dirinya.
Tapi bukahkah rasa sakit itu bukan sekali dua kali dia rasakan? Selama belasan tahun dia mampu menanggungnya. Dan saat ini dia hampir menemukan kebahagiannya.
Yang Siera butuhkan hanya merubah Andra, meluluhkan hatinya. Karena tubuhnya kini sudah menjadi milik Siera. Dia sudah sah secara agama dan negara sebagai suami Siera.
Dan Siera yakin suatu saat nanti cinta itu bisa hadir jika dia berusaha. Suatu saat kebencian Andra padanya akan hilang dan berganti dengan rasa kasih. Siera yakin itu.
Bukankah di dunia ini tidak ada yang abadi?