Terang Benderang

1128 Kata
Reda sedang menonton acara pameran permata Internasional di suatu negara yang diikuti Khumaira, mewakili perusahaan Abinaya. Ada angka penjualan di kolom tampilan, permata ungu yang dibawa Khumaira menjadi yang paling banyak dipesan dari permata lainnya. Wanita ninja itu juga dipersilakan naik podium untuk menunjukkan sosok di balik kemenangan besar perusahaan Abinaya. Kalimat santun dan anggun keluar dari Khumaira, sementara umpatan banyak keluar dari mulut Reda sambil melemparkan ponsel itu ke tempat tidur. Ta yang masih setengah hidup dengan mabuk perjalanannya terusik pula. Ta mengambil dan memperhatikan isi berita yang membuat Reda murka. "Aku bisa membantu kalau kau mau merusak benda ini." "Kau pikir mengapa aku melemparnya ke kasur?! Karena aku tidak mau ponselku rusak, Ta. Kau tahu apa yang membuatku kesal?! Harusnya aku yang di sana! Aku yang diposisi Ninja itu!" Reda memaki lagi. "Hanya karena aku anak haram Abifata, kami diperlakukan berbeda!" Ta yang sempat menyimak keluhan Reda menutup kepalanya dengan bantal, "Kau bicara saja sendiri. Kepalaku sudah pusing tanpa masalah darimu." Reda mengambil ponselnya kemudian menekan nomor Arthur. Biasanya pria itu tempat yang tepat untuk sama-sama menghujat tentang Khumaira. "Kau masih di kamar?" "Ya." Reda memutuskan panggilan. "Silakan kau istirahat, Ta. Aku perlu istirahatku sendiri." Kemudian wanita itu dengan api amarahnya keluar kamar. Tak ada sambutan Arthur seperti kemarin, tapi Reda mengetuk pintu kamarnya. Dua detik, pintu itu terbuka dan begitu saja Reda masuk. "Kau lihat!" "Aku memang sedang menonton. Mengapa Khalid sepertinya tidak ikut? Hanya ada Paman Bintang dan Bibi Ifa. Mereka bertengkar?" "Mana aku peduli! Kau lihat kesuksesan Ninja itu?! Harusnya aku yang meraih itu, Arthur!" protesnya. "Yah, anggap saja kau sedang dibalas Tuhan karena mengkhianatiku,” ujar Arthur menyumpahi. Reda tersulut emosi. "Aku sekedar menikah kontrak dengan pria itu. Dia sama sekali tak masalah kita tetap menjalin berhubungan. Aku tidak mengenalnya dan kami punya kesepakatan. Bukan aku yang mengkhianatimu, tapi ayah tahu nenekmu tidak merestui kita." Arthur tersentak. Kemudian dari dalam selimutnya muncul kepala wanita, "Sayang, kita kedatangan teman?" tanyanya manja dalam bahasa internasional. Mata Reda menyala, "Kau ... berkencan dengannya?!" "Siapa yang mengizinkanmu meninggalkanku diam-diam semalam?!" balas Arthur dengan senyum miringnya. "Sekali lagi kutegaskan, aku bukan menikah dengannya! Kau yang menikah, Reda! Pengkhianat dalam hubungan kita adalah dirimu!" Reda seketika mengurungkan niat untuk berbagi suka dukanya dengan Arthur. Pukul tiga dini hari ia keluar meninggalkan Arthur yang tidur, pukul sembilan pagi ini sudah ada wanita lain yang menggantikan tempatnya. Reda mundur selangkah. Ada yang lebih tepat untuk mendengar keluh kesahnya daripada pria tak bermoral satu ini. "Kau benar, aku pengkhianatnya. Kita putus. Aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi." Setelah keputusan tenang itu, Reda berderap langkah kembali ke kamarnya. Ada air mata terluka yang jatuh karena kecewa akan kandasnya cinta mereka. Seolah sia-sia harapannya selama dua tahun untuk akhir bahagia bersama Arthur. "Kau masih utuh," komentar Ta datar. Reda pulang cepat sekali dan dalam kondisi menangis. "Tidak sepuas semalam?" Reda memperhatikan Ta, pria itu duduk dengan secangkir teh di sisinya. Haus, Reda mengambil cangkir itu dan ternyata kosong. Kata umpatannya terdengar lagi. "Ta, kau setuju menikahiku, harusnya kau juga bisa diandalkan untuk keturunan kita." Kening Ta berkerut. Reda terkesan bukan haus minum melainkan belaian. "Kau sudah sehat, bukan? Kau lupa tujuan ayah mengasingkan kita di sini? Kita sedang berbulan madu, Ta. Ayolah! Tunjukkan fungsimu." Ta membuang wajah. "Aku tidak mau." Reda menggigit bibir sendiri. "Kau tidak bisa bangkit?" tanya Reda mengisyaratkan pada visak celana Ta. Mulut Ta menampilkan segaris panjang ukiran, tersinggung tapi tak meladeni kalimat Reda. Tubuh Ta butuh pulih bukan masalah baru. "Ta, aku butuh bayi! Darimu." "Kau bisa mendapatkannya dari orang lain." Reda terenyak. Seperti apa dirinya di empat mata Ta?! Reda memang begitu dengan Arthur, tetapi sangat lumrah pacaran dan tidur bersama masa kini, bukan artinya Reda bersedia ditiduri siapa saja! Demi Tuhan, Reda hanya pernah menikmati hangat ranjang dengan Arthur Bakrie. Reda mendadak pergi ke kamar mandi lalu mengguyur sekujur tubuhnya dengan air. Ia harus memastikan satu hal, apa alasan Ta tidak akan menikah. Apakah sebenarnya pria itu tak bisa menikmati pernikahan? Atau sekedar tak punya tempat pelampiasan. Bisa dimengerti tak ada wanita menarik yang bersedia meliriknya. Ta bersembunyi diantara rak kusam, dengan pakaian ala penjaga perpustakaan dan kacamata menjijikkan. Ta banyak diam dan tidak tertarik untuk bergaul, kalimatnya juga seperti belati tajam. Reda pikir, pria itu pasti masih perjaka atau jika pun bukan, Reda ingin membuktikannya sendiri. Reda keluar dari kamar mandi dengan aroma vanila semerbak. Dengan hanya berbalut handuk Reda mendekati Ta. Gayanya sensual, menggoda. Ta menyingkir. "Aku bukan mendekatimu, Ta. Aku butuh ini," ucapnya manja mengacungkan pengering rambut. Ta tampak membuang wajah tak peduli. Reda meneruskan perbuatannya. Ia duduk di samping cangkir kosong Ta, posisinya haruslah tepat jika mendadak Ta menerjang. Setiap kali Reda merayu Arthur dengan cara ini, pria itu bisa tahan bertarung dua puluh menit. Reda penasaran, berapa lama Ta tahan mengunci segel perjakanya. Reda masih meneruskan godaan. Kali ini mendekati Ta terang-terangan. "Aku tidak sepuas semalam," rayunya menyentuh dagu Ta. "Kau benar, dan kini kulitku tersedia untukmu." Bukan tertarik, Reda melihat tatapan tajam Ta dari jarak dekat mereka. "Menyingkir!" Reda gugup, tetapi menggunakan senyuman manisnya. Ia sudah banyak diberitahu cara merayu oleh para kekasih ayahnya. Bisa dibilang, Abifata menyediakan tutor di rumah agar Reda tak gagal di depan seorang pria. Reda malah duduk di pangkuan Ta. Perlahan melepas simpul handuknya, "Kau mau mengintip saja?" "Aku tidak tertarik." Reda mengerutkan wajah, seolah kecewa, "Tapi aku butuh kehangatan," rengeknya manja. Reda menyapa paha Ta dengan jemari telunjuknya. "Tok tok tok!" Reda mengerjap heran. Tak ada yang bangkit dari visak celana Ta. "Haloo!" "Tidak ada orang di dalam," jawab Ta. Masih belum sepenuhnya pulih, Ta malah dirayu membabi-buta dengan aroma tubuh Reda yang membuat perutnya bergejolak mual. "Menyingkir sebelum aku muntah di tubuhmu." Reda lekas bangkit, sigap menahan handuknya agar tak melorot. Tanpa jeda, Ta bangkit pula ke kamar mandi dan muntah sungguhan. Reda berlari mendekatinya dan memejamkan mata sendiri karena Ta mengeluarkan isi perut yang asam tercium hidung Reda. Reda mengusap-usap punggung pria menyedihkan itu sambil merasakan sedih untuk dirinya sendiri. Semua bujuk rayunya gagal. Entah sebab kurang maksimal atau karena Ta yang belum normal kembali kondisinya. "Sebenarnya berapa lama waktu untuk pulih setelah begini?" tanya Ta menderita. "Tergantung. Bisa dua hari. Aku dulu setelah istirahat begitu." "Aku bahkan tidak bisa istirahat," keluh Ta lalu memuntahkan isi perutnya lagi. Reda mengerutkan hidungnya, meringis juga. "Sepertinya kau perlu makanan pengganti setelah membuang semua itu." "Sebenarnya aku hanya butuh hidupku sebelumnya kembali." Reda membayangkan Ta yang duduk di depan komputer, lalu menyapa dengan kalimat ‘Cari buku apa?’ Tubuh Reda bergidik merinding, "Oh! Kau tidak bisa. Aku mau itu juga sebenarnya. Kau perlu tahu jika keluarga Abinaya hanya menikah sekali untuk selamanya. Artinya, kau tidak bisa mundur dari pernikahan ini Ta. Sudah kuingatkan pada malam sebelumnya, kau bilang 'Tak apa'. Sekarang kau paham maksudku, bukan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN