Vanila

1346 Kata
Belum selesai drama mabuk Ta yang tak berkesudahan, mereka tetap harus angkat kaki dari negara asing ini. Reda satu-satunya harapan yang Ta punya untuk kembali menghirup udara Indonesia. Meski harus menyeret diri seperti hewan ternak yang dibawa ke tempat penjagalan, Ta harus ikut ke mana saja langkah wanita mungil itu. Ta tak mau dirinya tercecer dari Reda. Jangan sampai ia harus bertanya arah kepada orang lain dengan bahasa asing mereka apalagi sampai tertinggal sendiri di negara ini. Tak sedetik pun sosok Reda absen dari matanya, bahkan kini, saat wanita itu menarik semua mata orang karena suara pekiknya. “Gazain!!!” Sudah lima belas menit Reda mencoba menghubungi saudara kembarnya itu. Belum sekalipun disambut panggilannya. Pesan yang terkirim juga belum dibaca. Kalimat umpatan seperti biasa, fasih Reda keluarkan. “Dia sengaja menjebakku dalam neraka ini!” “Kau sudah diamati penjaga keamanan di sini, sejak tadi,” tegur Ta lemah. Ia terpaksa buka suara demi perjalanan mereka berjalan tanpa hambatan. Bisa saja Reda dianggap gila lalu mereka tertahan di sini karenanya. “Aku butuh teman bicara, Ta. Kau sendiri tak bisa diharapkan untuk hal itu!” keluh Reda menusukkan tatapan kepadanya. “Kau juga tak punya teman,” simpul Ta atas kalimat itu. Hidup dalam kubang rahasia tentu harus berhati-hati dengan siapa saja. Manusia tidak punya rasa peduli seperti Ta mana paham rasanya. “Setidaknya aku punya Gazain! Daripada kau yang hanya bicara dengan buku!” Ta menghela napas saja. Buku-buku di perpustakaan sana tidak ada yang bersuara, Ta sungguh rindu mereka. Akhirnya dering ponsel Reda memekik terdengar. “Kau ke mana saja?!” “Aku bekerja. Ada apa?” “Kau tahu aku di mana?” tanya Reda bertekan tangan di pinggang. “Kau masih di Bumi, aku tahu. Abifata mengirimmu ke mana? Kudengar kau diasingkan agar tak mengganggu acara Khumaira. Benar begitu?” Reda sedikit terenyak. Luruh tangannya dari pinggang tanpa sadar. Tak terlintas di kepalanya bahwa hal ini termasuk siasat licik ayahnya sendiri. “Kau asal menyimpulkan,” tolak Reda yakin. “Kami berbulan madu. Kau lupa kalau aku baru saja menikah?” “Jadi, mengapa kau meneleponku? Biasanya orang tidak suka diganggu ketika sedang berbulan madu.” Reda langsung meluapkan inti kekesalannya. “Ta, tidak berguna! Harusnya di TB bukan TA. TB, tidak berguna!” “Ada apa?” tanya Gazain heran. “Katakan kepadaku, dia tidak bisa ... bangkit?” tanya Reda lebih pelan. “Maksudmu ...?!” “Yah, aku disuruh menikah agar punya keturunan, tapi bagaimana jika ... begini. Kau tak memeriksanya lebih dulu?” “Bagaimana aku memeriksanya?!” balas Gazain naik pitam juga. Reda diam sendiri. Benar juga, tak mungkin Gazain yang dikenalnya itu berbuat aneh-aneh. Gazain sebenarnya mirip sekali dengan keturunan Abinaya yang lain, dia pria terhormat dan menjalankan amanah layaknya para pria setia. “Jadi, kau dengan Ta belum ... begitu?” tanya Gazain ragu-ragu. Reda tak mau menjawab hal jelas itu. Ta sibuk dengan kepalanya sendiri. Pria itu bahkan tak peduli Reda berselingkuh di malam pertama mereka. Tiap Reda mendekat atau merayu, Ta seperti wanita hamil yang mual muntah seketika. Lagi pula ada hal lain yang membuat Reda penasaran. “Mengapa Khalid tak ikut?” “Sudahlah, mengapa kau urusi hidup mereka. Tugas dari Abifata sekarang bukan lagi merayu Khalid melainkan punya keturunan. Kau merayu suami sendiri saja gagal, kau pasti gagal juga merayu Khalid. Jangan ganggu Khumaira ...!” Reda memutuskan panggilan. Sebal diceramahi Gazain. Iri dengan Khumaira yang penuh dikelilingi para pria baik yang mencintai dan setia kepadanya. Sementara Reda, di sisinya hanya ada Ta yang tidak berguna. “Kau benar-benar menarik semua perhatian,” ujar Ta setelah Reda mencaci maki ponselnya. “Sudahlah. Diam saja, TB!” Reda sangat kesal. Baru sekali ini ada pria yang digoda dan membuatnya merasa sangat gagal menyedihkan. Khalid saja tergoda, yah, kecuali karena dia pria baik-baik, semacam Gazain atau Abinaya yang lain, maka akal sehatnya untuk setia mengalahkan nafsunya. Namun, Ta hanya pria udik yang tidak sewajarnya menolak, apalagi status mereka sudah menikah. Reda menghibur diri, bahwa Ta bukan tidak tergoda, dia hanya belum fokus karena mabuk perjalanannya. Sesampainya mereka di bandara Indonesia. Reda berharap sekali akan janji ayahnya. Suasana hatinya sudah sangat berantakan karena segala hal yang gagal. Begitu ia mengaktifkan kembali ponsel, matanya berbinar melihat ada pesan dari Abifata. Ayah. Kabari kalau kalian sudah siap dijemput. Ta yang mengalami lagi efek pasca terbang langsung duduk begitu melihat kursi tunggu di balik pintu kedatangan. Baru satu detik, Reda bangkit lagi. “Ayo, Ta. Ayah akan menjemput kita di sana.” Ta mau tak mau mengekori langkah riang Reda yang menelepon itu. “Ayah, kami sudah di tempat penjemputan.” “Tunggu.” Sekitar satu menit berdiri, mobil khas yang biasa dipakai Abifata muncul dan berhenti tepat di depan mereka. Reda langsung bahagia. Masuk ke sana diikuti Ta. Abifata memang menjemput sesuai janjinya. “Bagaimana bulan madu kalian?” Reda lekas menjawab, “Baik-baik saja, menyenangkan, bukan begitu, Ta?” “Ya,” sahut Ta datar saja. “Ayah menyiapkan segalanya sampai ke menu makan kami. Terima kasih banyak,” ucap Reda menghambur syukur. “Tempat pilihanmu bagus dan romantis sekali.” Ta mulai merasakan pusingnya bertambah parah dengan bualan bohong Reda. Tidak menyenangkan bulan madu mereka, Ta tersiksa, Reda sendiri sempat menangis entah karena apa. “Aku tidak memberinya percuma, semoga saja kau segera berhasil,” kata Abifata serius. “Kalian melakukannya, bukan?” Reda menelan saliva sesaat melihat Ta. Namun, ia yakin bisa melambungkan keinginan Abifata dengan sandiwaranya. Reda tersenyum lebar, “Ya, tentu saja. Ta ... hebat sekali.” “Buktinya masih ada,” sahut pria berkacamata itu memaksa terlihat biasa sekali. “Ah, kau membuat Ayah tahu aktivitas rahasia kita,” balas Reda manja memukul Ta pelan. Sesampainya mereka di rumah Abifata, pria itu berkata, “Istirahatlah sepuas yang kalian butuhkan, pukul sembilan malam nanti aku ingin bicara denganmu Reda.” “Baik, Ayah,” balas wanita itu patuh. Ta tidak kembali ke kamar menginapnya yang pertama, ia dipaksa menaiki tangga dan menetap di kamar Reda. Tak sempat melihat kiri kanan, yang Ta harapkan hanya satu, tempat tidur itu. Ta sempoyongan menghampiri ranjang, baru setengah menit istirahat perutnya mual dan gegas ke kamar mandi. “Kau benar-benar menyedihkan, Ta,” komentar Reda tak tahan mendengar suara muntah pria itu lagi. Reda menunggu di depan pintu kamar mandi sambil bersedekap tangan, “Kau pasti menyesal.” Ta menutup kloset dan duduk menyangga kepalanya di dinding sana. Sedetik kemudian kacamata ia lepas dari wajahnya. Lemas, mengatur napas dan memejamkan kelopak yang berat. “Anggap aku sudah mati.” Reda ingin tertawa, tetapi ada kasihan menyusup di jiwanya. “Aku bisa saja membantu, tapi aku sudah mencoba dan gagal terus melakukannya.” Ta membuka mata, menatap wanita itu, “Pertama, ganti segala benda yang beraroma vanila!” Reda mengerjap, “Kau ... sensitif bau?” “Hanya vanila.” *** Pukul sembilan malam Reda turun menemui ayahnya, Abifata. Seperti biasa, efek ayahnya begitu besar bagi Reda, berdebar tak menentu lebih daripada saat pertama Arthur membuatnya jatuh cinta. “Ayah,” sapa Reda kepada pria berpakaian rapi itu. “Kau akan pergi ke suatu tempat?” Abifata berbalik. Tatap bengisnya langsung meninju perut Reda. “Aku perlu hiburan setelah kegagalanmu!” Reda menunduk. Seolah tahu akan ke mana kalimat selanjutnya, Reda tak berani lagi menunjukkan senyumannya. “Kau tidak berguna! Untuk apa kubesarkan kau jika hanya begini balasanmu?! Kau lihat Khumaira?! Dia sama sepertimu, tapi lihat betapa menyilaukannya anak itu dibandingkan kau! Satu saja hal yang kau bisa, membuatku malu dan mengecewakan!” “Maaf, Ayah,” ucapnya berbisik pelan. “Aku tidak mau tahu, kau harus berhasil dengan tugasmu kali ini. Kau sudah terlalu banyak kegagalan, Reda. Sampai-sampai aku muak dan hilang sabar kepadamu!” “Kau sama tidak berguna ---!” Reda bersiap mendengarkan hal lain yang lebih menyakitkan lagi, tetapi mendadak Abifata menutup mulutnya. Reda berbalik, ternyata Ta baru saja turun. Ada wanita muncul dari kamar bekas Ta lalu bergelayut manja di lengan Abifata. “Kita jadi pergi?” “Lakukan tugasmu!” hardik Abifata kepada Reda kemudian melenggang pergi dengan wanita malamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN