Ketukan Tengah Malam
"Aduh, sakit, Pa! Sakit!" Teriakan itu kencang sekali.
"Kasian banget anak itu, tiap malam disiksa."
"Namanya juga anak tiri, Nay."
Aku mengusap dahi mendengar perkataan Mas Fahri. Kami harusnya melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib.
"Kamu mau laporin lagi? Gak bakalan ditanggapin, Nay."
Ya, sudah hampir sepuluh kali kami melaporkannya ke pihak berwajib atas kasus k*******n anak. Tidak ada tanggapan. Seolah angin lalu.
"Sudahlah. Ayo tidur. Biarin aja, urusan orang lain. Gak perlu kita urusin."
"Tapi, Mas—"
"Nay. Ayolah, jangan menyusahkan diri sendiri."
Baiklah. Aku mengangguk, suara kesakitan terdengar lagi di sana. Aku menelan ludah, ada rasa kasihan kembali.
"Selamat tidur, Sayang."
Aku berusaha tersenyum, masih memikirkan teriakan itu.
Ini bukan sekali-dua kali lagi. Sudah berkali-kali. Apakah aku bisa tinggal diam saja? Ah, tidak mungkin.
Berkali-kali aku membalikkan tubuh. Saat menatap Mas Fahri, aku terdiam. Ada suara orang masak di dapur.
"Mas." Aku berusaha membangunkannya.
Suamiku hanya berdeham. Dia tidak membuka mata sama sekali.
"Mas, ada orang masak di belakang."
Padahal, kami hanya tinggal berdua. Aku mengusap tengkuk, merinding.
Suara itu semakin kencang. Aku beranjak dari posisi tiduran, melangkah pelan ke dapur.
Aku menelan ludah, udara terasa dingin sekali.
Tanganku terangkat. Menyalakan lampu dapur.
Eh? Tidak ada siapa-siapa. Atau mungkin tadi hanya halusinasiku?
"Bibi Nay."
Mendengar itu, aku berbalik. Barusan ada yang memanggilku.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar ketukan pintu di depan. Aku mengusap wajah, siapa lagi yang menggangguku jalan-jalan begini?
Mas Fahri tadi pulang cukup larut. Suara kesakitan anak tetangga juga tengah malam. Aku melirik jam dinding, pukul dua belas malam.
"Bibi."
Suaranya terdengar seperti Zifa—anak tetangga yang tadi teriak kesakitan.
"Iya, sebentar."
Aku mengambil kunci di dalam kantong celana, tapi belum membukanya.
Tanpa ragu, aku membuka gorden. Benar saja, itu Zifa.
Mungkin, dia butuh pertolonganku. Aku membukakan pintu, wajah Zifa tampak pucat.
Pasti dia datang kesini setelah disiksa oleh Papanya. Aku menatap anak itu.
"Sakit, Bi."
Deg.
Saat Zifa memelukku, terasa dingin sekali. Aku menelan ludah, gemetar membalas pelukannya.
"Nay!"
Aku menoleh ke belakang. Ada Mas Fahri di sana. Wajahnya tampak kaget sekali.
"Kamu kebangun, Mas? Maaf, ya."
"K—kamu meluk siapa, Nay?"
Mendengar perkataan Mas Fahri, aku langsung menoleh ke depan. Mataku melotot, dadaku langsung sesak rasanya.
"Aaa—"
***