b****y Rose part 2

2301 Kata
Pacuan lambat langkah kuda berponi putih membelah jalanan ibu kota yang ramai di hari istimewa. Dengan lihai Sasha mengendalikan kudanya melewati halangan di depan. Orang-orang di tengah jalan pun langsung membuka jalan untuk menghindari tabrakan saat melihat kuda berlari ke arah mereka, sehingga memudahkan Sasha melalui jalan yang ditempuhnya. Semakin jauh Sasha pacu kudanya, semakin jauh dia meninggalkan alun-alun ibu kota, dan keramaian pesta rakyat kian tidak terdengar lagi di belakang punggungnya.  Setelah melewati gerbang, langkah kudanya melambat dan segera berhenti di tengah halaman depan sebuah bangunan tinggi dengan dinding terbuat seluruhnya dari batu alam cokelat. Beberapa orang berjaga-berkeliaran sambil membawa senapan mereka di sekitar. Termasuk di antaranya berada di balkon lantai dua. Kemudian Sasha melompat turun. Berjalan dengan langkah mantap memasuki gedung tanpa hadangan. Hingga berhenti sejenak untuk menyapa seseorang ketika berpapasan.  "Hey, bro! Apa kau tahu di mana Mayor Anne sekarang?" "Hey, Sasha! Mayor Anne kulihat ada di sayap timur, dia hendak ke penjara bawah tanah." Sasha menepuk bahunya sambil berlalu. "Okey, terima kasih, Brown!" Dia melambaikan tangan tanpa menoleh, melewati satu gedung utama lalu keluar di bagian belakang bangunan. Dari luar sudah terlihat dua orang sedang berdebat. Seorang wanita bersurai pirang pendek tampak di sana sedang adu mulut dengan seorang sipir penjaga di depan pintu masuk menara. Suara mereka yang meninggi di tengah kesunyian malam, membuat Sasha dapat mendengarnya sedikit lebih jelas.  "Sekali ini saja lah Robb!" "Ini untuk keselamatan anda Mayor. Sudah dua kali anda hampir terbunuh oleh makhluk itu saat menginterogasinya. Datanglah minggu depan saja, Mayor." "Tidak bisa Robb! Aku harus menyapanya! Kalau malam ini aku belum berbicara dengannya aku takkan bisa tidur dengan tenang~!" Wanita itu merengek. Tapi melihat sipir penjaga di hadapannya tetap bergeming berdiri menghalangi pintu yang tertutup di punggungnya, membuat dia menarik napas sabar seraya menyingkap rambutnya ke belakang, memperlihatkan dahi mulus tanpa jerawat. Lengan pakaiannya tampak digulung sampai siku. Dia pikir harus memutar otak agar si sipir bernama Robb ini mau membukakan pintu untuknya masuk. Sementara apa yang dikatakan Robb tersebut dilakukan karena kekhawatiran juga demi keselamatan Mayor yang mereka hormati.  "Mayor Anne!" Dua kepala yang saling berhadapan pun menoleh ke asal suara. Tampak Sasha berjalan menyebrangi tanah berumput liar, mendekati mereka di depan pintu menara. "Ah! Sasha!" sambut Mayor Anne, wajahnya bersemringah cerah.  "Apa yang anda lakukan di menara ini, Mayor?" tanya Sasha ketika sudah dekat dengan mereka.  "Yah, si Robb ini tidak mengizinkanku masuk. Robb kau tidak perlu khawatir, sekarang aku ditemani Sasha, dan juga kondisi sekarang dengan yang sebelumnya kan sudah berbeda. Aku hanya ingin berbincang sebentar dengannya," bujuk Mayor Anne.  Robb berpikir mempertimbangkan rayuan rekannya itu. Lalu menarik napas dalam sebelum menggeser tubuh besarnya ke samping, mempersilakan dua wanita tangguh ini masuk, dan seringai Mayor Anne makin lebar senang. "Terima kasih, Robb!" serunya melangkah ke dalam menara diikuti Sasha.  Sasha masih penasaran alasan sipir Robb bertubuh gempal tadi tidak mengizinkan Mayornya masuk. Jadi dia angkat suara seiring langkah santai mereka di lorong temaram. "Mayor, kenapa Robb tidak membiarkan anda masuk? Apakah terjadi sesuatu?"  "Ah, kau belum dengar rupanya," balas Mayor Anne. Sasha belum tahu, sama sekali belum mendengar kabar yang sudah tersebar di kalangan rekan sejawat, namun bukan kabar menghebohkan jadi tidak banyak dighibahkan sebab Mayor Anne pikir masalah ini cuma hal sepele yang konyol. "Kupikir berita ini sudah sampai ke telingamu juga, karena kau sudah kembali dari ekspedisi tiga hari lalu." Benar yang dikatakan Mayor Anne. Tiga hari lalu Sasha baru selesai dari misi berpatroli bersama timnya di luar dinding ibu kota setelah lima hari berada di dunia luar. "Apakah terjadi sesuatu yang gawat?" Sasha bertanya khawatir.  "Itu gawat untuk diriku, hahah!" tawa Mayor Anne tergelak kala mengingat kejadian tempo hari. "Hari itu aku sedang menginterogasi tahanan istimewa di lapangan terbuka dengan disaksikan para kadet. Tetapi, tanpa kuduga, karena aku terlalu dengan dengannya, dia menyerangku tiba-tiba dan hampir membuatku tergigit olehnya." Mereka menuruni anak tangga melingkar hingga tiba di lorong temaram yang hanya diterangi obor di tembok.  Itu bukan cerita yang aneh, dan Sasha mengerti maksudnya. Adalah ---kemudian dilewatinya dua penjaga berbadan besar lengkap dengan baju zirah dan pedang di pinggang, sebelum dibukakan pintu dan mereka berdua sampai di penjara bawah tanah, berhenti di salah satu sel kosong--- tepat di sel hadapan mereka terlihat seorang pria meringkuk di tanah kotor. Pria itu tidak berpakaian (mereka telah melucuti pakaiannya). "Makhluk vampir?" Sasha menggumam.  "Benar. Karena makhluk ini aku hampir digigit olehnya." "Astaga, Mayor, harusnya anda berhati-hati!" kaget Sasha. Pria vampir kurus pucat pasi di sana adalah tawanan yang berhasil tim Mayor Anne tangkap sebagai oleh-oleh. Sangat tidak mudah untuk menangkap musuh hidup-hidup. Sasha terkagum dengan tim Mayor Anne.  Mayor Anne terkekeh. "Semua orang juga berkata begitu." Lalu ditatapnya instens pria tak berdaya di sana. "Saat itu aku mencoba melakukan penelitian pada tubuhnya, apakah dia akan bertahan di bawah sinar matahari selama berjam-jam ataukah akan melebur jadi abu. Ternyata hasilnya, sinar matahari tidak memberi efek apapun secara fisik padanya. Aku coba memotong jarinya, dan secara ajaib lukanya beregenerasi saat itu juga, lalu aku coba tusuk dadanya dengan tombak dan dia menjerit tapi tidak mati. Namun, tepat di puncak hari yang sedang terik, aku mulai melihat uap tipis keluar dari tubuhnya, aku mencoba menari tahu dengan menyentuhnya seketika saja dia hampir meraih leherku," ceritanya panjang lebar. "Hahah! Untung saja dia diikat rantai khusus yang membuat pergerakannya langsung tersetrum." "Lalu, apa anda menemukan kelemahan vampir?" "Sejauh ini kita hanya tahu keunggulan vampir. Mereka memiliki pendengaran tajam sampai sejauh tiga ratus meter, tubuh mereka beregenerasi lebih cepat dari manusia, sinar matahari tidak berpengaruh padanya, ketika berdiri di guyuran hujan dia tidak bereaksi, tapi sepertinya eksperimenku kemarin sedikit lagi mencapai pengetahuan baru..." Mayor Anne menggumam bernada skeptis di akhir kalimatnya.  "Jadi, anda mengajakku bertemu untuk melihat vampir ini?" simpul Sasha.  "Untuk menemaniku melihatnya. Bagaimana menurutmu?" "Dia bukan vampir bangsawan kah?" Mayor Anne menggeleng. "Bukan. Dia salah satu tentara vampir." "Mau sampai kapan anda membiarkannya seperti itu?" "Sampai dia buka mulut tentang kelemahan para vampir dan rencana-rencana mereka." Sasha mengangguk-angguk. Diperhatikannya ruangan sekeliling. Tampak biasa saja, seperti penjara bawah tanah pada umumnya yang hangat dan kotor. Namun mereka tidak bodoh dengan menempatkan vampir di tengah-tengah manusia. Lihatlah kalung tebal bercahaya merah di leher pucat vampir itu. Kalung setebal besi yang terpasang di lehernya, persis bak b***k, akan bereaksi menyetrumnya -menyedot tenaganya sampai mati- jika berbuat kerusakan maupun menyentuh manusia. Maka vampir itu tidak mampu melakukan apapun terhadap manusia di kota ini bila masih ingin hidup.  Lalu tatapan Sasha menatap lekat sosok vampir di sana. "Apa kau punya keluarga di sana?" tanya Sasha. Tapi vampir itu hanya diam meringkuk.  "Dia memilih jadi bisu sejak tadi." Mayor Anne menimpali sambil merotasikan matanya jengah. Sudah berbagai cara dia lakukan agar vampir ini mau berbicara. "Dia sepertinya tipe vampir yang sangat setia pada atasan." Sasha menolehkan kepala pada Mayor Anne. "Apakah kita tidak tahu namanya? Bagaimana menurut Mayor jika mereka mempersiapkan p*********n pada kita karena telah menculik salah satunya?" Sasha mengkhawatirkan kejadian yang terbayang di benak. Sungguh, Sasha tidak menginginkan hal itu sampai terjadi.  "Tidak ada nama di pakaiannya. Dan kalau mereka berniat membebaskan vampir tak berguna ini, itu hanya kemungkinan kecil." Brak!  Pundak Sasha terlonjak sedikit. Begitu juga dengan Mayor Anne yang seketika mendelik tajam ke samping. Tepat di depan Sasha, pria vampir itu mencengkram jeruji besi dan wajahnya menempel ke jerujinya, membuatnya terlihat dekat dengan Sasha, sedangkan matanya memelototi Sasha dengan tajam. Sasha berdiri bingung dengan apa yang dilakukan vampir itu. Sedangkan Jarlen di kaki Sasha, menggeram galak menatap tajam vampir tahanan.  "Kau!" Suaranya terdenga serak dan dalam. "Bau mulut sangat enak!"  Kali ini giliran mata Mayor Anne yang terbelalak kaget. Baru sekarang dia mendengar suara vampir itu!  Sasha mengerti apa yang ada di pikiran Mayor Anne, lantas berbicara pada vampir tersebut. "Apakah bauku lebih enak dibanding Mayor Anne?" Vampir itu mengangguk-angguk semangat. "Baumu sangat menggoda dari manusia di luar sana! Aku hampir tidak bisa menahan diriku untuk tidak menyerangmu." Pengakuannya berbahaya. Tapi Sasha tidak takut. Justru dengan tegas dia menatap mata vampir itu, kini hanya jeruji besi yang memisahkan mereka. "Sasha, jangan terlalu dekat." Mayor Anne mengingatkan. Pasalnya, dia mengkhawatirkan tangan vampir itu meraih Sasha dan menggigit kulitnya sebelum mati akibat setruman hebat di leher. Gigitan vampir berbahaya. Sama berbahayanga dengan digigit macan atau buaya. Karena hanya dalam seperkian detik taring vampir menancap ke daging manusia, darah manusia terkuras habis lalu tewas.  Sasha bergeming di tempat. Seolah dia tidak mengkhawatirkan apapun jika terjadi sesuatu padanya. "Anda tidak perlu cemas, Mayor. Bagaimana aku terlihat di matamu?" Sasha melanjutkan pertanyaan pada vampir tawanan.  "Seperti makanan paling berkilau dan menggugah selera. Kau sangat istimewa. Tapi---" Vampir itu menggantungkan kalimatnya yang mengundang penasaran di benak Sasha dan Mayor Anne. Perlahan cengkraman jari pucatnya mengendur dari jeruji besi, pula tubuhnya beringsut mundur perlahan dengan menggigil, menunjukan gestur ketakutan yang tak lazim untuk ras vampir di hadapan makanannya. Baik Sasha maupun Mayor Anne keheranan menyaksikan sikap demikian.  Dan sejak malam itu vampir itu menutup mulutnya lagi.  "Tunggu, Sasha, aku belum bicara," ucap Mayor Anne saat mereka meninggalkan menara. Sasha berhenti untuk menatap wanita lajang berusia tiga puluhan tersebut. Sasha menelengkan kepala ketika merasa bingung. Bukankah tadi Mayor Anne mengatakan alasan dia memanggilnya bertemu adalah untuk menunjukan vampir tahanan? Tapi sepertinya ada hal lain yang disembunyikan dari Mayor Anne. Melihat dari guratan wajah putihnya yang tegang di matanya, Sasha berpikir bahwa alasan tadi bukanlah maksud sebenarnya dia dipanggil ke sini. Lalu Mayor Anne menarik langkah lebih dulu dengan melewatinya seraya mengatakan. "Ikut aku. Kita tidak bisa berbicara di sekitar tahanan vampir kan?" Dengan mengikuti langkah Mayor Anne masuk ruang kerjanya di lantai dua, Sasha memperhatikan wanita itu memutari meja kerjanya dan mengeluarkan berkas dari laci. "Ini adalah dokumen laporan dari kopral yang bertugas untuk berpatroli siang tadi," ucap Mayor Anne menunjukkan map biru kemudian diletakan di meja. Sasha hanya meliriknya, dan kembali menatap Mayor Anne yang kini terduduk gelisah di kursi kulitnya. "Bacalah, dan kau akan tahu." Lantas Sasha menuruti instruksi Mayor Anne, dengan mengambil map tersebut dan membukanya, membaca kalimat demi kalimat dengan serius. "Surat itu datang tadi siang oleh burung gagak. Aku hampir tidak percaya dengan isi surat itu. Tapi sampai saat ini kami tidak menerima kabar dari tim 19...." Kening Sasha mengerut saat mencoba memahami isi surat di tangannya. "Mereka menemukan tumpukan mayat dan jejak makhluk misterius .... Apakah ke lima anggota tim 19 telah gugur?" Sasha menyimpulkan dengan hati-hati. Dugaan itu juga tidak Sasha inginkan terjadi. Jarlen yang duduk di samping kaki jenjang Sasha, mendongak jauh dan mengamati ekspresi tuannya dengan sorot dalam. "Aku tidak tahu. Aku memikirkan hal ini hampir seharian sejak surat datang kepadaku," jawab Mayor Anne. "Dan anda ingin aku memeriksa keberadaan mereka? Tapi anda ragu untuk memerintahkan hal ini." "Kau terlalu cerdas, Sasha." Mayor Anne mengatakannya dengan raut kecewa. Yang dibalas senyuman maklum di bibir tipis Sasha, seolah semua akan baik-baik saja, seolah dia sanggup menerima tugas tersebut, seolah melakukan perjalanan ke luar dinding yang diketahui sangat berbahaya dan bertemu dengan musuh adalah hal biasa -memang. Bahkan tidak ada keraguan di dalam netra oranye Sasha yang unik dan tegas. Mayor Anne menarik napas dalam. "Baiklah. Besok pagi bawalah sepuluh prajurit termasuk Dina dan Nellas. Pimpinlah mereka sampai kalian kembali lagi ke Madland." Sasha terkejut. "Aku memimpin mereka? Bukankah dalam setiap misi kualitas Nellas lebih cocok menjadi ketua tim?* heran Sasha mengeryitkan dahi. "Ya, Nellas juga Elf yang jenius. Tetapi untuk misi ini, anggaplah sebagai debutmu menjadi calon pemimpin kelompok di kemudian hari. Kau sudah lebih dari layak sebagai ketua tim, Sasha." Sejenak ruangan jadi hening saat Sasha diam mempertimbangkan. "Baiklah. Aku terima tugas ini," ucap Sasha mantap. Dia membulatkan tekad walau tahu konsekuensi menjadi seorang pemimpin lebih berat, tanpa terlalu banyak berpikir yang hanya akan mendatangkan keraguan di benaknya, dan hal tersebut berdampak pada keputusan yang dia buat nanti jadi kacau. Seperti yang diharapkan Mayor Anne, Sasha adalah salah satu prajurit wanita pemberani dan sangat konfiden. Maka Mayor Anne menarik sudut bibirnya ke atas untuk tersenyum bangga mendengar jawaban anak buahnya. "Aku akan memberi tahu mereka." *** Hari kedua food festival tahun ini tidak bisa Sasha nikmati sampai selesai. Di pertengahan pagi, dengan kabut tipis masih memeluk udara yang dingin, Sasha sudah duduk di pinggir ranjang sambil mengikat tali sepatu bootsnya cepat. Tampak Jarlen duduk menunggu di tengah pintu kamarnya yang terbuka lebar. Kemudian gadis itu bangkit menutup pintu kamar. "Kau sudah tidak sabar, ya Jarlen," kata Sasha berjalan menuju pintu rumahnya dengan diikuti serigala besar itu. Jika bukan karena tugas, mungkin saat ini dia masih bergelung di bawah selimut seperti tetangga lain. Setelah menutup rapat pintunya (Sasha tinggal di rumah susun berlantai lima), hanya dua langkah ke samping dia berhenti di depan pintu kayu yang berada tepat bersebelahan dengan pintu rumahnya. Mengetuk daun pintunya tiga kali sambil menunggu sabar penghuni rumah membukakan pintu, barulah ketika pintu di depan hidungnya bergerak membuka dari dalam, Sasha menahan napas seketika. "Oh, Sasha, ada apa?" tanya Nellas dengan watadosnya. Tidakkah Nellas berpikir bahwa membuka pintu tanpa memakai pakaian atas sehingga memperlihatkan kulit putih mulusnya dengan d**a lebar dan otot perut yang liat serta pinggang rampingnya yang kokoh, nyaris membuat Sasha kehabisan napas oleh semua bentuk tubuh Nellas yang baru pertama dilihatnya. Akan tetapi Sasha pandai menutupi perasaannya saat ini dengan memutar bola matanya jengah. "Cepat pakai bajumu, yang lain pasti sudah menunggu!" Diakhiri dengan decakan lidah seakan menunjukan sedang kesal. Walau sebenarnya itu cara dia memanipulasi salah tingkah akibat melihat pemandangan sexy dari seorang pria yang diam-diam tersemat di hati. "Oke, aku tidak akan lama." Kemudian pintu ditutup lagi, dan Sasha mengembuskan napas lega. Kini dadanya terasa lebih bebas bernapas. Tidak berselang lama, pintu terbuka dan Sasha berbalik dari arah jendela lorong, mendapati figur Nellas yang telah berpakaian lengkap. Rambut putihnya dibiarkan tergerai, tapi anak rambut di sisi telinga ditarik ke belakang, terikat rapi di sana. Sementara poni di dahi membingkai wajah androgininya. Dalam keadaan apapun, jujur saja, Nellas tetap terlihat menarik di benak Sasha. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN