Cahaya yang menyinari membuat Sasha terbangun, rasa lelah di sekujur tubuh berangsur-angsur membaik hany dengan berbaring di bulu lebat seekor serigala besarnya, tetapi tunggu dulu, masih dalam pandangan buram dia justru seakan melihat wajah seorang pria di atasnya yang membuat dia mengeryitkan dahi karena terheran. Berpikir apakah dirinya salah lihat?
Lalu Sasha mencoba mengerjapkan mata agar mendapat pandangan yang lebih jelas lagi. Pada detik itu pula siluet wajah seseorang telah berganti menjadi moncong Jarlen. Sasha mendengus. Rupanya dia salah lihat, pikirnya, seraya beringsut bangun dan langsung disuguhi pemandangan menarik di sejauh mata memandang.
Fajar terbit.
Dan dia kini berada di spot terbaik untuk menyaksikan matahari itu naik dari balik gunung besar di kejauhan sana. "Waaah! Lihat, Jarlen!" Sasha terpukau. Jarlen ikut duduk di sampingnya.
Sebuah pemandangan yang tak kalah indah bila dilihat dari belakang, di mana punggung mereka yang duduk berdampingan sambil menghadap pegunungan dengan warna kuning menyeruak di langit luas, menunjukan persahabatan yang begitu hangat antara manusia dan serigala buas.
"Jarlen .... Mungkin ini saatnya kita harus bergerak." Sasha bangun. Pandangan yang menatap ke depan tampak begitu tajam dan penuh percaya diri. Sementara di sampingnya juga Jarlen ikut bangkit dengan keempat kakinya. "Ayo kita temui seseorang."
Sasha merasa tidak bisa berlama-lama berdiam diri dan menunggu dalam ketidakpastian. Dia sudah dewasa dan sudah mampu bertarung di dunia luar. "Harus berapa lama lagi aku di sini!" geram Sasha. Dia sangat kesal pada diri sendiri. Semenjak kegalauannya tadi malam, dan hal itu sudah dimulai saat cintanya sepihak sehingga membuatnya hayut dalam kelemahan khas seorang wanita yang tertolak cinta, Sasha sering tersadar bahwa dia hampir melupakan tujuan utama dirinya bergabung dalam kemiliteran, berlatih fisik begitu keras sewaktu kecil, dan segala perjuangannya untuk dapat dikatakan layak bertarung.
"Kali ini .... Kali ini dan selamanya, aku tidak akan membiarkan perasaanku memengaruhi ambisiku!" tegasnya. Sasha harus menyalakan api ambisinya lagi yang sempat meredup gara-gara cinta. Dan mungkin karena cinta yang nyaris melemahkan dirinya, Sasha pikir harus membenci perasaan itu agar tidak bertambah tumbuh di hatinya.
Apa kau pikir dia tidak pernah berusaha merelakan Nellas? Perkiraan itu salah. Sudah berulang kali Sasha mencoba melupakan perasaan ini dengan berbagai cara. Tapi kembali lagi, semua upayanya selalu berakhir gagal karena rupanya api ambisi di relung benak telah menyurut. Sasha baru menyadari hal ini setelah bangun tidur tadi, ditambah peristiwa saat disekap di goa goblin beberapa minggu lalu, sebuah kejadian yang menyentak mata hati Sasha di mana dia teringat lagi akan kematian s***s sang ibunda sehingga menjadi sumber kebenciannya untuk balas dendam.
"s****n, kau Sasha!" hardik dirinya sendiri. Sasha mencebikkan bibir.
Sasha dan Jarlen tiba di tempat perguruan ketika hari sudah siang. Beberapa kelompok kadet sedang berlatih pedang mereka menggunakan pedang kayu. Mendatangi tempat ini membuat Sasha merasa rindu akan masa kecilnya dulu di mana dia giat berlatih dari nol sampai badan penuh keringat, tangan pegal-pegal memegang pedang kayu, ototnya diperas di sekujur tubuh akibat program latihan fisik yang keras.
"Ah~Sasha. Kau hampir membuang ambisimu," bisiknya sendiri, sembari menikmati pemandangan tersebut.
Kedatangannya di sini sebagai satu-satunya wanita di antara para pria militer tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga menimbulkan tanda tanya di wajah mereka, lebih-lebih seekor serigala besar yang gagah menemaninya di samping. Sasha tidak menyadari jika dirinya menjadi pusat perhatian mereka.
Beberapa di antaranya berbisik-bisik. "Bukankah dia anggota Prajurit Khusus?"
"Hah? Benarkah?"
"Aku dengar ada prajurit yang memiliki anjing besar. Mungkin dia orangnya."
Desas-desus teman-temannya terdenga menarik untuk diuji bagi seorang wanita berambut cokelat pendek yang sedang tersenyum miring. Kemudian dia meninggalkan kelompok itu saat melenggang menuju Sasha berdiri.
"Kau mencari siapa?" Gayanya tampak pongah penuh kuasa. Dengan tatapan sinis yang tidak disembunyikan. Apa-apaan wanita ini? pikir Sasha keheranan. Tapi Sasha menanggapinya dengan santai seolah itu hal sangat biasa. "Aku ingin bertemu dengan tuan Gregor. Apa kau tahu di mana beliau?" tanya Sasha sambil menyapukan pandangannya ke belakang wanita bergaya laki-laki ini, lalu kembali menatapnya dan menemukan mata wanita itu sedang menilai penampilanya dari atas ke bawah dengan mata memicing. Hingga ke empat mata mereka bertemu lagi, di mana wanita itu harus sedikit mendelik ke atas karena perbedaan tinggi badan mereka.
Wanita itu menyeringai miring. "Kau membawa pedang. Tentu itu bukan cuma hiasan, kan?" katanya.
Sasha tidak mengerti maksud wanita itu, akan tetapi dia menjawab seadanya dengan jujur. "Ya. Ini pedang milikku."
"Kuanggap kau bisa melindungi dirimu sendiri." Lalu dia mengeluarkan pedangnya dari samping pinggang dan diarahkan ke depan wajah Sasha. "Aku Stacy. Bisa membuatku terancam oleh pedangmu, akan kuantar kau menemui tuan Gregor." Dia menantang.
Sasha mendengus. Tapi dia berpikir bahwa tidak ada salahnya menerima tantangan dari wanita itu. Kemudian sebilah pedang dikeluarkan dari sarungnya, dan membuat perhatian semua orang tertuju pada mereka berdua.
Wanita bernama Stacy tampak tersenyum puas. Berbeda dengan Sasha yang memasang raut datar. Namun, melihat cara Sasha memegang pedang hanya dengan satu tangan, membuat Dina merasa diremehkan. Stacy mendadak jadi kesal padanya. Padahal dirinya memegang dengan kedua tangan dengan sikap siaga.
Mereka saling menggeser langkah seakan membuat lingkaran seraya tak mengalihkan tatapan dari lawan. Sebelum kemudian Stacy maju dan menyerang lebih dulu. Seketika bilah pedangnya terhenti ketika Sasha berhasil menahannya dengan mudah. Pertarungan dengan pedang asli sedang berlangsung dan menjadi tontonan menarik. Suara pedang yang beradu menambah semangat para penonton.
"Menurutmu, siapa yang akan menang?"
"Stacy adalah calon prajurit yang sudah siap diterjunkan ke medan perang."
"Dan lawannya merupakan level Prajurit Khusus."
"Aku juga mendengar istilah Prajurit Khusus. Tapi aku tak tahu---"
"Kau tak tahu!!! Astaga, kau seorang kadet, seharusnya hal sepele seperti ini sudah tahu. Ekhm, baiklah. Akan Ian jelaskan."
Seorang lelaki di sampingnya tersentak. Lalu mendelik dingin pada rekan dan juniornya yang sedari tadi terus mengoceh. Tampak juniornya menatap dengan mata berbinar-binar, dan membuat dia mendengus panjang. "Di kemiliteran Kings Manespell ada beberapa divisi keprajuritan, dan kita bahas dari level terbawah." Ian memulai kuliahnya.
"Ada divisi prajurit biasa, mereka adalah prajurit yang siap sedia membantu di peperangan bahkan digunakan sebagai pion saja. Ada divisi penjaga, mereka hanya bertugas di wilayah perbatasan dan biasanya menjaga gerbang setiap benteng kota. Ada divisi keamanan rakyat, kau tahu lah tugas mereka melayani warga dari aksi kejahatan manusia. Ada divisi patroli, mereka sekelompok prajurit yang ditugaskan untuk menyisir bagian luar benteng kota, salah satu prajurit yang sewaktu-waktu bisa bertemu secara langsung dengan monster. Selanjutnya divisi Knightly Cane alias pasukan ekspedisi, mereka adalah prajurit terpilih karena kemampuannya dalam bertarung. Kudengar proses perekrutannya juga sangat sulit dan keras. Lalu ada kelompok Ksatria. Untuk dapat berada di posisi ini cukup mudah tapi tergantung keberuntungan. Kau hanya perlu memimpin minimal sepuluh ribu prajurit dan membawa pulang kemenangan."
Tampak Sasha dapat mengimbangi serangan pedang Stacy. Gerakan Stacy memang cepat, akan tetapi Sasha sekarang bisa melihat celah kelemahan lawannya. Tidak membuang kesempatan, Sasha selangkah maju dan langsung menghentakan pedangnya pada lawan secara mendadak. Bilah pedang pun melayang jatuh ke tanah, dan Stacy tercekat diancam ujung pedang Sasha di lehernya.
"Sekarang, beritahu aku di mana tuan Gregor." Sasha menegaskan sekali lagi tujuannya kemari.
"Kau belum memberitahuku namamu?" kata Stacy mendesak.
"Sasha," balasnya pendek.
Secara naluriah Jarlen dapat merasakan kehadiran makhluk buas lain di sekitar. Jarlen mengarahkan kepalanya menoleh ke arah pegunungan nan jauh terlihat di sana. Energi makhluk itu terasa kuat dan dia merasakan gelombang kegelisahan. Jarlen tahu siapa yang harus dia temui.
Lalu, dia berpaling sejenak pada Sasha, memperhatikan gadis itu yang beranjak ke arah lain.
Jarlen merasa perlu mencari tahu sumber kekuatan itu. Maka, dia pergi tanpa ada yang menyadarinya, termasuk Sasha.
***
Menemukan seorang pria baya di antara deretan persediaan s*****a di meja, bibir Sasha mengembangkan senyuman. "Paman Gregor!" panggilnya bernada akrab. Membuat punggung renta itu berbalik badan. Mata keriputnya terbelalak.
"Sasha! Tumben sekali aku melihatmu ada di sini semenjak debut sebagai prajurit." Pria baya itu menyeringai lebar dan membuat Sasha meringis mendengar itu.
"Yah, aku rasa aku merindukanmu, paman Gregor." Sasha membalas dengan jujur. Pasalnya mereka sudah lama sekali tidak bertemu walau terkadang bertemu secara tidak sengaja di pasar maupun di bar. Kesibukan Sasha sebagai anggota prajurit khusus yang sering menerima perintah langsung dari Mayor Anne hingga Letnan Gery.
"Ohoho! Aku tahu maksudmu. Kemarilah, kita bicara di ruanganku," ajaknya. Masuk ke salah satu ruangan. Lalu mereka duduk bersama dengan saling berhadapan di seberang meja. Hanya ada mereka berdua di ruangan dengan pintu tertutup rapat itu.
Pembicaraan bersifat rahasia pun dimulai. "Paman, kita sudah terlalu lama berdiam diri di sini. Apakah paman tidak berniat menjemput anak paman?" Sasha memulai pada poinnya.
Gregor menarik napas dalam. Dia tahu maksud perkataan Sasha. "Kau tahu, aku tidak memiliki kekuatan untuk pergi ke sana. Kau tahu pasti, di sana adalah tempat yang sangat berbahaya untuk manusia seperti kita."
"Apa maksud paman, paman takut pada kematian karena menyelamatkan anak sendiri?" Sasha menyambung dengan nada mencela.
Gregor terdiam sesaat untuk berpikir. Permasalahan ini terlalu rumit.
"Paman, aku merasa bisa mencapai tempat itu dan mengambil alihnya." Sederet kalimat konfiden Sasha langsung menarik atensi Gregor yang seketika menatapnya terkaget.
"Apa maksudmu, Sasha?"
Kemudian seulas senyum penuh percaya diri terbit di wajah Sasha. Membuat benak Gregor jadi penasaran. "Aku akan mengajukan permintaan pada atasan untuk merebut kembali benteng Millhaven. Aku yakin mereka akan setuju dengan saranku. Kalau dulu, mungkin aku masih terlalu kecil untuk mengajukan permintaan ini. Tapi sekarang, mereka mengenalku."
"Ya, kota itu adalah kota kelahiranmu dan kota cucuku dibesarkan, bersama anak-anak lain."
"Benar! Apakah tidak mengherankan pemerintah militer tidak memerintah kita untuk melakukan p*********n pada kota itu setelah sepuluh tahun diduduki vampir?" kata Sasha bersemangat.
"Di sana berbahaya, ada banyak prajurit vampir yang berjaga. Singkatnya, tempat itu seluruhnya telah diisi para vampir dan makhluk buas lainnya." Gregor mencebikkan bibir. Kesal. "Ini adalah pertarungan yang sangat tidak seimbang, Sasha. Mereka memiliki kekuatan sihir di luar batas kemampuan fisik manusia. Sedangkan manusia tidak memiliki sihir apapun untuk menyerang ataupun mempertahankan diri, sekalipun kita berlatih keras." Pria baya itu tidak bisa mempercayai kemenangan manusia melawan makhluk buas. Gregor pesimis. Sebagai teman ibu Sasha, dia merasa malu di hadapan gadis itu, karena merasa tidak berdaya.
"Tidak! Itu sama sekali tidak benar! Manusia bisa menang melawan mereka. Buktinya saja ada gelar Ksatria! Mereka adalah prajurit yang telah berhasil memenangkan pertempuran tidak seimbang itu, paman! Apakah paman tidak ingin anak paman kembali?" Sasha terus membujuk sambil berapi-api.
"Lalu, apa sebenarnya tujuanmu mengatakan semua ini padaku?" balas Gregor yang tetap tenang meski lawan bicaranya sudah duduk kepanasan.
Sasha tersadar dirinya sudah berdiri lagi saat bicara tadi. Akhirnya dengan emosi yang kembali tenang dia mendudukan dirinya di kursi semula. "Aku ingin meminta dukungan anda, paman, untuk melancarkan rencana kudeta di Millhaven. Bagaimana menurutmu?" Sasha perlu berdiskusi pada pria baya ini sebagai sesama penduduk Millhaven yang terusir dari tanah kelahirannya sendiri.
"Sebelum kau datang lagi ke sini setelah sekian lama, minatku akan pembalasan dendam pada mereka berangsur-angsur menghilang. Tapi terkadang gambaran cucuku terbayang-bayang di benak setiap kali melihat anak-anak berkeliaran dengan ceria. Dan aku bertanya, apakah cucuku akan seperti mereka jika dia berada di sini? Sasha, kau tahu, usiaku semakin hari semakin tua, dan tangan kakiku tidak dapat berdiri sempurna lagi. Aku mungkin tidak dapat dipercaya lagi untuk bergabung dalam militer karena kondisiku yang tidak prima."
"Kaki paman? Kaki paman kenapa!" Sasha baru dengar kabar ini. Dia membeliak terkejut.
"Lima tahun lalu, aku berpatroli tanpa tahu bahwa itu akan menjadi tugas militer terakhiku ketika aku memasuki kumpulan kabut beracun untuk mencari anggotaku yang hilang. Kabut itu ternyata bisa melumpuhkan tubuh manusia, dan membuatnya tidak dapat bergerak untuk dijadikan santapan ghoul. Aku hanya menemukan anggotaku sudah sangat lemas dan memberitahuku tentang dampak menghirup kabut itu. Efeknya segera terasa, dan aku berusaha menembus kabut dengan tertatih-tatih. Aku masih beruntung karena seluruh tubuhku tidak lumpuh setelah kembali ke kota lagi, namun sebelah kakiku terkena dampaknya. Untuk menyiasatinya, dokter memberikan pil ramuan untuk menahan kekuatan kaki kananku setidaknya bisa berdiri dan berjalan walau hanya sampai tiga jam saja."
Kali ini giliran Sasha yang terdiam. Lalu dia memalingkan wajah ke jendela. Terlihat dengan jelas mereka sedang berlatih pedang di lapangan itu. "Murid paman sudah sebanyak itu meskipun mereka tahu keadaan paman."
"Tidak, mereka tidak tahu," sanggah Gregor berbisik. Seketika Sasha menoleh dengan pandangan kaget lagi. "Benarkah? Kalau paman bisa menyembunyikan rahasia ini sampai bertahun-tahun, itu artinya paman bisa mendukungku tanpa ada alasan apapun kan?"
Gregor adalah mantan panglima perang sewaktu usianya masih muda. Pernah menjadi bintang di masanya. Namun sekarang beliau sudah pensiun dan mendirikan perguruan menjadi tenaga pelatih para kadet untuk dipersiapkan sebagai prajurit militer Manespell selanjutnya. Sasha tidak sembarangan memilih orang untuk mengajak kerja sama. Karena meskipun pria tua itu terlihat sudah lanjut usia, Gregor masih memiliki pengaruh dalam dunia militer Manespell. Apalagi sebuah cerita yang Sasha dengar bahwa Gregor adalah teman dekat kaisar Manespell.
"Sayangnya tidak bagi Raja kita. Beliau sudah tahu kondisiku dan melarangku untuk terjun ke medan perang."
Ah .... Sasha terbungkam. Mereka tidak bisa menentang Raja.
"Apakah paman tahu mengapa militer tidak memerintahkan kami untuk melakukan perebutan kota Millhaven? Secara logika, kekuatan tempur kami semakin tahun semakin kuat. Kita bisa menyatukan kekuatan kita semua, bukan?"
"Tidak semudah itu, Sasha." Jeda Gregor. "Aku percaya kau telah melampaui kemampuan prajurit biasa dan berhasil masuk dalam Prajurit Khusus. Itu sebuah perjuangan yang tidak mudah. Apalagi kau sebagai satu-satunya tentara wanita di Prajurit Khusus." Gregor mengakui.
Lalu dia melanjutkan. "Kondisi Millhaven sekarang tidak sama seperti dulu. Kota itu saat ini dipenuhi dengan ratusan ribu tentara Orc ditambah dengan pasukan Level V. Kita tidak bisa mengerahkan seluruh pasukan kita untuk menyerbu satu kota. Sebagian yang tentara kuat juga harus menjaga tiap kota yang masih diduduki manusia selama mereka pergi berperang. Kita belajar dari kejadian Millhaven. Dulu, seluruh tentara Millhaven ditugaskan untuk berperang di wilayah Utara, dan hal itu digunakan musuh lain untuk menguasai kota kita. Seperti itulah bagaimana Millhaven, sebuah kota indah, jatuh ke tangan predator yang kejam."
Sasha tidak menyangkal fakta tersebut. Kilas balik ingatannya terlintas gambaran bagaimana nenek dan kakeknya tewas karena melindunginya. Sasha menggertakan gigi, tangannya mengepal kuat. Menyadari bahwa ibu hingga pasangan tua -walau bukan sedarah, tapi telah bersedia merawatnya- semua mati karena kelemahannya sendiri. Mereka mati karena melindunginya dari serbuan makhluk buas.
"Kenapa kau tidak membujuk kaisar saja? Dia kan menyayangimu seperti anaknya sendiri."
Celetukan Gregor menyentak benak Sasha. Sasha meringis. Sambil menggaruk pipinya dengan canggung, dia berkata. "Hubungan kami tidak sebaik dulu."
"Ya, itu karena kebodohanmu." Gregor langsung menghardiknya. Padahal belum ada semenit dia memuji Sasha.
Sasha menghela napas. "Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan kaisar!"
Gregor menatap Sasha penuh makna. Sudah sejak dulu dia tahu niatan Sasha yang ingin merebut kembali benteng Millhaven. Waktu berlalu sangat cepat, Gregor seolah baru saja kemarin dia merawat seorang bocah ingusan yang memaksanya untuk dilatih ilmu berpedang. Seorang bocah perempuan yang berambisi, kini sudah tumbuh menjadi seorang prajurit tangguh, bahkan tergabung ke dalam divisi ekspedisi yang dikenal dengan tugas berbahaya.
"Sebaiknya kau temui dia. Sudah lama kau tidak bertemu dengannya, bukan? Aku yakin dia sangat merindukanmu. Rayu dia dan dapatkan hatinya untuk rencanamu. Mudah kan?"
Sasha melirik jengah. "Mudah jika bicara ...." Lalu menarik napas dalam. "Aku akan cari waktu yang tepat untuk menemuinya!" tegasnya mantap.
***