Jarlen terhenti ketika berada di hutan. Matanya menatap tertegun pada sekelompok prajurit mabuk sedang menganiaya seekor serigala kecil betina. Jarlen mengetahui hanya sekali lihat, bahwa serigala itu bukan hewan biasa yang tidak berakal. Sedangkan kelima prajurit itu mengenakan seragam berwarna cokelat, terdapat emblem di lengan kiri berlambang kepala anjing di tengah gambar perisai. Jarlen langsung mengetahui mereka berasal dari prajurit keamanan.
Jarlen mencebikan bibir. Tampak serigala betina itu tersudut di tengah-tengah mereka. Membuat Jarlen geram dan dalam sekejap dia mengubah wujudnya menjadi manusia. Lalu melangkah dengan berani menghentikan perbuatan mereka. "Apa yang kalian lakukan?"
Kegiatan mereka berhenti. Kini seluruh atensi sepenuhnya tertuju pada Jarlen. "Justru apa yang kau lakukan di hutan begini dengan tanpa baju?" Prajurit itu terkekeh. Wajah mereka tampak memerah karena efek alkohol. Ini masih pagi dan mereka seharusnya bertugas malah asik mabuk-mabukan.
"Aku sedang berolahraga dan terganggu karena suara keras kalian yang seperti gerombolan bebek di danau." Jarlen memberi alasan, sebenarnya dia menyadari meladeni mereka hanya buang waktu saja. "Akan kulaporkab perbuatan kalian pada atasan kalian."
Ancaman Jarlen dibalas seringaian pongah dari mereka. Kemudian salah satunya mendekat dengan gaya angkuhnya bak preman pasar. "Mau melaporkan kami? Silakan! Silakan kau laporkan. Dan serigala ituitu--" ucapnya sambil menunjuk ke belakang di mana serigala kecil betina berada di sana. "Kami sedang melakukan tugas untuk laporan warga yang diganggu serigala, kau tahu, hah?" Lalu dia berbalik seraya mengatakan. "Laporkan saja kami setelah kami membawa serigala ini untuk dijadikan daging panggang nanti malam." Disambut tawa teman-temannya.
Seketika, telapak tangan menahan pundak pria itu dari belakang. Begitu dia menoleh, Jarlen membisikan. "Maafkan aku, human." Sedetik kemudian satu pukulan menghantam tengkuk. Membuat tentara keamanan itu pingsan di tempat. Aksinya kontan mengundang reaksi terkejut empat orang sisanya. Tapi Jarlen menggunakan kecepatan kilatnya untuk berpindah-pindah ke belakang mereka dan memukul tengkuk mereka satu persatu.
Lima tentara tidak berguna itu telah berhasil ditumbangkan dengan mudah. Dari sudut tajam matanya menatap serigala itu, Jarlen berkata. "Ikuti aku." Dan mereka berderap meninggalkan kelima manusia yang terkapar menyedihkan di tanah.
Jarlen berhenti di tempat yang menurutnya sudah jauh dari manusia. Mereka masih berada di kawasan hutan. Lalu dia menatap serigala dewasa berukuran normal itu untuk menanyakan. "Bagaimana caramu bisa masuk ke dalam tembok kota?"
Secara ajaib serigala betina itu berubah wujud menjadi seorang wanita. Monica. Dia memberi bungkukan salam hormat padanya dengan kepala tertunduk kalem. "Saya mengikuti rombongan manusia yang mengungsi ke kota ini, dan berpura-pura menjadi hewan peliharaan mereka. Beruntungnya petugas penjaga gerbang itu tidak menanyakan tentangku. Sehingga aku bisa masuk dengan mudah."
"Baiklah. Kau sampai memaksa masuk ke sini. Pasti ada hal penting yang ingin kau sampaikan padaku." Jarlen menebak. Mengenal Monica bukan tipe orang yang banyak basa-basi.
"Ya. Selama pengintaian saya di luar. Para goblin dan vampir mulai menyadari kebangkitan Devil Blood. Sekarang mereka mungkin sedang menyusul strategi untuk mengambil alih wadah Devil Blood itu."
"Ini lebih cepat dari dugaanku." Jeda sejenak. "Aku juga mulai merasakan energi dari Devil Blood, hanya sesaat dan samar-samar sampai aku ragu-ragu kalau itu Devil Blood atau bukan. Saking sudah lama aku tidak merasakannya lagi."
"Benarkah? Di mana anda merasakannya?"
"Hmm, di wilayah pegunungan saat aku mencari tuanku. Lalu energi itu menghilang seperti asap di udara. Aku tak bisa merasakannya lagi." Sejujurnya Jarlen skeptis membahas hal ini. Dia tidak yakin apakah dia benar-benar merasakan energinya atau hanya hayalan semata karena sugesti pikirannya pada Devil Blood.
"Yang jelas, kita harus menemukan wadah itu dan membawanya ke dunia kita," desak Monica.
Jarlen menggigit bibir dalamnya saat gelisah dan bingung. Dia tahu, mengerti maksud Monica, bahwa dia harus bergegas mencari wadah itu dengan lebih serius. Dan jika dia mulai pergi mencari, itu artinya dia harus meninggalkan Sasha sendirian. Kalau sudah begitu, bagaimana dia mengatakan salam perpisahan? Sasha tidak tahu kalau serigala yang tinggal bersamanya selama ini adalah seorang werewolf.
"Apakah anda khawatir pada gadis manusia itu?" tebak Monica tepat sasaran.
Jarlen tidak menjawab. Tapi Monica anggap sebagai jawaban positif. "Jika anda khawatir padanya, saya akan menemaninya selagi anda pergi," usul Monica. Yang langsung mendapat tatapan dari Jarlen.
***
Air mengucur dari atas, membasahi rambut abu-abunya yang sudah kuyup, kemudian meluncur turun ke lehernya yang putih hingga menyusuri lekuk otot perutnya yang keras. Jarlen berdiri di bawah guyuran shower, sambil mendongak menikmati tiap tetes air dengan mata terpejam saat mengusap rambutnya ke belakang. Sementara keadaan di luar kamar mandi kelihatan sepi, tidak menunjukan tanda-tanda keberadaan seseorang.
Sudah lama Jarlen tidak merasakan mandi di kamar mandi seperti ini. Hal itu terjadi selama Sasha berada di dalam rumah. Pengecualian saat ini di mana tuannya sedang berada di luar entah pergi ke mana. Jarlen memanfaatkan kesempatan ini untuk mandi sepuasnya tanpa perlu dimandikan lagi dalam wujud serigala. Sungguh momen-momen itu membuatnya malu. Walau Jarlen maklumi dirinya hanya dianggap sebagai binatang cerdas oleh gadis itu tanpa tahu kebenarannya.
Jarlen tampak galau di bawah guyuran air. Otaknya berputar keras. Setelah pembicaraannya dengan Monica tadi, membuatnya jadi bimbang. Keadaan memaksanya berpisah dari Sasha.
Selain itu dia belum siap menunjukan jati dirinya di hadapan Sasha. Yang sudah pasti akan terkejut, dan mungkin dia akan merasa tertipu selama ini. Ada banyak sekali kemungkinan reaksi Sasha nantinya begitu tahu dia bukan serigala biasa.
Jarlen menghela napas panjang seraya membuka mata dengan perlahan. Jika dia belum siap melihat rekasinya saat ditinggal nanti, maka gadis itu lebih belum siap menerima kepergiannya, pikir Jarlen.
***
"Pergerakan musuh semakin berkembang pesat," ucap Teresa.
Dia adalah Ksatria yang ditugaskan untuk pengintaian dengan membawa setengah pasukannya sambil membasmi monster di jalanan yang mereka lewati.
"Aku menemukan sebuah desa tanpa penghuni. Yang ternyata seluruh penduduknya telah berubah menjadi level V." Teresa melanjutkan. "Aku jadi semakin khawatir dengan masa depan umat manusia. Bukankah kita sudah terlalu lama menutup mata?"
Mereka berkumpul dalam perkumpulan meja panjang di ruang rapat. Dihadiri beberapa petinggi militer juga dari pihak pemerintahan. Termasuk dengan kehadiran Mayor Anne terlihat duduk di sana. "Kalian dengar itu? Mau sampai kapan kita berada di dalam zona aman?" desak Mayor Anne.
"Kita di sini hanya diam menunggu bom waktu." Ada kerut kesal terbentuk di sudut pelipis Raphael. Pria itu bersidekap dengan gaya angkuhnya. Lalu menatap bosan pada para lelaki baya yang menjabat sebagai petinggi di pemerintahan militer. "Seperti tikus di dalam got," tandasnya pedas. Sebagian menyadari kalimat Raphael secara tidak langsung ditujukan pada para orang tua itu.
"Itu sudah menjadi tugas kalian sebagai tentara ekspedisi, bukan? Kenapa kalian tidak berbuat sesuatu untuk menyelamatkan umat manusia?" timpal seorang pria baya bernama Parvine. Dia hadir mewakili divisi kepolisian sebagai komandan tentara keamanan rakyat.
"Tuan Parvine, saya mengerti anda tidak pernah berperang melawan monster, apakah kami bisa memercayakan kota pada orang seperti anda selama kami pergi ke medan perang?" Letnan Gery menyahut. Pria berusia pertengahan tiga puluhan itu dan berwajah tak kalah tampan dari Raphael, menegaskan sebuah permasalahan yang belum mereka putuskan bersama. "Selama ini kami tidak berdiam diri dan hanya mengirim prajurit kami untuk mati di luar. Jika seperti itu yang anda pikirkan, anda telah salah menilai pekerjaan kami."
Perdebatan di antara kedua orang berpangkat tinggi itu dinikmati salah seorang perwakilan dari pemerintahan. Wakil sekertariat wanita itu tampak mengukir senyum tipis dengan tenangnya.
"Setiap tahun kami selalu memperkuat kekuatan militer kita dan terus memperbaharui persenjataan menjadi lebih canggih lagi. Tentu sekarang sudah mengalami peningkatan tujuh puluh persen menuju persiapan perang di Millhaven. Tetapi," Letnan Gery menjeda kata-katanya. Terlihat mengerutkan kening berpikir dan ragu untuk dilanjutkan.
"Kami mendapat kabar tentang wadah Devil Blood." Seorang menyambung ucapan Letnan Gery. Nadanya terdengar tenang dan stabil. Yang membuat wajah mereka menoleh serentak pada seseorang di ujung meja. Pria baya berbadan kekar itu sejak tadi diam mendengarkan diskusi mereka.
"Jadi benar adanya wadah Devil Blood?" gumam anggota lain.
"Sudah seratus tahun lalu sejak kejadian itu. Dan semua orang mudah melupakan pahlawan yang sangat berjasa bagi umat manusia." Namanya Cesar. Seorang komandan pasukan satu yang memimpin divisi ekspedisi.
"Kami sudah berdiskusi, dan memutuskan untuk mencari pemilik Devil Blood itu. Dia adalah seorang manusia, tetapi kita tidak tahu keberadaannya."
"Tunggu dulu, maksudmu, kita akan menggunakan kekuatannya untuk menaklukan kota bahkan dunia dari bangsa predator?" sahut Parvine setengah tidak percaya.
"Ya."
"Oh itu mengejutkan. Aku tahu para pendahulu kalian juga pernah melakukan hal yang sama. Apa kita tidak belajar dari kesalahan?" Kali ini seorang wanita dari sekertariat kerajaan menimpali. "Devil Blood tidak hanya diincar mereka tapi umat manusia juga membutuhkannya sebelum mereka berhasil membawa wadah itu yang belum benar-benar bangkit." Itu adalah kenyataan sulit yang harus mereka terima. "Sudah berapa kali pendahulu kita mengalami kegagalan? Dan mati tanpa mendapatkan celah jalan keluar dari labirin berduri ini?"
Setiap pemimpin militer dahulu juga melakukan rencana dengan tujuan sama seperti sekarang. Mencari wadah Devil Blood. Namun, berkali-kali mereka hanya dikirim ke luar tembok kota untuk mati dengan sia-sia.
"Jika itu yang kau khawatirkan, kurasa kita tidak perlu khawatir lagi," kata Cesar. Mereka terdiam mencerna ucapannya. Lalu Cesar melanjutkan dengan tenang. "Apalagi kita sudah tahu bahwa berdasarkan sejarah, wadah Devil Blood memang manusia. Apa kalian tahu artinya? Pemilik Devil Blood itu akan datang kepada kita jika kita melakukan pertumpahan darah. Dia akan datang menyelamatkan kita."
"Itu terlalu beresiko."
"Itu terlalu barbar."
"Sama saja dengan rencana bunuh diri."
"Kasihan para prajurit itu dipaksa mati."
"Dia gila."
"Hmp! Cesar, apa kau sedang berhayal?"
Komentar demi komentar saling bersahutan di meja panjang itu dari pihak lain. Pengecualian Teresa, Raphael, Mayor dan Letnan Gery, hanya terdiam mendengarkan. Karena mereka sudah tahu tentang rencana itu.
"Ya. Resikonya sangat besar. Besar kemungkinan juga prajurit kami mati di tanah itu. Tapi demi meraih kemenangan umat manusia, kita harus berani berkorban."
"Jadi, kita menggantungkan harapan yang tidak pasti ada?"
"Aku membacanya di buku sejarah, bahwa pemilik dar4h iblis ini akan terbangkit jika ada gejolak pertempuran dar4h manusia dan bangsa predator. Seperti peristiwa seratus lima puluh tahun lalu, seorang manusia muncul tiba-tiba di tengah pertempuran pendahulu kita saat melawan kaum para monster." Berhenti sejenak. "Selain itu, kita tidak bertarung sendirian."
"Kita sedang mengumpulkan lebih banyak garam dari desa Barat. Karena garam ampuh untuk melawan level V. Kemudian setelah garam terkumpul di kota, kita meminta ras Dwarf untuk membantu membuatkan s*****a karena mereka ahli dalam menciptakan persenjataan. Sementara itu kita membutuhkan ramuan dari Elf untuk keperluan medis."
"Apa? Itu tidak mungkin. Ras Elf mungkin bisa bekerja sama dengan kita, tapi Dwarf telah berulang kali menolak untuk bekerja sama dengan manusia. Sifat mereka yang angkuh, suka menimbun harta dan tidak peduli pada peperangan di dunia luar, tidak akan sudi bekerja sama dengan kita."
"Yah, apapun keputusan kalian, akan kulaporkan kepada raja," ucap sekertariat itu.
"Kita butuh kekuatan tempur dan persenjataan dari Dwarf. Dwarf memang ahli dalam pembuatan s*****a. Kita membutuhkan keahlian mereka dan juga." Cesar menyeletuk.
Lalu Raphael menyahut. "Jadi, tujuan kita sekarang adalah mendapatkan pemilik dar4h iblis?"
"Ya."
***
Sasha terlihat sedih. Sepulangnya dari pertemuan dengan Gregor, dia tidak mendapat peluang apapun untuk melancarkan rencananya. Sebuah impian yang sudah tertanam di benak Sasha sejak bertahun-tahun silam.
Dia berhenti sejenak untuk memandang rombongan pengungsi memasuki gerbang utama ibu kota. Dulu, sewaktu dia kecil, juga pernah berada di posisi mereka sebagai pendatang kemudian menetap di kota ini sampai dirinya tumbuh sebesar sekarang.
Para petugas memeriksa mereka satu persatu di pintu gerbang. Dan membuat antrian panjang di luar. Ketika melihat anak-anak, rasa sentimental Sasha muncul. Dia merasa prihatin pada mereka. Melihat anak-anak itu seolah melihat dirinya di masa lalu di mana dia datang ke kota asing tanpa ditemani seorang pun yang dia kenal. Kaum lelaki pergi bertempur lalu tewas, para wanita tidak bisa bertarung pun dijadikan sandra, menyisakan anak-anak yang menjadi yatim-piatu.
Kedatangan mereka seringkali disambut dingin oleh para penduduk Madland. Sasha dapat mendengar keluhan-keluhan di sekitarnya.
"Semakin lama kota ini semakin sempit saja."
"Gandum juga semakin sedikit saja."
"Bila-bila kita semua kelaparan gara-gara mereka berdatangan ke sini. Memangnya tidak ada kota lain, hah?"
"Hey, hey, kudengar kota lain sudah menutup pintu untuk para pegungsi. Hanya ibu kota saja yang masih berbaik hati menerima mereka."
"Cih! Sebenarnya apa yang sedang dilakukan pemerintah?"
Tiba-tiba suara gaduh terdengar dari seberang kirinya. Menoleh ke sumber suara, Sasha mendapati seorang pria baya tampak memarahi seorang wanita muda di depan bar.
"Kau sudah mencurinya! Ganti dengan seribu Zalt atau kulaporkan pada petugas keamanan?" Pria baya itu mengancam. Dia tampak menyeramkan di mata wanita muda yang terpojok gemetar di sana.
"Aku tidak mencurinya! Kenapa kau terus menuduhku!" sanggah wanita itu.
Kesal, mendapat respon berani, dalam sedetik cengkraman pria baya itu sudah menekan pergelangan wanita muda tersebut. "Kalau kau tidak bisa membayar barang curianmu, kau bisa bekerja di rumah b****l dan melunasi hutangmu!" geram pria baya itu, bibir keriputnya menyeringai jahat.
Itu menjadi pemandangan yang hanya bisa ditonton dan dinikmati sebagian orang tanpa ada yang berniat menolong wanita malang di sana. Membuat Sasha merasa geram menyaksikan tingkah pria paruh baya itu. Terlebih saat mendengar desas-desus orang di sekitar bahwa, "bukankah harusnya dilaporkan pada petugas keamanan?"
"Itu percuma. Mereka diam saja."
Sepasang kaki berbalut boots pun beranjak dengan langkah mantap. Sasha menghampiri pria baya yang bertingkah preman itu dengan rencana jahatnya dibalik tuduhan tak berdasarnya. "Hentikan, tuan!" Dengan keberanian yang teguh, Sasha menatap tajam pada pria baya tersebut. Di antara para warga yang menonton, hanya dia seorang yang berani menengahi perdebatan tidak seimbang ini. Mereka semua memilih mengamankan diri dengan tidak ikut campur daripada mendapat masalah baru.
"Apa kau temannya? Jika bukan, pergilah!" usir pria baya itu galak. Sama sekali tidak terlihat tertarik pada Sasha. "Aku punya urusan dengan wanita kurang ajar ini---" Ucapannya terhenti mendadak ketika satu kepalan tinju menekan pipinya cepat.
Sontak saja adegan tersebut mengundang wajah tercengang mereka, menutup mulutnya yang terbuka. Karena di luar dugaan Sasha berani memukul wajah pemilik bar tersebut. Dia tidak bisa menahan diri lagi melihat tingkah pongahnya. "Kau membuatku mual, tuan." Sasha berkata dengan sangat santai. Seolah tinjunya tadi bukan apa-apa untuk dilakukan oleh seorang perempuan. Tangannya tampak baik-baik saja setelah menghantam keras wajah tua itu.
Tentu saja membuat pria baya keras kepala itu merasa malu luar biasa. Dipukul oleh seorang perempuan di hadapan khalayak merupakan sebuah penghinaan. Harga diri sebagai seorang pria telah dilukai. Dia geram sambil memegang pipi kirinya, mendelik tajam pada Sasha yang menaikan sebelah alisnya dengan santai. "Kurang ajar sekali kau wanita!" Seketika dia meraup kerah pakaian Sasha ke atas, membuat kaki gadis itu sedikit berjinjit. Tapi Sasha tampak tenang dibawah tatapan kegeraman pria barbar ini.
Tiba-tiba cengkraman tangan bertengger kuat di pergelangan pria baya itu. "Kau terlalu lancang pada seorang wanita." Suara tegas itu bagai udara dingin yang bertiup. Berhasil menggetarkan pria baya ini, dan dia terlambat hanya untuk melirik ke samping dan tubuhnya sudah dibanting ke tanah begitu cepat.
Sementara Sasha memelotot takjub. Seorang lelaki datang tanpa diundang ke tengah-tengah mereka dan langsung membanting pria barbar ini, pikir Sasha ini sesuatu yang mengejutkan.
Laki-laki itu mengenakan jubah putih dengan tudung yang turun ke pundak. Memperlihatkan seluruh wajahnya dengan jelas. Wajahnya yang putih bersih, bibir tipisnya, rahang tegasnya, hidung yang lancip, bulu mata lentik dan alis tebal yang tampak rapi alami, dilihat sekilas pun dia terlihat asing bagi Sasha yang telah banyak melihat penduduk Madland.
Sasha terpukau menatap bola mata abu-abu lelaki itu. Itu bukan warna mata manusia pada umumnya. Sasha tahu warna mata makhluk selain manusia. Misalnya saja warna biru pada iris milik Nellas sebagai Elf. Merah pada mata vampir. Hitam-merah pada mata ghoul, dan kuning untuk mata goblin. Tetapi abu-abu, Sasha tidak pernah bertemu dengan pemilik mata kelabu selama petualangannya di dunia luar dan bertarung dengan banyak monster. Justru mata lelaki itu terasa familier.
Sasha tersentak.
Gelangnya!
Benar! Dia akan tahu jika melihat pergelangan tangannya apakah lelaki ini memakai gelang atau tidak!
"Sasha!"
***
"Hey! Apa kalian tahu!" Thomas terlihat heboh ketika masuk ke dalam bar. Bar masih sedikit sepi dari pengunjung. Hanya beberapa temannya di dalam termasuk Nellas yang sedang menikmati sepotong kue bersama Julius dan anggota tim lain. Kedatangan Thomas sontak mengundang perhatian mereka. "Terjadi perkelahian di bar Ante!"
"Heih! Kukira apa!" Mereka tampak kecewa. Merasa konyol mendengar kehebohan Thomas. Sedangkan Nellas tampak mendengus dengan tenang.
"Ini bukan perkelahian antar lelaki pemabuk." Thomas paham bahwa kabar demikian jelas tidak menarik di dengarkan. "Tetapi Sasha berkelahi dengan pemilik bar di sana!"
Sontak saja Nellas bangkit dari duduknya. Lalu tanpa mengatakan apa-apa, dia berlari ke luar bar dengan tergesa-gesa. Jarak bar Ante hanya dua blok dari sini. Sehingga dia dapat dengan cepat tiba di persimpangan dan mendapati para warga yang terdiam sambil mengarahkan pandangan ke satu lokasi. Nellas pun menggeser tatapannya hingga ke depan bar Ante.
Seketika dia disuguhkan dengan adegan heroik seorang pria yang merebut tangan pemilik bar dari kerah pakaian Sasha, lalu membantingnya begitu mudah dengan satu tangan. Nellas tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini. Tetapi dia segera menghampiri Sasha yang menjadi pusat perhatian warga.
"Sasha!"
Reflek Sasha menoleh ketika namanya dipanggil. Nellas baru tiba di hadapannya dengan ekspresi khawatir. "Ada apa Nellas?" tanya Sasha polos.
"Apa yang dilakukan pria tua itu padamu?" Nellas melirik sekilas pada lelaki berambut abu-abu dibalik bahu Sasha. Laki-laki itu tampak berjongkok di sisi pria baya yang masih terbaring meringis. Nellas berpikir, betapa tidak segan laki-laki itu membanting seorang pria baya yang mungkin persendiannya tidak sekuat anak muda.
"Yah sedikit perdebatan kecil." Sasha menjawab seadanya sambil mengangkat bahu acuh.
"Apa tuan baik-baik saja?" tanya Jarlen dengan mimik polosnya.
"Cih! Dasar anak muda tidak tahu diri!" Dia beringsut bangkit. Meninggalkan Jarlen begitu saja sambil mencak-mencak.
"Apa kau terluka?" tanya Sasha pada wanita itu.
Dia mengangguk. "Ya. Aku baik-baik saja. Terimakasih banyak."
"Darimana asalmu?" Sasha bertanya lagi.
"Aku pengungsi yang baru tiba empat bulan lalu dari desa di timur."
"Desa di timur...." bisik Sasha mengulangi suku katanya dengan perasaan janggal. Desa di timur itu sangat jauh dari ibu kota. "Apakah desamu terdampak serangan monster?" Sasha perlu memastikan sesuatu.
"Bisa dibilang begitu semenjak kami dilanda kelaparan karena ladang kami dikuasai Orc. Mereka sering mengganggu kami untuk panen, belum lagi dengan goblin. Para prajurit yang dikirim ke desa kami selalu berakhir tewas."
"Lalu bagaimana kau bisa keluar dari desa? Perjalanan menuju ibu kota sangat berbahaya." Sasha heran.
"Aku tidak pergi sendirian. Awalnya kami bertujuh, tapi di tengah perjalanan satu persatu dari kami mati karena bertemu mereka. Secara kebetulan seorang prajurit menemukanku yang hampir sekarat dan begitulah aku berakhir di ibu kota."
Sasha merasa geram dengan keadaan ini. Manusia semakin diintimidasi oleh mereka yang memiliki kekuatan. "Baiklah. Kuharap kau tidak menyerah pada hidupmu."
Kemudian wanita itu berlalu, dengan Sasha yang terdiam di tempat
"Sasha...." panggil Nellas. "Apa yang akan kau lakukan?"
Sasha terdiam sesaat untuk berpikir.
"Desa di timur itu bukannya terdapat lumbung garam yang bisa melumpuhkan level V, ya?" celetuk Jarlen. Langsung mendapat perhatian Sasha dan Nellas, sehingga kini mereka memusatkan tatapan pada lelaki asing ini.
"Apa kau juga pengungsi seperti mereka?" tanya Nellas.
Membuat Jarlen menatap Sasha dan keempat mata mereka bertemu. Sasha juga terlihat menunggu jawaban darinya.
"Sasha!" Petugas dari kantor militer mendatangi mereka. Membuat percakapan mereka terputus seketika dan beralih padanya.
"Kebetulan juga ada Nellas di sini. Kalian berdua mendapat misi dari Mayor Anne! Segeralah menghadap pada Mayor Anne."
***