Sudah dua minggu berlalu sejak kembali dari misi di desa Emir. Selama dua minggu pula Sasha tidak diperintah untuk melaksanakan misi patroli ataupun ekspedisi seperti biasanya.
Sore yang membosankan dimanfaatkan Sasha untuk jalan-jalan di kota ketika perhatiannya tertuju pada seorang pemuda di kios perlengkapan besi. Dia dan Jarlen menghampirinya yang sedang menempa pedang. "Hai Leon!" sapa Sasha riang.
Leon mendongak. Dia terlihat bersemringah melihat Sasha di sini. "Sasha! Aku sudah lama tidak melihatmu." Leon adalah pemuda pandai besi sekaligus penjaga pos perlengkapan s*****a.
"Yah, seperti yang kau tahu. Belakangan ini sibuk berpetualang."
"Dan kau selalu pulang dalam keadaan baik-baik saja. Aku kagum dengan keberuntunganmu," komentar Leon.
Sasha memutar matanya. "Yah kuanggap beruntung di saat yang lain terluka."
Keberadaan Jarlen sudah seperti pengawal Sasha. Sosoknya yang besar dan tinggi sebatas perut orang dewasa, bagaimana tidak menarik perhatian? Kebanyakan serigala tidak setinggi itu. "Serigalamu semakin besar saja, padahal dulu dia sangat menggemaskan dan kecil. Apa tidak kerepotan tinggal seatap?" Leon bertanya. Mungkin dia takkan bertanya hal ini kalau tempat tinggal Sasha luas dan besar. Sasha hanya tinggal di apartemen kecil.
"Dia sama sekali tidak membuatku kerepotan, selama aku tidak memaksanya mandi." Sasha terkekeh ketika teringat kebiasaan Jarlen ketika dipaksa mandi di kamar mandi. Selalu memberontak sampai membuat Sasha berlari-lari mengejar Jarlen.
"Apakah pedangmu ingin di perbaiki?" tawar Leon.
"Tidak perlu. Pedangku masih baik-baik saja."
Leon melirik sekilas kemudian mengatakan. "Aku ingat. Untuk membuat pedang jenis itu tidaklah mudah daripada membuat pedang lain." Sambil memukul-mukul bilah pedang dengan palu besinya.
Sasha memiringkan kepalanya. Meskipun dia pengguna aktif pedang, Sasha tidak terlalu paham mengenai s*****a yang dia gunakan ini. "Memangnya apa yang membedakan?" Yang dia tahu dalam membuat pedang adalah berbahan dasar besi yang dipanaskan.
"Bahan yang digunakan untuk membuat pedang estoc sulit didapat karena kami harus bepergian ke negeri Dwarf dengan perjalanan berbahaya."
"Ah, kau membuatku merasa pedang ini istimewa." Sasha terharu mendengar pernyataan tersebut. Tidak dia sangka pedang yang dia pilih sewaktu masih menjadi kadet ternyata memiliki kelangkaan demikian. "Apa kau tahu siapa saja yang memiliki pedang serupa denganku?"
"Tidak banyak, kurasa. Salah satu yang kuingat adalah seorang ksatria wanita nomor lima memilikinya."
"Seorang ksatria?" Sasha mengulang dua suku kata Leon dengan nada setengah terkejut. Itu artinya Pahlawan Perang memiliki pedang yang serupa dengannya? Kejutan apa lagi ini? Benak Sasha mengembang seperti bunga yang mekar.
Suara riuh terdengar tiba-tiba dari satu arah. Sasha memalingkan wajah ke sumber suara para warga. Ekspresi mereka kelihatan terpukau. Tatapan mereka kelihatan berbinar kagum, menatap pada satu subjek di ujung pandangan. Sasha menajamkan matanya saat mengikuti arah tatapan kagum warga di sekitar.
Agak jauh di sana ada rombongan kavaleri dengan dipimpin seorang pria berambut pendek cokelat, duduk gagah di punggung kuda besarnya yang berjalan perlahan membelah jalanan. Sementara di kedua sisi jalan telah berbaris rakyat Madland menyaksikan kedatangan rombongan mereka dengan penuh bangga. Mereka datang dalam bentuk pasukan, bukan lagi dalam tim yang umumnya beranggotakan lima sampai sepuluh orang saja. Lengkap dengan baju zirah yang tampak berat menambah beban mereka di pundak.
Perasaan Sasha mendadak gelisah. Tidak biasanya para prajurit mengenakan zirah mereka jika dalam tugas patroli maupun ekspedisi. Dia merasa kedatangan kavaleri dalam jumlah -mungkin- seratusan prajurit memasuki ibu kota Madland menandakan akan terjadi sesuatu yang penting dalam waktu dekat. Mungkin para petinggi militer sedang merencakan sesuatu.
Di samping itu, perhatian Sasha terpaku pada seorang wanita di barisan kedua. Wanita itu juga sama mengenakan baju zirahnya dengan membawa sebilah pedang di pinggang kiri.
"Wah, mereka datang?" celetuk Leon yang turut melihat keramaian di sana.
Mereka? Sasha spontan menoleh bengong menatap Leon yang seakan-akan mengetahui siapa rombongan kavaleri tersebut.
"Raphael si nomor dua, dan Teresa si nomor lima! Mereka telah kembali setelah tiga tahun meninggalkan ibu kota! Kemarin Ksatria nomor satu, tiga dan empat sudah tiba di ibu kota. Mungkin dalam waktu dekat raja akan mengadakan pesta penyambutan untuk mereka."
Raphael si nomor dua dan Teresa si nomor tiga. Dalam kemiliteran King Manespell memiliki sistem urutan nomor yang menjadi tingkat kekuatan mereka dalam gelar Ksatria saja. Biasanya jumlah gelar ksatria hanya diberikan untuk sepuluh pahlawan perang. Sisanya hanya tentara biasa seperti Sasha dan kawan-kawan hingga ke titel Mayor sekalipun.
Sasha melihat Teresa dengan begitu bangga. Dia terkesima pada pesona Teresa yang gagah -walaupun Cayena juga tidak kalah maskulin sebagai wanita. Aura ksatria memang selalu memikat pandangan. Lebih-lebih saat tahu bahwa Teresa si nomor lima menggunakan jenis pedang yang sama dengannya. Bagaimana benak Sasha tidak tergugah?
Tapi tunggu dulu....
"Tiga tahun!" kaget Sasha. "Apa yang terjadi sebenarnya?"
Tiga tahun adalah waktu yang lumayan lama. Pantas saja Sasha belum pernah melihat mereka berdua semenjak pertama kali debut sebagai prajurit tiga tahun lalu. Juga dulu, pada usia sepuluh tahun saat perang dua belas tahun silam, Sasha hanya pernah menyaksikan penobatan gelar ksatria di halaman luas istana kerajaan setelah seminggu dia tiba di ibu kota untuk pertama kalinya. Kenyataan bahwa Sasha bukan warga asli Madland merupakan rahasia umum di antara teman-temannya. Termasuk Leon.
"Aku mengerti kau tidak tahu mereka. Atau kau mungkin tidak tertarik untuk mencari tahu tentang mereka sebelumnya." Dua kalimat dari Leon tepat sasaran. Sasha memang tidak pernah memedulikan tentang hal lain selain fokus pada tujuan yang tertanam di d**a sejak kecil dulu. Yakni rencana pembalasan dendam.
[Dua belas tahun silam]
Semua merayakan malam festival musim semi ketika Sasha menatap terpukau melihat penampilan seorang wanita tua saat keluar dari kamarnya untuk bersiap ke turun kota. "Waw, Nek. Apakah nenek ingin pergi berkencan?" tanya Sasha. Merasa heran saja melihat wanita sepuh tersebut memakai pakaian rapi dan terkesan mewah hanya untuk pergi ke alun-alun pasar.
Tapi nenek itu bersemu mendengar komentar Sasha sehingga bertanya dengan nada menggumam kecewa. "Apakah baju ini berlebihan? Apakah nenek harus menggantinya?" Sambil menunduk melihat secara visual penampilannya sendiri. Beliau mengenakan gaun selutut berwarna hitam dengan motif bunga warna-warni sementara lehernya dihiasi kalung. Nenek tidak pernah mengenakan kalung dalam kesehariannya apalagi menghadiri sebuah acara. Hanya di malam ini penampilan nenek terkesan spesial. Bahkan rambutnya ditata rapi. Neneknya bersolek. Membuat Sasha berpikir bahwa neneknya ini mau pergi berkencan.
"Tidak, Nek! Itu sudah sangat bagus. Mungkin kakek akan terpesona pada nenek! Sekarang ayo kita pergi! Kakek sudah menunggu di kota!" Sasha bersemangat. Dia begitu riang.
Tiba di jalanan kota Milhaven yang hidup dan ramai, mereka segera bertemu dengan seorang kakek bersama seekor anak serigala di dekat kolam. Kolam itu berhias patung wanita kembar berdiri saling memunggungi seraya mengatupkan tangan dan terpejam tenang, sementara sayap terbentang anggun.
Kakek tampak terpesona seperti dugaan Sasha tadi. Sasha tersenyum senang melihat kebahagiaan pasangan tua tersebut. Sasha terlalu peka untuk anak seusia dirinya untuk memisahkan diri dari mereka, bermaksud memberi momen romantis kakek neneknya. Pasangan tua yang dia tahu adalah orang tua dari pihak mendiang ayah. "Kakek, nenek, aku akan pergi berkeliling bersama Jarlen, ya!" pamitnya tanpa dicegah mereka yang sedang dimabuk kasmaran kedua.
Anak serigala imut itu mengikuti langkah kecil Sasha dengan riang. Melewati orang-orang dewasa yang memenuhi jalanan kota kecil.
Namun, belum jauh mereka melangkah dari kolam, suara dentuman keras mengejutkan seluruh orang. Disusul teriakan mengerikan dari orang-orang di sekitar.
Sekelompok vampir dan pasukannya mengubah kota Luzern menjadi lautan api. Penjagaan yang lemah dan jumlah prajurit lebih sedikit dibanding lawan, membuat jalanan di penuhi mayat-mayat manusia tak bersalah dan dalam semalam mereka berhasil memporak-porandakan kota.
Sasha buru-buru mencari kakek neneknya dan menemukannya kebingungan di tempat semula. "Nenek! Kakek! Ayo kita pergi dari sini!" panik Sasha. Tapi rencana itu harus tertahan dengan sengit ketika seorang vampir menyerang mereka. Maka dengan sigap kakek mengeluarkan pedangnya dari ikat pinggang. Berdiri gagah melindungi dua perempuan di balik punggungnya.
"Sayang!" kaget nenek.
"Cepat pergi ke tempat aman! Aku akan menahan dia di sini!" Kakek berteriak sambil menahan gemetaran bilah pedang di atas kepalanya, sedangkan vampir itu menekan kuat-kuat pedang hanya dengan satu tangannya sebelum melompat mundur.
P--per--gi!" kata kakek terbata sambil mengayunkan tangannya dengan lemah. Berbaring tak berdaya. Darah menggenangi tubuhnya.
Menyaksikan kematian orang tercinta menimbulkan sakit hati mendalam di benak nenek. Wanita tua itu mendapat keberanian mendadak. Dilepaskannya kalung dari lehernya, kemudian dia membungkuk untuk memakaikan kalung berliontin batu berlian itu pada Sasha. "Itu adalah hadiah dari kami untuk ulang tahunmu besok malam," ujar nenek. Lalu dia berbalik memunggungi. "Sasha, cepat lari dari sini dan temui petugas penjaga," ujar nenek tegas menjadi tameng di depan cucu. Beliau mengambil pedang karatan yang tergeletak di bawah kaki milik kakek.
"Nenek...." lirih Sasha mundur perlahan. Sedangkan Jarlen menggeram penuh kebencian, tetapi diabaikan sang vampir. Lalu dia berbalik lari.
Berusaha menahan diri untuk tidak menengok ke belakang, Sasha gagal melakukannya sehingga harus menerima konsekuensi ketika melihat nenek jatuh ke tanah, dan terbaring tak berdaya di dekat kakek. Sekilas keduanya nampak tersenyum satu sama lain dengan memegang tangan. Pacuan kaki kecil Sasha bberbelok diikuti Jarlen Di jalur ini tampak sepi dengan bongkahan batu berserakan.
Tiba-tiba Sasha sadar Jarlen berhenti mengikutinya. Dia berbalik dan mendapati Jarlen sedang berancang-ancang sambil menggeram seram. Detik berikutnya muncul sesosok vampir. Berjalan mendekat.
Untuk beberapa saat Sasha menonton pertarungan Jarlen dengan vampir itu. Jarlen melompat kesana-sini. Berusaha melayangkan cakar tajamnya ke tubuh vampir itu. Sampai Sasha lupa bahwa dia sedang berada di medan perang. Itu artinya lingkungan sekitar tidak aman untuk melamun dan terdiam saja. Karena Sasha tersentak menyadari kehadiran lain di belakang tubuhnya sekarang!
Seorang vampir bertaring lancip ke bawah itu kelihatan mengerikan bagi anak-anak. Ketika dia melangkah maju, Sasha menarik langkah mundur dan merasakan punggungnya menabrak dinding luar bangunan. Sasha gemetar ketakutan. Saking ketakutannya, dia tak bisa mengalihkan tatapannya pada wajah sepucat mayat itu, mata berwarna merah yang memelotot, area bibir berlumuram dar4h, serta kuku-kuku tangannya yang panjang dan tajam terangkat ke atas seakan hendak menerkamnya, bahkan ketika vampir itu menyapu dagunya dengan penuh hasrat, menunjukan lidahnya yang panjang.
Meskipun jarak mereka terbentang lima meter, dan terlihat masih ada sisi kosong untuk melarikan diri, Sasha tahu kalau usaha itu akan jadi percuma mengetahui fakta bahwa vampir dapat meluncur cepat seperti saat ini. Sasha membelalak. Detik seakan bergerak secepat kilat ketika vampir itu menerjang ke arahnya. Sejenak membuat dia seolah terlihat terbang. Sebelum vampir itu terpental tiba-tiba ke sisi lain dan dengan sangat keras menabrak tembok rumah sampai separuh runtuh.
Sasha pikir dia diselamatkan. Tapi ternyata monster buas lain datang memperebutkan dirinya. Kali ini bukan vampir. Mata Sasha membulat berhadapan dengan seorang ghoul yang ekornya sedang melambai-lambai di udara. Mungkin inikah istilah mati satu tumbuh satu?
Tidak. Vampir yang tadi tampak bergerak bangun. Dia menatap penuh kebencian pada ghoul tersebut. "Berani-beraninya merebut makananku!" geramnya. Sedetik kemudian dia sudah melesat kilat menabrak ghoul itu.
Sasha bingung melihat perkelahian mereka. Hingga pada saat kedua monster itu berlomba meraih dirinya sambil saling sikut menyikut, sebuah kilat melintas secepat cahaya di depan mata dan pergerakan mereka berhenti mendadak dengan kuku panjangnya yang beberapa inci lagi menyentuh kulit Sasha.
Cipratan putih bercampur hitam menebar ke tanah dan tembok, setelah seseorang menebas tubuh mereka menjadi dua bagian dalam sekejap. Jika vampir itu segera lenyap menjadi abu yang hilang, maka ghoul yang kini tubuhnya mengucurkan cairan putih melirik tajam pada seorang pelaku yang menikamnya dari belakang sebelum kemudian ambruk tak bernyawa.
Sementara itu dua panah tampak melayang di udara. Panah itu terlihat tidak biasa. Keseluruhannya berwarna biru bercahaya disertai pusaran angin melingkari di sekitarnya. s*****a asing yang jelas tidak bisa digunakan manusia biasa itu telah meluncur cepat dari kedua sisi vampir dan ghoul tersebut, menembus pinggang mereka sampai ke dalam dan keluar melalui sisi pinggang lain, sebuah trik praktis untuk memotong daging besar seperti mereka.
"Fyuh!" Lelaki itu menghela napas lega. "Apa kau terluka, dik?" tanyanya begitu melihat Sasha berdiri mematung ketakutan.
"Hey, Nellas! Cepat! Kita tak punya waktu lagi!"
Seseorang berteriak dari kejauhan. Lalu dia mengatakan pada Sasha. "Ayo ikut aku. Kau akan aman bersama kami." Dua panah biru yang melayang secara ajaib bergerak masuk sendiri ke dalam tas panah di pundak lelaki itu.
"Jarlen...." gumam Sasha mengedarkan pandangan. Dia tak menemukan Jarlen!
"Apa dia temanmu? Dimana dia sekarang?"
"Dia sahabat serigalaku. Tadi ada di sana tapi sekarang sudah menghilang~"
"Kita tak punya waktu," desak lelaki itu. Kalau Jarlen yang dimaksud bocah ini adalah manusia, mungkin dia akan bersedia mencarinya.
"JARLEN!" teriak Sasha.
Lelaki itu gusar. Lalu dengan paksa menaikkan Sasha ke punggung kuda, disusul dirinya duduk tepat di belakang, sembari memegang pelana dan membuat keamanan Sasha terlihat terjamin.
"Tidak, Jarlen! Aku mau turun!" Sasha meronta dan merengek-rengek minta diturunkan untuk mencari serigala kecil berbulu abu-abu itu.
"Gadis kecil! Ini adalah medan perang. Sedikit yang selamat." Perkataan lelaki berkuping runcing ini menyentak benak Sasha. Sehingga dia terdiam dengan perasaan campur aduk.
"Siapa namamu?" tanya suara berat ini lebih lembut.
Dengan muka cemberut, Sasha mengatakan. "Namaku Sasha, usiaku sepuluh tahun."
"Namaku Nellas. Aku seorang elf tulen dan usiaku seratus delapan belas tahun. Kau tak perlu khawatir pada Jarlen-mu. Suatu saat dia akan kembali jika memang masih hidup."
Apakah Nellas tidak pandai menghibur kesedihan hati seseorang? Ucapannya menambah kering hati Sasha.
***