Goblin Bergerak!

1899 Kata
Ruang tahta Goblin didatangi salah satu prajuritnya. Dia berlutut penuh hormat pada goblin di kursi tahta. "Nona Mirelda tiba di istana bersama kelima pengawalnya dalam keadaan terluka. Lord goblin di goa selatan telah tewas tanpa tersisa oleh manusia dari Madland." Kabar buruk dilaporkan bawahannya. Sang Raja Goblin terpaku di tempat singgahsana. Badannya kekar dengan otot besar. Perhatian Raja Goblin teralihkan ketika melihat di ujung pandangan menampakan goblin wanita berjalan dengan amarah tertahan. "Mirelda menghadap Raja," ucapnya sedikit membungkuk. Raja Goblin mengisyaratkan prajurit itu pergi. Sehingga kini hanya mereka berdua yang berada di ruang tahta sebuah goa. Cahaya obor menerangi sekitar. Dia menatap Mirelda sebagai keponakan kesayangan. "Apa yang terjadi padamu?" Raja Goblin bertanya. "Seluruh goblin di selatan telah dibantai. Termasuk kekasihku. Paman, tolong berikan pasukanmu untuk menyerang mereka." Raja Goblin tidak langsung menjawab. Dia menatap santai ponakannya sambil berpikir. Sementara Mirelda menunggu dengan tidak sabaran. "Itu adalah kejahatan yang tidak bisa dimaafkan!" Suara lain memasuki ruangan. Seorang goblin pria berjalan angkuh ke sisi Mirelda yang sedang berlutut menundukan kepala. Pria goblin itu memberi salam pada Rajanya. Bibirnya menyeringai miring. Lalu menegakan punggungnya dengan berdiri di samping Mirelda. "Ayah, izinkan aku untuk turun dalam permasalahan ini." *** "Arghhh!" Sasha menahan geraman di kamar mandi. Tangannya mencengkram kuat pinggiran wastafel. Kepalanya yang tertunduk, mengangkat wajah perlahan. Menatap dirinya di pantulan cermin. Sasha dapat melihat garis urat merambat ke sisi wajahnya. Bahkan tangan kanannya kini di gips. Sebuah hiasan baru di tubuhnya. "Argh!" Sasha berusaha keras menahan dorongan kuat dari dalam dirinya. Rasa sakit yang menyiksa sering dia alami setiap kali merasakan gelombang energi asing menghantamnya. Sasha tahu ada yang salah pada tubuh ini. Entah apa. Dia tahu menahu. Sasha terlalu ragu untuk mengatakan hal ini pada siapapun. Jadi dia memendam rahasia ini seorang diri, sekalipun itu Jarlen. Sasha belum dapat percaya dengan nasibnya nanti setelah mereka tahu dia bukan manusia biasa. Gambaran dirinya ditendang keluar dari Madland dan tidak diterima di kota mana pun adalah sebuah kemungkinan dari hukuman selain kepala dipenggal di alun-alun kota dan menjadi tontonan warga. Manusia membenci monster jenis apapun yang memakan manusia. Maka Raja memberlakukan hukuman kejam pada monster. Misalnya saja tahanan vampir dan ghoul di menara bawah tanah itu. Mereka disiksa seharian tanpa membiarkannya mati. Tubuh mereka dibedah berkali-kali tanpa diberi suntikan anestesi bagi manusia, namun karena regenerasi mereka ajaib, mereka masih dapat hidup hingga kini. Tok. Tok. Tok. Suara ketukan pintu kamar mandi membuyarkan pikiran Sasha. Disusul suara Jarlen yang melirih di depan pintu kamar mandi. Jarlen pasti khawatir pada dirinya yang terlalu lama di kamar mandi, pikir Sasha. Dia harus keluar sudah dalam keadaan normal lagi! Maka dia menekan energi kuat ini sekali lagi, dengan sekuat tenaga. Sasha percaya bisa mengembalikan penampilan mengerikan di wajahnya ini seperti pengalaman sebelumnya. *** "Jangan gegabah! Kalian masih terlalu muda untuk berperang!" tegas Selvon, nama Raja Goblin. "Manusia tidak sebodoh kalian. Terutama kau Merilda. Jangan dibutakan oleh kemarahan. Gunakan otakmu untuk kemenangan!" Raja Goblin menasehati dengan keras. Membuat kedua goblin berparas tampan dan cantik untuk ukuran goblin bangsawan, pun hanya bisa terdiam membeku mendapat kemarahan dari keluarga mereka. Lalu Raja Goblin mendengus melihat reaksi mereka yang menciut. "Daripada menyerang satu kota, kenapa tidak seluruh pemukiman manusia saja?" Sederet kalimat usulan tersebut mencengangkan ekspresi anak muda goblin. Sang Raja menyeringai miring saat puteranya bertanya. "Apa yang ayah rencanakan?" Kordial nama pemuda goblin -pangeran tersebut. "Kekuatan pasukan goblin tidak cukup untuk menaklukan manusia. Satu-satunya cara paling praktis adalah mendapatkan Devil Blood." "Devil Blood?" Mirelda membeo dengan nada bingung. "Devil Blood adalah dar4h terkutuk dari ibl1s. Lima ratus tahun lalu ada wanita manusia yang meminta bantuan iblis dengan menumbalkan nyawanya sendiri untuk melindungi umat manusia. Iblis sepakat dengan memberikan segelas darahnya dan diminum wanita itu. Dia akhirnya bisa melawan makhluk monster lain tanpa takut terluka ataupun mati lebih cepat. Tetapi, karena waktu perjanjian yang sangat singkat, dia berpikir bahwa peperangan antar ras ini tidak bisa dihentikan, maka dia mewariskan darahnya pada keturunannya. Tapi percobaan itu tidak pernah berhasil. Hingga dia menyerah lalu dijemput iblis untuk menagih perjanjian mereka." "Lalu, bagaimana Devil Blood ini kembali muncul kalau memang tidak berhasil?" "Devil Blood hanya muncul di tubuh keturunan yang dikehendakinya. Kebangkitannya tidak dapat diprediksi, pernah terjadi sepuluh tahun sekali, pernah pula satu abad sekali. Tetapi para leluhur tidak asing lagi dengan kekuatan itu. Dahulu pernah meluluhlantakkan seluruh negeri tiga ras besar (vampir, ghoul, dan goblin). Seragannya terarah. Bagi ras yang tidak pernah menyakiti manusia akan selamat dari incarannya. Benar begitu kan, ayah?" Selvon tersenyum bangga mendengar penuturan lancar putera semata wayang. Tidak menyangka anak muda jaman sekarang melek terhadap sejarah nenek moyang mereka. Selvon pikir anaknya itu hanya bisa memerintah bawahan dan bertindak kekanak-kanakan dengan karakternya yang serampangan. Ternyata otaknya tidak terlalu melompong. Bahkan Selvon ingat dirinya tidak pernah punya waktu untuk menceritakan sejarah nenek moyang mereka pada Kordial sejak disibukan di pemerintahan. Mengurus, menerima laporan dan membereskan masalah dari para goblin di seluruh wilayah yang tersebar ratusan tempat, di mana musuh goblin tidak hanya manusia. Pertarungan melawan ras lain terkadang terjadi untuk memperebutkan manusia. Dan sekarang sepertinya mereka harus benar-benar siap mengerahkan tenaga untuk memperebutkan satu manusia keturunan Devil Blood dengan ras terkuat lain. Selvon yakin sekali kalau ras lain kini mungkin sedang mempersiapkan diri. "Apakah Devil Blood itu muncul di tahun ini?" Mirelda bertanya. Selvon menyeringai lebar. "Ya. Air ajaib sudah menunjukan tanda-tanda kebangkitan Devil Blood." Beberapa jam lalu Selvon sempat singgah ke ruangan lain saat berkeliling di istananya. Ruangan itu memiliki dua penjaga di depan pintu dan gelap tanpa cahaya di tembok kecuali di tikungan lain. Dia berhenti di depan mangkuk batu selebar meja persegi yang menampungnya. Selvon selalu ke tempat ini hampir setiap hari selama menjadi Raja. Bahkan sudah menjadi bagian dari rutinitas hanya untuk melihat semangkuk air di dalamnya. Terkadang bila ada kepentingan di luar istana, dia menugaskan prajuritnya untuk memeriksa mangkuk air itu berulang kali dalam sehari. Tetapi hari ini, Selvon tidak lagi mendapati air itu terdiam seperti beberapa tahun terakhir. Wajahnya terkuak perlahan karena tercengang melihat air ajaib itu bergetar seolah-olah ada yang menggerakan mejanya, dan membuat Selvon sempat mengira terjadi gempa bumi, tapi setelah sadar hanya air itu yang bergetar, ekspresinya semakin merekah lebar. "Aku punya tugas untuk kalian berdua," ujar Selvon. Kordial dan Merilda tersentak. Merasakan firasat buruk. "Cari Manusia Terpilih itu. Bawa dia hidup-hidup dan tidak boleh ada setetes dar4h darinya." Selvon memberi perintah mutlak. Sebuah perintah yang menjadi debut pertama bagi Kordial untuk melakukan tugas di luar politik. *** Nellas terbangun dan mendapati dirinya di ruang kamarnya. Sementara jendela di samping kanan tempat tidur menampakan langit berwarna orange. Kemudian dia beringsut duduk dengan selimut meluncur turun ke pinggangnya, sehingga memperlihatkan sisa beberapa lecet kering yang belum selesai dihilangkan oleh kerja tubuhnya. Bertepatan saat pintu kamar dibuka dari luar dan menampakan Sasha berjalan menghampiri. "Wah, kau rupanya sudah bangun." Sasha tersenyum senang melihat sahabatnya bisa duduk dengan perban melilit perut berotot Nellas. "Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?" Kalimat yang wajar ditanyakan setiap orang pingsan. "Dua hari." Sasha menjawab. "Bagaimana aku bisa masih hidup? Aku yakin sekali racun yang memasuki tubuhku tidak dapat kuhentikan." Senyuman Sasha bertambah lebar. Membuat Nellas makin dibuat penasaran. "Kebetulan sekali dia berada di sini untuk mengecek kondisimu," kata Sasha. Sedetik kemudian perhatian Nellas kembali teralihkan ke arah pintu itu. Kali ini dia melihat seorang berjubah panjang memasuki kamarnya dengan misterius. Meskipun Nellas melihat dengan kemampuan mata elfnya, dia tidak dapat mengenali sosok yang separuh wajahnya tertutupi tudung tersebut sebelum orang itu menyingkap tudungnya dan menatap Nellas tepat ke matanya. Mata Nellas membuka kian lebar. Terkejut mengenali wajah seorang wanita berambut hitam di hadapannya. "Sungguh tidak dapat dipercaya...." gumam Nellas. Masih dapat terdengar oleh rungu Sasha di dekat ranjangnya. Membuat gadis itu menoleh heran. "Ah, kau kenal dengan nona Spina?" tanya Sasha. Sementara wajah bersahaja wanita misterius di tengah mereka menyunggingkan senyum tenang. Garis-garis halus di sudut matanya menjadi bukti perjalanan hidup wanita itu. Tidak terlalu tua, bisa dibilang seperti wanita berusia empat puluhan. "Ya. Aku kenal wanita bernama Spina. Dia adalah sahabat ibuku. Seorang penyihir yang berumur ratusan tahun." Jawaban Nellas tepat sasaran. "Dan juga seorang Penyihir Terakhir di kerajaan ini yang membuat gelang anti-monster," sambung Sasha. Sekilas Nellas tampak terkaget mendengar itu. "Oh, nak Nellas. Jangan pernah menyinggung tentang usia pada seorang wanita, kau tahu itu." Spina terkekeh pelan. "Bagaimana anda bisa berada di sini? Yang kutahu kau berkelana?" Nellas ingin tahu. Pasalnya terakhir kali dia melihatnya adalah beberapa puluh tahun lalu, mungkin sekarang hampir genap seabad. "Yah, kuputuskan untuk menetap di Madland sejak Raja manusia membutuhkan kekuatanku. Dan tidak kusangka kita bertemu secepat ini. Kau terlihat tidak berubah, ya, boy." Nellas menekuk wajahnya, dan Spina terkekeh lagi. "Tolong jangan panggil aku anak-anak. Aku bukan anak laki-laki lagi!" rengek Nellas cemberut. Bagaimana dia tidak dikatakan anak-anak kalau sikapnya saja masih kekanakan dan lucu. Tapi Spina mengabaikan hal tersebut seperti angin lalu sebelum Nellas melanjutkan kata-katanya. "Jadi, kau datang menolongku yang sedang sekarat?" Nellas menebak. Spina menggeleng. "Tidak juga. Aku hanya kebetulan melihatmu datang dalam kondisi terluka bersama Sasha di dekat gerbang. Lalu seorang dokter yang tidak dapat menyembuhkanmu akhirnya memaksaku untuk membantunya. Kau beruntung, Nellas. Tidak semua elf bisa bertahan dari racun mematikan goblin dalam waktu berjam-jam di perjalanan." "Jadi, apa yang telah anda lakukan pada tubuhku?" Nellas ingin tahu prosesnya. Dapat hidup kembali adalah sebuah keajaiban yang mengejutkan dirinya sendiri. "Kau tahu? Sampai saat ini obat penetral racun goblin hanya ada padaku. Aku menyuntikan ramuan sihir ke dalam tubuhmu, sisanya dar4hmu sendiri yang bekerja melawan racun itu." Nellas menghela napas lega. Sudah pasti ramuan yang diberikan Spina bukan sembarangan. Harganya pasti mahal bila menyangkut nyawa, dan dia merasa berhutang budi pada bibi ini. "Terima kasih banyak, bibi Spina." Nellas tersenyum, bersamaan dengan kedatangan seseorang yang kini muncul secara rombongan. Nellas bersemringah. "Thomas! Cayena, Robert, Julius!" Badan besar Thomas masuk lebih dulu, disusul seorang wanita maskulin berambut panjang bersama tiga anggotanya. Kemudian Nellas mendapati seorang lagi di belakang mereka. Matanya membulat. Lalu tatapannya berubah melembut saat menatap Rose. Cayena mendengus. Thomas menyeringai lebar. Sedangkan Rose berwajah datar. Mereka semua datang menjenguk Nellas. Menyadari kehangatan mereka, Nellas merasa begitu berharga di sini. Dia terharu. "Kau terlihat kurang baik, Nellas," kata Thomas. "Kami terkejut begitu mendengar kabar kau nyaris tewas. Aku dan dua teman timku datang untuk mewakili tim kami." Cayena. Siapa yang tidak pernah mendengar nama tersebut? Setiap mendengar namanya, mereka membayangkan sosok wanita terkuat dan gagah di Kings Manespell. Bergelar Ksatria sebagai pahlawan perang oleh Raja atas perang melawan ghoul dua belas tahun lalu. Merupakan urutan nomor tiga dari lima besar ksatria terkuat seluruh penjuru Kings Manespell. Mereka mengobrol banyak. Tetapi Spina telah pergi lebih dulu sebelum sepuluh menit kemudian Cayena dan dua rekan timnya menyusul pamit untuk memenuhi janji dengan Letnan. Begitu mereka bertiga telah meninggalkan ruangan, dengan suasana yang sedikit tenang, sepasang mata biru Nellas beralih pada Rose yang selesai menata buket bunga di vas. Sejak tadi gadis itu bungkam dan menghindari kontak mata dengannya. "Rose," panggil Nellas lembut. Tatapan matanya memelas seperti anak anjing yang menggemaskan. Sasha tersenyum kecil melihat bagaimana Nellas menderita akan hubungannya dengan Rose belum membaik. Lalu diam-diam dia menarik ujung baju Thomas, mengode pria kekar ini untuk mengikutinya keluar agar pasangan itu punya waktu berdua. Thomas berkata. "Karena kau sudah bisa bicara dengan lancar, itu artinya kau sudah baik-baik saja. Kami jadi bisa beraktivitas dengan tenang hari ini." "Kami harus pergi. Aku tunggu kau pulih, lho!" "Terima kasih kalian berdua. Aku sangat senang kalian datang," balas Nellas tulus. Sasha mengangguk sambil menyeringai. Kemudian beranjak keluar dari kamar Nellas. Membiarkan pasangan itu memperbaiki hubungan mereka. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN