Aku sibuk melamun memikirkan lamaran dadakanku kemarin pada Tita. Hingga hari ini, Tita masih belum juga menghubungiku, aku sendiri masih mengikuti egoku untuk membiarkan dia memikirkannya sendiri.
Nata? Siapa Nata?!
Aku benar-benar kesal. Saat bersamaku saja, Tita masih berani memprioritaskan si Nata Nata itu daripada aku yang sedang bicara serius di depannya. Apalagi di belakangku?
Aku segera menyadarkan diri. Sepertinya aku butuh liburan.
Tapi aku penasaran sekali.
Aku menghubungi Rizky dengan cepat setelah memastikan sekarang adalah jam makan siang. Rizky pasti sedang istirahat. Beberapa panggilanku tak diangkatnya, lalu pada panggilan ketiga, Rizky baru mengangkat teleponku.
"Ada apa dokter bima?"
Aku menghela nafas dalam. "Sibuk nggak lo?"
"Lagi mau buka bekal. Kenapa? Tumben banget—"
"Lo tau siapa nata?" tanyaku langsung.
Rizky diam sejenak. "Dari mana lo tau?"
"Kemarin gue pergi sama Tita, trus dia malah sibuk-sibuknya balas chat si Nata daripada dengerin omongan gue" curhatku panjang, sekaligus mengeluarkan kekesalanku.
Rizky terkekeh pelan. "Nataniel hendra liam"
Mendengar nama itu langsung membuatku kaget. "Siapa?" tanyaku untuk memastikan.
" Mantan Tita"
"s**t!" Audy yang sedang membereskan apapun di ruanganku langsung kaget mendengar rutukan itu. Aku tersenyum masam dan kembali fokus pada pembicaraanku dengan Rizky.
"Gue capek-capek ngerebut perhatian Tita tapi Tita malah chat-chatan sama mantannya" ujarku kesal, benar-benar sudah sampai pada puncaknya.
"Gue udah bilang sama lo dari awal. Itu bakalan sulit, kalau lo ngarepin Tita suka dulu sama lo baru kalian berhubungan, kayaknya nggak akan mungkin. Gue udah warning lo dari awal" jelas Rizky kemudian aku mendengarnya sedang makan. Tiba-tiba aku menjadi lapar.
"Ya gimana? Kata lo dia udah tunangan trus Tita patah hati"
"Tapi bukan berarti mereka nggak saling kontak-kontakan. Lagian si Nata itu bosnya Tita sekarang!"
What the s**t!
Apa lagi ini?
"Kenapa lo nggak bilang kampret!" aku melimpahkan kekesalanku pada Rizky. Aku benar-benar tidak tau mantan terindah Tita itu sekarang menjadi bosnya. Kalau benar itu terjadi, pantas saja aku kalah telak, jelas, dari segi intensitas pertemuan aku kalah telak dengannya. Dia bisa bertemu Tita setiap hari dari pagi sampai sore, tidak memungkinkan juga Tita tidak akan terbawa perasaan pada Nata itu.
Pantas saja tita tidak bisa menyukaiku.
"Gue udah mau bilang sama lo. Tapi gue pikir Tita emang udah bersikap professional sama Nata. Jadi itu udah nggak masalah besar"
"Professional dari mana, Nata itu ngirim chat kangen ke Tita kemarin. Bikin gue mendidih aja"
Rizky tertawa di seberang sana, tidak menimpali curhatanku.
"Kenapa lo ketawa?"
"Gue nggak nyangka aja lo bisa cinta mati sama Tita" dan dia kembali membahas masa lalu.
Sekarang aku benar-benar mengerti dengan situasi yang sedang kuhadapi. Sulit. Sangat sulit. Tita jelas menerima perjodohan itu karena dia tidak mau membuat ibunya kecewa. Sedangkan aku sudah beralih dari tujuan itu menjadi cinta. Aku ingin memiliki Tita, juga perasaannya. Aku tidak memungkiri aku ingin semua itu.
Tapi mengingat Nata akan berada disekitar tita, membuatku benar-benar pesimis.
Gue nggak boleh nyerah. Ujarku menyemangati diri.
"Kenapa lo nggak gunain restu Ibu ke lo buat jerat Tita selamanya?" Tanya Rizky dengan cepat.
Aku menghela nafas dalam. "Nggak mungkin lah, Ky. Bukannya malah bahagia, dia sengsara hidup sama gue" lagipula aku benar-benar mengerti bahwa perasaan tidak mungkin bisa dipaksakan. Yasudahlah, aku sudah mengutarakan niatku pada tita, kalau memang dia tidak bisa dan tak akan bisa bersama denganku....
Mungkin kami belum jodoh. Dan aku harus mengalami patah hati lagi.
Sambungan teleponku dan Rizky berakhir setelah itu, aku baru saja akan berangkat untuk makan siang ketika Audy masuk ke dalam ruangan dengan terburu-buru.
"Urgent dok.... Bu Ningsih nggak sadarkan diri!"
Mataku terbelalak.
"Kenapa nggak menghubungi saya!" sentakku cepat.
"Ponsel dokter sibuk"
Pikiranku yang penuh dengan Tita tadi melebur begitu saja, berganti cemas yang luar biasa. Aku bersama Audy langsung berlari ke arah UGD, tempat calon mertuaku itu sedang diberikan pertolongan pertama.
*
Suara derap langkah kaki terdengar seantero lorong ini. Aku memang keluar dari ruang ICU satu menit yang lalu dan membiarkan Bu Ningsih ditangani oleh Dokter Arya, salah satu dokter professional masalah diabetes di rumah sakit ini. Biasanya Dokter Arya hanya menangani pasien VIP dan golongan tertentu, namun karena kondisi Bu Ningsih yang sudah sampai ke dalam koma diabetik, aku memintanya untuk melakukan pertolongan. Aku tak berpengalaman sama sekali menghadapi pasien dalam kondisi seperti itu.
Aku segera melihat Tita yang berlari dengan kencang kearahku. Tadi aku memang menghubunginya, karena Bu Ningsih pergi sendiri ke rumah sakit dengan taksi setelah tau bahwa gula darahnya naik. Setelah sampai di UGD baru sedikit lemas dan akhirnya tidak sadarkan diri.
Kondisinya berantakan. Tita memang sedang berada di lokasi proyek yang memang masih dalam satu lingkungan rumah sakit sehingga memudahkan dia untuk segera berlari kesini.
"Ibu mana bim?"
"Lagi sama dokter Arya"
"Aku mau lihat ibu" lirihnya, matanya dan wajahnya memerah.
Aku mengusap lengannya pelan. "Nggak bisa, nanti setelah Dokter Arya keluar baru bisa lihat" jelasku, membuat Tita menegang di tempatnya. Dia terlihat shock sekali, lebih panik daripada saat Bu Ningsih masuk rumah sakit beberapa saat lalu.
Wajahnya sangat pucat. Dia hampir kehilangan keseimbangannya namun dengan sigap aku meraih tubuhnya dan memeluknya erat. Baru beberapa detik, tangis Tita pecah. Dia menumpahkan air matanya di dekapanku. Tanpa pikir panjang lagi aku mengeratkan pelukanku. Saat menoleh ke belakang Tita aku baru menyadari bahwa dia tidak sendirian, Aku bahkan tidak menyadari sama sekali ada orang lain di sekitar kami.
"Gue takut Bim. Gue takut. Tolong ibu" lirihan Tita membuat mataku memanas. Aku memang terbiasa melihat keadaan seperti ini namun rasanya benar-benar berbeda saat keluarga pasien itu adalah orang terdekatku. Seperti ini. jujur saja aku juga merasakan kecemasan yang luar biasa. Melihat tita yang rapuh seperti ini aku tidak bisa melakukan apapun.
Hatiku sakit melihatnya seperti ini.
Aku mengucapkan doa di dalam hati untuk keadaan Bu Ningsih.
Setelah beberapa saat, Tita melepaskan pelukannya. Kami duduk di bangku di depan ruang ICU itu. Aku belum berani membawanya masuk meskipun tidak ke dalam ruangan, aku tidak Tita shock lagi dan malah jatuh pingsan.
Aku mengusap punggungnya. "Ibu lo bakal baik-baik aja" aku sendiri bahkan tidak yakin dengan ucapanku. Dari pemeriksaanku yang terakhir, gula darah bu ningsih sangat tinggi, nyaris menyentuh 800, hal itu sangat tidak singkron dengan berat badan Ibu Ningsih yang hanya 55 kilogram. Karena hal itulah bu Ningsih mengalami koma diabetik. Hal itu bisa berpengaruh pada organ-organ lainnya. Aku tidak ingin menjelaskan ini pada Tita disaat dia sedang mengalami shock ringan seperti ini.
"Ibu bakalan baik-baik aja kan?" tanyanya lagi. Aku hanya diam dan tersenyum, membawa kepala Tita agar menumpu di bahuku. Beberapa saat kami terdiam sampai seseorang membuka pintu ruangan ICU.
"Dokter" panggilnya, aku menoleh kepada Tita dan menegakkan kepalanya pelan-pelan. Saat kami akan kembali masuk aku melirik ke arah luar ruangan dan laki-laki tadi mengambil tempat di sebelah Tita. Hal yang selanjutnya terjadi adalah hal yang tidak ingin ku lihat.
Tita kembali menangis di pelukan laki-laki lain. Dan aku sama sekali tidak menyukai hal itu.
Apalagi di pelukan Nataniel Liam.
*
Bu Ningsih sadar beberapa jam kemudian. Syukurlah. Aku mendapat beberapa informasi dari Dokter Arya sebelum dokter itu kembali praktek. Saat sadar, penglihatan Bu Ningsih mengabur. namun sepertinya hal itu sudah jauh membaik sekarang saat Tita masuk ke dalam ruangan aku sedang menyuntik Bu Ningsih dengan suntikan Insulin karena kadar gula darah yang tinggi tadi. Tita memang tadi pergi sebentar untuk urusan proyeknya. Namun saat itu, Ibu Ningsih belum sadarkan diri.
"Nggak apa-apa ini Bim, udah masuk ke ruangan biasa?" Tanya Tita langsung, pintu ruangan rawat ini dibiarkan terbuka.
"Nggak apa-apa" jawabku singkat kemudian menginformasikan beberapa catatan pada perawat dan mengatakan agar perawat itu keluar ruangan duluan karena aku masih akan berada disini.
"Mata kamu sembab Ta?" Tanya Bu Ningsih mendapati anaknya itu dalam keadaan kacau.
Tita langsung mendekati ranjang dan memeluk ibunya dengan erat. "Gimana tita bisa nggak nangis, ibu bikin Tita khawatir. Arini kemana lagi ninggalin ibu sendirian!"
Bu ningsih tersenyum, terlihat sangat lemah. "Dia lagi bawa murid-muridnya study tour" Tita mencibir dan kembali memeluk Bu Ningsih. Aku tersenyum melihat pemandangan itu.
"Bima nggak mau peluk ibu juga?" aku tertawa mendengar guyonan bu Ningsih dan segera berdiri, aku baru saja bermaksud pamit saat melihat Bu Ningsih menegang di tempatnya.
"Nata" panggil bu Ningsih pelan.
Aku mengalihkan pandangan pada nata-nata itu. benar bukan, dia adalah orang yang tadi bersama Tita. Bu Ningsih langsung melirik ke arahku dan berkata, "Nak Bima disini saja. Temani ibu" pintanya.
Tita mengerinyitkan dahi. "Bima masih ada pasien, ibu"
Aku tidak bisa mengelak akan permintaan itu. Aku memang ada visit, namun setengah jam lagi dan Audy belum menghubungiku jika ada tambahan pasien. Jam praktekku juga sudah selesai. Namun aku perlu melengkapi laporan penyakit Bu Ningsih ini.
"Gue disini aja" putusku cepat, aku duduk di sofa tamu. Memperhatikan gerakan laki-laki bernama nata itu berjalan menuju Bu Ningsih dan Tita. Tanpa sadar aku menahan nafas, dengan pandangan was-was juga.
"Ibu apa kabar?" Tanya Nata ramah, sekilas tidak ada yang salah dengan penampilannya. Rapi dan sopan. Tidak akan ada ibu-ibu yang menolak dia sebagai menantunya.
"Baik" jawab Bu Ningsih dingin. "Nata sudah tau, Tita akan segera menikah?" ucapan itu membuatku dan Tita langsung menatap Bu Ningsih. "Sama dokter yang duduk disana"
"Ibu" rengek Tita cepat. "Aku belum mutusin buat nikah sama siapa"
Kenapa aku malah lebih kaget dengan jawaban Tita?
Nata hanya tersenyum sopan. "Saya kesini Cuma mau melihat kondisi Ibu" jelasnya. Bu Ningsih kemudian berbicara pada Tita agar segera menghubungi Arini. Tita merengut dan segera menjauh, menuju ke arahku.
Sadar bahwa dia tidak benar-benar diharapkan membuat Nata pamit pulang setelah berbasa-basi sebentar. Aku baru sekali melihat bu Ningsih sedingin itu pada orang lain. Ibu itu termasuk ibu yang ramah, bahkan pada pegawai-pegawai tidak tetap yang ada di rumah sakit ini.
"Ibu!" sentak tita pelan. "Bisa nggak sih ibu lebih sopan sama Nata?" ujarnya namun tidak dengan nada tinggi.
Bu ningsih hanya menatap tita datar. "Ibu jawab pertanyaannya dengan baik. Itu masih termasuk nggak sopan?"
"Masih"
Aku benar-benar pusing sekarang, bagaimana mungkin anak dan ibu bertengkar persis setelah ibunya hampir sekarat tadi.
"Ibu bisa lebih sopan lagi!"
"Kamu keterlaluan Tita! Gimana bisa ibu sopan ke orang yang bikin kamu dihina?"
Ucapan itu membuat Tita terdiam sepenuhnya, aku menatap Tita dengan tidak percaya.
Dihina? Dihina oleh siapa?