Aku mengantar Nata hingga ke parkir rumah sakit. Hari ini Nata ingin menjenguk Ibu namun aku menahannya. Sayangnya, laki-laki itu keras kepala sekali, dia tetap masuk ke ruangan inap ibu meskipun ibu melihatnya dengan tatapan dingin.
Saat sampai di depan mobilnya, aku memeluk Nata pelan. "Nggak usah dipikirin reaksi Ibu, Yang" aku mengusap punggungnya pelan. Dari kecil Nata tak pernah di tolak, jadi aku tau sekali bahwa ini telah menjadi pukulan pertama baginya.
Nata membalas pelukanku dan menyurukkan kepalanya di lekukan leherku, pelukannya erat sekali, membuat aku tersenyum sebelum melepasnya. "Mungkin setelah Ibu udah boleh pulang, Ibu tinggal sementara dulu di apartemen. Kamu bisa nahan kan nggak ke apartemen?" tanyaku lembut, merapikan anak-anak rambutnya yang sudah berantakan.
Nata tersenyum dan mengecupku singkat. "Bisa, tapi kita kangen-kangenannya di kantor" aku langsung mencubit pinggangnya dan membuat dia tergelak. Aku memeluknya sekali lagi, menyimpan aroma tubuhnya dalam-dalam. Aku tidak akan pernah bosan memeluknya.
"Yaudah, aku pulang dulu ya, Sayang" Nata menciumku sekali lagi dan aku segera menjauhkan diriku darinya. Tapi selanjutnya dia malah kembali memelukku, membuatku tersentak kemudian tergelak.
"Aku nggak akan pernah bosan meluk kamu" bisiknya.
Hatiku menghangat mendengarnya. Baru setelah dia melepaskan diri dan masuk ke dalam mobil. Sebaiknya aku segera masuk ke dalam ruangan Ibu. Namun saat aku membalikkan badan, aku melihat Arini sedang menatapku tak percaya. Jantungku langsung menjadi tidak normal.
Crap!
Aku harus mengatakan apa pada adikku itu?
*
Kami duduk di depan ruangan Ibu. Suasana canggung mengisi lorong itu. Aku tetap menahan diri untuk tak mengatakan apapun pada Arini. Saat aku menoleh kepadanya, Arini tampak jengkel sekali dan sesekali menghela nafas dalam.
"Kurang apa sih mbak, Mas Bima?"
Kurang suka. Balasku kurang ajar di dalam hati. Namun urung kukatakan melihat ekspresi Arini yang benar-benar kesal. Jika biasanya aku akan membalas tatapan Arini dengan perasaan jengkel juga, kali ini aku lebih menahan diri.
"Mas Bima itu udah baik dan perhatian. Aku nggak perlu banyak interaksi sama dia buat tau dia orangnya gimana. Dan yang paling penting dia menantu idaman Ibu!" lanjutnya lagi dengan mengomel. Aku hanya menatap arini dengan datar. Sedikit tersentak dengan kalimat terakhir yang diucapkannya.
"Kamu pasti capek kan baru pulang dari Jogja? Istirahat aja di apartemen mbak"
"Nggak usah ngalihin pembicaraan! Apa sih yang Mbak pikirin? Kalau Ibu tau mbak pelukan sama Mas Nata..."
"Kamu mau bikin ibu koma lagi?" desisku kali ini tajam.
Arini menghembuskan nafas kasar, kedua tangannya dilipat di depan d**a, sikap yang selalu dia tunjukkan apabila sedang marah. Aku memilih mengabaikannya, dan malah menatap lurus ke depan.
"Mbak lupa, janji mbak sama ayah buat jaga Ibu dan aku?" nada bicara Arini kali ini lebih lunak. Aku masih membatukan diri tidak melirik ke arahnya. Bagaimana aku bisa lupa, itu adalah janji yang bahkan tiap detik aku ingat.
"Menurut Mbak, Ibu nggak kecewa lihat Mbak seperti ini? Peluk-pelukan sama tunangan orang lain. Jangan-jangan kalian ada main di belakang? Iya?" tembaknya langsung membuatku tersentak.
"Jangan asal nuduh kamu! Kalau kamu nggak bilang, ibu nggak akan tau!"
Arini tertawa sumbang disampingku. "Mbak egois! cuma mikirin diri sendiri! Mbak tau kalau Mbak sama Mas Nata nggak akan bisa bersama! Kalian cuma menentang takdir padahal takdir itu sendiri nggak bisa di tentang!"
"Nggak usah sok-sok ngajarin mbak" belaku pada diriku sendiri. Aku tidak mengharapkan perdebatan ini dengan arini.
"Aku nggak ngajarin. Aku cuma nyadarin Mbak dari cinta buta Mbak itu. Jangan-jangan Mbak juga lupa siapa yang bikin ayah stroke ringan hingga meninggal"
Ucapan Arini kali ini benar-benar menamparku. Aku menatap sinis ke Arini, yang ternyata juga menatap dingin padaku.
"Bukan Nata yang bikin ayah meninggal" memang benar kan? Kalau mungkin tidak ada tragedi tiga tahun yang lalu itu, ayah mungkin akan tetap pergi meninggalkan kami. Tidak ada yang bisa menunda kematian. Mungkin caranya akan lebih baik, kalau tragedi itu tak pernah terjadi.
Dadaku sangat penuh rasanya sekarang.
"Emang! Tapi keluarganya! Mbak udah di hina sama mereka! Di bilang p*****r, tapi kenapa Mbak masih mau berhubungan sama dia? Aku benci sama mereka, Mbak. Ibu juga" aku semakin melebarkan bola mataku.
"Mbak mau jadi w************n sungguhan?" lanjutnya membuat emosiku naik seketika.
"Kamu nggak akan ngerti rasanya, Rin! Mbak nggak bisa ngehapus rasa cinta mbak begitu aja" mataku memanas ketika mengucapkan hal itu. Benar, aku memang tidak bisa menghapus rasa cinta yang begitu dalam pada Nata. Tidak akan pernah bisa.
"Aku emang nggak ngerti, keluarga Adit nerima aku dengan baik" Arini berdiri dari duduknya. "Mbak pikir kenapa Ibu gencar banget jodohin mbak sama Mas Bima? Itu buat kebaikan Mbak sendiri! Supaya Mbak sadar cinta mbak itu udah melebihi batasnya! Lihat sekarang, Mbak bahkan cuma mikirin diri mbak sendiri. Mbak nggak mau tau perasaan ibu yang setiap hari cemas dengan keadaan mbak!"
"Apa nggak bisa Mbak berkorban kali ini demi Ibu?"
Aku menyeka air mataku yang turun. Sakit sekali mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Arini.
"Aku memang nggak tau gimana perasaan Mbak. Tapi kalau Adit yang seperti itu, aku nggak akan pernah mau nerima dia lagi. Aku lebih sayang keluargaku daripada diriku sendiri" Arini berjalan masuk ke dalam ruangan inap Ibu, meninggalkanku dengan segala penyesalan yang kembali menyeruak keluar. Aku memang sakit mengingat tragedi itu, tapi aku lebih tidak bisa melihat Nata tidak bisa menjadi milikku padahal dia berada di depanku setiap hari.
Apa yang harus kulakukan?
*
3 tahun yang lalu
Aku keluar dari kamar untuk membuat sarapan pagi untukku dan Nata. Dia masih tidur di kamarku. Kami memang terbiasa seperti ini. Sesekali dia menginap di tempatku dan aku juga melakukan hal yang sama. Semuanya terjadi setelah aku menjadi staff of the year dan perusahaan memberiku satu unit apartemen ini. Tanpa pikir panjang lagi, Nata juga membeli satu unit yang sama, tapi berbeda lima lantai dari unitku ini. Beberapa bulan terakhir, malah membuat kami semakin intens, Nata sudah benar-benar pindah ke apartemenku. Dan barang-barangnya diletakkan di kamarku. Berjaga-jaga jika Arini ataupun orangtuaku tiba-tiba datang kesini.
Saat aku sedang memanggang roti, sebuah tangan menyelinap melingkari pinggangku. Memelukku posesif. Aku tersenyum saat dia mulai mencium belakang kepalaku. "Bikin apa?" tapi ciumannya tidak hanya terhenti disana.
"Roti panggang, serealnya habis. Nanti temenin belanja ya?" Nata hanya mengangguk dan melanjutkan apapun yang ingin dia lakukan. Aku membalikkan badan dan memeluknya posesif. Dan beberapa detik kemudian, hanya suara decakan yang terdengar dari dapurku itu.
"Aku nggak sabar, nikahin kamu Yang"
Ucapan itu membuatku tersentak, aku mengalungkan lenganku di lehernya. "Aku juga" ujarku tersenyum manis, Nata menyeringai lebar dan kembali merapat kepadaku, kami mengabaikan suara beep dari pemanggang roti yang sudah berbunyi dari tadi.
Aku tau hal itu tak akan mudah. Keluarga Nata belum memberikan restu sepenuhnya padaku meskipun aku sudah rutin menghadiri acara mereka. Yang kulakukan selama ini adalah menebalkan muka, dan menulikan telinga. Meskipun tau bahwa aku tidak akan selamanya sanggup menerima sikap seperti itu.
Kami ternyata sudah berada di sofa ruangan tengah, aku melenguh saat Nata mencium leherku, mengisapnya perlahan. Aku menjauhkan badanku darinya. Dia tersentak kemudian terkekeh, "Maaf, kamu sih, menggoda gitu"
Pipiku memanas mendengarnya. Aku segera mendorong Nata lebih jauh. "Sarapan dulu. Perutku lapar banget" aku berdiri dari sofa dan kembali ke dapur, saat lengan kekar itu kembali memelukku
"Nata" tegurku.
"Iya sayang?"
"Sarapan dulu!"
Nata hanya terkekeh pelan, baru saja dia akan kembali melanjutkan niatnya. Suara ketukan di apartemenku membuat kami langsung menjauhkan diri. Aku berjalan menuju pintu, melihat siapa yang datang pagi-pagi ini. Aku merapikan rambutku yang acak-acakan dan membukakan pintu.
Seketika aku menegang.
"Dimana anak saya?" Mama Nata berdiri disana dengan wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"Siapa yang?"
Aku hanya berdiri di tempat, melihat Nata berjalan menuju ke arah kami. Jantungku terasa di remas, keringat dingin mulai muncul di pori-poriku. Saat melihat penampilan nata, mama nata menatapku lebih garang,
PLAK!
"MA!" tegur Nata cepat, aku merasakan pipiku memanas, pasti memerah. Sakit sekali rasanya. Ini pertama kalinya aku ditampar oleh seseorang, dengan begitu kuat dan emosi.
"Ngapain kamu disini? Pulang Nata!"
"Sarapan! Mama keterlaluan udah nampar Tania!"
"Sarapan? Mama tau kamu udah tinggal disini"
"Terus kenapa?"
Perdebatan itu terus berlangsung. Aku shock dengan apa yang terjadi padaku dan apa yang terjadi di depanku. Ternyata aku salah jika keluarga Nata telah memberikan sedikit restu padaku, nyatanya ini benar-benar tidak direstui.
"Berani-beraninya kamu melawan mama! Apa yang udah dikasih p*****r ini sampai bikin kamu seperti ini? Dia ngasih tubuhnya ke kamu? Iya? Murahan!"
Aku tersentak mendengar ucapan itu. Harga diriku terasa dicabik. Aku hanya diam ditempat mendengar hinaan yang diberikan oleh Mama Nata. Mataku memanas menahan tangis.
"Ma! Oke kita bicara dirumah" Nata beranjak dari kami dan mungkin mengemasi barang-barangnya. Aku diam di belakang Mama Nata. Saat dia berbalik aku tersentak.
"Saya bilang sama kamu untuk terakhir kalinya, jangan goda lagi anak saya. Kehidupan kalian berbeda. Kamu tidak sepadan dengan Nata hingga bisa jadi istrinya" ucap mama nata yang semakin menusukku.
"dan kurangi kelakuan murahan kamu!"
"Ada apa ini?" suara berat itu membuatku menoleh ke belakang. Ayah dan Ibu berada disana, mereka membawakan beberapa kantong plastik. Ayah menatap tidak mengerti antara aku dan Mama Nata tidak mengerti. Baru setelah nata keluar dari kamarku, kedua orangtuaku terlihat shock.
"Saya nggak akan merestui hubungan anak bapak dengan anak saya. Terlalu murahan! Bagaimana bisa bapak membiarkan anak bapak tinggal bersama laki-laki yang bukan suaminya selama ini?"
Aku benar-benar pusing. Tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi.
"Benar, Tita?" Tanya ayah yang membuatku bungkam.
"Tolong didik anak bapak dan ibu agar bisa seperti wanita terhormat. Tinggal bersama laki-laki yang bukan suaminya hanya membuat dia seperti p*****r"
Nata segera menarik mamanya pergi dari apartemenku. aku masih diam di tempatku, orangtuaku juga. Aku tidak menyangka kami ketahuan dengan cara yang seperti ini. Setelah beberapa menit aku memberanikan diri mendongak, ayah menatapku dengan garang.
Sebuah tamparan kembali mendarat di pipiku, setelah itu Ibu langsung memelukku dengan erat. Pagi ini aku benar-benar merasa telah menjadi seorang wanita yang benar-benar murahan.
Kacau sekali hidupku.
*
"Tita, kamu benar-benar nggak kasihan sama ayah ya? Kamu tahu nggak, ketika kamu belum menikah, ayah yang menanggung dosamu?"
Ucapan itu membuatku tersadar sepenuhnya. Air mataku sudah mengalir, terbukti dengan mati rasa yang kurasakan sejenak di pipiku. Bagian rok spanku juga sudah basah karena air mata. Aku kembali mengingat sesuatu yang ingin kulupakan seumur hidup. Setelah kejadian itu, ayah benar-benar marah kepadaku. Memaksaku agar tinggal di rumah dan memberikan pengawasan penuh padaku. Ayah kecewa kepadaku.
Ayah darah tinggi, tidak bisa emosi. Tapi setiap melihatku ayah tidak bisa tidak emosi. Ayah terlalu kecewa padaku, hingga pada akhirnya aku berlutut kepada ayah dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Ayah baru memaafkanku. Namun beberapa bulan kemudian, ayah meninggal setelah beberapa kali terkena stroke.
Aku tidak bisa tidak menyalahkan kelakuanku atas kematian ayah. Meskipun aku ingin membutakan mata, bukan akulah yang menyebabkan kekacauan di keluarga kami ini.
Air mataku kembali mengalir.
"Ta" sebuah tepukan dibahuku menyadarkanku. Aku mendongak dan melihat Bima sedang menatapku khawatir. Aku ingin menghentikan air mataku, namun setelah melihat Bima, air mataku kembali mengalir dengan deras. Bima langsung duduk di sampingku, berusaha menenangkanku.
"Lo kenapa?" tanyanya lebih lembut.
Aku menggelengkan kepala, membenamkan wajahku di lengannya, Bima masih mengusap-ngusap kepalaku dengan lembut. Ajaibnya usapan itu membuatku lebih tenang dan membuat air mataku berhenti mengalir.
"Kenapa?" Tanya bima lagi, menatap mataku yang sudah membengkak.
Aku menggelengkan kepala, tidak berani membuka mulut. Bima hanya menghela nafas dan menepuk pundakku untuk menenangkan. aku hanya tersenyum tipis ke arahnya dan kembali menunduk. Segala kelebat pemikiran kembali meracau di otakku.
Mbak bisa nggak berkorban kali ini buat ibu?
Mbak egois, Cuma mikirin diri sendiri.
Bagaimana caranya aku bisa menerima seseorang yang tidak aku inginkan?