"Kalau kamar 302?" tanyaku pada Erren. Saat visite, aku memang di dampingi oleh Erren, perawat yang umurnya sedikit lebih tua dari Audy. Kami baru saja selesai visite dan aku meminta beberapa laporan tentang pasienku kepadanya.
Setelah ini aku ingin ke kamar Bu Ningsih. Cari-cari perhatian pada calon mertua. HEHE
"Pendarahan di livernya, sudah seminggu masuk rumah sakit. Kondisi terakhir cukup baik dok" aku berusaha mengingat-ingat pasienku di kamar 302, dia mengalami masalah di hatinya. Kemarin sedikit pendarahan. Kondisinya kritis pada saat pertama kali datang kesini.
"Pak Maryo?" tanggapku cepat, Erren menganggukkan kepalanya. Pak Maryo salah satu pasienku yang cukup cerewet, usianya tidak jauh berbeda dengan Bu Ningsih. Beliau juga kadang memberiku petuah-petuah saat aku mengunjunginya.
"Tadi tekanan darahnya cukup rendah"
Aku menerawang.
"Pastikan terus, kondisinya stabil ya sus" Erren mengangguk. Aku menghentikan langkah saat seseorang keluar dari ruang rawat inap. Sesaat dia tak melihatku, saat menoleh padaku, aku baru melempar senyum kepadanya.
"Lagi visite Dokter?" sapaku sambil terkekeh. Dokter Gia menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghampiri kami.
"Selesai visite, bim?"
"Iya nih. Lo?"
"Lagi liat ibunya baby, habis melahirkan tadi" jawabnya. Aku terkekeh pelan.
"Gimana, Bim. Udah ada calon?"
Aku tertawa pelan. "Calon pasien, maksud lo?"
Mantanku itu memutar bola matanya. Aku terkekeh pelan melihatnya. Apa aku pernah mengatakan bahwa mantanku berada di satu rumah sakit yang sama denganku? Dokter Gia lah yang memberikan informasi bahwa ada lowongan di rumah sakit ini saat aku lulus jadi dokter spesialis setahun yang lalu.
Kami berpisah baik-baik, tidak saling membenci. Aku menjelaskan kepadanya secara runtut kenapa aku tidak bisa lagi dengannya saat itu, dan untungnya dia mengerti.
Jadi yah, jadilah seperti ini.
"Gue kesana dulu, Bim. See you"
Aku melambaikan tanganku dan berjalan menuju ruangan Bu Ningsih. memikirkan akan bertemu Tita semakin membuat otakku girang sendiri. Aku benar-benar sudah gila karena Tita
*
"Arini? Kok nggak masuk ke dalam?" aku menyapa Arini yang sedang duduk di bangku di depan ruangan Bu Ningsih. Gadis itu sedang sibuk memainkan ponselnya. Jadwal praktekku hari ini agak lega, hingga hari ini aku bisa mengunjungi Bu Ningsih lebih cepat.
"Ada mbak di dalam, males ketemu" ujarnya tak acuh. Dia kembali memainkan ponselnya. Aku seketika tau apa yang menyebabkan Tita murung beberapa hari terakhir.
"Kalian berantem?"
Arini mengangguk. "Dua hari yang lalu, pas aku balik dari Jogja" aku mengingat hari itu. hari dimana Tita kembali menangis di pelukanku. Setelah kejadian menangis itu, aku memang menjaga jarak dengan Tita, tidak mau menganggunya dulu. Tak pernah terpikir dikepalaku bahwa dia bertengkar dengan Arini salah satu penyebab tangisnya.
"Berantem tiga hari berturut-turut dosanya besar loh" ingatku padanya, aku tersenyum lebar ke arah Arini.
"Mas kenapa idaman banget sih? Mbak t***l banget kalau sampai ngelepasin Mas gara-gara b******n itu"
Aku mengerinyitkan dahi, sepertinya tahu siapa yang sedang dibicarakan Arini. "Nggak baik ngomong seperti itu"
"Nataniel?"
"Mas tahu kalau Mas Nata bosnya mbak?"
Aku terdiam sejenak lalu mengangguk.
"Mas nggak keberatan?"
Aku menggeleng cepat, seolah tidak ragu. Siapa yang tidak akan khawatir? "Tita kan sudah bekerja lama disana, bertemu lagi dengan Nata itu salah satu konsekuensi"
Arini menghela nafas dalam. "Maaf ya Mas, tapi Mbak itu masih mengharapkan Mas Nata. Aku nggak setuju! Pokoknya Mas Bima harus bisa curi hati Mbak. Dipaksa juga nggak apa-apa. Aku sama Ibu mendukung banget. Mbak itu masih buta sama cintanya. Kok nggak sadar-sadar! Udah tau dia udah punya tunangan masih aja berhubungan. Mas yang baik di depannya aja gini nggak kelihatan di matanya. Kalau ayah masih hidup pasti mbak udah dimasukin ke pesantren, biar taubat" omel Arini, aku hanya diam ditempat. Aku tau sedikit masalah ayah mereka yang meninggal beberapa bulan setelah Tita dan Nata dipaksa putus oleh kedua keluarga. Aku tau dari Rizky. Setelah Tita menangis-nangis malam itu, aku memaksa Rizky untuk menceritakan segalanya. Setidaknya aku tau sedikit tentang kekacauan yang sekarang terjadi.
"Memangnya kacau banget ya Rin?"
Arini mengangguk cepat. "Kacau banget mas. Pas Ayah masih disini lebih kacau lagi. Setelah mbak dihina sama mamanya Mas Nata. Ayah jadi suka marah-marah, padahal darah tinggi. Waktu itu ayah sempat nampar Mbak Tita. Setelahnya, ayah tiap hari menyesal karena udah memperlakukan Mbak Tita nggak sopan. Mbak Tita nggak pernah sadar, malah sibuk nangisin hubungannya sama Mas Nata. Nggak tau kalau setiap hari ayah hamper collapse gara-gara darah tinggi. Sampai sekarang Mbak itu masih aja mikirin dirinya sendiri. Aku benci, aku tau aku salah nyalahin Mbak Tita atas semua ini. Tapi kalau seandainya kejadian itu nggak ada, seenggaknya Ayah meninggal dengan cara lebih baik. Bukan dengan penyesalan atau merasa gagal jadi orang tua"
Ucapan kami terhenti saat mendengar pintu dibuka. Arini langsung memalingkan wajahnya ke ponsel dan sibuk dengan kegiatannya. Aku berdiri setelah melihat Tita menatap kami dengan datar. Arini langsung berdiri saat Tita sudah menjauh dari pintu ruangan.
"Besok Ibu langsung dibawa ke rumah aja"
"Ibu di apartemenku aja, lebih dekat juga sama rumah sakit"
Arini hanya menatap datar tita. "Ibu nggak suka di tempat-tempat yang mengingatkan kenangan buruknya. Di rumah jauh lebih baik"
"Arini"
"Aku nggak mau kehilangan orangtua lagi mbak"
Astaga! Aku langsung melirik kea rah Tita. Saat dia akan mengeluarkan suara, Aku segera menghentikan perdebatan itu. "Udah Ta, nanti kita bicarain Ibu mau tinggal dimana setelah ini" aku menarik tita agar menjauh dari arini.
"Arini"
Arini menoleh sebentar. "Mbak minta maaf" Arini hanya mengangguk kemudian masuk ke dalam ruangan. Tita menghela nafas dalam dan menatapku datar. Setelahnya, dia pamit pulang, mengatakan bahwa dia butuh istirahat dan menenangkan diri.
Aku mengangguk mengiyakan, tanpa berminat mengantarnya sampai hingga parkiran.
*
"Ta, di rumah sakit kan?" aku menghubungi Tita setelah beberapa hari ini kami saling diam. Tadi aku sempat melihatnya di kantin, dan memutuskan untuk meneleponnya sore ini.
"Udah di kantor, kenapa Bim?"
"Ikut gue yuk. Ngumpul sama anak-anak Rumah Rindu" ajakku, seperti biasa, ada jeda sejenak diantara kami. "Jessi juga mau ikut" tambahku meyakinkannya.
"Sekarang?" tanyanya.
Aku mengiyakan. "Kita bisa jalan sekarang, biar nggak macet"
"Ya udah. Gue jemput lo dulu kalau gitu" aku segera mematikan sambungan telepon itu dan memeriksa dua pasien terakhir untuk hari ini. Setelahnya, aku segera menunggu Tita di trotoar rumah sakit. Saat aku sampai, mobil Nissan Juke Tita ternyata sudah terparkir di tepi jalan. Dia keluar dari bangku pengemudi, agar bertukar tempat denganku. Aku membukakan pintu dulu untuknya baru berjalan memutar menuju pintu satunya.
Perjalanan kami diisi dengan keheningan. Ternyata, setelah semuanya, kami berdua masih canggung satu sama lain, atau mungkin karena mengingat lamaran dadakanku waktu itu.
"Udah baikan lo?"
Tita melirik ke arahku. "Emangnya gue sakit?"
Aku tersenyum miring. "Sakit hati, kan?"
Tita tersenyum saja dan memukul lenganku, "Rese ah!"
Aku terkekeh. "Nggak butuh lengan gue lagi buat senderan?"
Tita mengercutkan bibirnya, membuatku gemas. "Rese ya lo Bim"
Aku mencubit bibirnya dengan cepat. "Jangan monyong-monyong, nanti gue tiba-tiba cium lo gimana"
"Najis!" timpalnya langsung, yang membuatku tertawa. "m***m banget lo"
"Lah wajar. Gue cowok"
Tita berdecak, menatapku dengan kesal. "Whatever"
Aku kembali tertawa pelan, saat melihat Tita sudah lebih baik dari terakhir kami bertemu. Ada sebuah rasa lega yang menghangatkan jiwaku.
"Lo sama Arini udah baikan?" tanyaku pada akhirnya.
Tita mengangguk. "Udah.. Ibu yang bikin kami baikan. Kata ibu, ibu cuma punya kami, kalau kami terpecah, ibu nggak punya siapa-siapa lagi"
Aku mengacak gemas rambut Tita mendengar hal tersebut. Tidak mau lagi menimpali. Nanti yang ada, Tita malah kembali sedih dan menangis. Tentu saja itu membuat hatiku tercubit.
"Bim, soal cincin lo—"
"Nggak usah dipikirin" potongku langsung. Tita terdiam melihatku. Terang saja, aku sudah tak memikirkan lamaran itu lagi. Tembok yang Tita bangun sangat tinggi dan tebal, jujur nyaliku ciut, tapi aku sudah memutuskan untuk tak jadi pengecut. Aku akan berusaha sampai Tita mengatakan tidak.
"Maaf" ujarnya dengan rasa bersalah.
Aku tersenyum menatapnya. "Gue nggak akan maksa lo. Jangan anggap lo nggak ada pilihan Ta, lo selalu punya pilihan itu"
Tita kembali diam dan menatapku dalam. Aku hanya tersenyum kemudian fokus menyetir, jika lama-lama melihat Tita bisa saja aku kalap dan langsung memintanya menikahiku saat ini juga. Mata Tita sejernih air, seperti pusaran air yang bisa memaksa siapapun untuk masuk ke dalamnya.
Aku sudah terjebak dengan itu semua.
Kami sampai di sebuah mall tempat kami janjian. Aku langsung membawa Tita ke salah satu café yang ada disana, menunggu yang lain yang belum datang. Aku hanya ingin Tita melupakan sejenak masalah di dalam hidupnya, tidak perlu ditambah lagi masalah yang kubuat. Aku hanya ingin Tita relaks dan melupakan semuanya.
Kalau ini satu-satunya cara perhatian Tita teralihkan, aku berjanji akan lebih sering membuat Tita seperti ini.
*
"Gue juga! Gue juga masih ingat banget pas Tita rengek-rengek sama lo buat ditemenin beli penyetan di depan Indomaret, lo malah masuk kamar dan kunci pintunya" Jessi mulai mencerocoskan hal-hal yang ingin kulupakan. Membuat teman-temanku tertawa seketika.
Niatku untuk membuat Tita melupakan masalah hidupnya sejenak sepertinya berhasil. Namun sebagai imbasnya mereka malah membicarakan kelakuanku saat dulu menolak Tita mentah-mentah. Membuatku dongkol sekali sekarang.
Tita langsung bersemangat. "Gila gue emang bego banget dulu suka sama lo, Bim" ujarnya terkekeh. "Trus ya, masa dulu itu gue sok-sok an ke FK niatnya nyamperin Bima. Eh dia malah ngumpet di kelas nggak keluar-keluar! Rese banget! Emang gue bawa penyakit menular apa"
Abi dan Leo tertawa terpingkal-pingkal mendengar penuturan Tita dan Jessi. Rizky juga semakin tidak bisa menyembunyikan tawanya. Farhan tidak bisa datang karena dia harus lembur karena pekerjaannya.
"Nyebelin emang lo, Bim!" timpal abi ditengah tawanya.
"Tapi karma berlaku sekarang, bro. Liat! Nempel terus sama Tita"
Aku mencibir dan semakin merapatkan diri kepada Tita yang membuat tita langsung menggeser duduknya. "Minggir lo nggak usah deket-deket gue"
"Lo sama calon suami begitu ya"
"Ciyeee. Calon suami" goda yang lain yang semakin membuat senyumku semakin mengembang. Aku bisa melihat wajah Tita sedikit memerah karena godaan itu.
"Suami suami kepala lo" ujarnya mendorong tubuhku agar duduk sejauh mungkin darinya. Jessi menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kami. Aku menurut saja, meraih mojito yang kupesan dan menyeruputnya pelan.
"Jadi kapan nih kalian diresmiin"
"Secepatnya" jawabku cepat.
"Nggak ada! Enak aja lo! Sekarang tuh Bima yang ngejar-ngejar gue. Nelpon-nelpon gue tiap malam, ngambek kalau chatnya nggak dibales. Gue geli sendiri ngebayangin sikap lo dulu sama gue"
Wah.. sepertinya kondisi hati Tita benar-benar baik sekarang.
Aku menatapnya pelan. "Halah! Lo juga kalau nangis, butuhnya lengan gue d**a gue buat senderan"
"Kapan? Itu lo nya aja nyari kesempatan" Elak Tita, hidungnya semakin memerah, membuatku dengan cepat menarik puncak hidungnya gemas.
"Sakit" ringisnya menjauhkan tanganku. Aku malah menggunakan kesempatan itu untuk mengelus puncak hidungnya dan membuat Tita menegang di tempatnya.
Aku tertawa puas di dalam hati.
"Aduuhh.... Yang lagi kasmaran. Panas. Panas" Abi langsung mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya. Entah apa maksudnya, aku malah mengulurkan tangan di sandaran kursi yang diduduki Tita membuat Tita juga terkekeh pelan di sampingku dan malah semakin usil dengan menyenderkan kepalanya di lenganku.
"Iri kan lo?" ujarnya pada Abi, aku dan yang lain semakin tertawa puas melihat ekspresi Abi. Kami kemudian membicarakan masa-masa kuliah yang benar-benar ajaib itu. hingga tanpa terasa sudah malam sekali dan mereka harus pulang untuk menemui pasangan masing-masing. Aku melajukan mobil Tita ke apartemennya. Setiap hari senin hingga kamis sekarang dia memang tinggal di apartemen. Sebenarnya Tita menawarkan untuk mengantarku lebih dahulu, namun aku menolak, jarak apartemen kami sedikit jauh. Aku tidak mungkin membiarkannya menyetir malam-malam sendirian, meskipun katanya dia sudah biasa. Nanti aku bisa pulang dengan ojek online atau kereta terakhir.
"Bim, makan lagi yuk. Gue laper"
"Yaampun perut badak! Nggak takut buncit?"
"Tadi ngomongin penyetan gue jadi pengeen... lo tau dimana penyetan enak nggak?"
Aku berpikir sejenak, dulu memang tita paling sering merecokiku malam-malam untuk ditemani beli penyetan dan sialnya dulu aku sering menemaninya.
"Ada, tapi nggak searah sama apartemen lo" ujarku memutuskan.
Tita tersenyum cerah kepadaku. "Nggak apa-apa. Jauh banget nggak?" aku menggeleng pelan dan memutar mobil ke arah yang berlawanan.
"YEE.. Bima I love you, deh" ujar Tita dengan semangat. Sesaat aku terdiam dengan ucapan yang dikatakannya tanpa sadar itu. Itu adalah ucapan yang sering dia katakan saat dulu aku bersedia menemaninya kemanapun saat kami di kuliah.
Dejavu.
Saat aku melirik Tita. ternyata dia juga terdiam karena ucapannya. Aku terkekeh pelan dan mencubit pipinya. " I love you too" bedanya dulu aku hanya mendengus kesal kearahnya namun sekarang aku bisa memperlakukannya dengan lebih baik.
"Sakit, bego!" dan kami kembali menceritakan masa lalu di sepanjang perjalanan. Mulai malam ini, entah kenapa, aku merasa sudah lebih dekat dengan tita daripada sebelumnya. Tidak ada lagi kecanggungan, tidak ada lagi debat emosi yang kami lakukan saat berdua.
TBC...