Aku terbangun saat jam menunjukkan pukul 12 malam. Sejak Ibu dan Arini kembali ke rumah, apartemen ini terasa sangat sepi. Aku merasa sendirian. Terlebih dengan sekelumit masalah yang sedang menghantuiku sekarang.
Jika beberapa hari yang lalu aku telah memutuskan untuk menjawab lamaran Bima waktu itu, Saat ini aku kembali bimbang. Sebersit pemikiran bahwa Bima bukanlah seseorang yang buruk untuk dijadikan suami datang begitu saja. Desakan Ibu dan Arini untuk segera menerima lamaran Bima bukan lagi sebuah paksaan bagiku.
Aku bangun sepenuhnya dan menggeleng.
Apa yang kupikirkan?
Setelah pertemuan dengan teman-teman kuliah kami saat itu, aku memang merasa sudah menerima Bima. Sedikit. Bukan seperti saat kami kuliah dulu, karena memang saat ini aku cenderung lebih pendiam. Namun berkomunikasi dengan Bima bukan lagi sebuah kewajiban atas tuntutan Ibu padaku.
Aku sekarang lebih menikmatinya
Entah kenapa aku mulai merasa...
Aku menggeleng pelan. Kemudian meraih ponselku dan mengupdate sebuah status di akun sosial mediaku. Hanya sebuah emoticon, tetapi bisa menyelamatkan perasaan bimbangku ini. Aku ingin berbagi, tapi tidak tau pada siapa.
Apa seharusnya aku menghubungi Bima?
Aku menghela nafas dalam. Tidak. Tidak seharusnya aku memberikan harapan yang berlebihan padanya. Ini tak akan pernah adil untuk Bima. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika melakukan hal itu.
Sebaiknya aku mengambil segelas minuman, namun niatku itu dihentikan oleh sebuah panggilan. Aku segera meraih ponsel dan terkejut melihat display name yang ditampilkan. Tanpa pikir panjang aku segera mengangkatnya.
"Halo?"
"Kenapa belum tidur?"
Aku menghela nafas dalam. "Kebangun. Lo?"
Bima diseberang sana tergelak. "Bangun trus update status? Biasanya lo juga jadi kebo" dia kembali mengejek kebiasaanku. "Abis mimpi buruk?"
Aku mendengus. "Enggak ih. Udah di bilangin, kebangun. Ngapain lo masih bangun? Bukannya besok ada jadwal pagi?
Bima kembali terkekeh. Sepertinya dia senang sekali berkomunikasi denganku. "Enaknya diperhatiin calon istri. Gue juga kebangun, trus sholat malam" ujarnya, membuat hatiku berdesir seketika oleh ucapannya.
"Inget juga lo sama Tuhan"
Bima mendengus. "Ya ingatlah, emangnya lo? By the way, Lo kebangun gue kebangun, kita jodoh jangan-jangan Ta?"
Aku tersenyum miris. "Nggak usah ngarep"
Sejak pertemuan waktu itu, aku dan Bima memang lebih sering saling mengejek daripada berbicara serius. Entah kenapa, Bima selalu menggodaku jika aku sedang melamun, dan itu berbuah perdebatan panjang dan tidak jelas. Seolah-olah dia ingin selalu menjaga moodku.
"Bim, gue haus. Mau ke dapur dulu" ujarku.
"Oh. mau udahan?"
Aku berpikir sebentar. "Bisa tunggu bentar?" aku yakin ada yang salah dengan sistem kerja otakku, tapi aku tetap mengatakannya. Tidak peduli bahwa besok aku harus masuk kantor pagi, ataupun dia yang ada jadwal pagi.
Aku hanya ingin berbicara dengannya.
*
"Mbak"
Aku menoleh saat melihat Yoana sedang berjalan menuju kubikelku. Aku hanya mengangkat satu alis, Yoana menarik kursi sonny yang berada persis di sebelahku sekarang dan berbisik padaku.
"Kenapa?" ujarku setengah berbisik.
Yoana menggelengkan kepalanya. "Mau gosip" dia lalu mengeluarkan ponselnya dan menscroll sesuatu disana, akun media social. "Aku iseng-iseng stalking akunnya tunangan bapak, trus nemu ini" mendengar hal itu jantungku langsung berhenti.
Tak ada bapak lain selain Nata yang baru-baru ini bertunangan. Melihat hal itu, aku melihat akun tersebut dan menemukan sebuah foto dengan latar belakang pantai, terdapat dua siluet yang sedang makan malam.
Thankyou bae, for the romantic dinner ever.
Aku membaca sekali lagi keterangan yang ada di foto tersebut. Air mataku ingin menyeruak keluar rasanya. Aku membuka foto-foto lain di akun Saras tersebut, hanya ada tiga foto bersama Nata. Satu makan malam itu dan dua lainnya adalah foto pra pertunangan serta saat pertunangan mereka. Kepalaku langsung terasa begitu berat.
Aku cemburu.
"Pak Nata romantis juga ya mbak ternyata" aku tersenyum miris mendengar hal tersebut, yang jariku lakukan selanjutnya adalah membuka akun Nata dan melihat postingan yang ada disana. Perasaanku menjadi lebih lapang ketika aku tak menemukan satupun foto saras disana.
Salahkah aku begini?
Salahkah aku menginginkan Nata hanya untukku? Aku cemburu dia dimiliki oleh gadis lain selain aku. Aku tak ingin membaginya dengan siapapun. Keinginan yang terlalu kuat itu akhirnya tak bisa membuatku menahan air mata yang akan menyeruak keluar. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Tepat saat itu, Nata berjalan masuk ke dalam ruangan.
"Ada bapak Na" ujarku pada Yoana, Yoana langsung melimpir ke mejanya dan merapikan bajunya, aku hanya menatap nanar komputer di depanku dan tak berniat sama sekali menyapa Nata. Dadaku masih sesak mengingat foto tadi. Biar saja Nata tau bahwa sekarang aku marah padanya.
Nata berdehem ketika melewati kubikelku, aku tidak mengalihkan pandangan sama sekali. Memilih untuk kembali mengecek laporanku daripada melihat wajahnya. Saat pintu ruangan nata di tutup sebuah notifikasi di ponselku masuk.
Nata: Kamu kenapa?
Aku memutuskan hanya membaca chat itu dan melanjutkan pekerjaanku. Aku yakin Nata akan segera memanggilku ke ruangannya. Dan tebakanku benar.
"Titania, ke ruangan saya sebentar" suara menenangkan itu membuatku akhirnya menoleh dan mengangguk pasrah. Aku masuk ke dalam ruangannya satu menit kemudian.
Dia berdiri di depan pintu, kedua tangannya bertumpu di pinggangnya, ciri khas kalau dia sedang kesal. Aku memutuskan hanya menunduk.
"Kamu kenapa sayang?" ujarnya khawatir, apa nada yang sama juga dia utarakan saat cemas akan Saras?
Aku kesal dengan pemikiranku. Saat mendengar langkah kakinya mendekat aku segera mundur.
"Ada apa, pak? Saya harus menyelesaikan pekerjaan saya" ujarku pelan.
"Apa-apaan, Tania! Kenapa kamu sebenarnya? Dari tadi malam kamu nggak angkat teleponku, balas chatku. Kamu kenapa?"
Aku menatapnya dengan garang. "Buat apa aku balas chat kamu semalam? Untuk menggagalkan makan malam romantis kamu?" aku sudah tidak bisa menahan diriku lagi. Aku balas menatap nata dengan sengit, tak bisa lagi menyembunyikan kecemburuanku.
Nata mendekat ke arahku. "Jadi karena itu kamu marah sama aku"
Karena apa lagi?
Aku masih balas menatapnya, nata tersenyum penuh kemenangan. "Aku cuma disuruh sama mama, Tania. Nothing special"
"Nggak spesial ya? makan itu sama sekali nggak spesial ya bagi kamu?" aku mengulang-ngulang pertanyaan dengan dongkol.
Nata tersenyum miring. "Kamu yang spesial!"
"Seberapa spesial?" tantangku.
Nata tampak terpancing, dia menghela nafas dalam. "Tania, kamu nggak bisa cemburu begini. Dia tuna-"
Ada rasa nyeri di dalam hatiku saat mendengar hal itu. seperti luka yang masih basah dan disiram air garam. Rasanya perih sekali.
Aku mengangguk paham. "Dia tunangan kamu dan aku nggak berhak cemburu. Kamu benar" aku ingin menertawai diriku sendiri. Aku segera mendorong tubuh Nata menjauh dan keluar dari ruangan itu. aku benar-benar harus menenangkan diri.
Seharusnya aku sadar bahwa menjadi pacar rahasia Nata bukanlah hal yang benar-benar kuinginkan, karena pasti aku menuntut lebih darinya. Aku hanya ingin memiliki nata untuk diriku sendiri. Aku pikir aku tidak akan menuntut apa-apa, hanya perhatiaannya saja tercurah padaku. Ternyata aku salah. Itu tak akan pernah cukup.
Hari ini aku sadar, menjadi yang kedua di hubungan mereka telah membuat masalah besar di hidupku kembali timbul, dan tak dipungkiri akan segera menyusul melanda hubungan mereka.
Dan akulah penyebabnya.
Mengapa aku bodoh sekali?
*
Aku menghentikan langkahku saat melihat siapa yang sedang berada di lobby. Wanita itu segera berdiri saat melihatku. Mengabaikannya, aku langsung melesat menuju ke luar gedung ini untuk membeli makan siang. Aku butuh penenangan diri yang lebih baik saat ini.
"Tania" dia ternyata mencegatku untuk keluar. Aku menoleh ke arahnya.
"Ya?" ujarku pura-pura tidak tahu apa-apa.
"Saya sudah kirim kamu pesan untuk bertemu siang ini, kenapa kamu hanya membacanya?" ujarnya pelan, suaranya terdengar anggun sekali. Aku merasa miris dengan diriku sendiri.
"Saya lagi sibuk tadi"
Saras menghela nafas di depanku. "Bisa kita bicara sebentar? Nggak sampai 15 menit"
Aku mengerinyitkan dahi. "Hal apa yang harus saya bicarakan sama kamu?" ujarku dingin. Aku menoleh lagi ke mobil yang berlalu lalang di depan gedung kantorku. Aku sedang tidak memiliki mood untuk meladeninya saat ini.
Apalagi hubungannya dengan Nata.
"Saya ingin kita lebih dekat bisa?" Saras masih menahanku. Aku hanya diam dan membawanya keluar dari gedung kami, bisa gawat jika orang lain melihat kami seperti ini. Aku jalan lebih dahulu, menuju café yang berada di gedung sebelah kantorku yang biasa kukunjungi dan duduk di tempat yang paling sudut. Saras mengikutiku.
Setelah dia duduk aku hanya menatapnya datar. "Kenapa kamu tiba-tiba ingin dekat dengan orang yang seharusnya kamu waspadai?" tantangku langsung, wajah cantik saras langsung menegang mendengar ucapan ketusku. Aku sama sekali tak merasa bersalah.
"Kalau ini berhubungan dengan Nata, kamu tau dengan jelas bahwa saya dan dia sudah nggak ada lagi hubungan" jelasku padanya, mengkhianati diriku dan fakta yang sesungguhnya.
"Aku tau.." saras tampak getir dengan seranganku tiba-tiba tadi. "Aku tau kamu masih mencintai nata"
Aku hanya diam dan menyandarkan kepalaku di kursi.
"Dan nata masih mencintai kamu"
Aku muak mendengarnya.
"Dia memilih kamu! Apa itu belum cukup?"
"Belum! Aku juga tau kalian sering bertemu akhir-akhir ini"
Aku menegang di tempat. Bagaimana dia tau? Aku dan Nata melakukan segalanya di lingkungan kantor dan dilingkungan pekerjaan. Kami sudah memastikan tidak ada siapapun yang mengetahui semua ini.
Ada apa ini?
Saras menunduk di depanku. "Dia sudah jadi tunanganku. Apa kamu nggak bisa melepaskan dia? Aku tau kalian saling menyukai, tapi dia memiliki status denganku, calon suamiku" dia menekan dua kalimat terakhir. Aku semakin melebarkan bola mataku.
"Kalau aku nggak bisa?" ujarku dengan datar.
"Aku mencintai Nata juga, Tania. Sama seperti kamu. Apa yang kamu pikirkan ketika tunangan kamu masih mengharapkan mantan pacarnya? Ini nggak adil untukku, aku sedang berusaha membuat Nata mencintaiku, tapi karena kalian masih berhubungan, semuanya menjadi sia-sia"
Aku semakin mengerinyitkan dahi. "Kamu menyalahkanku? Apa juga aku yang salah ketika Nata lebih cinta aku di banding kamu?" ujarku tidak terima.
"Nata sudah memilihku. Nggak ada jalan bagi dia untuk kembali sama kamu. Kalau kamu keras kepala seperti ini, kamu cuma akan menyakiti diri kamu sendiri"
Aku memilih diam. Mencerna tiap kata yang diucapkan Saras dengan cermat. Mencoba agar kata-kata yang kuingat itu tak menyakiti diriku lagi.
Aku menghela nafas dalam. "Untuk apa kamu mengancamku kayak gini padahal kamu tau hasil akhirnya, Ras? Kamu sendiri yang bilang tadi, nggak ada jalan bagi dia kembali bersamaku. Apa lagi yang kamu takutkan?"
Aku berdiri di depannya. "Dia udah memilih kamu. Bukan saya. Itu nggak akan bisa lagi diubah" saat aku akan melangkah meninggalkannya, aku teringat sesuatu.
"Saras"
Saras menoleh padaku. Tak ada tatapan kebencian yang aku bayangkan selama ini dari kedua matanya. Hal itu membuatku tertegun sejenak. Ucapan-ucapannya tadi hanyalah sebuah pertahanan diri karena takut kehilangan Nata. Sebuah sikap defensif.
Saras tidak membenciku, seperti aku membencinya.
"Saya juga akan segera menikah" bodohnya ucapan itu meluncur begitu saja. Menyadari bahwa Nata tidak akan memilihku hari ini membuatku ditampar berkali-kali dan mampu membuat keputusan bodoh lainnya.
Benar.. kenyataannya, aku hanyalah pilihan semu yang dipilih Nata akhir-akhir ini. Sebagai pelengkap hidupnya, atau sebagai penuntasan masa lalu kami. Aku cukup tau diri untuk hal itu. aku hanyalah pilihan yang tak akan pernah dipilihnya. Dan dengan bodohnya, aku menuntut macam-macam kepadanya.
Berapa kali aku mengatakan diriku bodoh hari ini?
TBC